• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ke empat, penulis akan memberikan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya serta saran penulis terhadap beberapa kekurangan yang ditemukan dan sekiranya perlu diperbaiki dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka mencakup bahan hukum baik primer maupun bahan hukum sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel dari media elektronik.

commit to user

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Anak

a. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :

“ Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” .

Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :

“ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” . Berdasarkan undang-undang diatas maka anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah. Oleh karena itu, anak tidak dapat dikenaan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena berpikir dan dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya.

b. Pengertian Anak Nakal

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perbuatan melanggar hukum dilakukan seseorang anak di kualifikasi sebagai perbuatan “nakal”, sehingga terhadap anak pelaku pelanggaran tersebut diberikan istilah “anak nakal”. Sebagai mana di tegaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak menyatakan secara jelas status dan kedudukan anak.

commit to user

Pengertian anak nakal berbasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah :

1). anak yang melakukan tindak pidana; atau

2). anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian delinquency menurut Simanjuntak yang dikutip oleh

Marlina (Marlina, 2009:39) adalah :

1). Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang

merupakan perbuatan pemerkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelaggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para deliquent.

2). Juvenile delinquent adalah pelaku yang terdiri dari anak (berumur di

bawah 21 tahun), yang termasuk yuridiksi Pengadilan Anak/Junenile Court.

Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency ini menurut Adler yang dikutip oleh Wagianto (Wagianti Soetodjo, 2006:13-14) adalah :

1). Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;

2). Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan mengacaukan ketraman

lingkungan sekitar;

3). Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku,

sering membawa korban jiwa;

4). Membolos sekolah lalu berlandangan sepanjang jalan bersembunyi

ditempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kejurjanaan dan tindakan asusila;

commit to user

5). Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan

mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggaggu, menggarong, melakukan pembunuhan, dan pelangaran lainya;

6). Berpesta sambil mabuk-mabukan yang menggaggu sekitarnya;

7). Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial,

atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensantoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam, dan kekecewaan;

8). Kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat kaitanya dengan tindak

kejahatan;

9). Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan

sehingga menimbulkan akses kriminal;

10). Komersialosasi seks, pengguguran jani oleh gadis-gadis delinkuen

dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu yang tidak kawin;

11). Tindakan radial dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan

pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.

2. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice

a. Pengertian Restorative Justice

Dalam United Nations Basic Principles on the Use of Restorative

Justice Programmes in Criminal Matters mendefinisikan proses

restorative justice adalah :

"Restorative process" means any process in which the victim, the offender and/or any other individuals or community members affected by a crime actively participate together in the resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and impartial third party. Examples of restorative process include mediation, conferencing and sentencing circles (United Nations, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters, article 3 ).

commit to user

Menurut United Nations Basic Principles on the Use of

Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, proses restorative

jusstice berarti proses di mana korban, pelanggar dan/atau anggota masyarakat atau individu lain yang terpengaruh oleh suatu kejahatan dengan aktif mengambil bagian bersama-sama di dalam berbagai hal yang timbul dari kejahatan, sering dengan bantuan suatu pihak ketiga tak berat sebelah dan adil.

Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua kerugian yang diderita oleh semua pihak (Marlina, 2009 : 31). Tujuan

konsep pendekatan restorative justice adalah mencapai konsensus

mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik. Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antarmanusia, daripada menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil alih penyelesaian konflik yang merupakan kejahatan, karena suatu tindak

pidana dalam keadilan restoratif tidak dipandang sebagai kejahatan

terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban. Kriteria Restorative Justice antar lain :

a) Kasus kenakalan anak yang tidak mengorbankan kepentingan orang

banyak.

b) Kenakalan anak tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat,

cacat.

c) Kenakalan anak yang bukan kejahatan susila serius dan menyangkut

commit to user Tabel 1

Perbandingan Konsep Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif

No. Retributive Justice Restorative Justice

1. Kejahatan dirumuskan sebagai

pelanggaran terhadap negara,

hakekat konflik dari kejahatan dikaburkan dan ditekan.

Kejahatan dirumuskan sebagai

pelanggaran seseorang terhadap

orang lain, dan diakui sebagai konflik.

2.

Perhatian diarahkan pada penentuan kesalahan pada masa lalu.

Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.

3. Hubungan para pihak bersifat

perlawanan, melalui proses teratur dan bersifat normatif.

Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.

4.

Penetapan penderitaan untuk penjeraan dan pencegahan.

Restitusi sebagai sarana perbaikan

para pihak, rekonsiliasi dan

restorasi sebagai tujuan utama.

5.

Keadilan dirumuskan dengan

kesengajaan dan dengan proses.

Keadilan dirumuskan sebagai

hubungan hak, dinilai atas dasar hasil.

6.

Kerugian sosial yang satu digantikan dengan yang lain.

Sarana perhatian pada perbaikan sosial.

7.

Masyarakat berada pada garis samping dan ditampilkan secara abstrak oleh negara.

Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif.

8.

Aksi diarahkan dari negara pada pelaku tindak pidana.

Peran korban dan pelaku kejahatan diakui, baik dalam masalah maupun

commit to user

Sumber : Jurnal Rena Yulia

Tabel 2

Pergeseran Keadilan Retributif kepada Keadilan Restoratif terhadap Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana

kebutuhan korban, pelaku kejahtan

di dorong untuk melakukan

pertanggung jawaban.

9. Pertanggungjawaban si pelaku

tindak pidana dirumuskan dalam rangka pemidanaan.

Pertanggungjawaban si pelaku

dirumuskan sebagai dampak

pemahaman terhadap perbuatan dan untuk memutuskan yang terbaik.

10. Tindak pidana dirumuskan dalam

terminology hukum yang bersifat teoritis dan murni tanpa dimensi moral, sosial dan ekonomis.

Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis.

11.

Stigma kejahatan tidak dapat dihilangkan.

Stigma dapat dihapus dengan restoratif.

Tema Pokok Keadilan Retributif Keadilan Restoratif

Orientasi keadilan Kepada pelanggar dan

karena pelanggarannya

Kepada kepentingan korban

Kejahatan Melanggar negara Melanggar hak

perseorangan

Korban Negara Orang yang dirugikan

langsung,

masyarakat, negara

dan pelanggar sendiri Sistem Peradilan Pidana Mengadili pelanggar dan menjatuhkan Menyelesaikan konflik antara

commit to user

Sumber : Jurnal Mahmud Mulyadi.

b. Dasar Restorative Justice

United Nations, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice

Programmes In Criminal Matters ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc.

E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.

Prinsip-prinsip restorative justice antara lain sebagai berikut

(Unicef, 2004 : 357) :

1). Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian

yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

2). Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;

3). Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan

teman sebaya;

4). Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah; menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.

pidana sebagai

rasionalisasi pembalasan

pelanggar dengan

korbannya

Pemidanaan Pidana bersifat

pembalasan atas pelanggaran hukum pidana Pertanggung jawaban pelanggar terhadap akibat perbuatannya Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

commit to user c. Variasi Penerapan Restorative Justice

Bentuk-bentuk praktek restorative justice yang telah berkembang

di negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan New Zealand dapat dikelompokan dalam empat praktek yang menjadi dasar pioneer

penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim Offender

Mediation (VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (FGC),

Circles, dan Restorative Board/Youth Panels (Marlina, 2009:180-196) :

1). Victim Offender Mediation (VOM)

Program Victim Offender Mediation pertama kali dilaksanakan

sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seprti Norwegia dan Firlandia. Tujuan dilaksanakan Victim Offender Mediation adalah memberikan penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasikan dan memfasilitasi pertemuaan. Sasaran dari Victim Offender Mediation adalah proses penyembuhan korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberikan kesempatan pada pelaku belajar terhadap akibat dari perbuatanya dan mengambil tanggung jawab langsung atas perbuatanya itu serta membuat rencana penyelesaian yang terjadi.

2). Conferencing/F amily Group Conferencing (F GC)

Conferencing/Family Group Conferencing dikembangkan pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Tujuanya adalah mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada

commit to user

pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama. Sasaranya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi.

3). Circles

Pelaksanan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,

Canada. Circles sama halnya dengan Conferencing yang dalam

pelaksanaanya memperluas partisipasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama. Tujuanya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat, dan pihak lainya yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin di capai adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk

memperbaiki dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian

kesepakatan.

4). Restorative Board/Youth Panels

Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada

tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance

setelah melihat respon yang baik dari warga terhadap studi yang dilakukan oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan

masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan

yang menjadi dasarnya. Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan anti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasaranya adalah peran aktif

commit to user

anggota masyarakat secara langsung dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada korban dan anggota masyarakat untuk melakukan dialog secara langsung dengan pelaku.

3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Anak

a. Pengadilan Anak

Pengadilan Anak sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebuah pengadilan yang diselengarakan untuk menangani pidana khususnya bagi perkara anak-anak. Dalam undang-undang ini memang dinyatakan untuk menangani perkara pidana, Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak hanya sekedar menyebutkan :

“ Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang

Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini” .

Kompentensi absolute Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan Umum, artinya bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara Anak Nakal dan bermuara pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.

Kompetensi relatif Pengadilan Anak, adalah sesuai dengan tempat kejadian kenakalan anak. Maksudnya, adalah pengadilan yang berwenang mengadili perkara itu adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kejadian tindak pidana yang terjadi. Undang-undang Pengadilan Anak dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang memedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut (Maidin Gultom, 2008:86-88) :

1). Pembatasan umur (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 ayat (1)

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara

commit to user

limitatif, yaitu minimum berusia 8 (delapan) tahun dan maksimal berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah;

2). Ruang lingkup masalah yang dibatasi: masalah yang diperiksakan

di sidang Pengadilan Anak, hanya menyangkut perkara Anak Nakal saja. Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara pidana. Sidang Pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal (Pasal 21 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak);

3). Di tanggani oleh pejabat khusus: perkara Anak Nakal ditanggai

pejabat khusus yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak;

a). Penyidik adalah Penyidik Anak, syarat untuk ditetapkan

sebagai Penyidik Anak adalah :

(1).Telah berpegalaman sebagai penyidik tindak pidana yang

dilakukan orang dewasa.

(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah anak.

b). Hakim adalah Hakim Anak. Hakim pada Sidang Anak

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usulan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak adalah :

(1).Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum.

(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

maslah anak.

c). Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak. Penuntutan

commit to user

ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak adalah :

(1).Telah berpangalaman sebagai Penuntut Umum tindak

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami

masalah anak.

4). Peran Pembimbang Kemasyarakatan : Undang-undang Nomor 3

tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengakui peranan Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Pekerja Sosial Relawan;

5). Suasana pemeriksaan adalah kekeluargaan: pemeriksaan perkara

dipengadilan dilakukan dalam suasana kekeluragaan, karena itu Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum tidak memakai toga;

6). Keharusan Splitsing: anak tidak boleh disidangkan/diadili bersama

orang dewasa baik berstatus sipil maupun militer;

7). Acara pemeriksaan tertutup: acara pemeriksaan perkara di

Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup, dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997);

8). Diperiksa oleh Hakim tunggal: hakim yang memeriksa perkara di

Pengadilan Anak, baik di tinggkat pertama, banding, atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila tindak pidana diancam dengan pidana penjara diatas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perkara diperiksa dengan hakim majelis;

commit to user

9). Masa penahan lebih singkat: masa penahanan terhadap anak lebih

singkat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibandingkan dengan masa penahanan terhadap orang dewasa;

10). Hukuman yang lebih ringan: hukuman yang dijatuhkan terhadap

Anak Nakal lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.

b. Putusan Anak Nakal

Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menerangkan bahwa terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhi pidana atau tindakan.

1). Pidana terhadap Anak Nakal

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

a). Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

(a). pidana penjara; (b). pidana kurungan; (c). pidana denda; atau (d). pidana pengawasan.

b). Selain pidana pokok, Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana

tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

2). Tindakan yang dilakukan Hakim kepada Anak Nakal

a). Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b). menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja;

c). menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;

commit to user

d). semua tindakan harus disertai dengan teguran oleh hakim.

4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak

a. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum terhadap Anak

Pada tanggal 26 januari 1990 di New York, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatagani Konvensi Hak-hak Anak 1989. selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1990 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No.

36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child.

Dengan demikian, dalam upaya melakukan perlindungan anak melalui hukum pidana, sewajarnya memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang

dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, khusus dinyatakan dalam Articel

37 dan Articel 40.

Artikel 37 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai berikut (Barda Nawawi Arief, 2000:158-159) :

1). Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan

lainya yang kejam. Tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

2). Pidana mati maupun penjara seumur hidup tanpa kemungkinan

memperoleh pelepasan/pembebasan tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun;

3). Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaanya secara

melawan hukum atau sewenang-wenang penangkapan, penahanan, dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;

4). Setiap anak yang dirampas kemerdekaanya akan diperlakukan secara

manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;

5). Anak yang dirampas kemerdekaanya akan dipisahkan dari orang

commit to user

6). Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperolah

bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya dimuka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya itu.

Article 40 tersebut antara lain terkandung prinsip-prinsip perlindungan hak-hak anak pelangar hukum yang secara umum. Prinsip-prinsip tersebut antara lain (Nanang Sambas, 2010:193-194) :

1). Perlakuan hak anak secara memadai sesuai tingkatan pemahaman

anak, mengusahakan anak menguasai rasa hormat pada pihak lain, sambil berusaha mengintegrasikan anak kembali ke masyarakat :

2). Asas legalitas;

3). Asas presumption of innocence;

4). Penjelasan tuduhan dan pemberian bantuan hukum;

5). Pemeriksaan yang fair dengan melibatkan orang tua dan penasehat

hukum anak;

6). Pemberian tindakan pada anak oleh lembaga yang berwenang sesuai

hukum yang berlaku;

7). Pemberian juru bahasa;

8). perlindungan “privacy” anak.

b. Tujuan Perlindungan Hukum dalam Proses Peradilan terhadap Anak

Berikut ini tujuan perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan bila anak berkonflik dengan hukum (Barda Nawawi Arief, 1992:113) :

1). Memajukan Kesejahteraan Anak

Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam hukum yang menangani pelanggar anak-anak, khususnya di dalam sistem

commit to user

hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih menekankan atau mengutamankan kesejahteraan anak. Bahwa prinsip ini berarti menunjang prinsip untuk menghadiri penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum.

2). Prinsip Proposionalitas

Ditegaskan bahwa sasaran yang kedua, yaitu prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata. Proses peradilan anak harus juga dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

commit to user

Pengaruh Buruk Proses Peradilan bagi Anak

Kelemahan dan Kekurangan

Restorative Justice Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal

Matters

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Skematik Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Kerangka pikir tersebut merupakan alur pikiran penulis dalam menggambarkan, mengurai dan menemukan jawaban dari permasalahan

yang penulis angkat dalam penelitian hukum yaitu konsep restorative

Anak yang Berhadapan dengan Hukum Pidana Anak

Proses Peradilan Anak Undang-undang No.3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak

commit to user

justice dalam sistem peradilan anak sebagai upaya perlindungan terhadap

Dokumen terkait