• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan kesimpulan dan saran-saran mengenai persoalan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.Kemudian pada bagian akhir dari skripsi adalah daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)

Lembaga Keuangan terdapat dua macam, yaitu Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. Lembaga keuangan bank dalam kegiatan usahanya ada yang menggunakan prinsip syariah dan ada yang secara konvensional, yang konvensional yaitu Bank Umum (BU) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sedangkan yang prinsip syariah yaitu Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Begitu juga Lembaga Keuangan Non Bank ada yang menggunakan prinsip syariah danada yang konvensional. Lembaga keuangan syariah terdiri dari Bank dan Non Bank diantaranya yaitu Asuransi, Pegadaian, Reksa Dana, Pasar Modal, BPRS, dan BMT.

1. Pengertian BMT

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah kepada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti; zakat, infaq

dan shodaqoh. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial (Sudarsono, 2003:84).

Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer karena mengemban misi yang lebih luas, yakni menetaskan usaha

21

kecil.Dalam prakteknya, PINBUK menetaskan BMT, dan pada gilirannya BMT menetaskan usaha kecil.Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat.

Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syariah. Peran BMT sebagai berikut:

a. Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi non syariah. b. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil.

c. Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dan memenuhi dana dengan segera.

d. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata (Sudarsono, 2003:84).

2. Sejarah Berdirinya BMT

Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah, maka muncul usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti BPR Syariah dan BMT yang bertujuan untuk mengatasi hambatan operasionalisasi BMI tersebut.

22

Disamping itu ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serba berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan hanya dipengaruhi dari aspek syiar Islam tetapi juga dipengaruhi oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah saw, “kekafiran itu mendekati

kekufuran” maka keberadaan BMT diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat. Di lain pihak, beberapa masyarakat harus harus menghadapi rentenir atau lintah darat. Maraknya rentenir di tengah-tangah masyarakat mengakibatkan masyarakat semakin terjerumus pada masalah ekonomi yang tidak menentu. Besarnya pengaruh rentenir terhadap perekonomian masyarakat tidak lain karena tidak adanya unsur-unsur yang cukup akomodatif dalam menyelesaikan masalah yang masyarakat hadapi. Oleh karena itu, BMT diharapkan mampu berperan lebih aktif dalam memperbaiki kondisi ini (Sudarsono, 2003:85).

3. Visi dan Misi BMT a. Visi BMT

Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Karena visi ini merupakan cita-cita jangka waktu panjang, maka perumusannya

23

merupakan obyektifitas dan kesungguhan. Titik tekan perumusan visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah (Ridwan, 2006:3).

b. Misi BMT

Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran-berkemajuan, berdasarkan syariah dan ridha Allah. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan menumpukkan laba modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip- prinsip ekonomi islam. Masyarakat ekonomi kelas bawah harus didorong untuk berpartisipasi dalam modal melalui simpanan penyertaan modal sehingga mereka dapat menikmati hasil-hasil BMT. Terdapat kepentingan yang sama dari dua sisi struktur social yang berlawanan, yakni struktur masyarakat berada (orang kaya) dengan struktur masyarakat miskin. BMT akan berperan dalam menjembatani kebutuhan keduannya (Ridwan, 2006:4).

4. Ciri-ciri BMT

Dibandingkan dengan lembaga keuangan syariah lainnya BMT memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Berorientasi bisnis, yaitu memiliki tujuan mencari laba bersama dengan meningkatkan pemanfaatan segala potensi ekonomi

24

yang sebanyak-banyaknya bagi para anggota dan lingkungannya.

b. Bukan merupakan lembaga sosial, tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengelola dana sosial umat, seperti zakat, infaq, sedekah, hibah dan wakaf.

c. Lembaga ekonomi umat yang dibangun dari bawah secara swadaya yang melibatkan peran serta masyarakat disekitarnya. d. Lembaga ekonomimilik bersama antara kalangan masyarakat

bawah dan kecil serta bukan milik perorangan atau kelompok tertentu diluar masyarakat sekitar BMT (Dewi dkk, 2005: 167- 168).

Sedangkan cici-ciri BMT secara khusus ialah sebagai berikut:

a. Staf dan karyawan BMT bertindak aktif-proaktif, tidak menunggu tetapi menjemput bola, bahkan berebut bola baik untuk menghimpun dana anggota maupun untuk ana pembiayaan. Pelayanannya mengacu kepada kebutuhan anggota, sehingga semua staf BMT harus mampu memberikan yang terbaik untuk anggota dan masyarakat.

b. Kantor dibuka dalam waktu tertentu yang ditetapkan sesuai kebutuhan pasar. Sehingga waktu buka kasnya tidak terbatas pada siang hari saja, tetapi dpat saja malam atau sore hari tergantung pada kondisi pasarnya.

25

c. BMT mengadakan pendampingan usaha anggota.

Pendampingan ini akan lebih efektif jika dilakukan secara berkelompok. (Ridwan, 2006:10).

5. Dasar Hukum BMT

BMT didirikan dalam bentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi. Sebelum usahanya, kelompok swadaya masyarakat harus mendapatkan sertifikasi operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri harus pendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM). Berkenaan dengan Koperasi Unit Desa (KUD) dapat mendirikan BMT telah diatur dalam petunjuk Menteri Koperasi yang yang menetapkan bahwa bila disuatu wilayah dimana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan dengan baik dan organisasinya telah teratur dengan baik maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau tempat pelayanan koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik maka KUD yang bersangkutan dapat dioperasikan sebagai BMT. Apabila diwilayah yang bersangkutan belum ada KUD maka dapat didirikan KUD BMT (Ridwan, 2006:25).

Penggunaan badan hukum KSM dan koperasi atau BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU No 7 Tahun 1992 dan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioepasikan untuk menghimpun dan menyalurkan

26

dana masyarakat. Menurut undang-undang pihak yang berhak menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik dioerasikan dengan cara konvensioanal maupun dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian kalau BMT dengan badan hukum KSM atau koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada pemerintah agar BMT dijadikan sebagai BPRS (Badan Perkreditan Rakyat Syariah) dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas (Ridwan, 2006:25).

Pilihan badan hukum koperasi atau BMT harus memperhatikan rencana kerja operasional. Jika BMT diharapkan akan beroperasi secara luas, maka pengesahan badan hukumnya harus menyesuaikan. Terdapat pembatasan wilayah kerja sesuai dengan badan hukum yang dimilikinya dengan pembagian sebagai berikut:

a. BMT Daerah, yaitu BMT yang hanya dapat memberikan pelayanan kepada anggota yang berdomisili dalam satu daerah kabupaten.

b. BMT Propinsi, yaitu BMT yang dapat beroperasi dalam satu propinsi yang mencakup semua wilayah kabupaten-kota yang ada didalamnya.

c. BMT Nasional, yaitu BMT yang dapat beroperasi dalam satu wilayah kenegaraan. BMT iini dapat membuka kantor cabang diseluruh wilayah Indonesia. Badan hukum BMT ini

27

dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Koperasi dan UKM (Ridwan, 2006;26).

Apabila BMT menyatakan dirinya berbentuk koperasi simpan pinjam, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai koperasi, seperti Anggaran Dasar, Keanggotaan dan perangkat organisasi meliputi Rapat anggota, Pengawasan, dan Pengurus.

BMT yang berbadan hukum koperasi harus tunduk pada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.Setiap koperasi yang berdiri harus mendapatkan ijin dari Kementerian Koperasi dan UKM.Oleh karena itu, BMT yang berbadan hukum koperasi berada dalam pengawasan dan pembinaan Kementerian Koperasi dan UKM.

Pada bulan September 2004 Kementerian Koperasi dan UKM mengeluarkan keputusan Kep.Men.Kop & UKM No. 91/Kep/M.KUM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Pada ketentuan peralihan pasal 50 disebutkan bahwa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) / Unit Usaha Simpanan (UUS)-koperasi yang ingin mengubah atau mengkonversikan kegiatan usahanya menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Keuangan Syariah dapat menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sedangkan koperasi yang telah menyelenggarakan kegiatan pembiayaan Pola Syariah, diberikan kesempatan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya

28

keputusan ini, untuk menyesuaikan dan mengikuti segala peraturan yang berlaku dalam keputusan tersebut (Arofah, 2008).

Kemudian pada tahun 2015 dikenal dengan sistem Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) dengan berdasarkan atas Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.

6. Struktur Organisasi BMT

Untuk memperlancar tugas BMT, maka diperlukan struktur yang mendeskripsiksan alur kerja yang harus dilakukan oleh personil yang ada di dalam BMT tersebut. Struktur organisasi BMT meliputi, Musyawaroh Anggota Pemegang Simpanan Pokok, Dewan Syariah, Pembina Manajemen, Manajer, Pemasaran, Kasir, dan Pembukuan.

Adapun tugas dari masing-masing struktur diatas adalah sebagai berikut:

a. Musyawarah Anggota Pemegang Simpanan Pokok memegang kekuasaan tertinggi di dalam memutuskan kebijakan-kebijakan makro BMT.

b. Dewan Syariah bertugas mengawasi dan menilai operasionalisasi BMT.

29

c. Pembina Manajemen bertugas untuk membina jalannya BMT dalam merealisasikan programnya.

d. Manajer bertugas menjalankan amanat musyawarah anggota BMT dan memimpin BMT dalam merealisasikan programnya. e. Pemasaran bertugas untuk mensosialisasikan dan mengelola

produk-prodek BMT.

f. Kasir bertugas melayani nasabah dan pembukuan bertugas untuk melakukan pembukuan atas aset dan omset BMT.

Dalam struktur organisasi standar dari PINBUK, musyawarah anggota pemegang simpanan pokok melakukan koordinasi dengan Dewan Syariah dan Pembina manajemen dalam mengatur kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh manajer. Manajer memimpin keberlangsungan

maal dan tamwil. Tamwil terdiri dari pemasaran kasir dan pembukuan.Sedangkan anggota dan nasabah berhubungan koordinatif dengan maal, pemasaran, kasir dan pembukuan (Sudarsono, 2003:87).

7. Prinsip Operasi BMT

Secara ringkas Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK) pada tahun 1994 menerangkan prinsip dan produk inti BMT sebagai berikut:

30

1. Prinsip dan Produk Inti Baitul Maal

Baitul Maal yang sudah mengalami penyempitan arti di tengah masyarakat ini hanya memiliki prinsip sebagai penghimpunan dan penyaluran dana zakat, infaq, dan shadaqah, dalam arti bahwa Baitul Maal hanya bersifat “menunggu”

kesadaran umat untuk menyalurkan dana zakat, infaq dan shadaqahnya saja tanpa ada sesuatu kekuatan untuk melakukan pengambilan / pemungutan secara langsung kepada mereka- mereka yang sudah memenuhi kewajibannya tersebut, dan seandainya aktif pun hanya bersifat seolah-olah meminta dan menghimbau, yang kemudian setelah itu Baitul Maal

menyalurkanya kepada mereka yang berhak untuk menerimanya (Yunus, 2009: 33)

Dari prinsip dasar diatas dapat kita ungkapkan bahwa produk inti dari Baitul Maal terdiri atas :

a) Produk Penghimpunan Dana

Dalam produk penghimpunan dana ini, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, Baitul Maal menerima dan mencari dana berupa zakat, infaq, dan shadaqah, meskipun selain sumber dana tersebut, Baitul Maal juga menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf serta dana- dana yang sifatnya sosial.

31 b) Produk Penyaluran Dana

Penyaluran dana-dana yang bersumberkan dari dana-dana Baitul Maal harus bersifat spesifik, terutama dana yang bersumber dari zakat, karena dana zakat ini sarana penyalurannya sudah ditetapkan secara tegasdalam al-Qur’an, yaitu kepada 8 (delapan) ashnaf antara lain:

faqir, miskin, amilin, mu’alaf, fisabilillah, ghorimin,

hamba sahaya, dan mushafir. Sedangkan dana diluar zakat dapat digunakan untuk pengembangan usaha orang-orang miskin, pembangunan lembaga pendidikan, masjid maupun biaya-biaya operasional kegiatan sosial lainnya (termasuk di dalamnya untuk kepentingan kafir dzimmi, yang rela dengan pemerintahan Islam).

2. Prinsip dan Produk Inti Baitut Tamwil

Baitut Tamwil tidak jauh berbeda dengan prinsip- prinsip yang digunakan oleh Bank Islam. Ada 3 (tiga) prinsip yang dapat dilaksanakan oleh BMT (dalam fungsinya sebagai

Baitut Tamwil), yaitu: Prinsip bagi hasil, Prinsip jual beli dengan mark-up, dan Prinsip non profit.

a) Prinsip Bagi Hasil

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemodal (penyedia dana) dengan pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini

32

dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpang/penabung). Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah

Mudharabah dan Musyarakah.

b) Prinsip Jual Beli dengan Mark-Up (Keuntungan)

Prinsip ini merupakan suata tata cara jual beli yang dalam pelaksanaanya BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagi penjual, menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin mark-up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi juga kepada penyedia/penyimpan dana. Bentuk produk prinsip ini adalah Murabahah dan Bai’Bitsaman Ajil.

c) Prinsip Non Profit

Prinsip ini disebut juga dengan pembiayaan kebajikan, prinsip ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dana untuk pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya (non cost of money) tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan tersebut diatas. Bentuk produk prinsip ini adalah pembiayaan Qardul Hasan

(Yunus, 2009:36).

Adapun mengenai produk inti dari BMT adalah sebagai Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana.

33 a) Produk Penghimpunan Dana

Yang dimaksud dengan produk penghimpunan dana di sini, berupa jenis-jenis simpanan yang dihimpun oleh BMT sebagai sumber dana yang kelak akan disalurkan kepada usaha-usaha produktif. Jenis simpanan tersebut antara lain:

1. Al-Wadi’ah

Penabung memiliki motivasi hanya untuk keamanan uangnya tanpa mengharapkan keuntungan dari uang yang ditabung.Dengan sistem ini BMT tetap memberikan bagi hasil, namun nisbah bagi penabung sangat kecil.

2. Al-Mudharabah

Penabung memiliki motivasi untuk memperoleh keuntungan dari tabungannya, karena itu daya tarik dari jenis tabungan ini adalah besarnya nisbah dan sejarah keuntungan bulan lalu.

3. Amanah

Penabung memiliki keinginan tertentu yang di aqadkan atau diamanahkan kepada BMT.Missal, tabungan ini dimintakan kepada BMT untuk pinjaman khusus

kepada kaum dhu’afa atau orang tertentu. Dengan

demikian tabungan ini sama sekali tidak diberikan bagi hasil.

34 b) Produk Penyaluran Dana

Produk penyaluran dana dalam hal ini merupakan benuk pola pembiayaan yang merupakan kegiatan BMT dengan harapan dapat memberikan penghasilan. Pola pembiayaan tersebut adalah:

1. Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan modal kerja yang diberikan oleh BMT kepada anggota, dimana pengelola usaha sepenuhnya diserahkan kepada anggota sebagai nasabah debitur.Dalam hal ini anggota (nasabah) menyediakan usaha system pengelolaannya (manajemennya). Hasil keuntungn akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan bersama (missal 70%:30% atau 65%:25%).

2. Pembiayaan Musyarakah

Pembiayaan berupa sebagian modal keseluruhan. Pihak BMT dapat dilibatkan dalam proses pengelolaanya. Pembagian keuntungan yang proporsional dilakukan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.

3. Pembiayaan Murabahah

Pembiayaan yang diberikan kepada anggota untuk pembelian barang-barang yang akan dijadikan modal kerja. Pembiayaan ini diberikan untuk jangka pendek tidak lebih dari 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan

35

atau lebih dari itu. Keuntungan bagi BMT diperoleh dari harga yang dinaikkan.

4. Pembiayaan Bai’ Bitsamnn Ajil

Pembiayaan ini hampir sama dengan pembiayaan Murabahah, yang berbeda adalah pola pembayaran yang dilakukan dengan cicilan dalam waktu yang agak panjang. Pembiayaan ini lebih cocok untuk pembiayaan investasi. BMT akan mendapatkan keuntungan dari harga barang yang dinaikkan.

5. Pembiayaan Al-Qardhul Hasan

Merupakan pinjaman lunak yang diberikan kepada anggota yang benar-benar kekurangan modal kepada mereka yang sangat membutuhkan untuk keperluan- keperluan yang sifatnya darurat. Nasabah (anggota) cukup mengembalikan pinjamannya sesuai dengan nilai yang diberikan oleh BMT (Yunus, 2009:38).

8. Kendala Pengembangan BMT

Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun tidak berlaku sepenuh kendala ini di suatu BMT. Kendala tersebut sebagai berikut:

a. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT.

36

b. Walaupun keberadaan BMT cukup dikenal tetapi masih banyak masyarakat berhubungan dengan rentenir.

c. Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, missalnya nasabah yang bermasalah.

d. BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai lawan yang harus dikalahkan, bukan sebagai partner dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat dari permasalahan ekonomi yang ia hadapi.

e. Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorintasi pada persoalan bisnis (business oriented).

f. Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT memperhatikan besarnya bunga di bank konvensional terutama untuk produk yang berprinsip jual beli (bai).

g. BMT lebih cenderung menjadi Baitul Tamwil daripada Baitul Maal(Sudarsono, 2003 : 93-94).

B. Tinjauan Umum Tentang Dewan Pengawas Syariah

Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS yang ada dan mengawasi masing- masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di maing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi

37

juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di tanah air, menganggap perlu dibentuknya suatu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank- bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN (Antonio, 2001 : 235).

1. Dewan Syariah Nasional (DSN)

Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dibawah Majelis Ulama Indoneia dipimpin oleh ketua umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.

Pembentukan DSN bertujuan untuk mengekplorasi penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian secara umum, dan secara khusus pada sector keuangan, seperti perbankan, asuransi, pegadaian, pasar modal, reksadana dan lain-lain. Menururt Prof. Jaih Mubarok, anggota BPH DSN-MUI, pembentukan DSN berguna untuk melakukan kajian-kajian fiqh muamalah dan menetapkannya menjadi fatwa agar

38

masyarakat dan industri/lembaga bisnis memiliki panduan dalam melakukan bisnis. Dari segi ilmu hukum, DSN-MUI merupakan institusi yang bertugas menjaga dan mengharmoniskan nilai-nilai muamalah dengan nilai-nilai dan praktik bisnis (domain pembuatan hukum).

Untuk menunjang tugas DSN-MUI, diterbitkan Surat Keputusan MUI No. Kep.754/II/1999 tentang tugas pokok DSN, yaitu untuk:

1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian

2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan 3. Mengeluarkan fatwa atas produk keuangan syariah

4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan (Dahlan, 2012:203-204).

Adapun Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.

39

Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh menejemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan.

Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.

Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.

Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai

Dokumen terkait