• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di skripsi yang berisi kesimpulan dan saran untuk Pemerintah.

14

BAB II

SEJARAH HUKUM PENGATURAN PEKERJA HARIAN LEPAS

(GIG WORKER) DI INDONESIA

A. KERANGKA KONSEPTUAL

1. Pengaturan tentang Perjanjian Kerja

Abdullah Sulaiman menguraikan bahwa landasan berpijak hukum perburuhan yang utama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan sosial politik negara mengenai pekerjaan buruh untuk menjamin lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi buruh secara selaras, diatur dalam Pasal 27 ayat (2).1 Maknanya adalah negara menjamin pekerjaan setiap warga negara, dan “negara” wajib memenuhi kebutuhan ekonomi buruh berupa upah kerja yang layak sedangkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 mengandung makna sebagai berikut.2

Pertama, adalah setiap warga negara berhak untuk mendapatkan

pekerjaan dan negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap warga negara, dan pelaksana kenegaraan adalah pemerintah. Sesuai dengan mekanisme yang baku, penyempurnaan konstitusi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan Pemerintah membuat undang-undang. Selanjutnya pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan berada ditangan Presiden bersama pembantunya, yang dalam hal ini termasuk Menteri Tenaga Kerja.

Kedua, pekerja/tenaga kerja/buruh berhak memperoleh penghasilan/upah/gaji penghidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk memberikan penghidupan yang layak kepada rakyatnya. Dasar pelengkapnya ialah Pasal II Aturan Peralihan. Sepanjang belum ada peraturan perundangan-undangan perburuhan, khususnya yang mengatur

1Abdullah Sulaiman, Politik Hukum Buruh RI, (Jakarta: YPPSDM Jkt, 2010), h. 27. 2 Abdullah Sulaiman, Politik Hukum Buruh RI, … , h. 27.

masalah pengupahan, maka yang dipergunakan adalah Burgerlijk Wetboek (BW), atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mulai Pasal 1601-1603 sudah diberlakukan terhdap buruh Eropa (1879) karena mengandung unsur hubungan kerja yang modern, walaupun kepada majikan masih sering disebut meester yang memiliki kekuasaan dan kedudukan tinggi.Buku III, Titel 7 A KUH Perdata yang dibuat di Nederland (1927) diberlakukan di Indonesia khususnya bagi golongan Eropa, menganut asas perlindungan bagi buruh yang masih didasarkan pada sendi liberal, yang tentunya belum dapat memuaskan buruh di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya masalah buruh yang dipekerjakan oleh majikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang memberlakukan pekerjaan secara paksa, perbudakan, pekerjaan rodi, dan pekerjaan dengan sanksi

punale.3

Prinsip perjanjian kerja terkandung dalam KUH Perdata, bahwa pengupahan diawali dengan suatu perjanjian dan kemudian disepakati, tidak ada imbalan-upah bila tidak bekerja (no work no pay) diberikan kepada buruh, dan pemberian penghasilan buruh terhadap diberi kuasa. Tidak ada upah yang harus dibayar selama buruh tidak bekerja atau melakukan pekerjaan yang diperjanjikan (Pasal 1602 b). Buruh masih berhak mendapatkan penghasilan, meski tidak melakukan pekerjaan disebabkan buruh sakit atau kecelakaan, dan lamanya buruh berhalangan berpengaruh pada besarnya upah (Pasal 1602-c sub 6). Hak buruh lain adalah upah ditentukan berdasarkan lamanya waktu yang tersedia bagu buruh melakukan pekerjaan. Tetapi merupakan kesalahan atau kelalaian pengusaha apabila tidak menyediakan pekerjaan terhadap buruhnya sebagaimana telah disepekati sebelumnya (Pasal 1602 d).

a. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja menurut Sudikno Mertokusumo berasal dari kata overeenkomst yang diterjemahkan sebagai perjanjian, sehingga

beliau tidak menggunakan istilah toesteming. Kata toesteming dapat diartikan persetujuan, persesuaian kehendak, atau kata sepakat. Sehingga perjanjian diartikan bahwa suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan menurut Syahmin AK dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.4

Kemudian menurut Ahmadi Miru mengartikan suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.5 Pada pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) telah dinyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.6 Dalam ketentuan tersebut seseorang mengikatkan diri terhadap orang lain, sehingga adanya perjanjian maka menimbulkan suatu kewajiban atau prestasi dari satu pihak dengan pihak lainnya tersebut.

Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan yang terdapat Pasal 1313 KUH Perdata sehingga harus adanya suatu perubahan, yakni sebagai berikut :

1) Kata “mengikatkan diri” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja dan tidak untuk kedua belah pihak. Seharusnya dirumuskan dengan menggunakan kata “saling mengikatkan diri”. sehingga ada

consensus antara pihak-pihak.

2) Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus. Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melanggar hukum

(oonrechtmatige daad). Sehingga kata “perbuatan” terlalu luas

4 Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 140.

5 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), h. 1.

6 Ahmadi Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456

maka harus adanya pembatasan definisi yakni bisa menggunakan kata “persetujuan”.

3) Pendapat ketiga ini sama dengan yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman yakni makna pengertian perjanjian terlalu luas karena mencakup perjanjian yang bersifat personal, hal ini terlihat pada janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki adalah yang bersifat kebendaan (materiil). 7

4) Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 8

Subekti mengartikan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau keduanya saling berjanji untuk melakukan sesuatu.9 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.10

Sebenarnya suatu perjanjian atau kontrak kerja lahir adanya interaksi sosial yang dibuat karena suatu perbedaan kepentingan diantara dua pihak yang berusaha untuk disatukan dengan cara negosiasi dalam mencapai sebuah kepentingan bersama. Sehingga adanya pengaturan pada kontrak, untuk menjamin kepentingan hak dan kewajiban para pihak agar adil dan saling menguntungkan. Dalam perjanjian kerja memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Agar memiliki kekuatan hukum yang sama antara pekerja dengan pemberi kerja

7 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001) h. 65.

8 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 225.

9 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2014), h. 1.

10 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ihktisar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), h. 458.

b. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja 1) Pekerjaan (work)

Pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja adalah unsur pada sebuah perjanjian kerja. Dikarenakan adanya suatu kesepakatan kerja pada kedua belah pihak, maka pekerja terikat kewajiban untuk melakukan pekerjaan. Pasal 1603 KUH Perdata mengaturnya sebagai berikut:

“Buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya dengan sebaikbaiknya. Jika sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan.”

Pada Pasal 1603 ayat a KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.”

Pasal tersebut menyatakan bahwa pekerjaan harus dilakukan sendiri oleh pekerja, dan hanya seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Dikarenakan sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. 2) Perintah (command)

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja atau majikan kepada pekerja karena adanya unsur perintah yang di perjanjikan. Unsur perintah dapat dimaknai luas, misalnya berupa target kerja, instruksi, dan lain-lain. Sehingga seringkali disalah artikan pada hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena pengacara tidak tunduk pada perintah klien. Kewajiban pekerja untuk tunduk pada perintah perusahaan/ majikan ini telah diatur dalam KUH Perdata Pasal 1603

ayat b:

“Buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk perbaikan tata tertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian atau reglemen, atau jika ini tidak ada, dalam batas-batas kebiasaan.”

3) Upah (Pay)

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seseorang bekerja pada pemberi kerja adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Definisi upah berdasarkan Pasal 1 angka 30 dalam UU Ketenagakerjaan adalah:

“Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja /buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Sejalan dengan aturan tersebut ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dalam menetapkan upah untuk pekerja yakni Upah Minimum Provinsi (UMP), struktur dan skala pengupahan, dan lain sebagainya.

c. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

Pembuatan Perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu :

1) Kesepakatan kedua belah pihak, yakni antara para pihak telah diatur pada Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang didefinisikan sebagai persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih

dengan pihak lainnya. Dengan adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri, maka semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan ataupun penipuan.11

2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, yakni pada Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata yaitu kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum yakni kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata yang dimaksud tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: 1) Orang-orang yang belum dewasa; 2) Mereka yang dibawah pengampunan; 3) Perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan tertentu. 3) Pekerjaan yang di janjikan, yakni ditandai dengan adanya prestasi

(pokok perjanjian) yang dijadikan objek perjanjian. Sehingga dikatakan bahwa objek perjanjian harus jelas, dan dapat ditentukan jenisnya.

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keempat Syarat tersebut harus dipenuhi semuanya sehingga dapat dikatakan perjanjian tersebut sah. Syarat kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyakut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan

11Salim. H.S. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 23.

peraturan perundang-undangan yang berlaku disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak terpenuhinya syarat objek maka perjanjian tersebut batal demi hukum artinya pejanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dapat dikatakan para pihak - pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.12

d. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja 1) Bentuk Perjanjian Kerja

Perjanjian menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian lisan dan perjanjian tertulis. Perjanjian lisan adalah perjanjian yang dibuat cukup melalui lisan para pihak atau dengan kesepakatan para pihak. Perjanjian ini dianggap sah karena Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa dengan adanya

consensus maka perjanjian sudah dianggap terjadi. Implementasinya banyak Event Organizer yang menerapkan perjanjian secara lisan, dikarenakan waktu kerja para Pekerja Harian Lepas (gig worker) yang relatif lebih singkat dan tidak memfasilitasi adanya kontrak kerja. Hal ini didukung riset dari sindikasi dan BPS di 3 (tiga) kota pada tahun 2019 yang menyatakan hampir 59% gig worker atau freelancer bekerja tanpa adanya penjanjian atau kontrak kerja yang jelas.13

Kedua, ialah perjanjian tertulis. Adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Perjanjian tertulis

12 Lalu Husni, Pengantar hukum ketenagakerjaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) h. 66. 13 Ellena Ekarahendy. dkk, Mengubur Pundi di Tengah Pandemi: Kerentanan Pekerja Lepas di Tengah Krisis COVID 19, (Jakarta: SINDIKASI, 2020). h. 24.

dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian dalam bentuk akta di bawah tangan dan perjanjian dalam bentuk akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan. Sedangkan akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.14

2) Jangka Waktu Perjanjian Kerja

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ditentukan ada 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya. Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) memiliki syarat kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak melakukan perbutan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan tidak bertentangan dengan norma. Perjanjian ini akan berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas pengusaha yang disebabkan oleh penjualan, pewarisan atau hibah.

Sedangkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan atau disebut sebagai pekerja kontrak. Perjanjian waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Bila jangka waktu sudah habis maka dengan sendirinya terjadi PHK dan para karyawan tidak berhak mendapat kompensasi PHK seperti uang

pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan uang pisah.

e. Berakhirnya Perjanjian Kerja 1) Pembayaran;

Pembayaran dalam Hukum Perjanjian tidak hanya terbatas pada pembayaran sejumlah uang, namun dapat juga setiap tindakan sebagai upaya pemenuhan prestasi. Sebagai contoh, penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu merupakan pemenuhan dari prestasi atau secara tegas disebut “pembayaran”.

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan (consignatie);

Hal ini diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata, bahwa penawaran pembayaran tunai dengan penitipan terjadi apabila dalam suatu perjanjian, kreditur tidak bersedia menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur. Wanprestasi dari pihak kreditur disebut sebagai “mora kreditoris”.15

3) Pembaharuan utang (inovatie);

Pembaharuan utang atau novasi adalah dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan yang baru. Di dalam Pasal 1413 KUH Perdata, diatur dua jenis novasi, yakni novasi pasif dan novasi aktif. Novasi aktif adalah di saat posisi sebagai kreditur yang dinovasikan, sedangkan novasi pasif ialah menovasikan posisi debitur.

4) Perjumpaan utang (kompensasi);

Pasal 1425 KUH Perdata menjelaskan bahwa perjumpaan utang adalah kondisi apabila seseorang berutang, mempunyai juga utang kepada si berpiutang, sehingga kedua orang itu sama-sama memiliki hak untuk menagih piutang satu dengan yang lainnya.

15 Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2016), h. 129.

5) Percampuran utang;

Hal mengenai percampuran utang diatur Pasal 1436 KUH Perdata, bahwa yang dimaksudkan dengan percampuran utang adalah percampuran kedudukan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian sehingga kedudukan sebagai kreditur menjadi satu dengan kedudukan sebagai debitur.16

6) Pembebasan utang;

Pembebasan utang adalah suatu perjanjian baru, dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berutang dari segala kewajibannya. Perikatan utang piutang itu telah hapus karena pembebasan, apabila pembebasan itu diterima baik oleh si berutang. Namun, sebagaimana diatu dalam Pasal 1439 KUH Perdata, bahwa pembebasan utang tidak dapat dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.

7) Tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang;

Yakni telah terjadi suatu keadaan memaksa (force majeur). Sebagaimana diatur dalam Pasal 1444 KUHPerdata, apabila terjadi keadaan seperti ini, maka hapuslah perikatannya.

8) Batal dan Pembatalan;

Dalam Pasal 1446 KUH Perdata dijelaskan bahwa perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap hukum, yaitu orang- orang yang belum dewasa atau yang ditaruh dibawah pengampuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dan bagi perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif maka dapat dibatalkan demi hukum.17

2. Sejarah Perkembangan Pekerja Harian Lepas (Gig Worker) di

Indonesia

Dunia kerja mengalami transformasi pesat berkat perkembangan internet. Disadari atau tidak, peluang dunia kerja saat ini jauh lebih besar

16 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 152. 17 Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, … , h. 147.

dari beberapa dekade silam.18 Dikarenakan sistem penerimaan kerja yang dilakukan secara offline oleh perusahaan, berdampak pada calon pekerja luar daerah sulit untuk menjangkau perusahaan yang dituju. Selain itu, perusahaan akan mengeluarkan banyak biaya pada proses penerimaan kerja yang memakan waktu lama. Dengan kemajuan teknologi yakni melalui internet. Pekerjaan-pekerjaan kontrak jangka pendek sangat mudah didapatkan, dikarenakan didukung oleh beberapa platform yang disediakan oleh freelancer dalam memberikan informasi lowongan pekerjaan.

Kenaikan jumlah minat pekerja dilihat dari data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) per bulan Mei 2019, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 136,18 juta orang, yang terdiri dari jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 129,36 juta orang dan pengangguran sebanyak 6,82 juta orang. Dari 129,36 juta pekerja tersebut, freelance yang masuk dalam kategori pekerjaan informal mengambil porsi 4,55% atau berjumlah sekitar 5,89 juta orang.19

Melonjaknya pekerjaan-pekerjaan kontrak melalui dunia digital dalam jumlah yang besar ini dikenal dengan sebutan gig economy. Wilson menyatakan gig economy merupakan pekerjaan yang dicirikan dengan kontrak dalam jangka pendek atau yang sebelumnya lebih umum dikenal dengan freelance, dimana pekerja diupah berdasarkan jumlah pekerjaan yang dilakukan dalam dunia digital dan pendapatannya tidak bersifat tetap.20

Gig Economy masih sulit untuk didefinisikan, sulit untuk diukur dan sulit juga untuk diinterpretasikan. Terdapat beberapa sudut pandang yang mengartikan bahwa Gig Economy adalah bagian dari perubahan

18 Abdul Hadi, Mengenal ‘Gig Economy’: Dunia Kerja Baru yang Rentan Eksploitasi,

https://tirto.id/mengenal-gig-economy-dunia-kerja-baru-yang-rentan-eksploitasi-eqxU, (diakses pada tanggal 29 April 2020).

19 Badan Pusat Statistik, Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Mei 2019, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2019), h. 125.

20 Dian Fatmawati, M. Falikul Isbah, dan Amelinda Pandu Kusumaningtyas, Pekerja Muda

dan Ancaman Deskilling-Skill Trap di Sektor Transportasi Berbasis Daring, Jurnal Studi Pemuda

umum pekerjaan yang mana cenderung lebih tidak aman dan mengarah ke arah yang eksploitatif dikarenakan pekerjaannya dianggap tidak adanya batasan waktu. Namun di sisi lain, juga terdapat beberapa pandangan yang melihat Gig Economy sebagai salah satu bentuk kerja baru yang punya sifat lebih fleksibel dibanding jenis pekerjaan berdasarkan kontrak.21

Mundur sejenak pada Revolusi Industri Pertama dilihat dari penemuan mesin uap merupakan upaya peningkatan produktivitas yang terjadi pada abad ke-18. Misalnya di Inggris, saat itu perusahaan tenun menggunakan mesin uap untuk menghasilkan produk tekstil.22 Kemudian Ciri khas Revolusi Industri Kedua yakni ditemukannya tenaga listrik. Sebelumnya, proses produksi sudah tidak banyak menggunakan tenaga otot. Dikarenakan pabrik pada umumnya telah menggunakan tenaga mesin uap ataupun listrik. Namun kendala lain ditemukan dalam proses produksi, yakni sektor transportasi. Hingga akhirnya pada tahun 1913, Revolusi Industri Kedua dimulai dengan menciptakan lini produksi atau Assembly

Line yang menggunakan ban berjalan atau conveyor belt.23 Indonesia mendapatkan dampak positif atas perubahan ini. Mengutip dari situs web Tirto.id, Menperin Airlangga Hartarto menyatakan pada fase ekonomi ini beberapa industri di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan, seperti sektor agro dan pertambangan. Sehingga revolusi yang kedua ini terkait dengan teknologi di lini produksi.24

Pada Revolusi Industri Ketiga yang digantikan adalah manusianya, yakni penemuan mesin yang bergerak secara otomatis dengan mengunakan

21 “To gig or not to gig? Stories from the Modern Economy Survey Report”, Chartered

Institute of Personnel and Development (CIPD), Maret 2017, https://www.cipd.co.uk/Images/to-gig-or-not-to-gig_2017-stories-from-the-modern-economy_tcm18-18955.pdf, (diakses pada tanggal 7 Januari 2020), h. 2.

22 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, Industri 4.0 Menciptakan Efisiensi

Produksi dan Profesi Baru, https://kemenperin.go.id/artikel/19094/Industri-4.0-Ciptakan-Efisiensi-Produksi-dan-Profesi-Baru, (diakses pada tanggal 29 April 2020).

23 Listhari Baenanda, Sejarah dan Perkembangan Revolusi Industri, https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/sejarah-dan-perkembangan-revolusi-industri/, (diakses pada tanggal 29 April 2020).

24 Yantina Debora, Sejarah Revolusi Industri dari 1.0 hingga 4.0, https://tirto.id/sejarah-revolusi-industri-dari-10-hingga-40-dhhu, (diakses pada tanggal 29 April 2020).

komputer dan bantuan robot. Proses Revolusi Industri ini, dikaji dari cara pandang sosiolog Inggris David Harvey sebagai proses pemampatan ruang

Dokumen terkait