• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fedelis, Tuntutan Penuntut Umum, serta Putusan Hakim Nomor : 111/Pid.Sus/2017/PnSag.

BAB IV ULTRA PETITA HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NOMOR : 111/PID.SUS/2017/PNSAG

Analisis yang dihadirkan dalam bab ini berupa gabungan pemikiran antara Bab II dan Bab III mengenai Ultra Petita Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan (Studi kasus : Putusan Nomor : 111/Pid.Sus/2017/PnSag) serta membahas mengenai Analisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor : 111/Pid.Sus/2017/PnSag serta Ultra Petita dalam Putusan Pengadilan Nomor : 111/Pid.Sus/2017/PnSag.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian. Kesimpulan merupakan hasil penyederhanaan dari analisis data yang telah didapatkan serta hasil pembuktian maupun uraian yang dideskripsikan pada bab sebelumnya yang berkaitan dengan pokok masalah.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI ULTRA PETITA DAN KEWENANGAN HAKIM MENJATUHKAN PIDANA DALAM ULTRA

PETITA

A.

Kerangka Konseptual 1. Ultra Petita

Ultra Petita adalah penjatuhan vonis atau putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan tuntutan melebihi apa yang diminta oleh Jaksa Penuntut Umum. Ultra Petita menurut I.P.M.Ranuhandoko dalam buku Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana adalah melebihi yang diminta.1 Yahya Harahap turut mendefinisikan Ultra Petita sebagai hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi atau diluar dari apa yang di tuntut.2 Ketentuan ini berdasarkan H.I.R Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), serta RBg Pasal 189 ayat (2) dan (3) Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura gge (RBg), yang melarang seseorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (Petitum).3

a. Jenis Putusan Ultra Petita

1) Putusan yang dijatuhkan pengadilan melebihi jangka waktu proses pidana yang diprakarsai oleh Jaksa. Hakim sebenarnya bisa menjatuhkan hukuman yang melebihi ketentuan Jaksa, dengan syarat hakim memberikan hukuman dengan maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

2) Putusan pengadilan yang memutuskan untuk menghukum terdakwa, tetapi tidak berdasarkan ketentuan yang dituntut oleh Jaksa. Putusan majelis yang ekstrim ini bertentangan dengan

1 Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana, (Yogyakarta : Jurnal Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana, 2017), h.3.

2Yahya Harahap, Hukum Acara Pidana Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h.801.

3 Haposan Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang,

ketentuan Pasal 182 ayat (4) Undang - Undang Acara Pidana yang menetapkan bahwa pertimbangan hakim harus berdasarkan dakwaan, dan semuanya harus dibuktikan di pengadilan. Hakim harus mengambil keputusan berdasarkan Surat dakwaan diajukan oleh Jaksa dan tidak mencari barang lain yang tidak ada hubungannya dengan perilaku terdakwa.

3) Putusan Pengadilan yang memvonis terdakwa terbukti melakukan kesalahan dan tindak pidana sesuai yang didakwakan penuntut umum dan kemudian Majelis memvonis hukuman dengan ancaman maksimal atau dibawah ancaman minimum.4 b. Putusan Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana

Putusan Ultra Petita yang dilarang, dalam hukum acara pidana, yaitu :

1) Putusan hakim yang dijatuhkan tidak termasuk dalam klausul/pasal yang didakwakan oleh jaksa. Hal seperti ini tentu tidak boleh terjdi karena akan menimbulkan rasa ketidakadilan, sebab terdakwa dinyatakan bersalah dan divonis pidana atas perbuatan yang sama sekali tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Keputusanyang demikian juga akan merugikan terdakwa karena terdakwa tidak dapat melakukan pembelaan untuk mempertahankan hak-haknya di persidangan. Aturan Hukum Acara Pidana Pasal 182 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sangat terang mengatur bahwasannya hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat dakwaan, dan dnegan adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim diluar pasal yang tidak didakwakan olehh Jaksa Penuntut Umum telah bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP.

12

2) Putusan pidana hakim yang dijatuhkan melebihi atau dibawah ancaman maksimum dan minimum yang tertuang dalam pasal undang-undang hukum pidana yang dipergunakan oleh jaksa penuntut umum dalam dakwaannya. Perlu dicermati meskipun hakim memiliki kebebasan dalam proses penjatuhan putusan, namun kewenangan hakim tentulah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Telah ditentukan pula dalam peraturan perundang-undangan hakim dalam menjatuhkan putyusan pemidanaan tidak boleh melebihim anvaman maksimum dan kurang dari ancaman minimum, dan apabila hakim melanggar maka hakim dianggap telah melampaui batas kewenangannya.5 Dengan adanya jenis-jenis putusan Ultra Petita ini dapat memberikan gambaran secara general tentang bagaimana pengertian ultra petita.

2. Kewenangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan di Luar Tuntutan Jaksa

Acuan majelils hakim di dalam menjatuhkan putusan atas suatu perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntan. Penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya bergantung pada penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap semua bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya sesuai dengan pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Sebenarnya putusan majelis hakim yang melebihi tunturan Jaksa secara normative, tidaklah melanggar hukum acara pidana. Sehingga majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum.

Pada prinsipnya, hakim bebas dan mandiri dalam menentukan hukuman. Tetapi tetap ada batas-batas yang mengatur agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan aturan-aturan tersebut haruslah dipatuhi. Dalam praktiknya, hakim sudah berkali-kali menjatuhkan vonis penjara lebih tinggi dari yang dituntut Jaksa. Bahkan selain kurungan atau penjara, majelis hakim beberapa kali menaikkabn jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa.6

Adalah kewenangan daripada seorang kami memutus suatu perkara sesuai dengan fakta yang hadir dipersidangan dan keyakinannya memberikan putusan pemidanaan melebihi apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum apabila memang benar-benar dirasa adil dan rasional. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan yang diberikan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sesuai denga napa yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Hakim dapat menjatuhkan putusan melebihi tuntutan jaksa asal tidak melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang - Undang.7

3. Kewenangan Hakim Dalam Memberikan Putusan Sesuai Dengan Unsur-Unsur Dalam Undang-Undang

Pada perkara pidana pelaksanaan penegakan hukumnya diatur dalam KUHAP, seperti pada pasal 183 KUHAP menjelaskan jika hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, seperti alat bukti dalam pasal 184:

a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat;

6 Muhammad Yasin, “Batasan Ultra Petita dalam Putusan Perkara Pidana”, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59127a57206a8/batasan-iultra-petita-i-dalam-putusan-perkara-pidana/, (diakses pada tanggal 20 Januari 2021)

7 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. (Jakarta : Kencana. 2016), h. 67.

14

d. Petunjuk;

e. Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

Proses peradilan yang disajikan merupakan serangkaian dari penegakan hukum yang kita kenal dengan pembuktian, dimana bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan harus saling berkaitan satu-sama lain. Proses peradilan yang bebas dan tidak memihak selaras dengan kekuasaan kehakiman yang memiliki kebebasan dalam melakukan penegakan hukum.

Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif,yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau kejadian atau kesalahan yang dianggap telah terbukti, selain dengan adanya alat bukti sesuai undang-undang juga diisi dengan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Ada tiga jenis esensi yang terkandung di dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu :

1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan.

2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.

3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan kewajiban dan fungsi yudisialnya,8

Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan susuan majelis sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali undang-undang mengatur lain. Hal ini sesuai dengan pasal 11 peraturan perundang-undangan. Majelis hakim terdiri atas tiga orang. Yaitu terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Untuk perkara pidana wajib pula hadir seorang penuntut umum, kecuali disebutkan lain dalam undang-undang. Putusan pemidanaan diambil berdasarkan sidang

8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h.103-104.

permusyawaratan, setiap hakim diharuskan menyampaikan pertimbangan atau pendapat dan pandangan tertulis terhadap perkara yang diperiksa, hal ini sesuai pula dengan Pasal 14 ayat (1).

4. Aturan dalam Membuat Pertimbangan Putusan Hakim

a. Pengertian Pertimbangan Majelis Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang ex aequo et bono (mengandung keadilan) dan mengandung kepastian hukum, serta mengandung kemanfaatan hukum bagi semua pihak yang berkaitan sehingga segala pertimbangan hakim harus didikapi dengan cemat, teliti, baik, dan hati-hati. Apabila putusan hakim tidak cermat, teliti, dan baik maka putusan hakim tersebut dapat di batalkan oleh pengadilan Tinggi Mahkamah Agung.9

Pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam pemeruiksaan suatu perkara, karena hasil dari pembuktian tersebut nantinya akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memeutus suatu perkara. Tujuan penting dalam tahap pembuktian dari suatu persidangan adalah untuk Hak Pengelolaan seluas 152.198 m2 di Jalan Boelevard Green Pramuka City mendapatkan kepastian bahwa suatu peristiwa yang dipersoalkan itu benar-benar terjadi, supaya tercapai keadilan dalam putusan hakim. Sebelum terlihat hubungan hukum yang pasti terhadap suatu perkara, maka hakim tidak dapat menjatuhkan putusan.10

Pertimbangan dalam putusan majelis hakim juga harus mengandung:

9 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cetakan ke- V, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h. 140.

10Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cetakan ke-V, … , h.141.

16

1) Inti persoalan dan butir-butir yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

2) Memuat Analisa yuridis atas segala putusan yang mengandung semua fakta yang terungkap dan terbukti benar di dalam persidangan.

3) Kesimpulan yang mengandung penjelasan semua detil petitum penggugat yang harus dipertimbangkan dan diadili secara satu demi satu yang menjadi sebab mengenai terbukti atau tidak terbukti dan Kabul atau tidak kabulnya tuntutan tersebut dalam amar putusan. b. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasar kepada teori dan hasil penelitian yang saling bertaut agar mendapatkan hasil penelitian yang yang maksimal dan seimbang baik tataran teori maupun paraktek. Putusan Hakim adalah salah satu usaha untuk mendapatkan kepastian hukum karena putusannya dijadikan tolak ukur dalam mencapai kepastia hukum dan karena hakim sebagai salah satu tokoh penting aparat penegak hukum.

UUD 1945 Bab Sembilan Pasal 24 dan 25 juga Undang-Undang No 48 Tahun 2009 mengatur mengenai pokok kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menjamin adanya kekuasaan kehakiman yang bersifat bebas. Secara tegas pula telah termuat dalam Pasal 24 ayat (1). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1), yakni kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka dengan tujuan menyelenggarakan peradilan guna membantu penegakkan hukum serta keadilan berdasarkab Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar terselenggara Negara Hukum RI.11

11 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama cetakan ke-V, … , h.142.

Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai kebebasan dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial sehingga disebut juga kekuasaan yang merdeka, kecuali diatur lain menurut Undang-Undang. Putusan Hakim harus mencerminkan rasa keadilan dan menegakkan hukum berdasarkan Pancasila, sehingga kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidak bersifat mutlak.Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi.12

Impartial Judge atau hakim yang tidak memihak dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yang dimaksud dengan tidak memihak harus tidak harfiah, karen pada parkteknyna Ketika hakim menjatuhkan putusan, hakim harus memihak yang benar dan hal tersebut tidak termasuk berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Atau lebih tegas lagi dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.13

Hakim diharuskan untuk menegakkan hukum dan keadilan serta tidak memihak. Dalam memberikan keadilan seorang hakim wajib menelaah terlebih daulu tentang fakta yang diajukan, baru kemudian hakim membrikan penilaian terhadap kejadian tersebut dan menghubungkannya dengan peratura hukum yang berlaku. Barulah kemudian hakim dapat menjatuhkan putusan pada perkara tersebut.

Pada Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang

12 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 94

18

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal tersebut dikarenakan hakim sebgaai aparat penegak hukum dianggap tahu akan segala hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan padanya.

Dalam penemuan hukum hakim diizinkan untuk melihat yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang cukup dipercaya karen ahakim dalam memutuskan suatu perkara dan memberika pertimbangan hukum tidak hanya berdasar pada nilai-nilai hukum materiil semata namun juga harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebagaimana sejalan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nlai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

B. Kerangka Teori

1) Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. 14 Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bias dijawab secara normatif, bukan sosiologi.

Kepastian hukum mengandung arti bahwa seorang hakim dalam memvonis tidak boleh melebihi aturan yang didalamnya mengatur ancaman hukuman atas sebuah tindak pidana. Dalam kasus Fidelis ini Jaksa mengajukan tuntuan dengan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau

14 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010), h.59.

menyediakan narkotika golongan I berbentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000 (delapan ratus juta) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000 (delapan milyar rupiah).

Perbuatan seperti menanam, memiliki, memelihara, menyimpan, menguasai,atas menyediakan narkotika golongan I berbetuk tanaman yang beratnya melebihi satu kilogram arau lebih dari lima batang pohon, maka pelaku dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama dua puluh tahun serta pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sepertiga. Maka Majelis Hakim dalam memutus perkara ini dapat dikatakan mengandung kepastian hukum apabila tidak melebih ancaman maksimal diatas.

Kelsen berpendapat bahwa hukum merupakan sistem norma. Dimana norma merupakan kalimat yang mempertegas aspek “seharusnya”/das sollen, yang menyertai beberapa peraturan mengenai hal-hal apa yang harus dilakukan. Peraturan perundang-undangan yang memuat aturan-aturan bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat. Semua aturan itu menjadi pedoman dan Batasan bagi warga negara dalam melakukan Tindakan terhadap individu juga dengan adanya aturan tersebut pelaksanannya akan memberikan sebuah kepastian hukum.15

Dari sisi normatif kepastian hukum tercapai Ketika suatu aturan dibuat dan diundangkan dengan pasti dan mengatur secara jelas juga logis. Jelas artinya tidak menimbulkan keraguan atau ambigu atau multi tafsir dan logis. Jelas artinya aturan tersebut menjadi sebuah sistem norma danberkesinambungan dengan norma lain sehingga tidak menimbulkan konflik antar norma yang ada.16

15 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2008) h.158.

16Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta : Jala Permata, 2009), h. 385.

20

2. Asas legalitas

Kata “asas” memiliki beberapa makna, salah satunya yakni kebenaran sebagai tumpuan berpikir/berpendapat, yang berarti pula alas/ landasan seseorang berpikir atau melakukan sesuatu. Apabila kata tersebut dikaitkan maka definisi asas merupakan kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan seseorang dalam berpikir atau alasan berpendapat terutama dalam Tindakan hukum. Keadilan adalah sebuah legalitas, setidaknya itu yang disampaikan Hans Kelsen yang mana sebuah aturan umum dikatakan adil jika dijalankan sebagaimana aturan yang tertulis.17

Asas Legalitas ini bertujuan untuk mengetahui ketika majelis hakim menjatuhkan vonis mengacu pada undang-undang dan pasal - pasal yang sudah sesuai atau belum. Begitu juga dengan Jaksa ketika menjatuhkan dakwaan dan tuntutan. Asas ini juga menegaskan bahwasannya seseorang hanya boleh dihukum berdasarkan hukumnya. Dalam penelitian ini majelis hakim menjatuhkan vonis telah sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menyebutkan Fidelis Arie S sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan sebuat tindak pidana tanpa hak serta melawan hukum menggunakan narkotika dengan jenis golongan I untuk orang lain sebagai mana tercantum dalam Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Legalitas meruapakan asas yang menjadi tiang utama dari Hukum Pidana, sebagaimana tersurat dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang hukum pisana yang dirumuskan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana apabila tiada suatu hukum yang mengaturnya. Apabila setelah perbuatan dilakukan ada peubahan dalam peraturan perundang-undangannya, maka yang digunakan adalah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.18

17Moejianto, Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), h.27.

C. Ketentuan Hukum Islam terhadap Narkotika

Hukum Islam yang disyariatkan Allah bertujuan untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan manusia baik individu maupun dengan masyarakat. Sehingga narkotika dikategorikan ke dalam suatu benda yang dapat menghilangkan akal pikiran dan digaris bawahi bahwa benda tersebut hukumnya haram. Sebab salah satu ‘illat diharamkannya benda itu adalah memabukkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi yang menyatakan “Setiap yang memabukkan adalah khammar dan setiap khammar adalah haram.

Sebagaimana kaidah fikih pada umumnya, kaidah ini pun berlandaskan beberapa ayat dari Alquran. Diantaranya:

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.” [QS.Al-An’am:119]

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula malampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyanyang”. [QS. Al-Baqarah 173]

Berdasarkan kaidah tersebut secara tidak langsung adanya suatu keadaan darurat yang secara bahasa diartikan mendesak dan sangat dibutuhkan. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang dilarang. Sehingga, hal-hal yang dilarang dalam syariat

22

boleh dilakukan jika ada kebutuhan yang mendesak. Yaitu sebuah keadaan yang mana apabila ia tidak melakukan hal yang diharamkan tersebut, ia bisa mati.19

Hal tersebut sejalan dengan penerapan kaidah dalam kehidupan sehari-hari, yakni:

1. Seorang dokter boleh menyingkap sebagian aurat pasiennya jika memang pengobatan tidak bisa dilakukan kecuali dengannya;

2. Bolehnya seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa; 3. Bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis jika tidak terdapat obat

selainnya. Contohnya narkotika;

4. Bolehnya membunuh perampok jika hanya dengan cara itu ia bias menyelamatkan diri, keluarga dan hartanya.

Tidak setiap keadaan darurat seperti 4 (empat) hal di atas diperbolehkan sesuatu hal yang sejatinya telah diharamkan. Ada syarat dan ketentuan darurat, diantaranya:

1) Darurat tersebut benar atau diprediksi kuat akan terjadi, bukan sebuah praduga maupun asumsi; Contohnya ada seorang musafir di tengah perjalanan merasa lapar. Padahal sorenya dia akan sampai ditempat tujuan. Sehingga keadaan tersebut tidak diperbolehkannya mencuri dengan suatu alasan akan mati dan keadaan mendesak. 20

2) Tidak ada pilihan lain yang bisa menghilangkan mudarat tersebut; Contohnya seorang Musafir yang sedang kelelahan dan lapar kemudian ditengah perjalanan melihat bangkai sapi tergeletak. Maka ia tidak boleh memakan bangkai tersebut.

3) Kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukan hal tersebut karena dikhawatirkan kehilangan nyawa atau anggota badannya;

19 Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih Ahkam fi Bulugh

al-Maram. Dar alQiblah li atas-Tsaqafah al-Islamiyah, (Jeddah: KSA Cetakan ke-1, jilid ke-1), h.

80. Terjemahan

20 Roni Nuryusmansyah, Dalam Kondisi Darurat Hal yang Terlarang Diperbolehkan, https://muslim.or.id/19369-dalam-kondisi-darurat-hal-yang-terlarang-dibolehkan.html, (diakses pada tanggal 22 Maret 2021).

4) Keharaman yang ia lakukan tidaklah menzalimi orang lain; Jika seseorang dihadapkan dua pilihan antara mencuri atau memakan bangkai. Maka hendaknya Ia memilih memakan bangkai. Karena mencuri termasuk perbutaan yang menzalimi orang lain. Kecuali jika tidak ada pilihan selain memakan harta orang lain tanpa izin, maka diperbolehkan dengan syarat ia harus tetap menggantinya.

5) Tidak melakukannya dengan melewati batas. Cukup sekedar yang ia

Dokumen terkait