• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asa"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asasi Manusia

Untuk bisa terlibat dalam kerja­kerja monitoring dan investigasi hak asasi manusia, seorang pembela hak asasi manusia harus terlebih dahulu memahami sejarah dan teori dasar hak asasi manusia. Hal ini penting agar pembela hak asasi manusia tidak salah dalam mengidentifikasi dan menganalisis   pelbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di wilayahnya. Selain itu dengan pemahaman hak asasi manusia yang kuat seorang pembela hak asasi manusia akan mampu merumuskan langkah­langkah  advokasi penanganannya dengan tepat. Oleh karena itu bab ini mengajak para pembaca mempelajari sejarah dan teori hak asasi manusia. Namun demikian agar tidak membosankan maka bagian ini akan memulainya dengan menjawab pertanyaan­pertanyaan umum dan khusus yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika sedang mempelajari hak asasi manusia.

I.1.1 Sejarah Gerakan Hak Asasi Manusia Internasional dan Apa itu Hak Asasi Manusia

Darimana hak asasi manusia berasal dan hal­hal apa saja yang melatarbelakangi kemunculannya?

Pertanyaan diatas ini adalah pertanyaan lain yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika mereka mencoba mencari tahu lebih dalam tentang hak asasi manusia. Bahkan dalam banyak kasus pertanyaan ini kerap menjadi pertanyaan kunci bagai sejumlah pihak, terutama mereka­mereka yang kepentingan ekonomi dan politiknya terganggu dengan hak asasi manusia­­untuk membuat orang menolak hak asasi manusia. Ada banyak versi dan cara pandang yang berbeda dalam melihat asal muasal hak asasi manusia. Ada yang melihat bahwa asal muasal hak asasi manusia adalah sebagai salah bentuk kesadaran tertinggi masyarakat internasional untuk mencegah terulangnya kembali pelbagai praktik kesewenang­ wenangan terhadap umat manusia. yang terus dipertontonkan oleh pemerintahan kolonial, pemerintahan otoriter, dan kelompok­kelompok non­ negara yang kekuatannya setara dengan negara di pelbagai tempat.  Pandangan lainnya adalah hak asasi manusia lahir sebagai salah bentuk hasil dari negosiasi antara kelompok tertindas dengan para penguasa di masa ke masa. Namun ada juga pandangan yang mengatakan, terutama adalah negara­negara dari kawasan Asia dan Afrika,  bahwa hak asasi manusia adalah lahir dari gagasan negara­negara barat yang diciptakan untuk mengubah adat istiadat orang­orang timur (Asia) sehingga mempermudah negara­negara tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik yang mereka inginkan.

(2)

PERIODE SITUASI DAN KONDISI 

Sebelum Masehi Raja   adalah   utusan   tuhan   di dunia   sehingga   apa   yang dikatakannya   adalah   hukum. Akibat dari keadaan ini banyak penduduk   sipil   yang   harus menjadi   budak   dan diperjualbelikan   seperti   baran;, buruh tanpa ada jam kerja dan gaji   yang   tidak   layak;   petani tidak   bertanah   dengan   uang sewa   lahan   dan   pajak   yang tinggi. 

Kelompok   buruh   dan petani   tidak   bertanah melakukan   pelbagai perlawanan,   seperti melakukan mogok kerja dan   berhenti   membayar sewa   tanah   untuk meminta   adanya keadilan kepada raja dan para   bangsawan pendukungnya.

Munculah   konsep pengakuan   hak   dalam pelbagai   kitab   suci agama­agama   di   dunia dan   ketentuan   hukum Piagam   Medina   dan Kitab Hamuraby.

hak untuk hidup Hak­hak   kelompok

minoritas

hak­hak perempuan hak­hak anak

hak   untuk   tidak ditahan   sewenang­ wenang

Setelah Masehi  Meskipun   telah   muncul konsep   hak   dalam   kita   suci agama­agama   di   dunia   dan aturan   dalam   Hamuraby,

 Kelompok   bu­ ruh,   petani   tak bertanah   dan   bangsa­ bangsa   yang   terjajah

1215  ­Magna   Carta, England

(3)

namun   kondisi   penindasan dan   ekploitasi   umat   manusia oleh kalangan raja masih terus berlanjut.   Bahkan   praktik­ praktik   semacam   ini   terus berlanjut   hingga   ke   semua benua   karena   para   raja   terus melakukan ekspansi ke benua Amerika,   Afrika,   Asia   dan Australia.

 Praktek   diskriminasi terhadap   perempuan   juga kembali terjadi dan meluas ke pelbagai belahan dunia

kembali   melakukan perlawanan   atas praktik   sewenang­ wenangan   para   raja dan   bangsawan. Dengan

membangkang   atas

aturan   yang

dikeluarkan   oleh   raja mereka   menuntut adanya   perubahan tentang konsep negara dan   perlindungan warga   negara   dari praktik   kesewenang­ wenangan. 

 Buah   dari   per­ juangan   tersebut munculkan   Magna Charta   pada   1215. Magna   Charta memberikan   pemba­ tasan   kekuasaan   raja terhadap   kepemilikan atas   tanah   dan Westphalia,   Europe

1689 ­ English Bill of Rights, England 1776  ­ Declaration of

Independence,   United States

1787  ­   United   States Constitution

1789  ­French Declaration   on   the Rights of Man and the Citizen, France

1791  ­United   States Bill of Rights

1863  ­Emancipation Proclamation,   United States

1864­Geneva Conventions,

International   Red Cross

(4)

 Pada   Abad   17, terjadi   revolusi Prancis   yang mengakhir   kekuasaan absolut   raja,   dan selanjutnya buruh dan rakyat   Prancis membentuk   sebuah pemerintahan   demo­ kratis   Prancis   dengan nama   Republik Prancis. Dalam hal ini mulai   muncul pengakuan   tentang hak   penduduk   dari negara.

 Abad 18, terjadi revolusi   Amerika dimana   penduduk yang tinggal di benua Amerika   mempro­ klamasikan   kemer­ dekaannya   dari Kerajaan   Inggris Raya.   Kemeredekaan Amerika   juga mendorong   bangsa Canada,   Mexico,

dalam   proses pengambilan

keputusan­keputusan politik.

(5)

Brazil,   dan   Argentina memerdekakan   diri dari   Prancis,   Spanyol dan Portugal.

 Selain   itu

masyarakat   inter­ nasional   juga membentuk   hukum perang   internasional sebagai   wujud   dari penolakan mereka atas strategi   kotor   yang dipergunakan   oleh bangsa­bangsa   eropa untuk   memenangkan perang.

(6)

haknya untuk memilih dalam pemilu.

Perang Dunia I  Praktik­praktik

penindasan   terhadap   kaum buruh masih terjadi

 Praktik­praktik

penjajahan   oleh   bangsa­ bangsa   Eropa     dan   Jepang terhadap   bangsa­bangsa   di Asia,   Afrika,   dan   Australia masih juga berlanjut

 praktik diskriminasi dan kampanye   pemusnahan terhadap   ras   masih   juga berlangsung.

 Praktek   diskriminasi terhadap   perempuan   dan pembatasan   hak   sipil   dan politik perempuan masih terus berlanjut

 Masyarakat internasional membentuk

International   Labor Organization   (ILO) untuk   melawan perdagangan   budak dan   praktik­praktik kejam terhadap buruh, petani dan masyarakat adat.  Selanjutnya ILO memproduksi

sejumlah   Instrumen hukum   tentang perlindungan buruh  Masyarakat

internasional   juga membentuk   Liga Bangsa Bangsa (LBB) untuk   mencegah

perang   yang

menggunakan   strategi brutal.

 Di   Inggris, Amerika,   Australia,

1919  ­League   of Nations Covenant 1926  ­Slavery

(7)

dan   Finlandia sejumlah   organisasi perempuan   menuntut hak   untuk   memilih dan   dipilih   pada 1900an.    Selanjutnya 1902   dan   1906 pemerintah   Australia dan   Finlandia memberikan

perempuan   hak pilihnya.   Selanjutnya Pada   1920   Konggres USA memberikan hak memilih   kepada perempuan   Amerika. Pada   1928   parlemen Inggris   memberikan perempuan   Inggris hak   memilih   dalam pemilu. 

Perang Dunia II  Praktik­praktik

penindasan   terhadap   kaum buruh masih terjadi

 Praktik­praktik

penjajahan   oleh   bangsa­

 Masyarakat internasional membentuk PBB  Masyarakat

internasional   melalui

1945  ­United Nations Charter,   San Francisco

(8)

bangsa   Eropa     dan   Jepang terhadap   bangsa­bangsa   di Asia,   Afrika,   dan   Australia masih juga berlanjut

 praktik diskriminasi dan kampanye   pemusnahan terhadap   ras   masih   juga berlangsung

PBB   membentuk Deklarasi   Universal Hak   Asasi   Manusia (DUHAM)

 Rakyat   India melakukan

perlawanan   terhadap pemerintahan   Inggris pada   pertengahan 1920­an dan kemudian membebaskan diri dari pemerintahan   Inggris pada 1942

 Di   Indonesia, sejak   1940an pergerakan

pembebasan Indonesia dari Penjajah Belanda terus   meluas   dan kemudian   mencapai puncaknya   pada proklamasi

kemerdekaan   pada 1945.     Lima   tahun kemudian Belanda dan Sekutu   mengakui kemerdekaan

Indonesia.

violent   protests leading   India   to

Declaration   of   the Rights   and   Duties   of Man

Genocide Convention 1950  ­European

Convention

1951  ­Convention Relating to the Status of Refugees

(9)

 Di Benua Afrika, hal serupa juga terjadi, meskipun   tidak seluruhnya mengalami kesuksesan   seperti negara­negara di Asia. Perang dingin  Kondisi   dunia   terbagi

dalam   dua   blok,   yakni   blok Barat   dan   blok   Timur.   Blok Barat di dukung oleh negara­ negara   seperti   USA,   Prancis, Inggris,   Spanyol,   Jerman Barat, dan negara­negara non­ komunis.   Sementara   blok Timur didukung oleh negara­ negara   seperti   Uni   Soviet, Yugoslavia,   Jerman   Timur, China   dan   negara­negara Eropa bagian Timur Lainnya.  Pertarungan   antara   blok

Barat   dan   Timur   melahirkan pemerintahan­pemerintahan otoriter   di   benua   Eropa, Amerika,   Asia   dan   Afrika. Baik   pemerintahan   otoriter

 Di   Afrika

Selatan,   Nelson Mandela   bersama­

sama   dengan

kelompok   pro demokrasi   setempat mulai   melawan praktek   apartheid   di negara   mereka   pada 1962. 

 Di   Amerika

Latin,   kelompok   pro demokrasi   di   negara­ negara   tersebut mulai melakukan

perlawanan   terhadap pemerintahan   otoriter pada awal 1970­an.   Di   Asia,   pada

1965  ­International Convention   on   the Elimination   of   All Forms   of   Racial Discrimination

1966  ­International Covenant on Civil and Political   Rights ­International

Covenant   on

Economic, Social, and Cultural Rights

1969  ­American Convention   on Human Rights

(10)

pro   Timur   dan   pro   Barat mengekang   kehidupan   sipil, politik,   ekonomi,   sosial,   dan budaya   penduduknya   demi memenangkan perang dingin. Pemerintahan otoriter ini juga memberlakukan   praktik­ praktik   penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan praktik   hukuman   kejam   dan tidak   manusiawi   terhadap lawan   politik   ataupun kelompok pro demokrasi  Praktek   diskriminasi

terhadap   kelompok perempuan   juga   masih berlanjut di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

 Eksploitasi   terhadap kaum   buruh,   petani   tidak bertanah   dan   kaum   miskin kota masih terus berlanjut di negara­negara   Eropa,   Asia, Afrika, dan Amerika. 

pertengahan   1980­an kelompok   pro demokrasi   di   negara­ negara   Asia   juga sedang   gencar­ gencarnya   melakukan perlawanan   terhadap pemerintahan   otoriter. Mereka   mendorong adanya   reformasi   dan menuntut   adanya pertanggungjawaban atas   kejahatan­ kejahatan   hak   asasi manusia   oleh   rezim otoriter 

 Di   Indonesia gerkan   ini   sendiri berlangsung   sejak pertengahan 70­an dan baru   berhasil meruntuhkan   rezim otoriter   pada   1998   . Namun   sayangnya hingga kini belum ada satu   pun   pelaku

Crime of Apartheid 1979  ­International

Convention   on   the Elimination   of Discrimination

Against   Women diadopsi oleh PBB 1984  ­Konvensi

Internasional Menentang

Penyiksaan, Hukuman Keji   tidak manusiwi dan   merendahkan martabat   diadopsi oleh PBB

1986 ­African Charter on   Human   and People's   Rights diadopsi   oleh   THE AFRICAN

COMMISSION   ON

HUMAN   AND

(11)

kejahatan   hak   asasi manusia   di   masa   lalu yang   dijebloskan   ke penjara.

 pada   awal   1980 organisasi­organisasi perempuan   kembali memperjuangkan tentang   pelarangan praktik­praktek

kekerasan   dan pelecehan seksual baik

 Negara­negara   komunis runtuh   dan   kemudian menimbulkan   pelbagai peristiwa   kekerasan   antar etnis di sejumlah tempat.   Selain   itu   pelbagai

peristiwa   kelaparan, kemiskinan,   pengangguran, anak   putus   sekolah   dan serangan   penyakit   berbahaya

Memasuki   1990 terjadi   gelombang reformasi   dan penyelidikan   atas kejahatan   hak   asasi manusia rezim otoriter di   Benua   Afrika, Amerika   Latin   dan Asia.   Kelompok   pro demokrasi   dan

1983   Convention   on the Elimination of All

Forms   of

Discrimination

against   Women (CEDAW)

diberlakukan   secara hukum

(12)

juga terjadi di pelbagai negara eks komunis,.

 Akibat   kegagalan

program   pembanggunan ekonomi oleh bank dunia dan negara­negara   pro   barat   di benua   Afrika   menyebabkan pelbagai   krisis   politik   dan ekonomi di kawasan tersebut yang   kemudian   melahirkan Peristiwa kelaparan, serangan penyakit   berbahaya, pengangguran,   anak   putus sekolah   dan   semakin bertambahnya   jumlah penduduk   yang   masuk kategori orang miskin.

 Praktek   diskriminasi terhadap   kelompok perempuan   juga   masih berlanjut di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

 Eksploitasi   terhadap kaum   buruh,   petani   tidak bertanah   dan   kaum   miskin kota masih terus berlanjut di negara­negara   Asia,   Afrika, dan Amerika. 

pembela   hak   asasi manusia   menyerukan adanya

pertanggungjawaban atas praktik kejahatan hak   asasi   manusia oleh  rezim otoriter di selidiki.

pada   awal   1990 organisasi­organisasi perempuan   di   seluruh benua   kembali memperjuangkan gerakan   menentang praktik­praktek

kekerasan   dan pelecehan seksual baik

Perlindungan   Buruh

Migran   dan

Keluarganya   diadopsi oleh PBB

1998,   the

International Criminal Tribunal   for   Rwanda dibentuk   oleh   PBB dan   selanjutnya memasukkan

kejahatan   perkosaan sebagai   elemen kejahatan   dari geoncida   dalam hukum internasional.  2003 The Protocol to

the African Charter on Human   and   Peoples’ Rights   on   the   Rights of Women in Africa 2006,   Konvensi

Internasional

(13)

 Eksploitasi   dan perdagangan   manusia   dan buruh migran terus meningkat dan meluas ke seluruh benua. Laporan   tentang   Praktik kekerasan   dan   pelecehan seksual terhdap buruh migran terus meningkat dan menelan korban yang tidak sedikit

diadopsi oleh PBB 2006   Konvensi   hak­

hak   orang   dengan keterbatasan   fisik permanen   dan   non­ permanen diadop oleh PBB

 

Dari paparan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa hak asasi manusia itu berasal dari nilai­nilai perjuangan menentang penindasan terhadap umat manusia yang digelorakan oleh banyak orang di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu keliru besar jika ada orang yang berfikiran bahwa hak asasi manusia itu adalah berasal dari nilai­nilai barat, karena faktanya dia merupakan buah pemikiran dari banyak nilai dan manusia untuk mengangkat kehidupan dan martabat manusia.

Apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia?

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan pertama yang kerap dilontarkan oleh banyak orang pada saat pertama kali mendengar istilah hak asasi manusia. Hak asasi manusia itu sangatlah luas cakupan dan bentuknya sehingga tidak ada upaya dari para pakar hukum internasional untuk mencoba mendefinisikan hak asasi manusia. Selain untuk menghindari penyempitan cakupan dan bentuknya, upaya untuk tidak mendefinisikan hak asasi manusia sebagai salah satu cara bagi para pakar hukum internasional untuk membuat hak asasi manusia berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun untuk memudahkan orang awam dalam memahaminya sejumlah pakar hukum internasional mencoba merumuskan apa itu hak asasi manusia dari pelbagai sudut pandang namun saling menguatkan (Nowak: 2003). Berikut ini adalah sejumlah rumusan pakar hukum internasional tentang apa itu yang dimaksud dengan hak asasi manusia:

(14)

2) Hak­hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kolektif yang tertuang dalam pelbagai instrumen hak asasi manusia internasional, regional dan serta dalam konstitusi setiap negara

3) Satu­satunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum internasional saat ini dan terdiri dari elemen liberalisme, demokrasi, partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum dan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Berangkat dari rumusan­rumusan tersebut dapat kita katakan bahwa hak asasi manusia memiliki fokus perhatiannya terhadap kehidupan dan martabat manusia. Artinya adalah hak asasi manusia dibentuk untuk melindungi kehidupan dan martabat manusia dari praktik­praktik sewenang­ wenangan dari negara, penguasa kolonial dan atau kelompok­kelompok non­negara yang memiliki kekuatan setara dengan negara terhadap penduduk sipil. 

Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan agama, nilai­nilai budaya dan adat istiadat lokal?

Sejarah telah menunjukkan bahwa agama­agama besar di dunia merupakan sumber awal dari pemikiran  tentang hak asasi manusia. Para perumus hukum Hak asasi manusia mengakui bahwa perkembangan hak asasi manusia selalu merujuk pada seluruh kitab suci agama­agama samawi (Islam, Katholik, Ptotestan, Budha, dan Hindu) dan agama­agama lainnya. Oleh karena itu para perumus hak asasi manusia tidak melihat adanya pertentangan antara agama­agama di dunia dengan konsep hak asasi manusia. Bahkan adanya pandangan dominan di sejumlah negara yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan kitab suci umat Islam adalah pandangan yang keliru. Karena bagaimanapun juga   hukum   hak   asasi   manusia   secara   eksplisit   menyebutkan   bahwa   kebebasan   untuk   memeluk   agama,   keyakinan   tertentu   adalah   hak fundamental sehingga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.1 

Adanya pandangan dominan  di kalangan  pemerintahan­pemerintahan  dimana islam  merupakan agama  mayoritas bahwa hukum hak asasi manusia bertentangan dengan hukum sharia'a. Pandangan ini mereka ungkapkan sebagai bentuk respon atas kritik dan kecaman para pengamat, pekerja, dan ahli hukum hak asasi manusia (terutama yang berasal dari kalangan barat dan sekuler) terhadap buruknya praktik hak asasi manusia di negara islam. Namun pandangan dominan ini adalah pandangan yang keliru dan salah menempatkan kritik para pengamat, pekerja dan ahli hukum hak asasi manusia sebagai bukti dari argumen mereka ini. Pada dasarnya kritik para pengamat, pekerja dan ahli hukum hak asasi manusia bukan diarahkan untuk mengatkan bahwa islam dan hukum shari'a bertentangan dengan hukum hak asasi manusia. Kritik mereka pada dasarnya diarahkan untuk mengecam pemerintahan­pemerintahan itu sendiri yang cenderung otoriter, anti hak asasi manusia dan dalam tataran tertentu

(15)

kerap   menggunakan   hukum   sharia'a   sebagai   tameng   untuk   menghindar   dari   tanggungjawab   yang   dibebankan   hukum   hak   asasi   manusia internasional kepada mereka (Badaawi: 2002).   

Demikian pula dengan nilai budaya dan adat istiadat lokal, hak asasi manusia tidak melihat adanya sebuah pertentangan. Para perumus hak asasi manusia melihat bahwa adanya praktik­praktik budaya dan adat istiadat yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia adalah hal yang kurang tepat.  Karena secara jelas disebutkan dalam  hukum hak asasi manusia  internasional  bahwa pilihan­pilihan  setiap individu ataupu kelompok untuk menjalankan aktivitas budaya dan adat istiadatnya tidaklah ditentang malah sebaliknya justru dilindungi. Hukum hak asasi manusia hanya melarang dan mengecam praktik­praktik budaya ataupun ritual yang dijalankan dengan cara dipaksakan kepada orang­orang yang tidak percaya ataupun tidak meyakini praktik­praktik tersebut.2  

Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan konsep kedaulatan negara? 

Pada dasarnya hak asasi manusia mengakui dan menghormati kedaulatan negara. Adanya pandangan­pandangan yang menyebutkan bahwa hak asasi   manusia   mengganggu   kedaulatan   negara   adalah   hal   yang   keliru   dan   mengada­ada.   Bagaimanapun   juga   Piagam   PBB   Pasal   2   (1) menyatakan dengan jelas bahwa kesetaraan dan kedaulatan negara sebagai prinsip dasar hukum internasional. Selanjutnya Pasal 2 (7) kembali menegaskan   adanya   semangat   non­intervensi   dalam   masalah   dalam   negeri.   Oleh   karena   itu   hak   asasi   manusia   secara   jelas   mengakui, menghormati dan melindungi kedaulatan negara. Bahkan dalam tataran tertentu hukum hak asasi manusia lebih memberikan tanggungjawab utama terhadap otoritas nasional.  Tak heran jika kemudian prosedur­prosedur pencarian fakta, pelaporan, penerimaan pengaduan individu oleh Komisi HAM PBB dan tindakan­tindakan yang mengikat yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB, bukanlah dalam rangka menghilangkan kedaulatan negara( Nowak: 2003). Langkah­langkah ini disusun oleh seluruh anggota PBB dan masyarakat internasional sebagai salah bentuk kesadaran bersama bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan kepedulian komunitas internasional. 

Selain itu, bahwa prosedur­prosedur yang ada di Komisi HAM dan Dewan Keamanan PBB tidak dapat diambil jika negara yang bersangkutan

tidak memberikan izin atau tidak mengundang. Sehingga dalam banyak kasus prosedur­prosedur tersebut tidak dapat bekerja dengan optimal dan efektive  karena banyak negara­negara anggota  yang tidak memberikan  izin  atau mengundang komisi penyelidik,  pelapor khusus ataupun menolak tuduhan­tuduhan yang dilaporkan oleh warga negaranya kepada Komisi.

(16)

Bagaimana cara masyarakat dunia memastikan hak asasi manusia itu dapat dinikmati oleh setiap umat manusia?

Setidaknya sejak Perang Dunia Kedua, komunitas internasional membangun standar­standar hukum yang mengikat secara internasional untuk memastikan setiap manusia di dunia dapat menikmati hak asasi manusia. Setidaknya hingga saat ini, komunitas internasional telah berhasil membuat sejumlah besar naskah hukum hak asasi manusia baik di tingkat internasional dan regional. Selain itu mereka juga telah membangun sebuah mekanisme pemantauan dan badan­badan pemantauan internasional dan regional. Bahkan mekanisme dan badan­badan pemantauanya dilengkapi dengan mandat dan kewenangan untuk melakukan pemantauan dengan pelbagai macam cara, seperti: meminta negara­negara anggota memberikan laporan secara periodik dan atau jika diminta;  menerima pengaduan antar negara­negara anggota; menerima laporan individu; dan mengirimkan pelapor khusus ke negara­negara anggota secara reguler.Berikut ini adalah sejumlah instrumen hukum dan badan pemantau hak asasi internasional dan regional: 

LEVEL INSTRUMEN BADAN PEMANTAU

Internasional Sidang rutin tahunan  Universal Periodic Review Prosedur Khusus 1503

Dewan   Hak   Asasi Manusia

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR)

(Sudah ada 164 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi) Komite   Hak   AsasiManusia Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 

(ICESCR)

(Sudah ada 160 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Hak   Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk  Diskriminasi Rasial (CERD)

(Sudah ada 173 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Penghapusan Diskriminasi Rasial

Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan(CAT)

(17)

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap  Perempuan (CEDAW)

(Sudah ada 185 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)

Komite   Penghapusan Diskriminasi   Terhadap Perempuan

Konvensi Hak Anak (CRC)

(Sudah ada 193 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi) Komite Hak Anak Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya 

(ICMWR)

(Sudah ada 41 Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)

Komite   Perlindungan Buruh   Migran   dan Keluarganya

Konvensi Hak­Hak Difabel/Penyandang Cacat (CRPD) (Sudah ada 51 Negara Pihak, Indonesia sudah tanda tangan  tetapi belum meratifikasi)

Komite   Hak­Hak Difabel

Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (Baru ada 10 Negara Pihak, bisa berlaku bila sudah ada 20  Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)

Belum ada

(Menunggu   20

ratifikasi) Benua Eropa Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR)

Pengadilan HAM

Pengaduan Antar­Negara Pengaduan Individual

Dewan Eropa

Piagam Sosial Eropa Komite Para Menteri

(18)

Konvensi Kerangka Kerja Eropa untuk Perlindungan Kelompok

Minoritas Nasional Komite   Para   Menteridan   dibantu   oleh Komite Pakar

Piagam Eropa untuk Bahasa Regional dan Minoritas idem

Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Biomedis Sekretaris   Jenderal Dewan   Eropa   dan Pengadilan HAM Eropa sebagai penasihat

Badan­badan di luar perjanjian  Komisaris  

Eropa untuk  HAM 

 Komisi Eropa  Menentang  Rasisme dan  Intoleransi  (ECRI) Benua

Amerika Piagam Organisasi Negara Negara Amerika (OAS)Pengaduan Individu Dewan OASPengadilan HAM  Negara Negara Amerika

Konvensi HAM Negara Negara Amerika Komisi HAM Negara 

(19)

Benua

Afrika Perjanjian Afrika Terhadap Hak Asasi Manusia dan Rakyat (Piagam Banjul)  Prosedur pelaporan negara

 prosedur pengaduan individu  prosedur pengaduan antar negara

 Komisi Hak  Manusia dan  Bangsa Negara  Negara Afrika  Pengadilan 

Afrika Hak  Asasi Manusia  dan Bangsa Piagam Afrika Tentang Hak Asasi Manusia Komisi Afrika 

Mengenai Hak Hak  Manusia dan Bangsa  Bangsa

Piagam Afrika Tentang Hak dan Kesejahteraan Anak Komite Ahli Hak Asasi  Manusia dan 

Kesejahteraan Anak

Indonesia UUD 1945 Amandement ke II Tidak ada

UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia Komnas HAM UU No.40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial Komnas HAM 

UU No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM Komnas HAM, 

Kejaksaan Agung dan  Pengadilan HAM

(20)

 UU No.11/2005 Tentang Ratifikasi ICESCR  UU No.12/2005 Tentang Ratifikasi ICCPR

Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa upaya­upaya komunitas internasional untuk memastikan bahwa seluruh standar dan mekanisme pemantauan  hak asasi manusia ini masih terus berlanjut  hingga saat ini. Masih banyaknya kelemahan­kelemahan dari setiap standar dan mekanisme pemantauan menjadi dasar bagi komunitas internasional untuk terus menguatkan seluruh standar dan mekanisme tersebut, termasuk disini mengembangkan standar­standar baru yang relevan dengan perkembangan ekonomi politik internasional, regional dan nasional.

I.1.2. Teori Dasar Hak Asasi Manusia

Hingga saat ini masih banyak orang­orang di pelbagai tempat, termasuk orang­orang Indonesia, yang melihat hak asasi manusia tak ubahnya seperti macan ompong. Standar­standar hukum internasional dan nasional hanya menjadi tumpukan dokumen, tanpa bisa menjawab masalah ketidakadilan yang masih terus dirasakan oleh banyak orang di pelbagai tempat. Namun apakah skeptisme sebagian besar orang­orang ini sudah berada   pada   tempatnya?   Jawabannya   adalah   tidak   sepenuhnya   benar.   Karena   praktik   penegakan   hak  asasi   manusia   yang   dilakukan   oleh pemerintahan, termasuk pemerintah Indonesia, tidak sepenuhnya mengikuti teori dasar dan praktik dari hak asasi manusia. Oleh karena itu untuk dapat menguji seberapa jauh negara­negara di dunia telah secara konsekuen menjalankan hak asasi manusia, ada baiknya jika kita terlebih dahulu melihat ulang teori dasar dan aplikasi hak asasi manusia. 

Apa saja prinsip dasar hak asasi manusia?

Pada dasarnya aplikasi hak asasi manusia harus merujuk pada tiga prinsip dasar yang telah digariskan oleh para pakar hukum internasional. Tanpa ketiga prinsip dasar tersebut maka bisa dipastikan bahwa standar­standar hak asasi manusai internasional, regional dan nasional tidak dapat diaplikasikan atau kalau pun diaplikasi pasti praktiknya akan menyimpang dari teori dasarnya. Para pakar hukum hak asasi manusia internasional merumuskan tiga prinsip dasar yaitu, prinsip universal dan tidak dapat dibagi; saling bergantung dan terkait; setara dan non­ diskriminasi.   

(21)

regional.3 Oleh karena itu pandangan bahwa hak asasi manusia adalah produk barat atau produk negara­negara kapitalisme atau bertentangan dengan nilai­nilai ketimuran sudah terbantahkan. 

Selanjutnya prinsip dasar kedua adalah saling terkait dan bergantung. Prinsip kedua ini mensyaratkan bahwa seluruh standar hak asasi manusia (instrumen) berikut dengan hak­hak yang diakuinya harus dijalankan secara bersamaan. Karena antara instrumen yang satu dengan yang lainnya serta   antara   hak   yang   satu   dengan   hak   yang   lainnya   itu   saling   terkait   dan   bergantung.4  Tidak   dibenarkan   praktik­praktik   pengutamaan penikmatan instrumen ataupun hak oleh suatu negara dengan dalih apapun. Misalnya penikmatan  hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dipenuhi jika hak sipil dan politik tidak bisa dinikmati. Demikian halnya dengan penikmatan hak­hak perempuan, anak­anak dan kelompok minoritas,  kelompok­kelompok khusus ini tidak dapat menikmati hak­hak khusus mereka jika hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka dibatasi atau dihilangkan. 

Kemudian hak asasi manusia juga memiliki prinsip setara dan non­diskriminasi, maksudnya adalah bahwa hak asasi manusia itu adalah hak setiap orang, tanpa memandang latarbelakang ras, suku, agama, bahasa, budaya, jenis kelamin, warna kulit dan afiliasi politik.5 Oleh karena itu tidak seorang pun atau kelompok manapun atau pemerintahan model apapun yang dapat menghilangkan hak setiap manusia yang tinggal di jagad raya ini untuk menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya dengan dalih apapun dan atau dalam keadaan apapun.    

Siapa yang berkewajiban untuk memastikan hak asasi manusia dapat dinikmati oleh setiap orang?

Dengan pejabaran ketiga prinsip dasar hak asasi manusia ini jelaslah sudah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, saling bergantung dan terkait serta menjunjung asas kesetaraan dan non­diskriminasi. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang berkewajiban untuk memastikan setiap manusia menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut mari kita lanjutkan pembahasan kita denggan topik pemangku kewajiban dari pemenuhan penikmatan hak asasi manusia di bawah ini.

Ketika   membicarakan   tentang   siapa   yang   berkewajiban   untuk   memenuhi   penikmatan   hak   asasi   manusia   banyak   pihak,   terutama   pihak pemerintahan di banyak negara termasuk Indonesia, selalu mencoba mengaburkan pertanyaan tersebut dengan melontarkan pernyataan “bahwa

3Lihat., Apa itu Hak Asasi Manusia di http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx, diakses 8 April 2009 4Ibid.,

(22)

pihak yang berkewajiban mememuni hak asasi manusia adalah semua orang.” Pernyataan ini biasanya mereka lontarkan bukan karena mereka tidak   memahami   konsep   kewajiban   negara   dalam   hukum   hak   asasi   manusia.   Akan   tetapi   merupakan   bagian   dari   strategi   mereka   untuk menghindar dari kewajiban­kewajiban mereka atas praktik pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di wilayah teritori mereka.    

Pada dasarnya konsep pemangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia internasional sangatlah jelas yaitu adalah “negara”. Hampir seluruh instrumen hukum hak asasi manusia internasional, regional, dan nasional selalu menyebutkan di bagian awal bahwa negara adalah pihak yang memangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. Penunjukkan oleh hukum hak asasi manusia ini semata­ mata didasari oleh teori hukum internasional yang menempatkan negara sebagai pihak utama dan menentukan dalam keberhasilan penikmatan hak asasi manusia di seluruh dunia. Bagaimanapun juga negara adalah institusi yang secara politik dan hukum legitimate untuk mengerahkan seluruh alat­alat kenegaraan guna memastikan seluruh rakyatnya dapat menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya.6 Selain itu, teori hukum internasional lainnya juga menyebutkan bahwa agar hukum internasional tidak merusakan kedaulatan sebuah negara, maka hukum internasional menempatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban memastikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat dinikmati semua rakyatnya.7 

Apa saja kewajiban­kewajiban utama negara? 

Pada dasarnya konsep tiga kewajiban ini merujuk pada teori status dari Georg Jellinek, yang mana menjelaskan tentang kewajiban negati dan kewajiban positif (Nowak: 2003). Kewajiban negatif ini adalah bahwa negara tidak boleh mancampuri atau melakukan intervensi atas hak­hak sipil warga negara. Sedang kewajiban positif adalah bahwa negara harus mengambil langkah­langkah aktif atau layanan positif terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun demikian sejalan dengan perjalanan waktu tersebut, para pakar hukum internasional melihat bahwa teori tersebut  sudah ketinggalan  zaman  atau tidak  mampu lagi mengikuti  dinamika  ekonomi politik  internasional,  regional,  dan nasional  yang mempengaruhi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar. Dengan mempelajarai pelbagai hambatan penegakan hak asasi manusia seperti kasus kekerasan   dalam   rumah   tangga,   praktik­praktik   pelanggaran   oleh   pihak   non   negara   (pihak   ketiga),   para   pakar   hukum   internasional memformulasikan ulang teori kewajiban negara tersebut (Nowak: 2003). Dengan mengatakan bahwa pemisahan kewajiban negatif dan positif oleh negara saat menjalankan kewajiban yang dibebankan hukum hak asasi manusia membuat banyak orang masih terlanggar hak asasi dan kebebasan   dasarnya,   para   pakar   kemudian   merumuskan   ulang   kewajiban   tersebut   menjadi  negara   berkewajiban   untuk   menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia secara menyeluruh. (Lihat, Nowak: 2003). Rumusan ini menjadi semakin menguat ketika konsep

(23)

ketakterpisahan dan saling bergantung hak asasi manusai telah mendapatkan pengakuan dari 171 negara­negara anggota PBB pada Konferensi Dunia di Wina 1993, dengan wujud Deklarasi Wina 1993 Dan Program Aksi.   

Apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi?

Untuk melihat batasan dari tiga kewajiban tersebut kita memiliki banyak rujukan. Rujukan yang pertama adalah instrumen hukum hak asasi manusia. Hampir setiap instrumen hak asasi manusia mencantumkan tentang apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi. Sumber kedua adalah Komentar Umum ataupun Rekomendasi Umum yang dibuat oleh Badan­badan pemantauan perjanjian. Hampir setiap badan perjanjian selalu membuat penjelasan lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan tiga kewajiban yang dijelaskan di dalam perjanjian. Penjelasan ini mereka buat agar negara tidak menafsirkan pasal­pasal tersebut sekehendak hatinya. Contohnya adalah baru­ baru   ini   Komite   Hak   Asasi   Manusia   mengeluarkan   Komentar   Umum   No.31   Kovenan   Internasional   Hak   Sipil   dan   Politik   tentang   Sifat Kewajiban Hukum Umum Negara­negara Pihak pada Kovenan. Dengan menggantikan Komentar Umum No 3, Komite Hak Asasi Manusia menjelaskan tentang konsep kewajiban negara dalam hal menghormati, melindungi dan memenuhi yang juga harus menyertakan kewajiban positif dan negatif dalam mengambil tindakan­tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia. Sumber ketiga adalah yurisprudensi   yang   dibuat   oleh   badan­badan   pemantau   perjanjian   ataupun   piagam.   Biasanya   badan­badan   ini   juga   membuat   penjelasan­ penjelasan lebih lanjut tentang tiga kewajiban dasar negara tersebut. Dan sumber yang terakhir adalah pendapat para ahli hukum internasional. Sejumlah pakar hukum internasional terpercaya diketahui juga kerap membuat rumusan­rumusan tentang kewajiban negara dalam menjalankan isi perjanjian. Contohnya Limburg dan Prinsip Prinsip Maastrich. 

Dengan merujuk pada sumber­sumber tersebut dapat kita rumuskan tentang apa itu kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi sebagai berikut:

KEWAJIBAN BATASAN DAN MAKSUD CONTOH PELAKSANAAN

Menghormati Kewajiban   ini   mengharuskan negara   untuk   menghindari tindakan­tindakan   intervensi negara   atau   mengambil

Untuk hak untuk hidup negara berkewajiban untuk tidak melakukan pembunuhan. 

(24)

kewajiban negatif berkewajiban   untuk   tidak   menyingkirkan   orang dari pasar tenaga kerja

Melindungi Sedangkan   untuk   kewajiban melindungi,   negara   harus mengambil kewajiban positifnya untuk   menghindari   pelanggaran hak asasi manusia

Kewajiban   untuk   melindungi termasuk pula kewajiban negara untuk   melakukan   investigasi, penuntutan/penghukuman

terhadap   pelaku,   dan   pemulihan bagi   korban   setelah   terjadinya suatu tindak pidana (human righs abuse)   atau   pelanggaran   HAM (human rights violation)

Hak untuk hidup, negara harus mencabut produk undang­undang   yang   masih   membenarkan hukuman mati

Sementara untuk hak atas pekerjaan negara harus mencabut   produk   hukum   nasional   yang membenarkan   penyingkiran   orang   dari   pasar tenaga   kerja,   termasuk   disini   membuat   produk hukum baru jika belum memilikinya

Selain itu negara juga harus memastikan bahwa institusi­institusi   tersebut,   termasuk   lembaga judisial dapat mengambil tindakan­tindakan yang diperlukan   guna   mencegah   praktek­praktek kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang mana   dapat   membuat   penikmatan   hak   menjadi terganggu atau terkurangi

(25)

merupakan   suatu   pelanggaran   HAM   yang   baru, yang sering disebut sebagai impunitas (impunity). Memenuhi Untuk   Kewajiban   ini   negara

harus   mengambil   tindakan­ tindakan legislatif, administratif, peradilan dan langkah­lain yang diperlukan   untuk   memastikan bahwa   para   pejabat   negara ataupun   pihak   ketiga   untuk melaksanakan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia

Negara   harus   melatih   institusi   kepolisian   dan militer   tentang   bagaimana   melakukan   tindakan­ tindakan   dalam   melawan   para   pengunjuk   rasa ataupun kriminal yang agresif secara profesional dan effisien. 

Sedangkan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, negara harus memastikan bahwa lembaga­lembaga pemerintahan   harus   mampu   memberikan pelayanan   yang   memadai   kepada   warga   negara dan   warga   asing   dalam   hal   mengakses   fasilitas kesehatan,   pendidikan,   dan   lapangan   pekerjaan dengan mudah dan tidak ada diskriminasi.    

(26)

Tapi kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa saja indikator struktur, proses dan hasil itu dan bagaimana cara menggunakannya dalam mengukur tindakan­tindakan negara telah sepenuhnya merujuk pada standar pelaksanaan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kita perlu merujuk pada dokumen Dokumen Komentar Umum No 3 ICESCR dan Komentar Umum No.31 ICCPR. Kedua dokumen tersebut menjelaskan dengan cukup detail tentang ketiga indikator tersebut.

indikator struktur adalah menyangkut seberapa jauh tindakan­tindakan yang diambil negara pada di level kewajiban melindungi telah mencakup langkah seperti memasukkan hak ke dalam konstitusi nasional; mengharmonisasi hukum nasional, dan memastikan bahwa hak­hak tersebut dapat dituntut secara hukum.8  

Kedua dokumen itu juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan  indikator proses, yaitu sejumlah indikator untuk mengukur kualitas dari tindakan­tindakan yang diambil negara terkait dengan kewajiban memenuhi, seperti apakah tindakan­tindakan tersebut telah mencakup tindakan legislatif, administratif, peradilan dan tindakan­tindakan yang diperlukan guna memastikan hak asasi dan kebebasan dasar dilaksanakan.9 

Sedangkan untuk  indikator hasil  adalah merupakan ukuran­ukuran kualitatif dan kuantitatif atas hasil dari dua langkah sebelumnya, misal apakah jika negara telah memenuhi indikator struktur dan proses, apakah indikator hasilnya menunjukkan adanya penurunan laporan pengaduan dari masyarakat terkait dengan praktik pelanggaran yang dilakukan oleh aparatus negara atau pihak ketiga.10 

Untuk lebih jelasnya mari kita simulasikan indikator­indikator diatas seperti yang nampak pada tabel di bawah ini:  

Ilustrasi analisis atas pelaksanaan hak untuk bebas dari penyiksaaan 

Indikator  Menghormati Memenuhi Melindungi

Struktur Apakah   negara   telah

memasukkan   hak   untuk bebas dari penyiksaaan ke

(27)

dalam konstitusi nasional? Apakah   hak   asasi   dan kebebasan   dasar   yang masuk   dalam   konstitusi juga   memasukkan ketentuan bahwa hak­hak tersebut   dapat   dituntut melalui   mekanisme hukum?

Apakah   negara   telah mengharmonisasi   seluruh produk   hukum   nasional

dengan   hukum

internasional yang mereka ratifikasi?

dst

Proses  Apakah   negara   telah

menyelenggarakan

(28)

penyiksaan?

 Apakah   negara   telah menyediakan   buku   saku hak   asasi   manusia   untuk aparatus negara?

 Apakah   negara   telah membangun   mekanisme pengawasan dan pengaduan yang   effektif   dan   mudah diakses oleh korban?

 dst

Hasil  Apakah   jumlah

kasus­kasus   penyiksaan yang   melibatkan   aparatus negara   setiap   tahuannya terus   menurun   atau sebaliknya?

(29)

para   pelakunya   diberikan sangsi?

 dst

 

Disamping  berkewajiban  untuk  menjalankan  tiga kewajiban  dasar  di atas,  jika terjadi  pelanggaran  hak  asasi  manusia,  negara juga  harus mengambil langkah­langkah penyelidikan, penuntutan, dan penghukuman, baik melalaui pengadilan maupun lembaga­lembaga penegak displin lainnya. Selanjutnya negara juga harus melakukan pemulihan yang efektif terhadap para korban jika terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia.  Khusus untuk hak pemulihan, negara harus menjamin bahwa hak ini harus dijamin dalam produk hukum. Disamping itu proses pemberiaanya harus merupakan keputusan dari lembaga yudisial atau institusi negara lain yang ditunjuk oleh undang udang sebagai lembaga yang berwenang.11

Apakah hukum hak asasi manusia mengizinkan praktik pembatasan atau penyimpangan penikmatan hak asasi manusia oleh Negara?

Sorotan utama hukum hak asasi manusia terhadap negara membuat banyak pihak, terutama aparatus negara, melihat hak asasi manusia ini telah mengekang mereka. Tak heran jika kemudian mereka  agak tidak suka dengan masuknya hak asasi manusia ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Pada dasarnya hukum hak asasi manusia juga memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan penyimpangan dan atau pembatasan atas penikmatana hak asasi manusia.  Pemberian kewenangan ini diberikan guna menjamin agar penikmatan hak asasi manusia tidak terganggu akibat gejolak ekonomi politik yang tidak menentu atuapun akibat dari bencana alam yang melumpuhkan sarana dan prasaran negara yang cukup luas.

Namun, untuk dapat menjalankan kewenangan penyimpangan atauapun pembatasan, setiap Negara Anggota harus memenuhi ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum hak asasi manusia internasional, regional dan nasional.  Adalah Pasal 30 DUHAM merupakan induk dari ketentuan hukum hak asasi manusia yang memberikan prasyarat pembatasan. Selanjutnya Pasal 4 dan 5 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan   Internasional   Hak   Ekonomi,   Sosial   dan   Budaya   juga   merupakan   ketentuan   hukum   lain   untuk   melihat   batasan   dan   prasyarat kewenangan penyimpanggan ataupun pembatasan yang bisa diambil oleh negara. Lalu pertanyaannya prasyarat apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum tersebut sehingga Negara Anggota dianggal legal untuk melakukan penyimpangan dan atau pembatasan? 

(30)

Berikut ini adalah prasyarat yang harus dipenuhi oleh Negara Anggota yang hendak melakukan praktik “penyimpangan” dan atau “pembatasan”:  Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa;12 

 Negara mengumumkan keadaan darurat tersebut secara resmi ke publik dalam negeri dan internasional ;13

 Negara Anggota harus memberitahu pasal­pasal yang disimpangi atau dibatasi berikut alasan penyimpangannya kepada Negara Negara Anggota Lainnya Melalui Sekretaris Jenderal PBB, termasuk disini tanggal pengakhirannya.14

 praktik tersebut ditujukan bukan untuk menghancurkan hak asasi dan kebebasan dasar;15

 praktik tersebut tidak bersifat diskriminatif atas dasar  berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asal­usul sosial;16  praktik tersebut tidak ditujukan untuk membatasi Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 (ayat 1 dan 2), Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 dalam

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik;17

 praktik  pembatasan  ditentukan  dengan  ketentuan  hukum yang  sesuai  dengan sifat  hak tersebut,  dan semata­mata  dilakukan  untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. 18

 praktik pembatasan tidak bertentangan dengan hukum internasional yang lain dimana Negara Anggota juga menjadi anggota dari hukum tersebut;19 

I.1.3. Membedah Hak dan Kebebasan Dasar di Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, Regional & Internasional

Seperti yang telah kita pelajari di bagian teori dasar hak asasi manusia sebelumnya, bahwa instrumen hukum hak asasi manusia sangatlah banyak meliputi instrumen internasional, regional dan nasional. Di level internasional, hingga saat ini setidaknya terdapa delapan instrumen hak asasi manusia internasional, yaitu:  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Kovensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

12Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 4 (1) 13Ibid., ; lihat juga Pasal 22 (2)

14Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politk, Pasal 4 (3)

15Lihat DUHAM Pasal 3; lihat juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 5 (1) 16Op., Cit., Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 4 (1)

17Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 4 (2)

(31)

(CERD), Kovensi Internasional Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Kovensi Menentang Penyiksaan (CAT), Kovenasi Hak Anak (CRC), Kovensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (ICMWR).  Sementara di tingkat regional, masing­ masing benua memiliki lebih dari dua instrumen hak asasi manusia. Sedangkan di tingkat nasional sendiri, terdapat delapan instrumen hak asasi manusia utama dan pelbagai macam undang­undang khusus yang juga mengadopsi konsep hak asasi manusia di dalamnya. Instrumen tersebut antara   lain   UUD   1945;   UU   No.39/1999   Tentang   Hak   Asasi   Manusia;   UU   No.40/2008   tentang   Anti   Diskriminasi;  Keputusan   Presiden No.36/1990 tentang Ratifikasi CRC, UU No.07/1984 tentang Ratifikasi CEDAW, UU No.5/1998 tentang Ratifikasi CAT,  UU No.29/1999 Tentang Ratifikasi CERD, UU No.11/2005 Tentang Ratifikasi ICESCR, UU No12/2005 tentang Ratifikasi ICCPR.

(32)

KELOMPOK HAK

SUB HAK DETAIL HAK YANG

DILINDUNGI

(33)

Sipil & Politik a) Hak untuk bebas dari pencabutan hidup

sewenang­ wenang

 Hak bebas dari pembunuhan sewenang­

wenang  Hak bebas dari

genocide

 hak untuk bebas dari pembunuh kilat  hak untuk bebas dari

ancaman pembunuhan

DUHAM Pasal 3, ICCPR pasal 6, dan Pasal 4 (1) Konvensi Amerika.

Pasal 4 Konvensi Banjul, dan Pasal 2 (1)  Konvensi Eropa.

Kemudian pasal 1 Kovensi Pencegahan  dan Penghukuman

atas kejahatan Genosida juga menekankan perlindungan hak hidup.  Selain itu, Pasal 3 Kovensi

Genewa ke IV juga menyatakan bahwa hak untuk hidup juga

dilindungi.

Selanjutnya, Instrumen hak asasi manusia lain yang juga digunakan untuk mencegah pelanggaran atas

hak ini jug mencakup Pasal 3 Kode Etik Aparatus penegak hukum dan Prinsip­prinsip dasar

Pengunaan senjata api bagi aparatus penegak hukum juga

(34)

b) Hak perlindungan atas

integritas pribadi

 Hak bebas dari penyiksaan  hak bebas dari hukuman kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat

Pasal  5 DUHAM, Pasal 7 ICCPR dan Komentar Umum No 7 ICCPR, Pasal 10 (1) ICCPR, Pasal

1 (1) CAT secara jelasnya menyatakan bahwa  hak bebas dari penyiksaan, hukuman kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat adalah hak fundamental

yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apapun atau sering disebut sebagai non­derogable.

Pasal 5 (1) Konvensi Amerika, Pasal 5 Piagam Banjul, Konvensi

Pencegahan dan penghukuman Penyiksaan negara­negara Amerika, dan Konvensi Eropa tentang Pencegahan Penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga

memperkuat tentang instrumen internasional tentang larangan penyiksaan, hukuman kejam dan tidak manusiawi  dalam keadaan

(35)

c) Hak kebebasan dan keamanan pribadi

 Hak bebas dari penahanan sewenang­

wenang  Hak bebas dari

penghilangan paksa

DUHAM pasal 3, ICCPR pasal 9 (1) memberikan perlindungan

terhadap hak bebas dari penangkapan dan penahanan

sewenang­wenang dan penghilangan paksa. Secara Khusus pula Komite Hak Asasi Manusia mengeluarkan Komentar

Umum No 6 untuk menguatkan tentang larangan penghilangan

paksa.

Selanjutnya Konvensi Eropa Pasal 5 (1), Pasal 6 Piagam Banjul, Pasal 7 (2) dan (3)  Konvensi Amerika

(36)
(37)
(38)

Ekonomi, Sosial, dan

Budaya

a) Hak atas standar kehidupan yang

layak

 Hak kelayakan pangan, pakaian dan perumahan  hak atas perumahan  hak atas perawatan medis

 hak atas pelayanan sosial yang diperlukan  Hak standar hidup yang

layak untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial

anak.

DUHAM Pasal 25 (1) dan Pasal 1(2), 11 dan 23 ICESCR  adalah

payung hukum yang secara spesifik mengatur tentang hak­hak

yang terkait dan termasuk dalam hak atas standar kehidupan yang

layak. Kemudian Komentar Umum No.12 Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga

turut menguatkan hak­hak ini dengan memberikan penafsiran

atas atas pangan yang layak. Selain itu Pasal 24 dan 27 Kovensi

Hak Anak juga memberikan dukungan terhadap hak atas pangan dan layak bagi anak­anak.

Sementara di tingkat regional Pasal 12 (1) Protokol San Salvador, Pasal 4 Piagam Sosial

(39)
(40)
(41)
(42)
(43)

Hak Hak Kelompok

Khusus

(44)

Anak­anak  Hak bebas dari diskrininasi  hak untuk hidup

 hak untuk berekspresi dan

berpendapat  Hak atas

perlindungan dari tindakan yang membayakan fisik dan

mental

 Hak atas perlakuan istimewa bagi anak­anak

cacat

 Hak atas kesehatan  hak untuk menikmati

pendidikan dasar  hak untuk mendapat

perlindungan dari aktivitas eksploitasi

ekonomi

 hak untuk mendapat perlindungan dari pelecehan dan eksploitasi

seksual

 hak untuk mendapat perlindungan dari perekrutan menjadi

anggota tentara

Pengakuan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan dasar kelompok anak­anak ini terdapat

(45)

Kelompok Minoritas

 Hak untuk

menikmati budaya  Hak untuk meyakini

dan menjalankan agama atau menggunakan bahasa ibu mereka  hak untuk setara di

depan hukum  hak bebas dari

praktik­praktik diskriminasi

 Hak untuk

mendapatkan perlakuan khusus (affirmative

Actions)

Pasal 27 ICCPR, Pasal 1 dan 2 Deklarasi Orang Orang dari Bangsa, Etnis, Agama atau Bahasa

Minoritas

II.1.4. Mengidentifikasi Pelanggaran dan Kejahatan Hak Asasi Manusia

Setelah kita memahami teori dasar dan mengetahui cakupan hak dan kebebasan dasar yang diakui dalam instrumen internasional, regional dan internasional, maka pertanyaan selanjutnya bagaimana kita bisa mengidentifikasi pelanggaran hak dan kejahatan hak asasi manusia? Memang tidaklah mudah untuk mengindentifikasi peristiwa pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia.  Karena untuk menentukannya memerlukan sebuah ketercukupan informasi lapangan dan ketelitian dalam membaca informasi­informasi lapangan tersebut. Namun cara mudah untuk mengidentifikasi pelanggaran dan kejahatan adalah dengan cara memahami dahulu apa itu pelanggaran hak asasi manusia dan apa itu kejahatan hak asasi manusia. 

(46)

telah dilakukan negara dalam menjamin hak­hak dan kebebasan dasar yang diakuinya dapat dinikmati oleh seluruh warganya. Sementara untuk konsep kejahatan hak asasi manusia selalu berpihak pada pertanggungjawab para pelaku individu atas tindakan­tindakan yang telah mereka ambil sehingga mengakibatkan hak asasi dan kebebasan dasar terkurangi atau hilang sama sekali. 

Misalnya adalah peristiwa pembunuhan Tengku Bantaqiyah di Aceh. Dalam konteks peristiwa ini Negara telah melanggar Instrumen Hak Sipil Politik tentang pengakuan dan perlindungan atas hak hidup untuk kategori pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati, karena negara membenarkan aparatus negaranya melakukan pencabutan nyawa Tengku Bantaqiyah dan pengikutnya secara sewenang­wenang. Sementara untuk memahami kejahatannya, tindakan penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh personel dari satuan operasi militer yang bertugas saat ini adalah bentuk dari kejahatan hak asasi manusianya. Oleh karena itu pertanggungjawaban dari kejahatan ini bukan lagi negara, akan tetapi personel­personel yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan tersebut, baik dari level pelaksana, pemberi perintah dan perancang operasi.

Dengan berpijak pada pemahaman di atas maka untuk lebih jelasnya dapat kita praktekkan lagi dalam Peristiwa Kerusuhan Mei di Jakarta Mei 1998. Untuk dapat mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa tersebut, maka langkah pertama adalah mengindetifikasi seluruh fakta kekerasan fisik/nonfisik dan akibat­akibat langsung terhadap korban guna melihat siapa korban, pelaku dan bentuk­bentuk dari tindak kekerasan fisik/non fisik. Langkah kedua adalah mengidentifikasi hukum hak asasi manusia nasional yang tersedia, termasuk instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh negara, termasuk disini kewajiban­kewajiban yang dibebankan kepada negara oleh hukum tersebut, termasuk disini mengindentifikasi hak­hak yang diakui dan dilindunginya. 

Setelah kita melihat hukum tersebut, langkah ketiga adalah mengidentifikasi tindakan­tindakan yang diambil oleh negara, baik sebelum, saat maupun paska peristiwa kerusuhan terjadi, dalam mewujudkan penikmatan hak dan kebebasan dasar yang diakui dalam hukum­hukum tersebut, termasuk disini tindakan­tindakan pencegahan pada saat kerusuhan sosial terjadi dan tindakan­tindakan penanganan atas peristiwa kerusuhan sosial pasca kejadian. 

Langkah yang terakhir adalah menganalisa temuan langkah pertama, kedua dan ketiga untuk menemukan apakah ada hak asasi dan kebebasan  dasar yang terlanggar; menemukan para korban dan akibat­akibatnya; menentukan para pelaku berikut tindak kejahatan yang dilakukannya dan  bukti­bukti penguatnya: dan terakhir adalah menganalisa apakah bentuk­bentuk pelanggaran negara dan para pelaku kejahatan hak asasi 

(47)

I.2. Isu-Isu Tematik terkait Pelanggaran HAM

I.2.1. Bisnis dan HAM

Selama kurang lebih 40 tahun setelah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 di masa era Perang Dingin, isu utama dalam diskursus HAM adalah menyoroti tindakan atau perilaku negara (state), sebagai entitas legal utama dalam hukum HAM internasional. Era pasca Perang Dingin fokus dalam diskursus HAM mulai meluas ke perilaku aktor-aktor non-negara (non-state actor). Salah satu elemen penting dalam konteks isu ini adalah para perusahaan transnasional raksasa (transnational/multinational corporations). Perusahaan transnasional ini memiliki keleluasaan beroperasi –yang seringkali memiliki implikasi negatif dalam isu HAM- dalam konteks globalisasi di satu sisi, di lain sisi mereka memanfaatkan lubang-lubang legal dalam mekanisme HAM internasional. Para perusahaan transnasional ini umumnya memiliki aset ekonomi (dan kekuasaan) yang mampu menekan atau mempengaruhi suatu pemerintahan. Problem-problem HAM yang seringkali muncul terkait beroperasinya suatu perusahaan transnasional besar adalah:

 minimnya jaminan hak-hak ekonomi dan sosial terhadap para pekerja (buruh) dengan kemampuannya merelokasi situs produksi;

 privatisasi di berbagai sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak seringkali justru memiliki efek terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak;

 seringkali untuk menekan biaya produksi, perusahaan tersebut memanfaatkan buruh di bawah umur;

 perusahaan transnasional seringkali terlibat dan mengambil keuntungan dari situasi konflik di suatu negara/daerah;

 lebih buruk dari memanfaatkan politik upah yang murah dan kontrol represif terhadap organisasi buruh, beberapa perusahaan transnasional kadangkala mempraktekan suatu kerja paksa serupa dengan perbudakan, khususnya terhadap para pekerja migran yang menjadi korban trafficking.

Untuk merespon isu ini, Komisi HAM PBB mengeluarkan suatu resolusi -UN Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2, (2003)- untuk bisa membangun pagar-pagar normatif dalam upaya mengendalikan perilaku perusahan-perusahaan transnasional. Dalam resolusi tersebut meski dinyatakan kewajiban utama dalam promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM ada di tangan negara, perusahaan-perusahaan transnasional tersebut juga memiliki tugas serupa dalam berbagai aspek:

(48)

 perlindungan terhadap hak integritas pridadi orang lain, khususnya dari situasi perang, konflik bersenjata, praktek genosida, penyiksaan, dan dari berbagai pelanggaran serius HAM lainnya;

 jaminan atas hak sosial dan ekonomi para buruh;

 penghormatan terhadap prinsip kedaulatan nasional; kewajiban untuk menghormati hak-hak konsumen; dan kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup.

Perkembangan di atas mendorong para perusahan transnasional secara kreatif (maupun terpaksa) mengembangkan sendiri suatu standar normatif sukarela (voluntaristik), baik secara individual maupun secara kolektif, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor bisnis serupa.20 Standar voluntaristik ini kemudian bisa menjadi alat publik untuk mengawasi dan mengontrol perilaku perusahaan-perusahaan

transisional tersebut.

I.2.2. Perempuan

Tematik perempuan dalam diskursus HAM selalu mendapat tempat yang strategis. Pengarusutamaan gender -dengan penekanan pada penguatan kapasitas perempuan- ada di seluruh instrumen HAM internasional. Salah satu pilar prinsip HAM yang universal, yaitu prinsip anti-diskriminasi selalu mencakup kesetaran gender. Sayangnya meski ketentuan normatif internasional terkait dengan perempuan sudah banyak -termasuk instrumen HAM internasional khusus perempuan CEDAW- secara aktual penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan masih belum memadai. Posisi perempuan selalu berada di bawah laki-laki di hampir seluruh indikator politik, sosial, ekonomi, atau budaya:

 angka putus sekolah, statistik kemiskinan, akses terhadap kesehatan masih menunjukan perempuan lebih dirugikan ketimbang laki-laki;  perempuan di dunia secara umum memiliki jumlah waktu kerja yang hampir sama dengan laki-laki (termasuk sebagai ibu rumah tangga),

namun penghasilan yang didapat begitu timpang, beberapa kerja bahkan tidak dibayar atau penghasilannya dikontrol oleh pihak laki-laki di keluarganya;

 sementara itu para politisi di parlemen, pemerintahan, atau petugas penegakan hukum di dunia masih dianggap ‘dunia laki-laki’, di mana jumlah perempuan masih minim;

(49)

 bahkan di berbagai negeri perempuan hanya memiliki sedikit hak-hak sipil-politik mereka tidak boleh menjadi anggota parlemen, kabinet, atau aparat penegak hukum; perempuan juga menjadi sasaran kekerasan atau teror dalam suatu situasi konflik bersenjata;

 kekerasan dalam rumah tangga memiliki efek negatif sangat tidak proporsional terhadap perempuan di banding laki-laki;

 perempuan tidak hanya menjadi korban karena praktek-praktek kebijakan formal negara, namun juga difasilitasi oleh praktek-praktek kultural yang telah berurat akar dalam masyarakat yang patriarchal;

 setiap tahunnya jutaan ‘perempuan’ di dunia ‘dihilangkan’ karena adanya praktek preferensi keturunan laki-laki.

CEDAW (Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) yang diadopsi oleh PBB pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku sejak 3 September 1981 memiliki serangkaian aturan normatif untuk merespon ketimpangan gender tersebut;

Diskriminasi gender merupakan konsep yang mencakup pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan;

kekerasan terhadap perempuan juga merupakan suatu praktek diskriminasi terhadap perempuan;

 negara harus mengambil langkah-langkah administratif, legislatif, atau yudikatif untuk menjamin penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai bidang;

 kebijakan affirmative action yang dibuat secara temporer untuk meningkatkan kesetaraan gender bukan merupakan praktek diskriminatif;

 menjamin pemenuhan hak-hak sipil-politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang setara antara laki-laki dan perempuan; kesetaraan gender bukan hanya harus diwujudkan dalam aspek prosedural (lewat kebijakan negara/non-diskriminasi formal), namun juga harus diwujudkan dalam hasil (non-diskriminasi substansial).

I.2.3. Kebebasan Beragama

(50)

berdimensi antar/inter-agama/kepercayaan/keyakinan maupun intra-agama/kepercayaan. Pada masa Perang Dunia II praktek pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan berujung pada praktek genosia. Di negara-negara komunis, seringkali terjadi persekusi atau pembatasan ruang kebebasan beragama bagi agama-agama di luar ‘institusi resmi’ negara. Sebaliknya di negara-negara yang memiliki agama resmi negara, kelompok agama/kepercayaan minoritas dan kaum ateis menjadi sasaran persekusi.

Kebebasan bergama dan berkeyakinan dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM (1948), sebuah dokumen hak asasi manusia internasiona tertua. Pengaturan atas kebebasan beragama atau kepercayaan lebih rinci diatur oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 pada 18 (ayat 1-3) dan Pasal 20 (ayat 2) dan dilengkapi oleh Komentar Umum (General Comment) No. 22 (1993) yang dibuat oleh Komite HAM (Human Rights Committee), yang isinya mengatur bahwa:

 Dengan penjelasan ini hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama ada di tingkatan baik individual maupun komunitas. Artinya pengakuan atas hak ini bisa diklaim secara individual atau komunitas. Ini menunjukkan sulitnya mendefinisikan secara ketat apa itu agama (on all matters) tapi sekaligus menggugurkan argumen bahwa hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama bisa ditentukan oleh suatu entitas politik atau hukum, seperti pengakuan negara untuk menentukan mana agama resmi dan tidak resmi, atau suatu badan keagamaan tertentu menentukan mana agama yang benar atau sesat. Hak beragama dan berkeyakinan termasuk pula hak untuk berpindah agama/keyakinan secara suka rela.

 Secara sosiologis dan empirik sulit mendefinisikan ‘agama’ atau kepercayaan. Bahkan agama yang dianggap terstruktur sekalipun -secara teologis, organisatoris, dan administratif- bisa memiliki sub-struktur dan sub-sistem. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya secara empirik memiliki varian yang beragam, tidak hanya menyangkut level institusi, namun juga di tingkatan teologis dan ritual.

 Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama, atau tidak menganut suatu agama dan kepercayaan apa pun. Kebebasan beragama juga termasuk meyakini agama tradisional atau membentuk agama baru. Selain itu paragraf ini juga menjelaskan pentingnya mencegah terjadinya diskriminasi atau permusuhan (hostility) terhadap kepercayaan atau agama minoritas. Dan sesuai dengan prinsip hukum HAM internasional, setiap hak (di tingkatan individu) mengandaikan adanya kewajiban di lain pihak, yaitu negara. Negara sebagai subjek hukum HAM wajib memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk secara khusus terhadap masyarakat kepercayaan atau agama minoritas.

(51)

pikiran orang) bisa dikekang atau diintervensi oleh orang lain atau negara. Sementara hak untuk mengekspresikan keyakinan/agama atau hak untuk beribadat bisa dibatasi untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

 Praktek keagamaan atau kepercayaan tidak boleh dijadikan sebuah propaganda perang, diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan yang bersifat rasial atau religius. Dan negara wajib membuat peraturan atau perundang-undangan yang melarang praktek tersebut.

I.2.4. Buruh dan HAM

Gerakan buruh merupakan salah satu gerakan sosial yang menyumbangkan banyak hal terhadap gerakan HAM. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya banyak menyerap hak-hak buruh seperti hak atas pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang sehat dan aman, hak atas upah dan hari libur kerja, dan hak untuk membentuk serikat buruh. Demikian pula Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memiliki beberapa ketentuan yang diinspirasikan oleh pengalaman gerakan buruh, seperti Pasal 8 soal pelarangan kerja paksa dan perbudakan, Pasal 21 soal hak untuk berkumpul secara damai dan Pasal 22 tentang hak untuk berasosiasi termasuk membentuk serikat buruh. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation) –berdiri pada 1919- dianggap sebagai organisasi HAM internasional tertua. Konvensi-konvesi ILO selalu bekerja secara komplementer dengan instrumen HAM internasional.

Sementara itu arus globalisasi, yang menyebabkan perusahan-perusahan transnasional leluasa mengeksploitasi para buruh di berbagai negara, memiliki dampak negatif tidak hanya bagi kesejahteraan buruh –baik itu buruh di negara industri maju yang tetap rentan kehilangan pekerjaannya maupun buruh di negeri berkembang yang dipaksa bekerja dalam relasi kerja yang fleksibel- namun juga bagi kekuatan daya tawar organisasi buruh vis a vis majikannya.

Untuk memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh, ILO memiliki 8 Konvensi fundamental, yang semuanya sangat erat kaitannya dengan instrumen-instrumen HAM internasional utama, baik prinsip maupun substansi. Kedelapan konvensi fundamental ILO tersebut mengatur empat tema besar, yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

 Pelaksanaan tradisi larangan beraktivitas pada hari Ahad Wage ini sudah dipercaya oleh warga masyarakat Jragung dan kepercayaan ini sulit dihilangkan karena

Pada realisasi atau penggunaan biaya bahan baku perusahaan Macaroni Macamaca Tasikmalaya melebihi anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya, hal ini disebabkan,

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Pada bab kedua menjelaskan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai Teori Kebijakan Program UPK MP, Syarat Penerima SPP,

Dari permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variasi temperatur cetakan (100 0 C, 120 0 C dan 140 0 C)

Sebagai alternatif kedua dari tujuan promosi yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah mempengaruhi dan membujuk pelanggan atau konsumen sasaran agar mau membeli

Pembobotan ini berfungsi untuk mengetahui bobot prioritas indikator kinerja pada sasaran strategis yang memiliki indikator kinerja lebih dari 1. Jika pada sasaran strategis hanya

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness