• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG

DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN

PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA

AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT

PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Oleh

Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 18 Januari 2011

Dosen Pembimbing I

Edy Herdyanto, S. H, M. H

NIP. 1957291985031002

Dosen Pembimbing II

Muh. Rustamaji, S. H, M.H

(3)

commit to user PENGESAHAN PENGUJI

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA

AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT

PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Oleh

Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 18 Januari 2011

DEWAN PENGUJI

1.Bambang Santoso, S.H., M.Hum : ... NIP. 196202091989031001

Ketua

2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. : ... NIP.198210082002005011001

Sekretaris

3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 1957291985031002

Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum

(4)

commit to user PERNYATAAN

Nama : Juni Panto Susilo

NIM : E0006150

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

Tinjauan Argumentasi Legalitas Dan Kewenangan Jaksa Agung dalam

Mengajukan Peninjauan Kembali Berkait Putusan Praperadilan Kasus Bibit

dan Chandra adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya

dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam

daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan

hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Januari 2011

yang membuat pernyataan

Juni Panto Susilo

(5)

commit to user ABSTRAKS

Juni Panto Susilo. E0006150. TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra oleh Kejaksaan Agung. Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasus praperadilan Bibit dan Chandra karena ingin mempertahankan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk menutup perkara tersebut. Padahal ada alternatif lain untuk

mengesampingkan perkara yaitu dengan deponering.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif bersifat perskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deduksi, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor. Dari kedua

premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dihasilkan simpulan. Kesatu, jaksa mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra merupakan suatu tindakan yang tidak legal karena tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Kedua, jaksa tidak berwenang untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan kasus praperadilan kasus Bibit dan Chandra hal ini melanggar Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2005. Jaksa melakukan sebuah terobosan hukum yang justru membuat ketidakpastian hukum.

(6)

commit to user ABSTRACS

Juni Panto Susilo. E0006150. THE OVERVIEW OF LEGALITY ARGUMENTATION AND GENERAL ATTORNEY AUTHORITY IN THE FILLING OF REVIEW RELATED TO THE PRETRIAL VERCIT OF BIBIT AND CHANDRA CASES. Faculty of Law University of Sebelas Maret Surakarta.

The aim of this research to determine the legality and authority of prosecutors in filing pretrial review of the decision relates Bibit and Chandra by the Attorney General. Prosecutors proposed a judicial review against the decision of the case of pretrial Bibit and Chandra because they wanted to maintain the Letter of Termination of Prosecution Assessment issued by the Attorney General to close the case. Though there are other alternatives to rule out the case with deponering.

This research is a normative nature perskriptif and applied research. The approach used in this study is using doctrinal approach. The techniques of legal materials collection is primary and secondary legal materials. Technical analysis of research in this study using deductive analysis technique, a method that stems from the filing of major premise and then submitted to minor premise. From the premises is then drawn a conclusion.

Based on the results of the research and its discussion, it can be concluded that. First, prosecutors filed for judicial review of pretrial ruling Bibit and Chandra was an act that was not legal because there were no legal rules that govern them. Second, the prosecutor was not authorized to conduct a review of the decision of the case pretrial Bibit and Chandra it violated of Article 45 paragraph (2) of Law Number 5 of 2004 and SEMA Number 7 of 2005. Attorney conducted a legal breakthrough that would make legal uncertainty.

(7)

commit to user

MOTTO

“ Berdoa dan berusaha adalah kunci keberhasilan dan

kesuksesan, apapun yang terjadi janganlah mudah

menyerah dan putus asa... pantang mundur!!!! ”

-Penulis-

“ Pencapaian keberhasilan dimasa depan didapat dari

pemanfaatan setiap detik dalam hidup, masa depan

merupakan akumulasi dari masa sekarang ”

-Penulis-

” Sepi ing pamrih rame ing gawe ”

-N N-

” Hidup Adalah Peningkatan ”

(8)

commit to user PERSEMBAHAN

Penulisan Hukum ini, penulis persembahkan kepada:

1. Bapak ibuku tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga,

membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh cinta dan kasih

sayang yang tulus. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, semangat

dan dukungan yang bapak dan ibu berikan kepada saya selama ini.

2. Adik tersayang semoga cepat menyusul kakakmu ini untuk segera lulus dan

wisuda, semoga kelak kamu bisa meraih cita-citamu menjadi bidan yang

menolong banyak ibu untuk melahirkan putra-putrinya.

3. Sahabat-sahabatku Genk Mogglenk : Ahimsa S, Adhi CN , Agus S, Didit S,

Eriek C, Farid M, Haris W, M. Zaki I, Puguh R,dan Rudi AT, terima kasih,

semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya, AMIIIN...

4. Teman-temanku : Wasiat Eko, Aji BG, Gurindo... ayo semangat !!!! Skripsi

tidak selesai kalau Cuma dipandangi saja harus dikerjakan.

5. Temanku Ginati Ayuningtyas, terima kasih banyak atas semua pelajaran

kehidupan yang pernah kamu ajarkan padaku untuk mengerti dan menghargai

arti sebuah teman, sahabat, dan kasih sayang.

6. Adik kecilku Mahardhika Putri Utami, terima kasih buat perhatiannya selama

ini. Maaf, terkadang Mas Juni terlalu sibuk untuk mempersiapkan masa depan.

7. Teman seperjuanganku Wahyu Agus Kurniawati AS yang telah membantu

selama menempuh perkuliahan hingga sekarang dapat menyusun penulisan

hukum (Skripsi).

8. Rekan-rekan Indis 2009, rekan-rekan Posita 2009, dan rekan-rekan angkatan

2006, yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala

pengalaman dan motivasinya.

9. Terima kasih pada KSP Principium dan BEM FH UNS yang pernah

membimbing saya dalam berorganisasi sehingga saya sedikit banyak

(9)

commit to user KATA PENGANTAR

(10)

commit to user

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

serta rasa syukur kehadirat Allah SWT, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul

TINJAUAN LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA DALAM

MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN

PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA OLEH KEJAKSAAN

AGUNG” dapat diselesaikan oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak

kekurangannya dalam menyusun skripsi ini.dalam penulisan hukum ini, penulis

tidak lepas dari hambatan serta kesulitan-kesulitan, namun berkat bimbingan,

bantuan, nasehat dan saran-saran dari berbagai pihak khususnya pembimbing

segala hambatan dan kesulitan-kesulitan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan

baik. Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari

semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.

Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum

ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya.

2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya hingga

akhir jaman.

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan

menyelesaikan penulisan hukum ini.

4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah

membantu dalam pemberian izin dilakukannya penulisan ini.

5. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing I

dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan yang telah banyak

membantu memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan

(11)

commit to user

6. Bapak Muhammad Rustamaji S.H, M.H, selaku Pembimbing akademik

sekaligus menjadi Pembimbing II dalam penulisan hukum ini yang telah

banyak memberikan masukan, arahan dan saran dalam penyusunan proposal

dan penulisan hukum ini dan telah membimbing saya selama kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tercinta ini.

7. Bapak Bambang Santoso S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana

yang telah membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana

8. Bapak Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah

membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana.

9. Bapak Lego Karjoko S.H, M.H, selaku ketua PPH dan Mas Wawan yang telah

membantu dalam proses penulisan hukum ini.

10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu,

serta mengajari dan membimbing Penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi

Penulis dalam penulisan hukum ini.

11.Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas

Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang

telah diberikan.

12.Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan

peluh harap serta tetes air mata yang diberikan

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuan bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian

penulisan hukum ini.

Sebagai kata terakhir semoga skripsi ini membawa manfaat, tidak lupa

pula penulis ucapkan Alhamdulillahhirobil’alamin kepada Allah SWT yang

(12)

commit to user

Surakarta, Januari 2011

Penulis

Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

(13)

commit to user

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 14

a. Pengertian Peninjauan Kembali... 20

b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan Kembali... 21

c. Pihak yang dapat Mengajukan Peninjauan Kembali ... 22

(14)

commit to user

e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan kembali... 24

f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri... 26

d. Pihak yang berhak mengajukan Permohonan Praperadilan ... 32

e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan ... 33

f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan... 34

g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur... 35

h. Upaya Banding, Kasasi, dan Pengajuan Kembali atas Putusan Praperadilan... 36

B. Kerangka Pemikiran ... 39

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Hasil Penelitian ... 42

B. Pembahasan ... 45

1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ... 45

2. Putusan Mahkamah Agung Atas Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Yang Mengakibatkan Alasan Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Tidak Bisa Diterima ... 64

(15)

commit to user

A. Simpulan………….. ... 73

B. Saran………... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN

DAFTAR BAGAN

(16)

commit to user

Gambar 2 : Skema Upaya Hukum yang Dilakukan Jaksa... 60

DAFTAR LAMPIRAN

(17)
(18)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus-kasus yang terjadi dilingkup peradilan Indonesia saat ini banyak

disoroti oleh masyarakat luas. Perkembangan zaman yang diimbangi dengan

perkembangan teknologi dan intelektualitas manusia semakin membuat berbagai

jenis kasus-kasus hukum yang terjadi sulit dipecahkan. Sebagaimana kasus yang

menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi banyak menarik perhatian

masyarakat luas. Isu penggembosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

maupun isu rekayasa kasus terhadap perkara tersebut menambah semakin

rumitnya perkara tersebut.

Polemik yang terjadi di dunia peradilan Indonesia ini membuat ancaman

bagi kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Tiga nama institusi penting

di Indonesia yaitu Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi jatuh

kewibawaannya karena kasus tersebut. Dua nama pimpinan Komisi

Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dituduh

melakukan kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya. “Polri kemudian

melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut untuk menemukan

bukti dugaan bahwa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melakukan

kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi

pengadaan Sistem Komunikasi Radio Telekomunikasi (SKRT) di Departemen

Kehutanan (Dephut)” (http://www.inilah.com /news/ read/ politik /2010/06/ 12

/595201 /icw-desak-ma-kabulkan- pk-skpp-chandra-bibit/ [ Senin, 13 Desember

2010 pukul 20.00 WIB).

Polri melakukan pemeriksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra

Hamzah untuk mengembangkan kasus dan mencari bukti-bukti yang menguatkan

dugaan melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya. Pada

akhirnya, Polri pun menyusun berkas perkara atas kasus tersebut dan selanjutnya

(19)

commit to user

tersebut yang dinyatakan P-21 atau berkas pekara sudah lengkap atau sempurna

untuk selanjutnya dilakukan penuntutan.

Banyaknya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini

menyebabkan gejolak hukum yang meresahkan dan menganggu kelangsungan

hukum di Indonesia. Masyarakat menduga bahwa seakan-akan kasus tersebut

direkayasa untuk menjatuhkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra. Isu adanya penggembosan KPK

pun terus bergulir dan menyebabkan keresahan masyarakat akan kejadian

tersebut. Hal itu juga akan mengganggu tugas-tugas KPK sebagai komisi yang

mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi yang terjadi di Negara

Indonesia. Pada Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui

pidatonya menganggapi perkara yang meresahkan dan mengganggu kelangsungan

hukum itu dengan mendesak Jaksa Agung agar menghentikan penuntutan

terhadap kasus tersebut. Pada saat itu, Jaksa Agung yang dijabat oleh Hendarman

Supandji menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan

mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus

tersebut padahal Jaksa Agung mempunyai alternatif lain yaitu deponering.

Jaksa Agung memilih mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKPP) sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan yang

mendasari dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)

bahwa perkara tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan karena tidak

cukup bukti. “SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena

memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam

perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak

diperlukan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan”

(http://news.okezone.com/read /2010/04/29 /58/327523

(20)

commit to user

Selain itu, Jaksa Agung mempunyai alasan sosiologis yakni:

1. Adanya suasana kebainan yang berkembang saat ini membuat prkara

tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan, kareana lebih banyak

mudharat dari pada manfaatnya;

2. Untuk menjaga keterpaduan /keharmonisasi lembaga penegak hukum

(Kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam

menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagai alasan

doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana;

3. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak

layak untuk dipertanggungjawabkan kepada trsangka karena perbuatan

tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang di dalam

pemberantasan korupsi yang memerlukan terobosan-terobosan hukum.

Berawal dari alasan sosiologis yang dinyatakan dalam oleh Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung tersebut munculah banyak

reaksi dari berbagai pihak. Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung dengan menggunakan dasar alasan

sosiologis tentu saja tidak sesuai dengan dasar alasan penghentian penuntutan.

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dinilai mempunyai

kejanggalan maupun kelemahan yang mengakibatkan cacat hukum dan layak

untuk dibatalkan. Pencantuman alasan sosiologi dalam Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan (SKPP) dianggap tidak tepat dan lebih tepat digunakan

dasar untuk deponering. Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKPP) karena desakkan masyarakat dan situasi hukum yang sedang

memanas karena kejadian tersebut.

Pada dasarnya Jaksa Agung dianggap telah menyimpangi Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini didasarkan karena berkas

perkara yang sudah diterima oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah

sempurna atau dinyatakan P-21. Akan tetapi, Jaksa Agung menganggap perkara

(21)

commit to user

Penggunaan alasan sosiologis yang dinyatakan Jaksa Agung dalam Surat

Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) juga tidak sesuai dengan KUHAP.

Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada

pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan

kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang meminta agar

SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo

mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang

dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan

oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas putusan

praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan

hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat

Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada

Mahkamah Agung. Padahal putusan tersebut adalah putusan praperadilan dan

pengajuannya peninjauan kembali atas praperadilan tidak diatur dalam KUHAP.

KUHAP juga tidak mengatur secara ekplisit tentang pengaturan peninjauan

kembali yang diajukan jaksa. Peninjauan Kembali diatur dalam Bab XVIII Pasal

263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Adapun yang dapat mengajukan

permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).

Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan yang telah

memutus perkaranya dalam tingkat pertama (Moch. Fisal Salam,2001:363).

Kejadian-kejadian dari kasus tersebut menjadi polemik hukum baru yang

menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Masalah peninjauan kembali

terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra tersebut oleh penulis

akan dikaji dalam penulisan hukum ini. Masalah ini penting untuk dikaji karena

(22)

kasus-commit to user

kasus yang serupa yang mungkin akan terulang kembali. Selain itu, untuk

menjamin kepastian dan kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila

kejadian seperti halnya perkara di atas tidak dikaji, dikhawatirkan masalah serupa

dengan di atas akan muncul kembali dan akan mengancam kepastian hukum dan

kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia.

Penulis tertarik mengkaji masalah ini sebagai pokok permasalahan penulisan

dikarenakan penulis menganggap kejadian tersebut merupakan polemik hukum

nasional yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan mengancam

kelangsungan hukum Indonesia. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa

atas putusan praperadilan SKPP kasus Bibit dan Chandra, sangat menarik untuk

dikaji. Apalagi dalam masalah tersebut, jaksa menggunakan upaya hukum

peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Kejadian putusan praperadilan

dilakukan peninjauan kembali sangatlah jarang dilakukan oleh jaksa. Selain itu,

sering terjadi peristiwa hukum yang mengakibatkan kebingungan masyarakat

akan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia. Terkadang aparat penengak

hukum ingin menciptakan terobosan-terobosan hukum baru dengan penafsiran

tertentu yang justru akan menciptakan masalah baru dalam hukum yang berlaku di

Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis perlu mengkaji peristiwa hukum

seperti halnya peninjauan kembali atas putusan praperadilan yang diajukan jaksa

dalam suatu penulisan hukum.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, Penulis ingin mengkaji

lebih dalam mengenai perkara tersebut. Penulis kemudian mengangkat

permasalahan tersebut dalam penulisan hukum ini yang berjudul : “ TINJAUAN

ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG

DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN

PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA ”.

B. Rumusan Masalah

Suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah

(23)

commit to user

dilakukan oleh penelitian hukum tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah

yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana argumentasi legalitas dan kewenangan Jaksa Agung dalam

mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan Bibit dan

Chandra?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian digunakan untuk memberikan arahan yang tepat dalam

penelitian supaya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tujuan dari

penelitian ini sebagaimana berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui legalitas suatu pengajuan peninjauan kembali dalam

suatu putusan praperadilan dalam hal ini berkaitan dengan putusan

praperadilan Bibit dan Chandra yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

b. Untuk mengetahui kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan

kembali dalam pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama

dalam penyususan penulisan hukum (Skripsi) guna memenuhi persyaratan

akademis bagi peneliti dalam meraih gelar Sarjana Hukum dalam bidang

Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan

pengalaman serta pemahaman aspek Hukum Acara Pidana dalam teori dan

praktiknya, khususnya yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan

kembali yang dilakukan oleh jaksa.

c. Untuk lebih mendalami teori dan ilmu pengetahuan tentang hukum yang

diperoleh selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas

(24)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan

bagi pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khususnya. Adapun manfaat

yang dapat diperoleh dari hasil penelitian dibedakan menjadi dua antara lain

manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teori

a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

ilmu hukum pada umumnya dan pada Hukum Acara Pidana pada

khususnya, serta yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali

yang dilakukan oleh jaksa dalam putusan praperadilan.

b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta

pengetahuan di bidang hukum yang telah ada sebelumya, khususnya untuk

memberikan penjelasan mengenai kewenangan jaksa dalam mengajuan

peninjauan kembali terutama yang berkaitan dengan putusan praperadilan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan

masukan serta sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam

masalah yang diteliti dan berguna dalam penyelesaiannya.

b. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam

penelitian hukum ini.

c. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk

mengetahui kemampuan penelitian dalam menerapkan ilmu hukum yang

diperoleh.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang akan digunakan peneliti untuk

mencapai tingkat ketelitian yang dihadapi. Penelitian hukum merupakan suatu

(25)

commit to user

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Dalam

penelitian hukum ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini

termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan

pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik

suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti. Kesimpulan dalam

hubungannya dengan masalah yang diteliti untuk kemudian menyusun

kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Sebagai

konsekuensi dari pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian

ini yang obyeknya adalah permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang

digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni tipe penelitian yang

difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif

untuk dibandingkan dengan pelaksanannya di lapangan.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan,

konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum

menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam

melaksanakan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010:22).

Penelitian hukum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan atas kasus

yang terjadi yaitu mengenai legatitas dan kewenangan jaksa dalam

mengajukan peninjauan kembali dikaitkan dengan kasus yang sedang

(26)

commit to user

Kemudian hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan

preskriptif atas apa yang seharusnya dilakukan atas kasus hukum tersebut.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan

tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai

isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang

digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komperatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93).

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan

penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang

relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu dan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach).Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dengan regulasi yang bersangkut-paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini

menggunakan KUHAP untuk mengkaji mengenai legalitas dan kewenangan

jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan.

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Peter

Mahmud Marzuki, 2010:93-94).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis dan sunber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus

memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan

sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

(27)

commit to user

sekunder. Sumber bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sumber bahan hukum primer

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari :

1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia;

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman;

5) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1985 tentang

Penghentian Praperadilan;

6) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2005 mengenai

Penjelasan tentang Ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;

7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 152 PK/Pid/2010.

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,

2010:141).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka

(28)

commit to user

ini, maka pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara

studi kepustakaan baik dari media cetak maupun elektronik.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan adalah penalaran hukum. Metode

penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan

hukum yang dianalisis menggunakan penalaran deduksi dan induksi. Analisis

bahan hukum adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi,

menguraikan bahan hukum yang diperoleh kemudian melalui proses

pengolahan nantinya bahan hukum yang digunakan untuk menjawab

permasalahan yang diteliti. Metode deduksi digunakan penulis untuk

menganalisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini. Metode

deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang

kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik

suatu kesimpulan atau conclusion. Dalam penelitian ini metode deduksi yang

dilakukan adalah diawali penelitian dengan mengajukan hal yang bersifat

umum dalam undang-undang dan diakhiri khusus dalam kasus serta dengan

kesimpulan sebagai temuan atas isu hukum (Peter Mahmud Marzuki,2010:47).

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika

penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk

mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka

peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri atas

4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang

dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan

hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

(29)

commit to user

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan yang pertama tentang kerangka

teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi

literatur pendukung dalam pembahasan masalah

penulisan hukum ini. Kemudian yang kedua adalah

kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk narasi

maupun gambar. Kerangka teori yang berisi tinjauan

kepustakaan yang akan dibahas dalam penulisan ini

meliputi : tinjauan umum mengenai Kejaksaan Agung,

diantaranya yaitu : pengertian Kejaksaan Agung, susunan

kejaksaan, wewenang kejaksaan, pengertian Penuntut

Umum, wewenang Penuntut Umum, dan penghentian

penuntutan; tinjauan umum tentang Peninjauan

Kembali, diantaranya yaitu : pengertian peninjauan

kembali, putusan yang dapat diajukan peninjauan

kembali, pihak yang dapat mengajukan peninjauan

kembali, alasan peninjauan kembali, cara mengajukan

peninjauan kembali, putusan peninjauan kembali, dan

asas yang ditentukan dalam peninjauan kembali; tinjauan

umum tentang Praperadilan, diantaranya yaitu:

pengertian praperadilan, tujuan dan fungsi praperadilan,

wewenang praperadilan, pihak yang berhak mengajukan

permohonan praperadilan, tata cara pengajuan

praperadilan, bentuk dan isi praperadilan, pemeriksaan

praperadilan, dan upaya banding,kasasi dan peninjauan

kembali atas putusan praperadilan. Selanjutnya, bagian

kedua adalah kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk

(30)

commit to user

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAHAN

Pada bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan

mengenai hasil penelitian tentang argumentasi legalitas

jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait

putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra. Selain itu,

Bab ini juga akan membahas mengenai kewenangan jaksa

dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan

praperadilan Bibit dan Chandra. Diuraikan pula mengenai

pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang diperoleh

dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan kajian

pustaka, rumusan masalah dan tujuan penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang

menjadi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang

tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan

pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA

(31)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan Agung

a. Pengertian Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung adalah lembaga negara yang melaksanakan

kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang

berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin

oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri

merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan yang

semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat

dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak

hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi

hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia,

serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam

Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia

sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara

merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh

kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004).

Kejaksaan menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh

Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala

(32)

commit to user

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa

lembaga kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam

pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi

filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan

serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan sehingga

lembaga kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),

karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu

kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang

sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan

satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain

berperan dalam perkara pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam

Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili pemerintah

dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara

negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan

wewenang lain berdasarkan undang-undang (http://kejaksaan.go.id/tentang

_kejaksaan.php?id=1) >[29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia yang dimaksud dengan:

1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim.

Sebenarnya cukup dirumuskan dalam satu pasal dengan

menggabungkan rumusan-rumusan tadi sehingga berbunyi : Jaksa adalah

(33)

commit to user

serta melaksanakan ”penetapan” dan putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,2009:354).

b. Susunan Kejaksaan

Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan

Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan

ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dan

Kejaksaan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa

Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan Negeri dapat

dibentuk cabang Kejaksaan Negeri. Cabang Kejaksaan Negeri dibentuk

dengan Keputusan Jaksa Agung (http://kejaksaan.go.id/tentang_

kejaksaan. php?id=7> [29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi

kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan

wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa

Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil

Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung

Muda adalah unsur pembantu pimpinan.

c. Wewenang Kejaksaan

Kejaksaan mempunyai wewenang meliputi bidang pidana, bidang

perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban umum. Di bidang

pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

1) melakukan penuntutan;

2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

(34)

commit to user

5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan;

6) pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa

khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk

dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan

ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;

3) pengawasan peredaran barang cetakan;

4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang

ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan

undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan

membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan

keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat

memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi

pemerintah lainnya.

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

1) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

2) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;

(35)

commit to user

4) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

5) dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

6) mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya

dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Pengertian Penuntut Umum

Pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah

dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang

terdiri dari tiga Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan

diatur dalam Bab XV, dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Pengertian

penuntut umum tersebut tertuang dalam Pasal 1 butir 6 dan Pasal 13

KUHAP.

Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 menyebutkan

jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan

penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

hakim.

e. Wewenang Penuntut Umum

Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 14 KUHAP yaitu sebagai berikut:

1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

(36)

commit to user

2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,

dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan

penyidikan dari penyidik;

3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4) membuat surat dakwaan;

5) melimpahkan perkara ke pengadilan;

6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang

telah ditentukan;

7) melakukan penuntutan;

8) menutup perkara demi kepentingan hukum;

9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10)melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah

diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut

menyatakan bahwa penuntut umum berwenang untuk melakukan

penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak

pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadili.

f. Penghentian Penuntutan

Penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara

(37)

commit to user

persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139

KUHAP).

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas perkara

hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk

dilimpahkan ke pengadilan. Misalnya, berkas perkara yang hasilnya sudah

lengkap tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) atau

hak menuntut telah gugur karena kadaluarsa berdasarkan Pasal 78 KUHP

atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua

kalinya berdasar asas ne bis idem (Pasal 76 KUHP). Perihal yang demikian

maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum

akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut

ditutup demi hukum dan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan (SKPP model P-26) sesuai dengan ketentuan

Pasal 140 ayat (2). Di samping itu, penuntut umum dapat menghentikan

penuntutan berdasarkan alasan karena tidak cukup bukti atau perkara

tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali

a. Pengertian Peninjauan kembali

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk

melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap (in krach van guwijsde). Peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII

KUHAP mengenai upaya hukum luar biasa Bagian Kedua mengenai

peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP

yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari

tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan

(38)

commit to user

Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut mempunyai landasan

mengenai asas pokok peninjauan kembali yang mana kesatuannya tidak

bisa dipisahkan :

1) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

pemidanaan saja;

2) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

3) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana

atau ahlinya saja.

b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan

Kembali

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :

1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap (in krach van guwijsde) peninjauan kembali dapat

dimintakan kepada Mahkamah Agung. Apabila belum mempunyai

kekuatan hukum tetap maka peninjauan kembali tidak dapat diajukan

kepada Mahkamah Agung.

2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan.

Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dimintakan

terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Upaya pengajuan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap

semua putusan instansi putusan pengadilan. Hal tersebut maksudnya

yaitu dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan

Mahkamah Agung, asalkan putusan pengadilan tersebut sudah

(39)

commit to user

3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1)

KUHAP yakni terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas

dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Kedua jenis

putusan tersebut tidak dapat dimintakan peninjauan kembali, hal ini

dimaksudkan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada terpidana

untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan

pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.

c. Pihak yang dapat Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak

mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Oleh

karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusuan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan

untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama

mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa

mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi, jika

yang mengajukan pemintaan peninjauan kembali itu terpidana kemudian

sebelum peninjauan kembali itu diputus oleh Mahkamah Agung terpidana

meninggal dunia, maka dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP telah mengatur

bahwa hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali diteruskan

oleh ahli warisnya. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli

waris menduduki “hak substitusi” dari terpidana (M. Yahya

Harahap,2006:617).

d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

1) Apabila terdapat keadaan baru

Landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah

(40)

commit to user

landasan untuk mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan

baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat :

a) jika keadaan baru itu ditemukan atau diketahui dan

dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi

faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau

putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

b) jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung,

dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan

yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima;

c) dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan

dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

Agar permintaan peninjauan kembali diterima dan dibenarkan

Mahkamah Agung, maka keadaan baru tersebut harus memenuhi 4

(empat) syarat alternatif, yaitu (Adami Chazawi,2010:68):

a) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan pembebasan;

b) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala

tuntutan hukum;

c) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan tuntutan penuntut

umum tidak dapat diterima, dan

d) syarat-syarat untuk dapat diterapkannya ketentuan pidana yang

lebih ringan.

2) Apabila dalam pelbagai putusan saling ada pertentangan

Alasan ini digunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali

yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat :

(41)

commit to user

b) kemudian tentang pernyataan terbuktinya hal atau keadaan itu

dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu

perkara;

c) akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang

dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang

satu dengan yang lainnya.

3) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan

Alasan ini dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan

peninjauan kembali, apabila putusan terdapat dengan jelas atau pun terlihat

dengan nyata yakni : kekhilafan hakim, atau kekeliruan hakim.

Hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dan

kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan bisa terjadi dalam semua tingkat

pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa

berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertama dan tingkat

banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.

Padahal tujuan dari tingkat banding maupun kasasi untuk meluruskan dan

memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat

pengadilan yang lebih rendah.

e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali

Berdasarkan Ilmu Hukum Acara Pidana maka pengajuan

peninjauan kembali harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil

sebagaimana ditentukan KUHAP. Kedua syarat ini memerlukan

pemahaman yang saksama.

Syarat formil bagi pengajuan peninjauan kembali adalah:

1) adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap;

2) putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan

(42)

commit to user

3) diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;

4) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara

tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 264 ayat

(1) KUHAP);

5) terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan

kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).

Syarat-syarat materiil pengajuan peninjauan kembali yang

merupakan dasar atau alasan pengajuan peninjauan kembali yang

ditentukan undang-undang sebagai berikut:

1) adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah

diajukan dalam pemeriksaan perkara;

2) adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling

bertentangan;

3) adanya kekeliruan/kekhilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)

KUHAP) (Leden Marpaung,2000:74 ).

Tata cara pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264

KUHAP. Tata cara pengajuan kembali jauh lebih sederhana dibandingkan

dengan tata cara mengajukan permohonan kasasi. Adapun tata cara

pengajuan permohonan pengajuan peninjauan kembali sebagai berikut :

1) Permintaan diajukan kepada panitera

Pemohon mengajukan permintan peninjauan kembali pada panitera

pengadilan negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama yang

selanjutnya akan diteruskan ke Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan

kembali pada prinsipnya yaitu sebagai berikut :

a) diajukan secara tertulis;

b) serta menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari

(43)

commit to user

c) boleh juga diajukan secara lisan, maksudnya adalah apabila

pemohon tidak memahami hukum maka permintaan peninjauan

kembali yang secara lisan tadi akan dituangkan dan dirumuskan

panitera dalam bentuk surat permintaan peninjauan kembali.

2) Panitera membuat akta permintan peninjauan kembali

Panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan

permintanan peninjauan kembali mencatat dalam sebuah surat keterangan

yang lazim juga disebut “akta permintaan peninjauan kembali”. Akta atau

surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian

akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

3) Tenggang waktu mengajukan permintaan peninjauan kembali

Pasal 264 ayat (3) KUHAP telah mengatur mengenai tenggang

waktu dalam pengajuan peninjauan kembali. Ketentuan ini menetapkan

bahwa permintaan peninjauan kembali “tanpa batas waktu”. Tidak ada

batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri

1) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa

Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan penunjukan hakim

yang bertindak melakukan pemeriksaan. Hakim yang ditunjuk untuk

memimpin sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali adalah

hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan semula.

2) Obyek pemeriksaan sidang

Pasal 265 ayat (1) KUHAP, pemeriksan sidang difokuskan kepada

alasan permintaan peninjauan kembali. Alasan yang menjadi dasar

permintaan peninjauan kembali itulah hakim mengarahkan pemeriksaan

sidang, tidak diperkenankan memeriksan hal-hal yang berada di luar

(44)

commit to user

3) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum

Ketentuan Pasal 265 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan

pemeriksaan sidang tentang permintaan peninjauan kembali, dihadiri oleh

pemohon, jaksa penuntut umum, dan mereka yang menyampaikan

pendapat.

4) Berita acara pemeriksaan

Pemeriksan sidang permintaan peninjauan kembali dibuat dalam

“berita acara” sidang yang mana ditandatangani oleh hakim, jaksa,

pemohon, dan panitera.

5) Berita acara pendapat

Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang

berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang dibuat berdasarkan

berita acara pemeriksaan.

6) Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung

Hal-hal yang harus dikirimkan Ketua Pengadilan Negeri kepada

Mahkamah Agung adalah :

a) surat permintaan peninjauan kembali;

b) berkas perkara semua selengkapnya, termasuk berita acara

pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang,

segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta

segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;

c) berita acara pendapat.

g. Putusan Peninjauan Kembali

(45)

commit to user

Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan

permintaan peninjauan kembali “tidak dapat diterima”. Putusan ini

dijatuhkan berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :

a) permintaan diajukan oleh pihak yang tidak berhak;

b) surat permintaan memenuhi ketentuan Pasal 266 ayat (1)

KUHAP.

2) Putusan menolak permintaan peninjauan kembali

Putusan penolakan permintaan dapat dijatuhkan Mahkamah Agung

dalam hal :

a) alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan

kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2)

KUHAP, maksudnya alasan itu tidak menyimpang dari

ketentuan pasal tersebut sehingga ditinjau dari segi formal telah

memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2);

b) secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau

novum”;

c) tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai

keputusan;

d) putusan tidak mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.

3) Putusan yang membenarkan alasan pemohon

Menurut ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP apabila

Mahkamah Agung membenarkan alasan permintaan peninjauan kembali

putusan Mahkamah Agung yang mengiringi pembenaran terebut:

a) putusan bebas;

b) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

(46)

commit to user

d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya Peninjauan Kembali

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP, yang

menegaskan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali

tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

Akan tetapi, Mahkamah Agung diperbolehkan memberikan hukuman lebih

ringan daripada hukuman semula.

2) Permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan

putusan.

Peninjauan kembali tidak merupakan alasan untuk menghambat

atau menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjuan

kembali berjalan terus namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus.

3) Permintaan peninjuan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan

permintaan peninjauan kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja.

Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi untuk

kepentingan umum.

3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

a. Pengertian Praperadilan

Praperadilan adalah lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya

KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga

peradilan yang mandiri terlepas dari Pengadilan Negeri karena dari

perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa

(47)

commit to user

melakukan pemeriksaan pendahuluan. Di Belanda ada yang dikenal

dengan istilah Rechter Commissaris atau dikenal dengan Hakim Komisaris

dan di Prancis dikenal dengan istilah Judge d’ insruction yang mana

lembaga-lembaga tersebut benar-benar dapat disebut praperadilan karena

selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga

melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara (Andi

Hamzah,2002:183-184).

Selain itu Sudaryono mengatakan bahwa di Amerika Serikat,

lembaga tersebut adalah Habeas Corpus (Amerika Serikat). Gregory

Churchil menjelaskan bahwa Habeas Corpus merupakan upaya hukum

yang menentang dilangsungkannya penahanan seseorang. Habeas Corpus

berfungsi sebagai pengawasan oleh pengadilan terhadap tindakan resmi

yang membatasi atau mempengaruhi kemerdekaan pribadi orang. Fungsi

Habeas Corpus di Amerika Serikat adalah sama dengan fungsi

praperadilan di Indonesia (Sudaryono,2001:208).

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP,

tentang (Pasal 1 butir 10 KUHAP) :

1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

hukum tersangka;

2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3) permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan

Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang

Gambar

Gambar 1  :  Alur Kerangka Pemikiran............................................................
Gambar 2  :  Skema Upaya Hukum yang Dilakukan Jaksa...............................    60
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran commit to user
Gambar 2. Skema upaya hukum yang dilakukan jaksa

Referensi

Dokumen terkait

Maipure, ciri-cirinya memiliki pinggir daun berduri, bobot buah sekitar 0,8-2,5 kg, silinder, warna kulit buah kuning atau merah orange, warna daging buah putih atau

Tanah yang akan diuji dengan alat oedometer test, adalah tanah tak teganggu. Sampel tak terganggu ini mengambilnya dengan menggunakan tabung undisturb sampling. Tanah

kelompok-kelompok yang melakukan pemeliharaan ikan air tawar ´ (Wawancara, Ibu Paulina Seksi Sarana Prasarana Budidaya, 20 Maret 2017) Masyarakat yang mengikuti program

Untuk mengetahui seberapa besar peranan subsektor perikanan laut dan budidaya dalam meningkatkan perekonomian Provinsi Riau maka analisa data yang digunakan adalah

Perlakuan daun gambir untuk mendapatkan tanin meliputi pengeringan, penghalusann (blender), pengayakan, pengekstrakan dengan sokletasi sehingga diperoleh rendemen gambir.

Dalam hal pembiayaan griya, bank BNI Syariah Cabang Surabaya yang menggunakan akad Muraoa!Jah, disebutkan bahwa harga jual dan margin atau keuntungan harus