commit to user
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE
BERDASARKAN UNITED NATIONSBASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS
DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
ADI CHAHYA NUGRAHA
E0006049
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE
BERDASARKAN UNITED NATIONSBASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL
MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
oleh :
ADI CHAHYA NUGRAHA NIM. E0006049
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 31 Desember 2010
Pembimbing I, Pembimbing II,
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE
BERDASARKAN UNITED NATIONSBASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL
MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN ANAK
oleh :
ADI CHAHYA NUGRAHA NIM. E 0006049
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 18 Januari 2011
DEWAN PENGUJI
1.Bambang Santosa S.H., M.Hum. : ... NIP. 196202091989031001
Ketua
2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. : ... NIP. 198210082005011001
Sekretaris
3.Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 1957291985031002
Anggota
Mengetahui : Dekan,
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : ADI CHAHYA NUGRAHA
NIM : E 0006049
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) berjudul
TELAAH URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS
DALAM SISTEM PERADILAN ANAK, adalah betul-betul karya sendiri.
Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini diberi tanda
citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 31 Desember 2010 yang membuat pernyataan
commit to user
JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM
PERADILAN ANAK. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai
konsep restorative justice dalam United Nation, Basic Principles On The Use Of
Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters. Dari hasil telaah itulah akan menjadi dasar bagi penulis untuk menemukan solusi bagi anak delinkuen yang berhadapan dengan hukum sebagai upaya memberikan perlindungan bagi anak delinkuen dalam proses peradilan pidana anak.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptifyang bertujuan untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai
konsep restorative justice dalam sistem peradilan anak. Dengan menggunakan
pendekatan peraturan perundang undangan dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi pustaka yaitu dengan pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diklarifikasi menyesuaikan dengan masalah untuk kemudian dibahas, dipaparkan, dan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme untuk membangun logika hukum.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, pertama
program restorative justice dengan sasaran untuk mencapai perdamaian dan
resolusi perselisihan kemudian membangun kembali hubungan dipandang sebagai metode utama untuk mencapai keadilan dan mendukung korban, pelaku dan untuk
kepentingan masyarakat. Dalam perlaksanaan proses konsep restorative justice
diserahakan kepada negara masing-masing, dan restorative justice melengkapi
dan bukan mengantikan sistem peradilan anak yang sudah ada. Kedua, metode Restorative Justice menjadi salah pilihan dan solusi yang tepat untuk melengkapi penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep sebagai salah satu perlindungan bagi anak yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak. Menurut
konsep reastorative justice, dalam menyelesaikan tindak pidana yang terjadi,
korban akan mengemukakan alasan menurut pemikiran dan pandangannya tentang tindak pidana yang terjadi.
commit to user
SYSTEM. FACULTY OF LAW, UNIVERSITY OF SEBELAS MARET.
The purpose of this research is to know in depth about the concept of restorative justice in the United Nations, Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters. From the results of the review, it will be the basis for the writer to find solutions for Juvenile delinquent who deal with the law as an effort to provide protection for Juvenile delinquent children in the criminal justice process.
This research is a normative laws prescriptive used to find answers of legal issues regarding the concept of restorative justice in juvenile justice system. By using the statute approach and conceptual approach. Type of legal materials that the writer use are the primary legal materials and secondary legal materials. Collection of legal materials techniqu is done by literature study which is to collect primary legal materials and secondary legal materials clarified with the problem to be discussed, presented, and then analyzed with of law syllogism a technique to build the logic.
Based on the research results and generated discussion it creates conclutions, first, restorative justice program with goals to achieve peace and resolution of disputes and then rebuild the relationship are seen as the primary method for achieving justice and support victims, perpetrators and the interest of society. The process of the concept of restorative justice is implement to their respective countries, and restorative justice as acomplement and it is not replace the juvenile justice system that already exists. Second, the method of Restorative Justice become of the one choice and the right solution to complete the result of criminal cases committed by children, because it was the concept of the protection of children is putting the best interests of the child and does not ignore the rights of children. According to the concept of reastorative justice, to solve the crime that occurred, the victim will be argued by the thoughts and views on crime that occurs.
commit to user
vii
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, w alaupun t erhadap dirimu
sendiri at au t erhadap ibu bapak dan kaum kerabat mu. Jika dia (yang t erdakw a) kaya at au
miskin, maka Allah lebih t ahu kebaikannya. M aka janganlah kamu mengikut i haw a naf su
karena ingin menyimpang dari kebenaran.
(Q.S. An-Nisa ayat 135)
No Pain No Gain
( No Name )
“H al t erburuk akan t erjadi saat Anda membanding-bandingkan diri Anda dengan orang lain,
pasalnya, Anda akan selalu kalah. Saya lebih percaya dengan kemampuan saya"
( Jose Mourinho )
Kemampuan ada batasnya namun usaha adalah tidak terbatas, sebaik-baiknya
manusia adalah yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
My special thanks to…
Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :
1. Specially untuk Bapakku Mustajab dan Ibuku Alwiyatun, karya ini aku
persembahkan spesial untuk kalian, terkhusus yang telah membimbing penulis
dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, mendoakan, mendidik, dan
mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala hal yang terbaik bagi diri
penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan dengan kata-kata, tak
dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun. Kalianlah orang tua juara
satu.
2. Adikku B. N. Rahmawaty aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
3. Untuk Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) ”Principium” Fakultas Hukum
UNS, berbagai kenangan yang terbalut tawa, senyum manis kakak-kakak,
kawan-kawan serta adik-adik akan selalu kukenang. Seseorang di dalamnya
terimakasih atas semuanya.
4. Sahabat-sahabatku Erik, Doyok, Juni, Himza, Haris, Rudi Plentus, Didit,
Fajar, Aji Bege, Faryd, Zaki, Andri, Pras, Lian, Gurindo, Dawud, Puguh
terima kasih untuk waktunya selama ini kawan, jangan lupakan saya bila kita
semua sukses nanti.
5. Buat kontrakan Marmos Arya, Andri, Jalal, Hakim, Muji, Ade, Apit, Ongho,
Yusuf, Wisnu, David terima kasih telah menemani memperjuangkan masa
depan di masa perkuliahan ini.
6. Kawanku All Star Tri Motor FC, Hanung, Danni, Qomar dll.
7. Kawan-kawanku angkatan 2006 Fakultas Hukum Unversitas Sebelas Maret
untuk semuanya terima kasih sekali.
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini dengan judul : “TELAAH
URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN UNITED
NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE JUSTICE
PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM PERADILAN
ANAK”. Penulisan Hukum ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai
persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi)
ini tidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia hidup serta nikmat keimanan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi ini.
2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga
akhir jaman.
3. Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H, M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas
commit to user
x
Pembimbing Pertama dalam Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan
bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan.
6. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Kedua
Penulisan Hukum ini, yang telah memberikan masukan serta bimbingannya.
Terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang sangat penulis
butuhkan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis
berkonsultasi dengan tangan terbuka.
7. Bapak Bambang Santosa S.H, M.Hum selaku ketua dewan panguji yang telah
mamberikan masukan saran dan kritik untuk penulisan hukum ini.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu, terima kasih penulis haturkan, atas ilmu yang telah
diberikan pada penulis.
9. Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas
Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang
telah diberikan.
10.Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan
peluh harap yang diberikan.
11.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan
saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi
diri pribadi penulis maupun para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2010 Penulis
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……… iii
HALAMAN PERNYATAAN……….. iv
ABSTRAK………... v
ABSTRACT……….. vi
MOTTO………. vii
PERSEMBAHAN………. viii
KATA PENGANTAR……….. ix
DAFTAR ISI………. xi
DAFTAR TABEL………. xiii
DAFTAR GAMBAR……… xiv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang………. 1
B. Rumusan Masalah……… 6
C. Tujuan Penelitian……….. 6
D. Manfaat Penelitian……… 7
E. Metode Penelitian………. 8
F. Sistematika Penulisan Hukum……….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 14
A. Kerangka Teori……….……… 14
1. Tinjauan Umum Tentang Anak……….. 14
a). Pengertian Anak……… 14
b). Pengertian Anak Nakal………. 14
2. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice……… 16
a). Pengertian Restorative Justice………. 16
commit to user
xii
c). Variasi Penerapan Restorative Justice………. 21
3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Anak……… 23
a). Pengadilan Anak……….. 23
b). Putusan terhadap Anak Nakal……….. 26
4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak……… 27
a). Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Pidana terhadap Anak………. 27
b). Tujuan Perlindungan dalam Proses Peradilan terhadap Anak………. 28
B. Kerangka Pemikiran……….……… 30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 32
A. Konsep Restorative Justice dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters 2000………. 32
B. Konsep Restorative Justice Dalam Melengkapi Penyelesaian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum……….. 51
BAB IV PENUTUP………... 70
A. Simpulan……….. 70
B. Saran……… 71
DAFTAR PUSTAKA………... 73
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Keadilan Restoratif dan Keadilan
Retributif……….... 18
Tabel 2. Pergeseran Keadilan Retributif kepada Keadilan Restoratif
terhadap Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana……….. 19
Tabel 3. Batas Usia Minimal Anak Pelaku Tindak Pidana di Berbagai
Negara……… 54
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah generasi penerus bangsa yang memerlukan pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial secara seimbang. Anak memiliki keterbatasan dalam
memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada terutama
sistem peradilan, karena anak belum matang secara fisik maupun psikis.
Perlindungan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai
kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak. Di samping itu kenakalan anak disebabkan
karena pengaruh lingkungan, terutama lingkungan di luar rumah. Kebanyakan
remaja bermain di luar rumah, berkumpul dengan teman-temanya baik teman di
rumah maupun teman satu sekolah, atau teman satu kelompok. Kalau
teman-temanya di lingkungannya tersebut berbuat yang tidak baik, biasanya si anak
tersebut terpengaruh sikapnya, tanpa menilai terlebih dahulu. Sikap mudah
terpengaruh ini tidak lepas dari perkembangan pribadi remaja (Gatot Supramono,
2000:4).
Hak anak merupakan hak yang melekat dalam diri seorang anak
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Banyak faktor yang
memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal
yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem
peradilan, baik sebagai pelaku maupun korban. Dibentuknya undang-undang
tentang pengadilan anak, antara lain karena disadari bahwa walaupun kenakalan
anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun
hal tersebut diakui sebagai gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta
commit to user
Dalam perjalanan pengaturannya masalah hukum pidana anak mengalami
perkembangan. Pada tahun 1997 dikeluarkan Undang-undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak dan pembentukan Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindugan Anak dimaksudkan sebagai upaya untuk
perlindungan anak. Akan tetapi dalam pelaksanaanya sistem peradilan anak di
Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Persoalan yang ada diantaranya
dilakukan penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari
penyidikan, penuntutan, pengadilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana
anak dalam lembaga pemasyarakatan yang meninggalkan trauma dan sifat negatif
terhadap anak. Pengadilan Anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang (Bambang
Waluyo, 2000:102).
Anak yang diduga melakukan tindak pidana, tidak tertutup
kemungkinannya untuk ditahan di rumah tahanan negara, menjadi tahanan rumah
atau kota. Penahanan dilakukan setelah sungguh-sungguh mempertimbangkan
kepentingan anak dan kepentingan masyarakat. Penahanan terhadap seorang anak
yang terlibat tindak pidana, pada pokoknya tetap berpedoman kepada Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa penahanan dapat
dilakukan apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan dengan
pidana penjara lima tahun ke atas. Lamanya waktu penahanan untuk tiap tingkatan
pemeriksaan tidak sama dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-undang Pengadilan Anak memberikan waktu lebih pendek
dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kasus Raju di wilayah Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan
Brandan Kabupaten Langkat Sumatra Utara ternyata menjadi titik tolak bagi dunia
hukum dan peradilan anak di Indonesia. Sebagaimana dilansir Berita Harian
Kompas yang memberitakan kasus Raju, telah menimbulkan berbagai tanggapan
terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
commit to user
melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain. Proses
persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan
Brandan Kabupaten Langkat Sumatra Utara itu sebenarnya sudah prosedural,
sesuai dengan ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku namun tetap timbul
berbagai protes dari para pemerhati anak Indonesia. Ketua Komnas Perlindungan
Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju
dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-undang Pengadilan Anak.
Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem peradilan anak dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kembali
dipertaruhkan, padahal Undang-undang ini dianggap formulator sebagai model
peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berkaitan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya. Adapun Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyangkut masalah
proses hukum terutama Pasal 50 s/d 68 selain Pasal 64 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) (http://hukumadil.blogspot.com
/2009/04/urgensi-paradigma-restorative-justice. html>[30 Juli 2010 Pukul 20.30
WIB]). Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan anak seharusnya menjadi
pilihan terakhir dari aparat penegak hukum terkait, sebagaimana diamanatkan
Undang-undang Pengadilan Anak, maupun Undang-undang Perlindungan Anak.
Akan tetapi, realita menunjukkan antara teori dengan praktik kerap kali terjadi
kesenjangan di negeri ini. Bahkan, penerapan hukum sering dirasakan oleh si
lemah begitu keras, kaku, dan salah kaprah.
Ketika produk hukum di Indonesia masih banyak mengandung celaan
hukum, Konvensi Hak-hak Anak merupakan instrument ini mengatur tentang
anak yang dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 44/25
tentang Convention on The Right of the Child (CRC), telah disahkan pada tanggal
20 November 1989. Pada intrumen tersebut, ketentuan khusus yang mengatur
tentang anak pelaku delinkuen tercantum dalam Article 40. Dalam article tersebut
antara lain terkandung prinsip-prinsip perlindungan hak-hak anak pelangar hukum
commit to user
proporsionalitas. Prinsip Beijing Rules mengatur anak pelaku tindak pidana
dihindarkan dari pidana penjara. Penjatuhan pidana merupakan upaya terakhir,
karena penjatuhan pidana terhadap pelaku anak berakibat anak masuk lembaga
pemasyarakatan anak (Marlina, 2009:12).
Anak adalah anak, bukan orang dewasa yang kecil, sehingga dalam proses
hukumanpun dibedakan dari orang dewasa. Ada dua hal yang menjadi dasar
pemikiran dan menjadi dasar landasan menyelenggarakan proses peradilan pidana
bagi anak. Pertama bahwa anak yang melakukan tindak pidana bukanlah
dipandang sebagai penjahat, tetapi harus dilihat sebagai orang yang memerlukan
bantuan. Kedua pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih
mengutamakan persuasive-edukatif dan pendekatan kejiwaan/psikologi, yakni
sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat
menghukum, bersifat degradasi proses stigmatisasi yang dapat menghambat
proses perkembangan, kematangan, dan kemandirian anak dalam arti yang wajar
(Waluyadi, 2009:146).
Menghadapi persoalan di atas, tentunya kata menghukum bukan menjadi
harga mati, oleh karena bertentangan dengan keadilan, sehingga yang terpenting
adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang bersifat prosedural dan
mencari alternatif hukuman yang paling sesuai dengan kondisi anak dan demi
kebaikan serta kesejahteraan anak. Upaya penangulangan kejahatan dengan
pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa
pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan media massa. Konsep restorative
justice merupakan bentuk alternatif penyelesaian tindak pidana yang diarahkan
kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak terkait
dalam tindak pidana yang terjadi.
United Nations Children and Education Fund (UNICEF) mengelar
kongres yang diselenggarakan di tahun 1990 dan 1995, beberapa lembaga
swadaya masyarakat dari beberapa negara mensponsori sejumlah sesi pertemuan
commit to user
berkonflik dengan hukum. Sejak itu berbagai minat dan program serta kebijakan
dengan menggunakan pendekatan ini dilakukan diberbagai negara dan menjadi
topik yang mengemuka. Pada Tahun 1995 itu pula, dalam sejumlah sesi
pertemuan di kongres yang dilaksanakan di Kairo ini, dibicarakan secara tajam
dan mendalam hal-hal yang teknis berkaitan dengan penggunaan pendekatan
restorative justice dalam penanganan perkara pidana anak. Hingga pada kongres
selanjutnya yang digelar pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic
Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters
yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan
restorative justice (http://evacentre.blogspot.com/p/
restorative-justice-di-indonesia.html>[30 Juli 2010 Pukul 20.45]).
Konsep restorative justice telah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Kelompok
Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan
restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan
tindak pidana, dengan duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan
memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang. Proses
restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan
diversi, yaitu pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah. Model peradilan anak restorative justice
berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi
anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban,
pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan
restoratif ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima
perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan
memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem
peradilan anak.
Kaitannya dengan penulisan hukum ini, Penulis ingin mengkaji mengenai
konsep restorative justice dalam sistem peradilan anak. Penulis kemudian
commit to user
URGENSI KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN
UNITED NATIONS BASIC PRINCIPLES ON THE USE OF RESTORATIVE
JUSTICE PROGRAMMERS IN CRIMINAL MATTERS DALAM SISTEM
PERADILAN ANAK”.
B. Rumusan Masalah
Penelitian hukum diperlukan adanya suatu perumusan masalah sebagai
informasi yang mengandung pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan.
Berdasarkan hal di atas dan latar belakang, maka dalam penelitian ini peneliti
dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep restorative justice berdasarkan United Nations Basic
Principles On The Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal
Matters dalam sistem Peradilan Anak ?
2. Apakah konsep Restorative Justice dapat melengkapi dalam penyelesaian
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka ada suatu tujuan yang
hendak dicapai dalam suatu penelitian. Oleh karena itu dalam penyusunan
penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui konsep restorative justice dalam peradilan anak di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui konsep restorative justice dalam melengkapi
commit to user
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar Strata Satu
dalam bidang Ilmu Hukum pada Universitas Sebelas Maret.
b. Mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan
untuk lebih meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang penulis
dapat selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatau penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai.
Adapun mafaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharap dapat memberikan sumbangan karya ilmiah dalam
perkembangan bidang ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Acara
Pidana pada khususnya, yang utamanya berkaitan dengan penggunaan
konsep restorative justice dalam Peradilan Anak.
b. Penelitian ini diharap memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
pengetahuan, dan sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis
berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharap memberikan jawaban atas masalah yang menjadi
pokok bahasan penelitian ini.
b. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan pola kritis
bagi pihak terkait, dan berkenaan dengan memberikan solusi terhadap
commit to user E. Metode Penelitian
Di dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan suatu faktor yang
penting dalam menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan
dibahas, metode merupakan cara utama yang akan digunakan untuk mencapai
tingkat ketelitian yang dihadapi. Dalam penulisan hukum ini digunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini
termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal.
Hutchinson mendefinisikan penelitian hukum doktrinal sebagai berikut,
“Doctrinal Research : Research which provides a systematic exposition of the
rules governing a particular legal category, analyses the relationship between
rules, explain areas of difficulty and, perhaps, predicts future devolepment”
(Peter Mahmud Marzuki, 2008:32).
Penelitian doktrinal adalah penelitian yang menyertakan eksposisi
yang sistematis pada aturan pemerintah berupa kategori peraturan khusus,
analisis hubungan antar aturan, penjelasan tentang kesulitan dan
kemungkinan, prediksi perkembangan peraturan yang akan datang.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Dalam usaha memperolah bahan hukum yang
diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan
metode penelitian preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2008:22).
Berdasarkan penjelasan di atas, dikaitkan upaya penulis untuk
menemukan jawaban atas konsep restorative justice dalam Peradilan Anak di
commit to user
anak terkait anak yang berkonflik dengan hukum. Konsep restorative justice
dalam melengkapi penanganan anak delinkuen.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah Pendekatan-pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komperatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2008:93).
Adapun penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa
pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dengan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Undang-undang yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
kemudian konsep yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah konsep
restorative justice, dalam United Nation, Basic Principles On The Use Of
Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi
commit to user
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141).
a. Bahan Hukum Primer
1). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2). Kitap Undang-undang Hukum Pidana;
3). Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana;
4). Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
5). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang akan digunakan di dalam penelitian
hukum ini adalah buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal
hukum, artikel, internet, dan sumber lainya yang memiliki korelasi dengan
isu hukum yang akan diteliti di dalam penelitian hukum ini.
5. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka
untuk memperolah bahan hukum yang mendukung kegiatan penulisan hukum
commit to user
studi kepustakaan atau bahan pustaka, baik dari media cetak maupun
elektronik.
6. Tehnik Analisis Bahan Hukum
Tehnik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini adalah silogisme dan interpretasi. Silogisme merupakan metode
argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis yang menyatakan
permasalahan yang berlainan. Dalam mengambil konklusi harus mengambil
sandaran untuk berpijak. Sandaran umum dihubungkan dengan permasalahan
yang lebih khusus melalui term yang ada pada keduanya (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:100).
Metode yang lazim digunakan di dalam penalaran hukum adalah
metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,
penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor.
Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik
kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008:47).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka
peneliti menjabarkan dalam bentuk sitematika penulisan hukum yang terdiri dari 4
(empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi atas sub-sub bagian yang dimaksud
untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini.
Adapun sitematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada Bab ini diketengahkan mengenai latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
commit to user
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka teori ini penulis mengetengahkan landasan teori dari para
pakar maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian. Landasan teoritik tersebut
meliputi tinjauan umum tentang Anak, tinjauan umum tentang
Restorative Justice, tinjauan umum tentang Pengadilan Anak,
tinjauan umum tentang Perlindungan Anak. Selain itu, guna
memberikan gambaran terkait logika berfikir penulis dalam
memecahkan problematika isu hukum yang diangkat dalam
penelitian ini, maka dalam bab ini juga disertakan kerangka
pemikiran.
B. Kerangka Pemikiran meliputi skema konsep dari alur pemikiran
penulis dalam melakukan penelitian ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan memaparkan dan membahas hasil
penelitian dari bahan hukum yang berkaitan dengan isu hukum yang
diketengahkan. Guna mempermudah dalam memaparkan dan
membahas hasil penelitian, maka penulis membaginya dalam dua
tahap berdasarkan rumusan masalah yang ada.
1. Tahap pertama, penulis membahas mengenai konsep Restorative
Justice berdasarkan United Nations Basic Principles On The
Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters
dalam sistem Peradilan Anak.
2. Tahap kedua, penulis, membahas mengenai konsep Restorative
Justice dalam melengkapi dalam penyelesaian penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum guna mewujudkan perlindungan
commit to user
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ke empat, penulis akan memberikan simpulan dari
hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya serta saran penulis terhadap beberapa kekurangan yang
ditemukan dan sekiranya perlu diperbaiki dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka mencakup bahan hukum baik primer maupun
bahan hukum sekunder, berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, jurnal-jurnal, dan artikel dari media elektronik.
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :
“ Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin” .
Pengertian anak dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :
“ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” .
Berdasarkan undang-undang diatas maka anak adalah seseorang
yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan dan belum pernah menikah. Oleh karena itu, anak tidak dapat
dikenaan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena berpikir dan
dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya.
b. Pengertian Anak Nakal
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, perbuatan melanggar hukum dilakukan seseorang anak di
kualifikasi sebagai perbuatan “nakal”, sehingga terhadap anak pelaku
pelanggaran tersebut diberikan istilah “anak nakal”. Sebagai mana di
tegaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
commit to user
Pengertian anak nakal berbasarkan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah :
1). anak yang melakukan tindak pidana; atau
2). anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Pengertian delinquency menurut Simanjuntak yang dikutip oleh
Marlina (Marlina, 2009:39) adalah :
1). Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang
merupakan perbuatan pemerkosaan terhadap norma hukum pidana dan
pelanggaran-pelaggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para
deliquent.
2). Juvenile delinquent adalah pelaku yang terdiri dari anak (berumur di
bawah 21 tahun), yang termasuk yuridiksi Pengadilan Anak/Junenile
Court.
Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency
ini menurut Adler yang dikutip oleh Wagianto (Wagianti Soetodjo,
2006:13-14) adalah :
1). Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2). Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan mengacaukan ketraman
lingkungan sekitar;
3). Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku,
sering membawa korban jiwa;
4). Membolos sekolah lalu berlandangan sepanjang jalan bersembunyi
ditempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen
commit to user
5). Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas,
menjambret, menyerang, merampok, menggaggu, menggarong,
melakukan pembunuhan, dan pelangaran lainya;
6). Berpesta sambil mabuk-mabukan yang menggaggu sekitarnya;
7). Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial,
atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensantoris dari perasaan
inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi
balas dendam, dan kekecewaan;
8). Kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat kaitanya dengan tindak
kejahatan;
9). Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
sehingga menimbulkan akses kriminal;
10). Komersialosasi seks, pengguguran jani oleh gadis-gadis delinkuen
dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu yang tidak kawin;
11). Tindakan radial dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.
2. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice
a. Pengertian Restorative Justice
Dalam United Nations Basic Principles on the Use of Restorative
Justice Programmes in Criminal Matters mendefinisikan proses
restorative justice adalah :
commit to user
Menurut United Nations Basic Principles on the Use of
Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, proses restorative
jusstice berarti proses di mana korban, pelanggar dan/atau anggota
masyarakat atau individu lain yang terpengaruh oleh suatu kejahatan
dengan aktif mengambil bagian bersama-sama di dalam berbagai hal yang
timbul dari kejahatan, sering dengan bantuan suatu pihak ketiga tak berat
sebelah dan adil.
Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak
pidana yang terjadi dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara
korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, dan masyarakat untuk
mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan semua
kerugian yang diderita oleh semua pihak (Marlina, 2009 : 31). Tujuan
konsep pendekatan restorative justice adalah mencapai konsensus
mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik. Keadilan
restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang
berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan
antarmanusia, daripada menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang
direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil
alih penyelesaian konflik yang merupakan kejahatan, karena suatu tindak
pidana dalam keadilan restoratif tidak dipandang sebagai kejahatan
terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban.
Kriteria Restorative Justice antar lain :
a) Kasus kenakalan anak yang tidak mengorbankan kepentingan orang
banyak.
b) Kenakalan anak tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat,
cacat.
c) Kenakalan anak yang bukan kejahatan susila serius dan menyangkut
commit to user Tabel 1
Perbandingan Konsep Keadilan Retributif dan Keadilan Restoratif
No. Retributive Justice Restorative Justice
1. Kejahatan dirumuskan sebagai
pelanggaran terhadap negara,
hakekat konflik dari kejahatan
dikaburkan dan ditekan.
Kejahatan dirumuskan sebagai
pelanggaran seseorang terhadap
orang lain, dan diakui sebagai
konflik.
2.
Perhatian diarahkan pada penentuan
kesalahan pada masa lalu.
Titik perhatian pada pemecahan
Sifat normatif dibangun atas dasar
dialog dan negosiasi.
4.
Penetapan penderitaan untuk
penjeraan dan pencegahan.
Restitusi sebagai sarana perbaikan
para pihak, rekonsiliasi dan
samping dan ditampilkan secara
commit to user
Sumber : Jurnal Rena Yulia
Tabel 2
Pergeseran Keadilan Retributif kepada Keadilan Restoratif terhadap
Penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana
kebutuhan korban, pelaku kejahtan
di dorong untuk melakukan
pertanggung jawaban.
9. Pertanggungjawaban si pelaku
tindak pidana dirumuskan dalam
rangka pemidanaan.
Pertanggungjawaban si pelaku
dirumuskan sebagai dampak
pemahaman terhadap perbuatan dan
untuk memutuskan yang terbaik.
10. Tindak pidana dirumuskan dalam
terminology hukum yang bersifat
teoritis dan murni tanpa dimensi
moral, sosial dan ekonomis.
Tindak pidana dipahami dalam
konteks menyeluruh, moral, sosial
dan ekonomis.
Tema Pokok Keadilan Retributif Keadilan Restoratif
Orientasi keadilan Kepada pelanggar dan
karena pelanggarannya
Kepada kepentingan korban
Kejahatan Melanggar negara Melanggar hak
perseorangan
Korban Negara Orang yang dirugikan
commit to user
Sumber : Jurnal Mahmud Mulyadi.
b. Dasar Restorative Justice
United Nations, Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice
Programmes In Criminal Matters ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc.
E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang berisi sejumlah prinsip-prinsip
mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.
Prinsip-prinsip restorative justice antara lain sebagai berikut
(Unicef, 2004 : 357) :
1). Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
2). Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya
secara konstruktif;
3). Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan
teman sebaya;
4). Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah; menetapkan hubungan langsung dan nyata antara
kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
commit to user c. Variasi Penerapan Restorative Justice
Bentuk-bentuk praktek restorative justice yang telah berkembang
di negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan New Zealand
dapat dikelompokan dalam empat praktek yang menjadi dasar pioneer
penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim Offender
Mediation (VOM), Conferencing/Family Group Conferencing (FGC),
Circles, dan Restorative Board/Youth Panels (Marlina, 2009:180-196) :
1). Victim Offender Mediation (VOM)
Program Victim Offender Mediation pertama kali dilaksanakan
sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seprti Norwegia
dan Firlandia. Tujuan dilaksanakan Victim Offender Mediation adalah
memberikan penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya
dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan
pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.
Dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama
korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasikan
dan memfasilitasi pertemuaan. Sasaran dari Victim Offender Mediation
adalah proses penyembuhan korban dengan menyediakan wadah bagi
semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta
memberikan kesempatan pada pelaku belajar terhadap akibat dari
perbuatanya dan mengambil tanggung jawab langsung atas
perbuatanya itu serta membuat rencana penyelesaian yang terjadi.
2). Conferencing/F amily Group Conferencing (F GC)
Conferencing/Family Group Conferencing dikembangkan
pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Australia
pada tahun 1991 dan mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek
proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli
New Zealand yaitu bangsa Maori. Tujuanya adalah mendapatkan
commit to user
pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi
korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama. Sasaranya
memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung
dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang
terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar
secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang
terjadi.
3). Circles
Pelaksanan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,
Canada. Circles sama halnya dengan Conferencing yang dalam
pelaksanaanya memperluas partisipasi para peserta dalam proses
mediasi di luar korban dan pelaku utama. Tujuanya membuat
penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan
korban, pelaku, masyarakat, dan pihak lainya yang berkepentingan
dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin di capai
adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena
tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk
memperbaiki dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian
kesepakatan.
4). Restorative Board/Youth Panels
Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada
tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance
setelah melihat respon yang baik dari warga terhadap studi yang
dilakukan oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan
masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan
yang menjadi dasarnya. Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana
yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban,
masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara
bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan anti
commit to user
anggota masyarakat secara langsung dalam proses peradilan tindak
pidana, kemudian memberikan kesempatan kepada korban dan anggota
masyarakat untuk melakukan dialog secara langsung dengan pelaku.
3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Anak
a. Pengadilan Anak
Pengadilan Anak sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebuah pengadilan yang
diselengarakan untuk menangani pidana khususnya bagi perkara
anak-anak. Dalam undang-undang ini memang dinyatakan untuk menangani
perkara pidana, Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak hanya sekedar menyebutkan :
“ Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang
Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini” .
Kompentensi absolute Pengadilan Anak ada pada Badan Peradilan
Umum, artinya bahwa Pengadilan Anak itu adalah bagian dari Badan
Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi untuk
memeriksa perkara Anak Nakal dan bermuara pada Mahkamah Agung
sebagai lembaga peradilan tertinggi.
Kompetensi relatif Pengadilan Anak, adalah sesuai dengan tempat
kejadian kenakalan anak. Maksudnya, adalah pengadilan yang berwenang
mengadili perkara itu adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
tempat kejadian tindak pidana yang terjadi. Undang-undang Pengadilan
Anak dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas yang memedakannya
dengan sidang perkara pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu
adalah sebagai berikut (Maidin Gultom, 2008:86-88) :
1). Pembatasan umur (Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak : orang yang
commit to user
limitatif, yaitu minimum berusia 8 (delapan) tahun dan maksimal
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah;
2). Ruang lingkup masalah yang dibatasi: masalah yang diperiksakan
di sidang Pengadilan Anak, hanya menyangkut perkara Anak
Nakal saja. Sidang anak hanya berwenang memeriksa perkara
pidana. Sidang Pengadilan Anak hanya berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal (Pasal 21
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak);
3). Di tanggani oleh pejabat khusus: perkara Anak Nakal ditanggai
pejabat khusus yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan
Hakim Anak;
a). Penyidik adalah Penyidik Anak, syarat untuk ditetapkan
sebagai Penyidik Anak adalah :
(1).Telah berpegalaman sebagai penyidik tindak pidana yang
dilakukan orang dewasa.
(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak.
b). Hakim adalah Hakim Anak. Hakim pada Sidang Anak
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung atas usulan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Syarat untuk dapat
ditetapkan sebagai Hakim Anak adalah :
(1).Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.
(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
maslah anak.
c). Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak. Penuntutan
commit to user
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk
ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak adalah :
(1).Telah berpangalaman sebagai Penuntut Umum tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
(2).Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak.
4). Peran Pembimbang Kemasyarakatan : Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengakui peranan
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, Pekerja Sosial
Relawan;
5). Suasana pemeriksaan adalah kekeluargaan: pemeriksaan perkara
dipengadilan dilakukan dalam suasana kekeluragaan, karena itu
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum tidak
memakai toga;
6). Keharusan Splitsing: anak tidak boleh disidangkan/diadili bersama
orang dewasa baik berstatus sipil maupun militer;
7). Acara pemeriksaan tertutup: acara pemeriksaan perkara di
Pengadilan Anak dilakukan secara tertutup, dan putusan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan
Pasal 57 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997);
8). Diperiksa oleh Hakim tunggal: hakim yang memeriksa perkara di
Pengadilan Anak, baik di tinggkat pertama, banding, atau kasasi
dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila tindak pidana diancam
dengan pidana penjara diatas 5 (lima) tahun dan pembuktiannya
sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, perkara diperiksa dengan
commit to user
9). Masa penahan lebih singkat: masa penahanan terhadap anak lebih
singkat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dibandingkan dengan masa penahanan
terhadap orang dewasa;
10). Hukuman yang lebih ringan: hukuman yang dijatuhkan terhadap
Anak Nakal lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP.
Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah 10 (sepuluh)
tahun.
b. Putusan Anak Nakal
Berdasarkan Pasal 22 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, menerangkan bahwa terhadap Anak Nakal hanya dapat
dijatuhi pidana atau tindakan.
1). Pidana terhadap Anak Nakal
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana
pokok dan pidana tambahan.
a). Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
(a). pidana penjara; (b). pidana kurungan; (c). pidana denda; atau
(d). pidana pengawasan.
b). Selain pidana pokok, Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana
tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi.
2). Tindakan yang dilakukan Hakim kepada Anak Nakal
a). Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b). menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja;
c). menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,
commit to user
d). semua tindakan harus disertai dengan teguran oleh hakim.
4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Anak
a. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum terhadap Anak
Pada tanggal 26 januari 1990 di New York, Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatagani Konvensi Hak-hak Anak 1989. selanjutnya
pada tanggal 25 Agustus 1990 telah dikeluarkan Keputusan Presiden No.
36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child.
Dengan demikian, dalam upaya melakukan perlindungan anak melalui
hukum pidana, sewajarnya memperhatikan prinsip-prinsip yang tertuang
dalam Konvensi Hak-hak Anak tersebut, khusus dinyatakan dalam Articel
37 dan Articel 40.
Artikel 37 memuat prinsip-prinsip yang dapat dirinci sebagai
berikut (Barda Nawawi Arief, 2000:158-159) :
1). Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan
lainya yang kejam. Tidak manusiawi dan merendahkan martabat;
2). Pidana mati maupun penjara seumur hidup tanpa kemungkinan
memperoleh pelepasan/pembebasan tidak akan dikenakan kepada anak
yang berusia dibawah 18 tahun;
3). Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaanya secara
melawan hukum atau sewenang-wenang penangkapan, penahanan, dan
pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya
terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;
4). Setiap anak yang dirampas kemerdekaanya akan diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;
5). Anak yang dirampas kemerdekaanya akan dipisahkan dari orang
commit to user
6). Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperolah
bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan
kemerdekaan atas dirinya dimuka pengadilan atau pejabat lain yang
berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan
yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya itu.
Article 40 tersebut antara lain terkandung prinsip-prinsip
perlindungan hak-hak anak pelangar hukum yang secara umum.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain (Nanang Sambas, 2010:193-194) :
1). Perlakuan hak anak secara memadai sesuai tingkatan pemahaman
anak, mengusahakan anak menguasai rasa hormat pada pihak lain,
sambil berusaha mengintegrasikan anak kembali ke masyarakat :
2). Asas legalitas;
3). Asas presumption of innocence;
4). Penjelasan tuduhan dan pemberian bantuan hukum;
5). Pemeriksaan yang fair dengan melibatkan orang tua dan penasehat
hukum anak;
6). Pemberian tindakan pada anak oleh lembaga yang berwenang sesuai
hukum yang berlaku;
7). Pemberian juru bahasa;
8). perlindungan “privacy” anak.
b. Tujuan Perlindungan Hukum dalam Proses Peradilan terhadap Anak
Berikut ini tujuan perlindungan hukum terhadap anak dalam proses
peradilan bila anak berkonflik dengan hukum (Barda Nawawi Arief,
1992:113) :
1). Memajukan Kesejahteraan Anak
Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam hukum
commit to user
hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih
menekankan atau mengutamankan kesejahteraan anak. Bahwa prinsip
ini berarti menunjang prinsip untuk menghadiri penggunaan sanksi
yang semata-mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat
menghukum.
2). Prinsip Proposionalitas
Ditegaskan bahwa sasaran yang kedua, yaitu prinsip yang
merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat
menghukum dalam arti membalas semata-mata. Proses peradilan anak
harus juga dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak
commit to user
Pengaruh Buruk Proses Peradilan bagi Anak
Kelemahan dan Kekurangan
Restorative Justice Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal
Matters
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Skematik Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pikir tersebut merupakan alur pikiran penulis dalam
menggambarkan, mengurai dan menemukan jawaban dari permasalahan
yang penulis angkat dalam penelitian hukum yaitu konsep restorative
Anak yang Berhadapan dengan Hukum Pidana Anak
Proses Peradilan Anak Undang-undang No.3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak
commit to user
justice dalam sistem peradilan anak sebagai upaya perlindungan terhadap
anak dari pengaruh buruk proses pengadilan. Banyaknya anak yang
melakukan tindak pidana yang membuat anak tersebut menjalani proses
peradilan. Sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Proses
peradilan yang akan di jalani anak yang berkonflik dengan hukum akan
membuat pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik, mental, maupun
psikis anak tersebut. Anak memiliki keterbatasan dalam memahami dan
melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada terutama sistem
peradilan.
Penanganan kasus anak pelaku tindak pidana dengan jumlah dan
bentuk beragam, diperlukan usaha negara untuk menetapkan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Proses Peradilan
Anak berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang bertujuan untuk menangulagi kejahatan terhadap
anak dan melindungi anak dari pengaruh buruk proses peradilan, akan
tetapi dalam undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan dan
kekurangan. Dalam menangani anak delinkuen diperlukan upaya atau
model peradilan anak yang baru. Berdasarkan Basic Principles On The
Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters, menawarkan
solusi bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang mana akan
melibatkan pihak pelaku dan pihak korban yaitu konsep restorative justice.
Konsep restorative justice merupakan salah satu cara untuk upaya
perlindungan anak dari pengaruh buruk proses peradilan. Hal-hal tersebut
menjadi gambaran landasaan berfikir penulis dalam meninjau
permasalahan proses peradilan anak bagi anak yang berkonflik dengan
hukum. Oleh karena itu penulis akan mencoba untuk menelaah konsep
commit to user
32
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Anak
1. Konsep Restorative Justice dalam Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters 2000
Gagasan praktik keadilan restoratif yang semula berangkat dari
kajian-kajian akademis dan wacana para aktivis akhirnya ditetapkan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai pedoman penanganan kejahatan
dalam Basic principles on the Use of Restorative Justice Programmes in
Criminal Matters pada tahun 2000. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB), program keadilan restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Bertujuan memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak
melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup
dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku
didorong untuk bertanggung jawab (Hadi Supeno, 2010:209).
Berdasarkan Basic principles on the use of restorative justice
programmes in criminal matters, prinsip-prinsip dasar penggunaan program
konsep restorative justice, sebagai berikut :
7. Restorative processes should be used only with the free and voluntary consent of the parties. The parties should be able to withdraw such consent at any time during the process. Agreements should be arrived at voluntarily by the parties and contain only reasonable and proportionate obligations.
Dalam articles 7 Basic principles on the use of restorative justice
programmes in criminal matters menjelaskan bahwa proses restoratif harus
digunakan hanya dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak. Para
pihak harus dapat menarik kembali persetujuan tersebut setiap saat selama
proses tersebut. Perjanjian harus disetujui secara sukarela oleh para pihak dan