• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang menjadi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan Agung

a. Pengertian Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan yang semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).

Kejaksaan menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun

commit to user

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan sehingga

lembaga kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),

karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan

satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain

berperan dalam perkara pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan undang-undang (http://kejaksaan.go.id/tentang _kejaksaan.php?id=1) >[29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimaksud dengan:

1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sebenarnya cukup dirumuskan dalam satu pasal dengan menggabungkan rumusan-rumusan tadi sehingga berbunyi : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagi penuntut umum

commit to user

serta melaksanakan ”penetapan” dan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,2009:354).

b. Susunan Kejaksaan

Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan Negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan Negeri. Cabang Kejaksaan Negeri dibentuk

dengan Keputusan Jaksa Agung (http://kejaksaan.go.id/tentang_

kejaksaan. php?id=7> [29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.

c. Wewenang Kejaksaan

Kejaksaan mempunyai wewenang meliputi bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban umum. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

1) melakukan penuntutan;

2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

commit to user

5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan;

6) pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;

3) pengawasan peredaran barang cetakan;

4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

1) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

2) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;

commit to user

4) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

5) dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

6) mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Pengertian Penuntut Umum

Pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang terdiri dari tiga Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan diatur dalam Bab XV, dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Pengertian penuntut umum tersebut tertuang dalam Pasal 1 butir 6 dan Pasal 13 KUHAP.

Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

e. Wewenang Penuntut Umum

Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 14 KUHAP yaitu sebagai berikut:

1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

commit to user

2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4) membuat surat dakwaan;

5) melimpahkan perkara ke pengadilan;

6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

7) melakukan penuntutan;

8) menutup perkara demi kepentingan hukum;

9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10)melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa penuntut umum berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

f. Penghentian Penuntutan

Penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik

commit to user

persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP).

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Misalnya, berkas perkara yang hasilnya sudah lengkap tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) atau hak menuntut telah gugur karena kadaluarsa berdasarkan Pasal 78 KUHP atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua

kalinya berdasar asas ne bis idem (Pasal 76 KUHP). Perihal yang demikian

maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut ditutup demi hukum dan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP model P-26) sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2). Di samping itu, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan berdasarkan alasan karena tidak cukup bukti atau perkara tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali

a. Pengertian Peninjauan kembali

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap (in krach van guwijsde). Peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII

KUHAP mengenai upaya hukum luar biasa Bagian Kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

commit to user

Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut mempunyai landasan mengenai asas pokok peninjauan kembali yang mana kesatuannya tidak bisa dipisahkan :

1) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

pemidanaan saja;

2) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

3) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana

atau ahlinya saja.

b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan

Kembali

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :

1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap (in krach van guwijsde) peninjauan kembali dapat

dimintakan kepada Mahkamah Agung. Apabila belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka peninjauan kembali tidak dapat diajukan kepada Mahkamah Agung.

2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan.

Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dimintakan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya pengajuan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi putusan pengadilan. Hal tersebut maksudnya yaitu dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, asalkan putusan pengadilan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

commit to user

3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1)

KUHAP yakni terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas

dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Kedua jenis

putusan tersebut tidak dapat dimintakan peninjauan kembali, hal ini dimaksudkan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.

c. Pihak yang dapat Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusuan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi, jika yang mengajukan pemintaan peninjauan kembali itu terpidana kemudian sebelum peninjauan kembali itu diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, maka dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP telah mengatur bahwa hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali diteruskan oleh ahli warisnya. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “hak substitusi” dari terpidana (M. Yahya Harahap,2006:617).

d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

1) Apabila terdapat keadaan baru

Landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah

commit to user

landasan untuk mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat :

a) jika keadaan baru itu ditemukan atau diketahui dan

dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

b) jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung,

dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima;

c) dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan

dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

Agar permintaan peninjauan kembali diterima dan dibenarkan Mahkamah Agung, maka keadaan baru tersebut harus memenuhi 4 (empat) syarat alternatif, yaitu (Adami Chazawi,2010:68):

a) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan pembebasan;

b) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala

tuntutan hukum;

c) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan tuntutan penuntut

umum tidak dapat diterima, dan

d) syarat-syarat untuk dapat diterapkannya ketentuan pidana yang

lebih ringan.

2) Apabila dalam pelbagai putusan saling ada pertentangan

Alasan ini digunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat :

commit to user

b) kemudian tentang pernyataan terbuktinya hal atau keadaan itu

dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara;

c) akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang

dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

3) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan

Alasan ini dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila putusan terdapat dengan jelas atau pun terlihat dengan nyata yakni : kekhilafan hakim, atau kekeliruan hakim.

Hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan bisa terjadi dalam semua tingkat pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan dari tingkat banding maupun kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah.

e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali

Berdasarkan Ilmu Hukum Acara Pidana maka pengajuan peninjauan kembali harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan KUHAP. Kedua syarat ini memerlukan pemahaman yang saksama.

Syarat formil bagi pengajuan peninjauan kembali adalah:

1) adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap;

2) putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan

commit to user

3) diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;

4) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara

tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 264 ayat (1) KUHAP);

5) terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan

kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).

Syarat-syarat materiil pengajuan peninjauan kembali yang merupakan dasar atau alasan pengajuan peninjauan kembali yang ditentukan undang-undang sebagai berikut:

1) adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah

diajukan dalam pemeriksaan perkara;

2) adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling

bertentangan;

3) adanya kekeliruan/kekhilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)

KUHAP) (Leden Marpaung,2000:74 ).

Tata cara pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP. Tata cara pengajuan kembali jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tata cara mengajukan permohonan kasasi. Adapun tata cara pengajuan permohonan pengajuan peninjauan kembali sebagai berikut :

1) Permintaan diajukan kepada panitera

Pemohon mengajukan permintan peninjauan kembali pada panitera pengadilan negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama yang selanjutnya akan diteruskan ke Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali pada prinsipnya yaitu sebagai berikut :

a) diajukan secara tertulis;

b) serta menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari

commit to user

c) boleh juga diajukan secara lisan, maksudnya adalah apabila

pemohon tidak memahami hukum maka permintaan peninjauan kembali yang secara lisan tadi akan dituangkan dan dirumuskan panitera dalam bentuk surat permintaan peninjauan kembali.

2) Panitera membuat akta permintan peninjauan kembali

Panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan

permintanan peninjauan kembali mencatat dalam sebuah surat keterangan yang lazim juga disebut “akta permintaan peninjauan kembali”. Akta atau surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

3) Tenggang waktu mengajukan permintaan peninjauan kembali

Pasal 264 ayat (3) KUHAP telah mengatur mengenai tenggang waktu dalam pengajuan peninjauan kembali. Ketentuan ini menetapkan bahwa permintaan peninjauan kembali “tanpa batas waktu”. Tidak ada batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri

1) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa

Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan penunjukan hakim yang bertindak melakukan pemeriksaan. Hakim yang ditunjuk untuk memimpin sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali adalah hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan semula.

2) Obyek pemeriksaan sidang

Pasal 265 ayat (1) KUHAP, pemeriksan sidang difokuskan kepada alasan permintaan peninjauan kembali. Alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali itulah hakim mengarahkan pemeriksaan sidang, tidak diperkenankan memeriksan hal-hal yang berada di luar alasan permintaan peninjauan kembali.

commit to user

3) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum

Ketentuan Pasal 265 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan pemeriksaan sidang tentang permintaan peninjauan kembali, dihadiri oleh pemohon, jaksa penuntut umum, dan mereka yang menyampaikan pendapat.

4) Berita acara pemeriksaan

Pemeriksan sidang permintaan peninjauan kembali dibuat dalam “berita acara” sidang yang mana ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera.

5) Berita acara pendapat

Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan.

6) Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung

Hal-hal yang harus dikirimkan Ketua Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung adalah :

a) surat permintaan peninjauan kembali;

b) berkas perkara semua selengkapnya, termasuk berita acara

pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang, segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;

c) berita acara pendapat.

g. Putusan Peninjauan Kembali

commit to user

Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan permintaan peninjauan kembali “tidak dapat diterima”. Putusan ini dijatuhkan berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :

a) permintaan diajukan oleh pihak yang tidak berhak;

b) surat permintaan memenuhi ketentuan Pasal 266 ayat (1)

KUHAP.

2) Putusan menolak permintaan peninjauan kembali

Putusan penolakan permintaan dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal :

a) alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan

kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, maksudnya alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan pasal tersebut sehingga ditinjau dari segi formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2);

b) secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau

novum”;

c) tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai

keputusan;

d) putusan tidak mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.

3) Putusan yang membenarkan alasan pemohon

Menurut ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan permintaan peninjauan kembali putusan Mahkamah Agung yang mengiringi pembenaran terebut:

a) putusan bebas;

b) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

commit to user

d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya Peninjauan Kembali

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP, yang menegaskan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Akan tetapi, Mahkamah Agung diperbolehkan memberikan hukuman lebih ringan daripada hukuman semula.

2) Permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan

putusan.

Peninjauan kembali tidak merupakan alasan untuk menghambat atau menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjuan kembali berjalan terus namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus.

3) Permintaan peninjuan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan permintaan peninjauan kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja. Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi untuk kepentingan umum.

3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

a. Pengertian Praperadilan

Praperadilan adalah lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri terlepas dari Pengadilan Negeri karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada

Dokumen terkait