• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa

Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (az-zawaj). Secara

terminology,ikah artinya suatu akad yang menghalakan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan atau pernikahan yaitu akad

yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya adalah ibadah.

Adapun menurut syara`, nikah adalah akad serah terima antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 bab 1 pasal (1) bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad

sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah boleh atau mubah.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rosul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).

2. Dasar Hukum Pernikahan

a. QS Ar Rum:21

ْمُكَنْ يَ ب َلَعَج َو اَهْ يَلِا اْوُ نُكْسَتّل اًجاَوْزَا ْمُكِسُفْ نَا ْنّم ْمُكَل َقَلَخ ْنَا ِهِتيا ْنِم َو

ّل ٍتيلا َكِلذ ْيِف َّنِا ،ًةَمْحَر َّو ًةَّدَوَّم

.َنْوُرَّكَفَ تَّ ي ٍمْوَق

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [QS. Ar-Ruum : 21]

b. Hadits Nabi Muhaammad SAW:

َ ْ ِن َلَمْكَت ْللها ِت َقَ ف ُت ْىَعلْا َ َّوَب َ ا اَذِا َ ِاا ُْْو ُللهَر َْا َر ،ر قهيىلا ة ياور ر ف و

.رِراَىلْا ِ ْ ِّنلا رِف َاا ِقَّتَيْلَ ف ،ِنْيِّتلا

Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,

“Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya

3. Hukum pernikahan (Sabiq, 1980:22)

a. Wajib

Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin. Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin. . Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :

ا ُمُهَ يِنْغُ ي ٰرَّتَح اًحاَكِن َنوُتِجَي َلا َنيِذَّلا ِ ِفْعَ تْسَيْلَو

ِهِلْضَف ْنِم ُهَّلل

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. [Q.S. An-Nur (24) : 33]

b. Sunnah

Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina,

maka sunnahlah ia kawin. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi‟iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui

seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari

َث َلَُثَو رَنْ ثَم ِءاَسِّنلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف رَماَتَيْلا يِف اوُطِسْقُ ا َّلاَأ ْمُتْفِخ ْنِإَو

اوُلوُعَ ا َّلاَأ رَنْدَأ َكِلَذ ْمُكُناَمْيَأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ًةَتِحاَوَ ف اوُلِتْعَ ا َّلاَأ ْمُتْفِخ ْنِإَف َعاَبُرَو

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya. [Q.S. An-Nisa (4) : 3]

c. Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia

kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

... اوُنِسْحَأَو ِةَكُلْهَّ تلا رَلِإ ْمُكيِتْيَأِب اوُقْلُ ا َلاَو ...

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. [Q.S. Al-Baqarah (2) : 195]

d. Makruh

Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga

makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

e. Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang

mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang

mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah. 4. Tujuan pernikahan

Menurut Khoiruddin Nasution, (2005 : 37-38) setidaknya terdapat

5 tujuan pernikahan, yaitu sebagai berikut:

a. Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Tujuan ini dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan-tujuan lain adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Dengan tercapainya tujuan reproduksi, tujuan memenuhi kebutuhan biologis, tujuan menjaga diri, dan ibadah, dengan sendirinya insya Alla tercapai pula ketenangan, cinta dan kasih sayang. Inilah yang dimaksud dengan tujuan lain sebagai pelenklap untuk mencapai tujuan pokok atau utama.

b. Reproduksi/regenerasi

Tujuan yang kedua ini untuk mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi dapat dilihat dalam beberapa ayat dan hadis di bawah ini:

1) Asy-Syura (42): 11 “Manusia dan binatang diciptakan secara

2) An-Nisa‟ (4): 1. “Allah menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian daripadanya menciptakan isterinya dan dari keduanya mengemabangbiakan manusia laki-laki dan perempuan”.

3) . Hadis Nabi yang memerintahkan untuk menikah dengan pasangan

yang penuh kasih dan subur (produktif).

c. Pemenuhan kebutuhan biologis

Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dlihat dalam beberapa ayat:

1) Surat al-Baqarah (2): 187:“Dihalalkan pada malam hari puasa

bercampur dengan isteri-isterimu, mereka pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi mereka”.

2) Surat al-Baqarah (2): 223:” Isteri-isterimu seperti tanah tempat

kamu becocok tanam, datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu mau”

d. Menjaga kehormatan

Tujuan keempat dari perkawinan ialah untuk menjaga kehormatan. Dimaksud dengan kehormatan ialah kehormtan diri sendiri, anak dan keluarga.

e. Ibadah

Tujuan perkawinan yang kelima ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, tersirat dari beberapa nas yang sebelumnya sudah disebutkan. Di antaranya ialah hadis Nab yang menyebutkan:

“seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan setengah agama”.

Nas ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan anjuran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah. Nas lain sekalipun tida secara tegas tetapi makna tersirat, misalnya hadis Nabi Muhammad saw yang mempunyai harapan pribadi agar umatnya dapat berjumlah banyak pada akhir zaman nanti. Pada dasarnya hadis ini menjelaskan tujuan reproduksi dalam perkawinan, yaitu untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak ummat Muhammad, bukan tujuan ibadah. Tetapi dengan mengikuti sunnah Nabi sama artinya dengan melakukan ibadah. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa dengan menjalanakan perkawinan sebagaibagian dari melakukan snnah Nabi Muhammad saw berarti juga melakukan ibadah.

5. Rukun dan Syarat Pernikahan a. Menurut Islam

Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus

memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.

Adapun rukun dan syarat nikah dalam Islam adalah sebagai berikut:

1) Calon mempelai pria (Munir, 2007:34), syarat- syaratnya: a) Beragama Islam;

b) Laki-laki;

c) Tidak karena dipaksa;

d) Tidak beristri empat orang (termasuk istri yang dalam iddah raj‟i);

e) Bukan mahram perempua calon istri;

f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya; g) Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya;

h) Tidak sedang berihram haji atau umrah; i) Jelas orangnya;

j) Dapat memberikan persetujuan; k) Tidak terdapat halangan perkawinan.

2) Calon mempelai perempuan (Munir, 2007:34), syarat- syaratnya: a) Beragama Islam;

b) Perempuan;

c) Telah mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir); d) Tidak bersuami (tidak dalam iddah);

e) Bukan mahram bagi suami;

f) Belum pernah dili‟an (dituduh berbuat zina) oleh calon suami;

g) Jika ia perempuan yang pernah bersuami (janda), maka harus atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa siapa pun;

h) Jelas ada orangnya;

3) Wali (Soemiyati, 1982:43) syarat-syaratnya: a) Dewasa dan berakal sehat;

b) Laki-laki; c) Muslim; d) Merdeka; e) Berpikiran baik; f) Adil;

g) Tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah. 4) Dua orang saksi (Syarifudin, 2006:83) syarat-syaratnya:

a) Dua orang laki-laki; b) Beragama Islam; c) Sudah dewasa; d) Berakal; e) Merdeka; f) Adil;

g) Dapat melihat dan mendengar;

h) Faham terhadap bahasa yang digunakan dalam akad nikah; i) Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah.

5) Ijab dan Qabul (Ali, 2006:21) syaratnya:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria; c) Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;

e) Aantara ijab qabul jelas maksudnya;

f) Orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji atau umroh;

g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang, calon mempelai pria atau yang mewakili, wali dari mempelai wanita atau yang mewakili dan dua orang saksi.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Rukun dan syarat sahnya pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam secara keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam agama Islam, karena berasal dari rujukan yang sama pula, yaitu Al-Qur`an dan Hadits. Adapun rukun dan syarat pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dituangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai dengan pasal 38.

Selain itu, dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan tentang syarat sahnya pernikahan, yang berbunyi:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan”.

c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang rukun dan syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi dalam pasal 2 telah dijelaskan bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Pernikahan Dini

1. Pengertian Pernikahan Dini a. Menurut Islam

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang belum baligh.

b. Menurut Undang-Undang

Pernikahan dini adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan UU perkawinan bab 11 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Dengan demikian jika di bawah umur tersebut dinamakan pernikahan dini.

c. Menurut BKKBN

Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah umur yang disebabkan oleh faktor sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, faktor orang tua, faktor diri sendiri dan tempat tinggal.

d. Menurut Para Ahli

Menurut Najlah Naqiyah pernikahan dini adalah pernikahan yang biasanya dilakukan oleh pasangan muda mudi di bawah umur 16 tahun.Dan pada umumnya mereka menikah dikisaran umum 13-16 tahun.

2. Batas Umur Pernikahan

Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab

2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan

Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”.

Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia

untuk laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita 16

(enambelas)tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran

implementasinya masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun

2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”. Ijin ini sifatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/

penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.

Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usianya tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang

menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung.

Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing.

3. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan di Bawah Umur

a. Sebab dari anak

1) Faktor pendidikan

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif.Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

2) Faktor telah melakukan hubungan biologis

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

3) Faktor hamil sebelum menikah

Ini berbeda dari faktor penyebab di atas, karena jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut.Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.

Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi

kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan.

Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan .

b. Sebab dari luar anak

1) Faktor pemahaman agama

Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama.Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu:

“perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua

dilaksanaka.Bahwa perbuatan anak yang saling sms dengan anak

laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat

takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina

2) Faktor ekonomi

Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka

anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran”

kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.

3) Faktor adat dan budaya

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan.Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.

4. Dampak Pernikahan di Bawah Umur

Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak kesehatan, Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan perkawinan. Sebab

perkawinan yang tidak disadari,Mempunyai dampak pada terjadinya perceraian(Lily Ahmad, 2008).

Pernikahan Dini atau menikah usia muda, memiliki dampak negative dan dampak positif pada remaja tersebut. Adapun dampak paernikahan dini adalah sebagai berikut:

a. Dari Segi Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan truma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit dissebuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sedari tidak mengeti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan ( Wajib belajar 9Tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dala diri anak (Deputi, 2008:14).

b. Dari Segi Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor social budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya diangggap pelengkap seks laki-laki saja (Deputi, 2008:15).

c. Dari Segi Kebidanan

Perempuan terlalu mudah untuk menikah di bawah umur 20 Tahun beresiko terkena kangker rahim. Sebab pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang (Dian Lutyfiyati, 2008:34).

d. Dampak Terhadap Hukum

C. Pemerintah Desa

Kepala Desa adalah pemimpin dari desa di Indonesia. Kepala desa merupakan pimpinan dari pemerintah desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat diperpanjangkan lagi untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Kepala desa tidak bertanggung jawab kepada camat, namun hanya dikoordinasikan saja oleh Camat.

1. Tugas kepala desa

Sesuai ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melakasakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

2. Wewenang kepala desa

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, kepala desa berwenang:

a. Meminpin penyelenggaraan pemerintahan desa;

b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa;

c. Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan aset desa;

e. Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa; serta

f. Mengintregasikannya agar mencapai perekonomian skala prduktif

untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat desa;

g. Mengembangkan sumber pendapatan desa;

h. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagaian kekayaan

negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;

i. Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa;

j. Memanfaatkan teknologi tepat guna;

k. Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;

l. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai peraturan perundang-undangan; dan

m. Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Hak kepala desa

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud kepala desa berhak:

a. Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa;

b. Mengajukan rancangan dan menetapkan peraturan desa;

c. Menerima penghasilan tetap setiap bulan tunjangan dan enerimaan

lain yang sah serta mendapat jaminan kesehatan;

d. Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan

e. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya pada perangkat desa.

4. Kewajiban kepala desa

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, kepala desa berkewajiban:

a. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila melaksanakan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta membertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika;

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa;

c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;

d. Menaati dan menegakan peraturan perundan-undangan;

e. Melaksanakan kehidupan demokrasi dan keadilan gender;

f. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntable,

transparan, prfesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;

g. Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku

kepentingan di desa;

h. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

i. Mengelola keuangan dan aset desa;

j. Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Dokumen terkait