commit to user
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG
DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA
AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT
PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Oleh
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 18 Januari 2011
Dosen Pembimbing I
Edy Herdyanto, S. H, M. H
NIP. 1957291985031002
Dosen Pembimbing II
Muh. Rustamaji, S. H, M.H
commit to user PENGESAHAN PENGUJI
TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA
AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT
PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA
Oleh
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 18 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1.Bambang Santoso, S.H., M.Hum : ... NIP. 196202091989031001
Ketua
2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. : ... NIP.198210082002005011001
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 1957291985031002
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum
commit to user PERNYATAAN
Nama : Juni Panto Susilo
NIM : E0006150
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Tinjauan Argumentasi Legalitas Dan Kewenangan Jaksa Agung dalam
Mengajukan Peninjauan Kembali Berkait Putusan Praperadilan Kasus Bibit
dan Chandra adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan
hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2011
yang membuat pernyataan
Juni Panto Susilo
commit to user ABSTRAKS
Juni Panto Susilo. E0006150. TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra oleh Kejaksaan Agung. Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasus praperadilan Bibit dan Chandra karena ingin mempertahankan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk menutup perkara tersebut. Padahal ada alternatif lain untuk
mengesampingkan perkara yaitu dengan deponering.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif bersifat perskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deduksi, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor. Dari kedua
premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dihasilkan simpulan. Kesatu, jaksa mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra merupakan suatu tindakan yang tidak legal karena tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Kedua, jaksa tidak berwenang untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan kasus praperadilan kasus Bibit dan Chandra hal ini melanggar Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2005. Jaksa melakukan sebuah terobosan hukum yang justru membuat ketidakpastian hukum.
commit to user ABSTRACS
Juni Panto Susilo. E0006150. THE OVERVIEW OF LEGALITY ARGUMENTATION AND GENERAL ATTORNEY AUTHORITY IN THE FILLING OF REVIEW RELATED TO THE PRETRIAL VERCIT OF BIBIT AND CHANDRA CASES. Faculty of Law University of Sebelas Maret Surakarta.
The aim of this research to determine the legality and authority of prosecutors in filing pretrial review of the decision relates Bibit and Chandra by the Attorney General. Prosecutors proposed a judicial review against the decision of the case of pretrial Bibit and Chandra because they wanted to maintain the Letter of Termination of Prosecution Assessment issued by the Attorney General to close the case. Though there are other alternatives to rule out the case with deponering.
This research is a normative nature perskriptif and applied research. The approach used in this study is using doctrinal approach. The techniques of legal materials collection is primary and secondary legal materials. Technical analysis of research in this study using deductive analysis technique, a method that stems from the filing of major premise and then submitted to minor premise. From the premises is then drawn a conclusion.
Based on the results of the research and its discussion, it can be concluded that. First, prosecutors filed for judicial review of pretrial ruling Bibit and Chandra was an act that was not legal because there were no legal rules that govern them. Second, the prosecutor was not authorized to conduct a review of the decision of the case pretrial Bibit and Chandra it violated of Article 45 paragraph (2) of Law Number 5 of 2004 and SEMA Number 7 of 2005. Attorney conducted a legal breakthrough that would make legal uncertainty.
commit to user
MOTTO
“ Berdoa dan berusaha adalah kunci keberhasilan dan
kesuksesan, apapun yang terjadi janganlah mudah
menyerah dan putus asa... pantang mundur!!!! ”
-Penulis-
“ Pencapaian keberhasilan dimasa depan didapat dari
pemanfaatan setiap detik dalam hidup, masa depan
merupakan akumulasi dari masa sekarang ”
-Penulis-
” Sepi ing pamrih rame ing gawe ”
-N N-
” Hidup Adalah Peningkatan ”
commit to user PERSEMBAHAN
Penulisan Hukum ini, penulis persembahkan kepada:
1. Bapak ibuku tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga,
membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh cinta dan kasih
sayang yang tulus. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, semangat
dan dukungan yang bapak dan ibu berikan kepada saya selama ini.
2. Adik tersayang semoga cepat menyusul kakakmu ini untuk segera lulus dan
wisuda, semoga kelak kamu bisa meraih cita-citamu menjadi bidan yang
menolong banyak ibu untuk melahirkan putra-putrinya.
3. Sahabat-sahabatku Genk Mogglenk : Ahimsa S, Adhi CN , Agus S, Didit S,
Eriek C, Farid M, Haris W, M. Zaki I, Puguh R,dan Rudi AT, terima kasih,
semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya, AMIIIN...
4. Teman-temanku : Wasiat Eko, Aji BG, Gurindo... ayo semangat !!!! Skripsi
tidak selesai kalau Cuma dipandangi saja harus dikerjakan.
5. Temanku Ginati Ayuningtyas, terima kasih banyak atas semua pelajaran
kehidupan yang pernah kamu ajarkan padaku untuk mengerti dan menghargai
arti sebuah teman, sahabat, dan kasih sayang.
6. Adik kecilku Mahardhika Putri Utami, terima kasih buat perhatiannya selama
ini. Maaf, terkadang Mas Juni terlalu sibuk untuk mempersiapkan masa depan.
7. Teman seperjuanganku Wahyu Agus Kurniawati AS yang telah membantu
selama menempuh perkuliahan hingga sekarang dapat menyusun penulisan
hukum (Skripsi).
8. Rekan-rekan Indis 2009, rekan-rekan Posita 2009, dan rekan-rekan angkatan
2006, yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala
pengalaman dan motivasinya.
9. Terima kasih pada KSP Principium dan BEM FH UNS yang pernah
membimbing saya dalam berorganisasi sehingga saya sedikit banyak
commit to user KATA PENGANTAR
commit to user
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
serta rasa syukur kehadirat Allah SWT, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul
”TINJAUAN LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA DALAM
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA OLEH KEJAKSAAN
AGUNG” dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak
kekurangannya dalam menyusun skripsi ini.dalam penulisan hukum ini, penulis
tidak lepas dari hambatan serta kesulitan-kesulitan, namun berkat bimbingan,
bantuan, nasehat dan saran-saran dari berbagai pihak khususnya pembimbing
segala hambatan dan kesulitan-kesulitan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan
baik. Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.
Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum
ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya.
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya hingga
akhir jaman.
3. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan
menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah
membantu dalam pemberian izin dilakukannya penulisan ini.
5. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing I
dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan yang telah banyak
membantu memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan
commit to user
6. Bapak Muhammad Rustamaji S.H, M.H, selaku Pembimbing akademik
sekaligus menjadi Pembimbing II dalam penulisan hukum ini yang telah
banyak memberikan masukan, arahan dan saran dalam penyusunan proposal
dan penulisan hukum ini dan telah membimbing saya selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tercinta ini.
7. Bapak Bambang Santoso S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana
yang telah membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana
8. Bapak Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah
membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana.
9. Bapak Lego Karjoko S.H, M.H, selaku ketua PPH dan Mas Wawan yang telah
membantu dalam proses penulisan hukum ini.
10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu,
serta mengajari dan membimbing Penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi
Penulis dalam penulisan hukum ini.
11.Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang
telah diberikan.
12.Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan
peluh harap serta tetes air mata yang diberikan
13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian
penulisan hukum ini.
Sebagai kata terakhir semoga skripsi ini membawa manfaat, tidak lupa
pula penulis ucapkan Alhamdulillahhirobil’alamin kepada Allah SWT yang
commit to user
Surakarta, Januari 2011
Penulis
Juni Panto Susilo
NIM. E 0006150
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 14
a. Pengertian Peninjauan Kembali... 20
b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan Kembali... 21
c. Pihak yang dapat Mengajukan Peninjauan Kembali ... 22
commit to user
e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan kembali... 24
f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri... 26
d. Pihak yang berhak mengajukan Permohonan Praperadilan ... 32
e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan ... 33
f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan... 34
g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur... 35
h. Upaya Banding, Kasasi, dan Pengajuan Kembali atas Putusan Praperadilan... 36
B. Kerangka Pemikiran ... 39
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42
A. Hasil Penelitian ... 42
B. Pembahasan ... 45
1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ... 45
2. Putusan Mahkamah Agung Atas Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Yang Mengakibatkan Alasan Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Tidak Bisa Diterima ... 64
commit to user
A. Simpulan………….. ... 73
B. Saran………... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
LAMPIRAN
DAFTAR BAGAN
commit to user
Gambar 2 : Skema Upaya Hukum yang Dilakukan Jaksa... 60
DAFTAR LAMPIRAN
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus-kasus yang terjadi dilingkup peradilan Indonesia saat ini banyak
disoroti oleh masyarakat luas. Perkembangan zaman yang diimbangi dengan
perkembangan teknologi dan intelektualitas manusia semakin membuat berbagai
jenis kasus-kasus hukum yang terjadi sulit dipecahkan. Sebagaimana kasus yang
menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi banyak menarik perhatian
masyarakat luas. Isu penggembosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
maupun isu rekayasa kasus terhadap perkara tersebut menambah semakin
rumitnya perkara tersebut.
Polemik yang terjadi di dunia peradilan Indonesia ini membuat ancaman
bagi kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Tiga nama institusi penting
di Indonesia yaitu Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi jatuh
kewibawaannya karena kasus tersebut. Dua nama pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dituduh
melakukan kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya. “Polri kemudian
melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut untuk menemukan
bukti dugaan bahwa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melakukan
kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi
pengadaan Sistem Komunikasi Radio Telekomunikasi (SKRT) di Departemen
Kehutanan (Dephut)” (http://www.inilah.com /news/ read/ politik /2010/06/ 12
/595201 /icw-desak-ma-kabulkan- pk-skpp-chandra-bibit/ [ Senin, 13 Desember
2010 pukul 20.00 WIB).
Polri melakukan pemeriksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra
Hamzah untuk mengembangkan kasus dan mencari bukti-bukti yang menguatkan
dugaan melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya. Pada
akhirnya, Polri pun menyusun berkas perkara atas kasus tersebut dan selanjutnya
commit to user
tersebut yang dinyatakan P-21 atau berkas pekara sudah lengkap atau sempurna
untuk selanjutnya dilakukan penuntutan.
Banyaknya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini
menyebabkan gejolak hukum yang meresahkan dan menganggu kelangsungan
hukum di Indonesia. Masyarakat menduga bahwa seakan-akan kasus tersebut
direkayasa untuk menjatuhkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra. Isu adanya penggembosan KPK
pun terus bergulir dan menyebabkan keresahan masyarakat akan kejadian
tersebut. Hal itu juga akan mengganggu tugas-tugas KPK sebagai komisi yang
mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi yang terjadi di Negara
Indonesia. Pada Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui
pidatonya menganggapi perkara yang meresahkan dan mengganggu kelangsungan
hukum itu dengan mendesak Jaksa Agung agar menghentikan penuntutan
terhadap kasus tersebut. Pada saat itu, Jaksa Agung yang dijabat oleh Hendarman
Supandji menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus
tersebut padahal Jaksa Agung mempunyai alternatif lain yaitu deponering.
Jaksa Agung memilih mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan yang
mendasari dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
bahwa perkara tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan karena tidak
cukup bukti. “SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena
memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam
perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak
diperlukan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan”
(http://news.okezone.com/read /2010/04/29 /58/327523
commit to user
Selain itu, Jaksa Agung mempunyai alasan sosiologis yakni:
1. Adanya suasana kebainan yang berkembang saat ini membuat prkara
tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan, kareana lebih banyak
mudharat dari pada manfaatnya;
2. Untuk menjaga keterpaduan /keharmonisasi lembaga penegak hukum
(Kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam
menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagai alasan
doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana;
3. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak
layak untuk dipertanggungjawabkan kepada trsangka karena perbuatan
tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang di dalam
pemberantasan korupsi yang memerlukan terobosan-terobosan hukum.
Berawal dari alasan sosiologis yang dinyatakan dalam oleh Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung tersebut munculah banyak
reaksi dari berbagai pihak. Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung dengan menggunakan dasar alasan
sosiologis tentu saja tidak sesuai dengan dasar alasan penghentian penuntutan.
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dinilai mempunyai
kejanggalan maupun kelemahan yang mengakibatkan cacat hukum dan layak
untuk dibatalkan. Pencantuman alasan sosiologi dalam Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) dianggap tidak tepat dan lebih tepat digunakan
dasar untuk deponering. Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (SKPP) karena desakkan masyarakat dan situasi hukum yang sedang
memanas karena kejadian tersebut.
Pada dasarnya Jaksa Agung dianggap telah menyimpangi Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini didasarkan karena berkas
perkara yang sudah diterima oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah
sempurna atau dinyatakan P-21. Akan tetapi, Jaksa Agung menganggap perkara
commit to user
Penggunaan alasan sosiologis yang dinyatakan Jaksa Agung dalam Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) juga tidak sesuai dengan KUHAP.
Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada
pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan
kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang meminta agar
SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo
mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang
dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan
oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas putusan
praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat
Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada
Mahkamah Agung. Padahal putusan tersebut adalah putusan praperadilan dan
pengajuannya peninjauan kembali atas praperadilan tidak diatur dalam KUHAP.
KUHAP juga tidak mengatur secara ekplisit tentang pengaturan peninjauan
kembali yang diajukan jaksa. Peninjauan Kembali diatur dalam Bab XVIII Pasal
263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Adapun yang dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama (Moch. Fisal Salam,2001:363).
Kejadian-kejadian dari kasus tersebut menjadi polemik hukum baru yang
menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Masalah peninjauan kembali
terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra tersebut oleh penulis
akan dikaji dalam penulisan hukum ini. Masalah ini penting untuk dikaji karena
kasus-commit to user
kasus yang serupa yang mungkin akan terulang kembali. Selain itu, untuk
menjamin kepastian dan kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila
kejadian seperti halnya perkara di atas tidak dikaji, dikhawatirkan masalah serupa
dengan di atas akan muncul kembali dan akan mengancam kepastian hukum dan
kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia.
Penulis tertarik mengkaji masalah ini sebagai pokok permasalahan penulisan
dikarenakan penulis menganggap kejadian tersebut merupakan polemik hukum
nasional yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan mengancam
kelangsungan hukum Indonesia. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa
atas putusan praperadilan SKPP kasus Bibit dan Chandra, sangat menarik untuk
dikaji. Apalagi dalam masalah tersebut, jaksa menggunakan upaya hukum
peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Kejadian putusan praperadilan
dilakukan peninjauan kembali sangatlah jarang dilakukan oleh jaksa. Selain itu,
sering terjadi peristiwa hukum yang mengakibatkan kebingungan masyarakat
akan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia. Terkadang aparat penengak
hukum ingin menciptakan terobosan-terobosan hukum baru dengan penafsiran
tertentu yang justru akan menciptakan masalah baru dalam hukum yang berlaku di
Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis perlu mengkaji peristiwa hukum
seperti halnya peninjauan kembali atas putusan praperadilan yang diajukan jaksa
dalam suatu penulisan hukum.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, Penulis ingin mengkaji
lebih dalam mengenai perkara tersebut. Penulis kemudian mengangkat
permasalahan tersebut dalam penulisan hukum ini yang berjudul : “ TINJAUAN
ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG
DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN
PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA ”.
B. Rumusan Masalah
Suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah
commit to user
dilakukan oleh penelitian hukum tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana argumentasi legalitas dan kewenangan Jaksa Agung dalam
mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan Bibit dan
Chandra?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian digunakan untuk memberikan arahan yang tepat dalam
penelitian supaya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tujuan dari
penelitian ini sebagaimana berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui legalitas suatu pengajuan peninjauan kembali dalam
suatu putusan praperadilan dalam hal ini berkaitan dengan putusan
praperadilan Bibit dan Chandra yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
b. Untuk mengetahui kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan
kembali dalam pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama
dalam penyususan penulisan hukum (Skripsi) guna memenuhi persyaratan
akademis bagi peneliti dalam meraih gelar Sarjana Hukum dalam bidang
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan
pengalaman serta pemahaman aspek Hukum Acara Pidana dalam teori dan
praktiknya, khususnya yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan
kembali yang dilakukan oleh jaksa.
c. Untuk lebih mendalami teori dan ilmu pengetahuan tentang hukum yang
diperoleh selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan
bagi pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khususnya. Adapun manfaat
yang dapat diperoleh dari hasil penelitian dibedakan menjadi dua antara lain
manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Teori
a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan pada Hukum Acara Pidana pada
khususnya, serta yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali
yang dilakukan oleh jaksa dalam putusan praperadilan.
b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta
pengetahuan di bidang hukum yang telah ada sebelumya, khususnya untuk
memberikan penjelasan mengenai kewenangan jaksa dalam mengajuan
peninjauan kembali terutama yang berkaitan dengan putusan praperadilan.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam
masalah yang diteliti dan berguna dalam penyelesaiannya.
b. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam
penelitian hukum ini.
c. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk
mengetahui kemampuan penelitian dalam menerapkan ilmu hukum yang
diperoleh.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang akan digunakan peneliti untuk
mencapai tingkat ketelitian yang dihadapi. Penelitian hukum merupakan suatu
commit to user
maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Dalam
penelitian hukum ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini
termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik
suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti. Kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti untuk kemudian menyusun
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Sebagai
konsekuensi dari pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian
ini yang obyeknya adalah permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang
digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni tipe penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif
untuk dibandingkan dengan pelaksanannya di lapangan.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010:22).
Penelitian hukum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan atas kasus
yang terjadi yaitu mengenai legatitas dan kewenangan jaksa dalam
mengajukan peninjauan kembali dikaitkan dengan kasus yang sedang
commit to user
Kemudian hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan
preskriptif atas apa yang seharusnya dilakukan atas kasus hukum tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai
isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komperatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93).
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan
penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang
relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach).Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dengan regulasi yang bersangkut-paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini
menggunakan KUHAP untuk mengkaji mengenai legalitas dan kewenangan
jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan.
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Peter
Mahmud Marzuki, 2010:93-94).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sunber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan
sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
commit to user
sekunder. Sumber bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sumber bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat yang
terdiri dari :
1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia;
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman;
5) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Penghentian Praperadilan;
6) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2005 mengenai
Penjelasan tentang Ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 152 PK/Pid/2010.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2010:141).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka
commit to user
ini, maka pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara
studi kepustakaan baik dari media cetak maupun elektronik.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan adalah penalaran hukum. Metode
penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan
hukum yang dianalisis menggunakan penalaran deduksi dan induksi. Analisis
bahan hukum adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi,
menguraikan bahan hukum yang diperoleh kemudian melalui proses
pengolahan nantinya bahan hukum yang digunakan untuk menjawab
permasalahan yang diteliti. Metode deduksi digunakan penulis untuk
menganalisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini. Metode
deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang
kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik
suatu kesimpulan atau conclusion. Dalam penelitian ini metode deduksi yang
dilakukan adalah diawali penelitian dengan mengajukan hal yang bersifat
umum dalam undang-undang dan diakhiri khusus dalam kasus serta dengan
kesimpulan sebagai temuan atas isu hukum (Peter Mahmud Marzuki,2010:47).
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka
peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri atas
4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan
hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
commit to user
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan yang pertama tentang kerangka
teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi
literatur pendukung dalam pembahasan masalah
penulisan hukum ini. Kemudian yang kedua adalah
kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk narasi
maupun gambar. Kerangka teori yang berisi tinjauan
kepustakaan yang akan dibahas dalam penulisan ini
meliputi : tinjauan umum mengenai Kejaksaan Agung,
diantaranya yaitu : pengertian Kejaksaan Agung, susunan
kejaksaan, wewenang kejaksaan, pengertian Penuntut
Umum, wewenang Penuntut Umum, dan penghentian
penuntutan; tinjauan umum tentang Peninjauan
Kembali, diantaranya yaitu : pengertian peninjauan
kembali, putusan yang dapat diajukan peninjauan
kembali, pihak yang dapat mengajukan peninjauan
kembali, alasan peninjauan kembali, cara mengajukan
peninjauan kembali, putusan peninjauan kembali, dan
asas yang ditentukan dalam peninjauan kembali; tinjauan
umum tentang Praperadilan, diantaranya yaitu:
pengertian praperadilan, tujuan dan fungsi praperadilan,
wewenang praperadilan, pihak yang berhak mengajukan
permohonan praperadilan, tata cara pengajuan
praperadilan, bentuk dan isi praperadilan, pemeriksaan
praperadilan, dan upaya banding,kasasi dan peninjauan
kembali atas putusan praperadilan. Selanjutnya, bagian
kedua adalah kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk
commit to user
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAHAN
Pada bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan
mengenai hasil penelitian tentang argumentasi legalitas
jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait
putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra. Selain itu,
Bab ini juga akan membahas mengenai kewenangan jaksa
dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan
praperadilan Bibit dan Chandra. Diuraikan pula mengenai
pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang diperoleh
dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan kajian
pustaka, rumusan masalah dan tujuan penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang
menjadi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang
tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan Agung
a. Pengertian Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang
berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri
merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan yang
semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat
dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak
hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi
hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia,
serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam
Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004).
Kejaksaan menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh
Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala
commit to user
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa
lembaga kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam
pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi
filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan
serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan sehingga
lembaga kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang
sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan
satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain
berperan dalam perkara pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam
Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili pemerintah
dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara
negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang (http://kejaksaan.go.id/tentang
_kejaksaan.php?id=1) >[29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang dimaksud dengan:
1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
Sebenarnya cukup dirumuskan dalam satu pasal dengan
menggabungkan rumusan-rumusan tadi sehingga berbunyi : Jaksa adalah
commit to user
serta melaksanakan ”penetapan” dan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,2009:354).
b. Susunan Kejaksaan
Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan
Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan
ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa
Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan Negeri dapat
dibentuk cabang Kejaksaan Negeri. Cabang Kejaksaan Negeri dibentuk
dengan Keputusan Jaksa Agung (http://kejaksaan.go.id/tentang_
kejaksaan. php?id=7> [29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).
Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan
wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa
Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil
Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung
Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
c. Wewenang Kejaksaan
Kejaksaan mempunyai wewenang meliputi bidang pidana, bidang
perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban umum. Di bidang
pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1) melakukan penuntutan;
2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
commit to user
5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan;
6) pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan
ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) pengawasan peredaran barang cetakan;
4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang
ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan
membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat
memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
1) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
2) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
commit to user
4) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
5) dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
6) mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Pengertian Penuntut Umum
Pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah
dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang
terdiri dari tiga Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan
diatur dalam Bab XV, dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Pengertian
penuntut umum tersebut tertuang dalam Pasal 1 butir 6 dan Pasal 13
KUHAP.
Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 menyebutkan
jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan
penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
e. Wewenang Penuntut Umum
Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 14 KUHAP yaitu sebagai berikut:
1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
commit to user
2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,
dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
4) membuat surat dakwaan;
5) melimpahkan perkara ke pengadilan;
6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
7) melakukan penuntutan;
8) menutup perkara demi kepentingan hukum;
9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10)melaksanakan penetapan hakim.
Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut
menyatakan bahwa penuntut umum berwenang untuk melakukan
penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak
pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
f. Penghentian Penuntutan
Penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara
commit to user
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139
KUHAP).
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas perkara
hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk
dilimpahkan ke pengadilan. Misalnya, berkas perkara yang hasilnya sudah
lengkap tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) atau
hak menuntut telah gugur karena kadaluarsa berdasarkan Pasal 78 KUHP
atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua
kalinya berdasar asas ne bis idem (Pasal 76 KUHP). Perihal yang demikian
maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum
akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut
ditutup demi hukum dan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP model P-26) sesuai dengan ketentuan
Pasal 140 ayat (2). Di samping itu, penuntut umum dapat menghentikan
penuntutan berdasarkan alasan karena tidak cukup bukti atau perkara
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.
2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk
melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in krach van guwijsde). Peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII
KUHAP mengenai upaya hukum luar biasa Bagian Kedua mengenai
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP
yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
commit to user
Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut mempunyai landasan
mengenai asas pokok peninjauan kembali yang mana kesatuannya tidak
bisa dipisahkan :
1) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan
pemidanaan saja;
2) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana
atau ahlinya saja.
b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan
Kembali
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :
1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (in krach van guwijsde) peninjauan kembali dapat
dimintakan kepada Mahkamah Agung. Apabila belum mempunyai
kekuatan hukum tetap maka peninjauan kembali tidak dapat diajukan
kepada Mahkamah Agung.
2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan.
Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dimintakan
terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Upaya pengajuan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap
semua putusan instansi putusan pengadilan. Hal tersebut maksudnya
yaitu dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung, asalkan putusan pengadilan tersebut sudah
commit to user
3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yakni terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Kedua jenis
putusan tersebut tidak dapat dimintakan peninjauan kembali, hal ini
dimaksudkan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada terpidana
untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan
pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.
c. Pihak yang dapat Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak
mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Oleh
karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusuan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan
untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama
mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa
mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi, jika
yang mengajukan pemintaan peninjauan kembali itu terpidana kemudian
sebelum peninjauan kembali itu diputus oleh Mahkamah Agung terpidana
meninggal dunia, maka dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP telah mengatur
bahwa hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali diteruskan
oleh ahli warisnya. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli
waris menduduki “hak substitusi” dari terpidana (M. Yahya
Harahap,2006:617).
d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
1) Apabila terdapat keadaan baru
Landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah
commit to user
landasan untuk mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan
baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat :
a) jika keadaan baru itu ditemukan atau diketahui dan
dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi
faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
b) jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung,
dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan
yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima;
c) dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan
dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
Agar permintaan peninjauan kembali diterima dan dibenarkan
Mahkamah Agung, maka keadaan baru tersebut harus memenuhi 4
(empat) syarat alternatif, yaitu (Adami Chazawi,2010:68):
a) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan pembebasan;
b) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum;
c) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima, dan
d) syarat-syarat untuk dapat diterapkannya ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2) Apabila dalam pelbagai putusan saling ada pertentangan
Alasan ini digunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali
yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat :
commit to user
b) kemudian tentang pernyataan terbuktinya hal atau keadaan itu
dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu
perkara;
c) akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang
dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang
satu dengan yang lainnya.
3) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan
Alasan ini dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali, apabila putusan terdapat dengan jelas atau pun terlihat
dengan nyata yakni : kekhilafan hakim, atau kekeliruan hakim.
Hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dan
kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan bisa terjadi dalam semua tingkat
pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa
berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertama dan tingkat
banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.
Padahal tujuan dari tingkat banding maupun kasasi untuk meluruskan dan
memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat
pengadilan yang lebih rendah.
e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali
Berdasarkan Ilmu Hukum Acara Pidana maka pengajuan
peninjauan kembali harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil
sebagaimana ditentukan KUHAP. Kedua syarat ini memerlukan
pemahaman yang saksama.
Syarat formil bagi pengajuan peninjauan kembali adalah:
1) adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap;
2) putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan
commit to user
3) diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;
4) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara
tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 264 ayat
(1) KUHAP);
5) terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan
kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).
Syarat-syarat materiil pengajuan peninjauan kembali yang
merupakan dasar atau alasan pengajuan peninjauan kembali yang
ditentukan undang-undang sebagai berikut:
1) adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah
diajukan dalam pemeriksaan perkara;
2) adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling
bertentangan;
3) adanya kekeliruan/kekhilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)
KUHAP) (Leden Marpaung,2000:74 ).
Tata cara pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264
KUHAP. Tata cara pengajuan kembali jauh lebih sederhana dibandingkan
dengan tata cara mengajukan permohonan kasasi. Adapun tata cara
pengajuan permohonan pengajuan peninjauan kembali sebagai berikut :
1) Permintaan diajukan kepada panitera
Pemohon mengajukan permintan peninjauan kembali pada panitera
pengadilan negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama yang
selanjutnya akan diteruskan ke Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan
kembali pada prinsipnya yaitu sebagai berikut :
a) diajukan secara tertulis;
b) serta menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari
commit to user
c) boleh juga diajukan secara lisan, maksudnya adalah apabila
pemohon tidak memahami hukum maka permintaan peninjauan
kembali yang secara lisan tadi akan dituangkan dan dirumuskan
panitera dalam bentuk surat permintaan peninjauan kembali.
2) Panitera membuat akta permintan peninjauan kembali
Panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan
permintanan peninjauan kembali mencatat dalam sebuah surat keterangan
yang lazim juga disebut “akta permintaan peninjauan kembali”. Akta atau
surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian
akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.
3) Tenggang waktu mengajukan permintaan peninjauan kembali
Pasal 264 ayat (3) KUHAP telah mengatur mengenai tenggang
waktu dalam pengajuan peninjauan kembali. Ketentuan ini menetapkan
bahwa permintaan peninjauan kembali “tanpa batas waktu”. Tidak ada
batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.
f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri
1) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa
Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan penunjukan hakim
yang bertindak melakukan pemeriksaan. Hakim yang ditunjuk untuk
memimpin sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali adalah
hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan semula.
2) Obyek pemeriksaan sidang
Pasal 265 ayat (1) KUHAP, pemeriksan sidang difokuskan kepada
alasan permintaan peninjauan kembali. Alasan yang menjadi dasar
permintaan peninjauan kembali itulah hakim mengarahkan pemeriksaan
sidang, tidak diperkenankan memeriksan hal-hal yang berada di luar
commit to user
3) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum
Ketentuan Pasal 265 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan
pemeriksaan sidang tentang permintaan peninjauan kembali, dihadiri oleh
pemohon, jaksa penuntut umum, dan mereka yang menyampaikan
pendapat.
4) Berita acara pemeriksaan
Pemeriksan sidang permintaan peninjauan kembali dibuat dalam
“berita acara” sidang yang mana ditandatangani oleh hakim, jaksa,
pemohon, dan panitera.
5) Berita acara pendapat
Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang
berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang dibuat berdasarkan
berita acara pemeriksaan.
6) Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung
Hal-hal yang harus dikirimkan Ketua Pengadilan Negeri kepada
Mahkamah Agung adalah :
a) surat permintaan peninjauan kembali;
b) berkas perkara semua selengkapnya, termasuk berita acara
pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang,
segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta
segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;
c) berita acara pendapat.
g. Putusan Peninjauan Kembali
commit to user
Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan
permintaan peninjauan kembali “tidak dapat diterima”. Putusan ini
dijatuhkan berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :
a) permintaan diajukan oleh pihak yang tidak berhak;
b) surat permintaan memenuhi ketentuan Pasal 266 ayat (1)
KUHAP.
2) Putusan menolak permintaan peninjauan kembali
Putusan penolakan permintaan dapat dijatuhkan Mahkamah Agung
dalam hal :
a) alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan
kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, maksudnya alasan itu tidak menyimpang dari
ketentuan pasal tersebut sehingga ditinjau dari segi formal telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2);
b) secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau
“novum”;
c) tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai
keputusan;
d) putusan tidak mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.
3) Putusan yang membenarkan alasan pemohon
Menurut ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP apabila
Mahkamah Agung membenarkan alasan permintaan peninjauan kembali
putusan Mahkamah Agung yang mengiringi pembenaran terebut:
a) putusan bebas;
b) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
commit to user
d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya Peninjauan Kembali
1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.
Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP, yang
menegaskan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Akan tetapi, Mahkamah Agung diperbolehkan memberikan hukuman lebih
ringan daripada hukuman semula.
2) Permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan
putusan.
Peninjauan kembali tidak merupakan alasan untuk menghambat
atau menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjuan
kembali berjalan terus namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus.
3) Permintaan peninjuan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan
permintaan peninjauan kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja.
Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi untuk
kepentingan umum.
3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan
a. Pengertian Praperadilan
Praperadilan adalah lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya
KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga
peradilan yang mandiri terlepas dari Pengadilan Negeri karena dari
perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa
commit to user
melakukan pemeriksaan pendahuluan. Di Belanda ada yang dikenal
dengan istilah Rechter Commissaris atau dikenal dengan Hakim Komisaris
dan di Prancis dikenal dengan istilah Judge d’ insruction yang mana
lembaga-lembaga tersebut benar-benar dapat disebut praperadilan karena
selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga
melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara (Andi
Hamzah,2002:183-184).
Selain itu Sudaryono mengatakan bahwa di Amerika Serikat,
lembaga tersebut adalah Habeas Corpus (Amerika Serikat). Gregory
Churchil menjelaskan bahwa Habeas Corpus merupakan upaya hukum
yang menentang dilangsungkannya penahanan seseorang. Habeas Corpus
berfungsi sebagai pengawasan oleh pengadilan terhadap tindakan resmi
yang membatasi atau mempengaruhi kemerdekaan pribadi orang. Fungsi
Habeas Corpus di Amerika Serikat adalah sama dengan fungsi
praperadilan di Indonesia (Sudaryono,2001:208).
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP,
tentang (Pasal 1 butir 10 KUHAP) :
1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
hukum tersangka;
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3) permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang