Memahami Teori Dasar dan Praktik Hak Asasi Manusia
Untuk bisa terlibat dalam kerjakerja monitoring dan investigasi hak asasi manusia, seorang pembela hak asasi manusia harus terlebih dahulu memahami sejarah dan teori dasar hak asasi manusia. Hal ini penting agar pembela hak asasi manusia tidak salah dalam mengidentifikasi dan menganalisis pelbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di wilayahnya. Selain itu dengan pemahaman hak asasi manusia yang kuat seorang pembela hak asasi manusia akan mampu merumuskan langkahlangkah advokasi penanganannya dengan tepat. Oleh karena itu bab ini mengajak para pembaca mempelajari sejarah dan teori hak asasi manusia. Namun demikian agar tidak membosankan maka bagian ini akan memulainya dengan menjawab pertanyaanpertanyaan umum dan khusus yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika sedang mempelajari hak asasi manusia.
I.1.1 Sejarah Gerakan Hak Asasi Manusia Internasional dan Apa itu Hak Asasi Manusia
Darimana hak asasi manusia berasal dan halhal apa saja yang melatarbelakangi kemunculannya?
Pertanyaan diatas ini adalah pertanyaan lain yang kerap dilontarkan oleh banyak orang ketika mereka mencoba mencari tahu lebih dalam tentang hak asasi manusia. Bahkan dalam banyak kasus pertanyaan ini kerap menjadi pertanyaan kunci bagai sejumlah pihak, terutama merekamereka yang kepentingan ekonomi dan politiknya terganggu dengan hak asasi manusiauntuk membuat orang menolak hak asasi manusia. Ada banyak versi dan cara pandang yang berbeda dalam melihat asal muasal hak asasi manusia. Ada yang melihat bahwa asal muasal hak asasi manusia adalah sebagai salah bentuk kesadaran tertinggi masyarakat internasional untuk mencegah terulangnya kembali pelbagai praktik kesewenang wenangan terhadap umat manusia. yang terus dipertontonkan oleh pemerintahan kolonial, pemerintahan otoriter, dan kelompokkelompok non negara yang kekuatannya setara dengan negara di pelbagai tempat. Pandangan lainnya adalah hak asasi manusia lahir sebagai salah bentuk hasil dari negosiasi antara kelompok tertindas dengan para penguasa di masa ke masa. Namun ada juga pandangan yang mengatakan, terutama adalah negaranegara dari kawasan Asia dan Afrika, bahwa hak asasi manusia adalah lahir dari gagasan negaranegara barat yang diciptakan untuk mengubah adat istiadat orangorang timur (Asia) sehingga mempermudah negaranegara tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik yang mereka inginkan.
PERIODE SITUASI DAN KONDISI
Sebelum Masehi Raja adalah utusan tuhan di dunia sehingga apa yang dikatakannya adalah hukum. Akibat dari keadaan ini banyak penduduk sipil yang harus menjadi budak dan diperjualbelikan seperti baran;, buruh tanpa ada jam kerja dan gaji yang tidak layak; petani tidak bertanah dengan uang sewa lahan dan pajak yang tinggi.
Kelompok buruh dan petani tidak bertanah melakukan pelbagai perlawanan, seperti melakukan mogok kerja dan berhenti membayar sewa tanah untuk meminta adanya keadilan kepada raja dan para bangsawan pendukungnya.
Munculah konsep pengakuan hak dalam pelbagai kitab suci agamaagama di dunia dan ketentuan hukum Piagam Medina dan Kitab Hamuraby.
hak untuk hidup Hakhak kelompok
minoritas
hakhak perempuan hakhak anak
hak untuk tidak ditahan sewenang wenang
Setelah Masehi Meskipun telah muncul konsep hak dalam kita suci agamaagama di dunia dan aturan dalam Hamuraby,
Kelompok bu ruh, petani tak bertanah dan bangsa bangsa yang terjajah
1215 Magna Carta, England
namun kondisi penindasan dan ekploitasi umat manusia oleh kalangan raja masih terus berlanjut. Bahkan praktik praktik semacam ini terus berlanjut hingga ke semua benua karena para raja terus melakukan ekspansi ke benua Amerika, Afrika, Asia dan Australia.
Praktek diskriminasi terhadap perempuan juga kembali terjadi dan meluas ke pelbagai belahan dunia
kembali melakukan perlawanan atas praktik sewenang wenangan para raja dan bangsawan. Dengan
membangkang atas
aturan yang
dikeluarkan oleh raja mereka menuntut adanya perubahan tentang konsep negara dan perlindungan warga negara dari praktik kesewenang wenangan.
Buah dari per juangan tersebut munculkan Magna Charta pada 1215. Magna Charta memberikan pemba tasan kekuasaan raja terhadap kepemilikan atas tanah dan Westphalia, Europe
1689 English Bill of Rights, England 1776 Declaration of
Independence, United States
1787 United States Constitution
1789 French Declaration on the Rights of Man and the Citizen, France
1791 United States Bill of Rights
1863 Emancipation Proclamation, United States
1864Geneva Conventions,
International Red Cross
Pada Abad 17, terjadi revolusi Prancis yang mengakhir kekuasaan absolut raja, dan selanjutnya buruh dan rakyat Prancis membentuk sebuah pemerintahan demo kratis Prancis dengan nama Republik Prancis. Dalam hal ini mulai muncul pengakuan tentang hak penduduk dari negara.
Abad 18, terjadi revolusi Amerika dimana penduduk yang tinggal di benua Amerika mempro klamasikan kemer dekaannya dari Kerajaan Inggris Raya. Kemeredekaan Amerika juga mendorong bangsa Canada, Mexico,
dalam proses pengambilan
keputusankeputusan politik.
Brazil, dan Argentina memerdekakan diri dari Prancis, Spanyol dan Portugal.
Selain itu
masyarakat inter nasional juga membentuk hukum perang internasional sebagai wujud dari penolakan mereka atas strategi kotor yang dipergunakan oleh bangsabangsa eropa untuk memenangkan perang.
haknya untuk memilih dalam pemilu.
Perang Dunia I Praktikpraktik
penindasan terhadap kaum buruh masih terjadi
Praktikpraktik
penjajahan oleh bangsa bangsa Eropa dan Jepang terhadap bangsabangsa di Asia, Afrika, dan Australia masih juga berlanjut
praktik diskriminasi dan kampanye pemusnahan terhadap ras masih juga berlangsung.
Praktek diskriminasi terhadap perempuan dan pembatasan hak sipil dan politik perempuan masih terus berlanjut
Masyarakat internasional membentuk
International Labor Organization (ILO) untuk melawan perdagangan budak dan praktikpraktik kejam terhadap buruh, petani dan masyarakat adat. Selanjutnya ILO memproduksi
sejumlah Instrumen hukum tentang perlindungan buruh Masyarakat
internasional juga membentuk Liga Bangsa Bangsa (LBB) untuk mencegah
perang yang
menggunakan strategi brutal.
Di Inggris, Amerika, Australia,
1919 League of Nations Covenant 1926 Slavery
dan Finlandia sejumlah organisasi perempuan menuntut hak untuk memilih dan dipilih pada 1900an. Selanjutnya 1902 dan 1906 pemerintah Australia dan Finlandia memberikan
perempuan hak pilihnya. Selanjutnya Pada 1920 Konggres USA memberikan hak memilih kepada perempuan Amerika. Pada 1928 parlemen Inggris memberikan perempuan Inggris hak memilih dalam pemilu.
Perang Dunia II Praktikpraktik
penindasan terhadap kaum buruh masih terjadi
Praktikpraktik
penjajahan oleh bangsa
Masyarakat internasional membentuk PBB Masyarakat
internasional melalui
1945 United Nations Charter, San Francisco
bangsa Eropa dan Jepang terhadap bangsabangsa di Asia, Afrika, dan Australia masih juga berlanjut
praktik diskriminasi dan kampanye pemusnahan terhadap ras masih juga berlangsung
PBB membentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Rakyat India melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan Inggris pada pertengahan 1920an dan kemudian membebaskan diri dari pemerintahan Inggris pada 1942
Di Indonesia, sejak 1940an pergerakan
pembebasan Indonesia dari Penjajah Belanda terus meluas dan kemudian mencapai puncaknya pada proklamasi
kemerdekaan pada 1945. Lima tahun kemudian Belanda dan Sekutu mengakui kemerdekaan
Indonesia.
violent protests leading India to
Declaration of the Rights and Duties of Man
Genocide Convention 1950 European
Convention
1951 Convention Relating to the Status of Refugees
Di Benua Afrika, hal serupa juga terjadi, meskipun tidak seluruhnya mengalami kesuksesan seperti negaranegara di Asia. Perang dingin Kondisi dunia terbagi
dalam dua blok, yakni blok Barat dan blok Timur. Blok Barat di dukung oleh negara negara seperti USA, Prancis, Inggris, Spanyol, Jerman Barat, dan negaranegara non komunis. Sementara blok Timur didukung oleh negara negara seperti Uni Soviet, Yugoslavia, Jerman Timur, China dan negaranegara Eropa bagian Timur Lainnya. Pertarungan antara blok
Barat dan Timur melahirkan pemerintahanpemerintahan otoriter di benua Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Baik pemerintahan otoriter
Di Afrika
Selatan, Nelson Mandela bersama
sama dengan
kelompok pro demokrasi setempat mulai melawan praktek apartheid di negara mereka pada 1962.
Di Amerika
Latin, kelompok pro demokrasi di negara negara tersebut mulai melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan otoriter pada awal 1970an. Di Asia, pada
1965 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
1966 International Covenant on Civil and Political Rights International
Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights
1969 American Convention on Human Rights
pro Timur dan pro Barat mengekang kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya penduduknya demi memenangkan perang dingin. Pemerintahan otoriter ini juga memberlakukan praktik praktik penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan praktik hukuman kejam dan tidak manusiawi terhadap lawan politik ataupun kelompok pro demokrasi Praktek diskriminasi
terhadap kelompok perempuan juga masih berlanjut di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Eksploitasi terhadap kaum buruh, petani tidak bertanah dan kaum miskin kota masih terus berlanjut di negaranegara Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika.
pertengahan 1980an kelompok pro demokrasi di negara negara Asia juga sedang gencar gencarnya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan otoriter. Mereka mendorong adanya reformasi dan menuntut adanya pertanggungjawaban atas kejahatan kejahatan hak asasi manusia oleh rezim otoriter
Di Indonesia gerkan ini sendiri berlangsung sejak pertengahan 70an dan baru berhasil meruntuhkan rezim otoriter pada 1998 . Namun sayangnya hingga kini belum ada satu pun pelaku
Crime of Apartheid 1979 International
Convention on the Elimination of Discrimination
Against Women diadopsi oleh PBB 1984 Konvensi
Internasional Menentang
Penyiksaan, Hukuman Keji tidak manusiwi dan merendahkan martabat diadopsi oleh PBB
1986 African Charter on Human and People's Rights diadopsi oleh THE AFRICAN
COMMISSION ON
HUMAN AND
kejahatan hak asasi manusia di masa lalu yang dijebloskan ke penjara.
pada awal 1980 organisasiorganisasi perempuan kembali memperjuangkan tentang pelarangan praktikpraktek
kekerasan dan pelecehan seksual baik
Negaranegara komunis runtuh dan kemudian menimbulkan pelbagai peristiwa kekerasan antar etnis di sejumlah tempat. Selain itu pelbagai
peristiwa kelaparan, kemiskinan, pengangguran, anak putus sekolah dan serangan penyakit berbahaya
Memasuki 1990 terjadi gelombang reformasi dan penyelidikan atas kejahatan hak asasi manusia rezim otoriter di Benua Afrika, Amerika Latin dan Asia. Kelompok pro demokrasi dan
1983 Convention on the Elimination of All
Forms of
Discrimination
against Women (CEDAW)
diberlakukan secara hukum
juga terjadi di pelbagai negara eks komunis,.
Akibat kegagalan
program pembanggunan ekonomi oleh bank dunia dan negaranegara pro barat di benua Afrika menyebabkan pelbagai krisis politik dan ekonomi di kawasan tersebut yang kemudian melahirkan Peristiwa kelaparan, serangan penyakit berbahaya, pengangguran, anak putus sekolah dan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang masuk kategori orang miskin.
Praktek diskriminasi terhadap kelompok perempuan juga masih berlanjut di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Eksploitasi terhadap kaum buruh, petani tidak bertanah dan kaum miskin kota masih terus berlanjut di negaranegara Asia, Afrika, dan Amerika.
pembela hak asasi manusia menyerukan adanya
pertanggungjawaban atas praktik kejahatan hak asasi manusia oleh rezim otoriter di selidiki.
pada awal 1990 organisasiorganisasi perempuan di seluruh benua kembali memperjuangkan gerakan menentang praktikpraktek
kekerasan dan pelecehan seksual baik
Perlindungan Buruh
Migran dan
Keluarganya diadopsi oleh PBB
1998, the
International Criminal Tribunal for Rwanda dibentuk oleh PBB dan selanjutnya memasukkan
kejahatan perkosaan sebagai elemen kejahatan dari geoncida dalam hukum internasional. 2003 The Protocol to
the African Charter on Human and Peoples’ Rights on the Rights of Women in Africa 2006, Konvensi
Internasional
Eksploitasi dan perdagangan manusia dan buruh migran terus meningkat dan meluas ke seluruh benua. Laporan tentang Praktik kekerasan dan pelecehan seksual terhdap buruh migran terus meningkat dan menelan korban yang tidak sedikit
diadopsi oleh PBB 2006 Konvensi hak
hak orang dengan keterbatasan fisik permanen dan non permanen diadop oleh PBB
Dari paparan tabel diatas dapat kita ketahui bahwa hak asasi manusia itu berasal dari nilainilai perjuangan menentang penindasan terhadap umat manusia yang digelorakan oleh banyak orang di pelbagai belahan dunia. Oleh karena itu keliru besar jika ada orang yang berfikiran bahwa hak asasi manusia itu adalah berasal dari nilainilai barat, karena faktanya dia merupakan buah pemikiran dari banyak nilai dan manusia untuk mengangkat kehidupan dan martabat manusia.
Apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia?
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan pertama yang kerap dilontarkan oleh banyak orang pada saat pertama kali mendengar istilah hak asasi manusia. Hak asasi manusia itu sangatlah luas cakupan dan bentuknya sehingga tidak ada upaya dari para pakar hukum internasional untuk mencoba mendefinisikan hak asasi manusia. Selain untuk menghindari penyempitan cakupan dan bentuknya, upaya untuk tidak mendefinisikan hak asasi manusia sebagai salah satu cara bagi para pakar hukum internasional untuk membuat hak asasi manusia berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun untuk memudahkan orang awam dalam memahaminya sejumlah pakar hukum internasional mencoba merumuskan apa itu hak asasi manusia dari pelbagai sudut pandang namun saling menguatkan (Nowak: 2003). Berikut ini adalah sejumlah rumusan pakar hukum internasional tentang apa itu yang dimaksud dengan hak asasi manusia:
2) Hakhak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kolektif yang tertuang dalam pelbagai instrumen hak asasi manusia internasional, regional dan serta dalam konstitusi setiap negara
3) Satusatunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum internasional saat ini dan terdiri dari elemen liberalisme, demokrasi, partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum dan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Berangkat dari rumusanrumusan tersebut dapat kita katakan bahwa hak asasi manusia memiliki fokus perhatiannya terhadap kehidupan dan martabat manusia. Artinya adalah hak asasi manusia dibentuk untuk melindungi kehidupan dan martabat manusia dari praktikpraktik sewenang wenangan dari negara, penguasa kolonial dan atau kelompokkelompok nonnegara yang memiliki kekuatan setara dengan negara terhadap penduduk sipil.
Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan agama, nilainilai budaya dan adat istiadat lokal?
Sejarah telah menunjukkan bahwa agamaagama besar di dunia merupakan sumber awal dari pemikiran tentang hak asasi manusia. Para perumus hukum Hak asasi manusia mengakui bahwa perkembangan hak asasi manusia selalu merujuk pada seluruh kitab suci agamaagama samawi (Islam, Katholik, Ptotestan, Budha, dan Hindu) dan agamaagama lainnya. Oleh karena itu para perumus hak asasi manusia tidak melihat adanya pertentangan antara agamaagama di dunia dengan konsep hak asasi manusia. Bahkan adanya pandangan dominan di sejumlah negara yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia bertentangan dengan kitab suci umat Islam adalah pandangan yang keliru. Karena bagaimanapun juga hukum hak asasi manusia secara eksplisit menyebutkan bahwa kebebasan untuk memeluk agama, keyakinan tertentu adalah hak fundamental sehingga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.1
Adanya pandangan dominan di kalangan pemerintahanpemerintahan dimana islam merupakan agama mayoritas bahwa hukum hak asasi manusia bertentangan dengan hukum sharia'a. Pandangan ini mereka ungkapkan sebagai bentuk respon atas kritik dan kecaman para pengamat, pekerja, dan ahli hukum hak asasi manusia (terutama yang berasal dari kalangan barat dan sekuler) terhadap buruknya praktik hak asasi manusia di negara islam. Namun pandangan dominan ini adalah pandangan yang keliru dan salah menempatkan kritik para pengamat, pekerja dan ahli hukum hak asasi manusia sebagai bukti dari argumen mereka ini. Pada dasarnya kritik para pengamat, pekerja dan ahli hukum hak asasi manusia bukan diarahkan untuk mengatkan bahwa islam dan hukum shari'a bertentangan dengan hukum hak asasi manusia. Kritik mereka pada dasarnya diarahkan untuk mengecam pemerintahanpemerintahan itu sendiri yang cenderung otoriter, anti hak asasi manusia dan dalam tataran tertentu
kerap menggunakan hukum sharia'a sebagai tameng untuk menghindar dari tanggungjawab yang dibebankan hukum hak asasi manusia internasional kepada mereka (Badaawi: 2002).
Demikian pula dengan nilai budaya dan adat istiadat lokal, hak asasi manusia tidak melihat adanya sebuah pertentangan. Para perumus hak asasi manusia melihat bahwa adanya praktikpraktik budaya dan adat istiadat yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia adalah hal yang kurang tepat. Karena secara jelas disebutkan dalam hukum hak asasi manusia internasional bahwa pilihanpilihan setiap individu ataupu kelompok untuk menjalankan aktivitas budaya dan adat istiadatnya tidaklah ditentang malah sebaliknya justru dilindungi. Hukum hak asasi manusia hanya melarang dan mengecam praktikpraktik budaya ataupun ritual yang dijalankan dengan cara dipaksakan kepada orangorang yang tidak percaya ataupun tidak meyakini praktikpraktik tersebut.2
Apakah hak asasi manusia bertentangan dengan konsep kedaulatan negara?
Pada dasarnya hak asasi manusia mengakui dan menghormati kedaulatan negara. Adanya pandanganpandangan yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia mengganggu kedaulatan negara adalah hal yang keliru dan mengadaada. Bagaimanapun juga Piagam PBB Pasal 2 (1) menyatakan dengan jelas bahwa kesetaraan dan kedaulatan negara sebagai prinsip dasar hukum internasional. Selanjutnya Pasal 2 (7) kembali menegaskan adanya semangat nonintervensi dalam masalah dalam negeri. Oleh karena itu hak asasi manusia secara jelas mengakui, menghormati dan melindungi kedaulatan negara. Bahkan dalam tataran tertentu hukum hak asasi manusia lebih memberikan tanggungjawab utama terhadap otoritas nasional. Tak heran jika kemudian prosedurprosedur pencarian fakta, pelaporan, penerimaan pengaduan individu oleh Komisi HAM PBB dan tindakantindakan yang mengikat yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB, bukanlah dalam rangka menghilangkan kedaulatan negara( Nowak: 2003). Langkahlangkah ini disusun oleh seluruh anggota PBB dan masyarakat internasional sebagai salah bentuk kesadaran bersama bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan kepedulian komunitas internasional.
Selain itu, bahwa prosedurprosedur yang ada di Komisi HAM dan Dewan Keamanan PBB tidak dapat diambil jika negara yang bersangkutan
tidak memberikan izin atau tidak mengundang. Sehingga dalam banyak kasus prosedurprosedur tersebut tidak dapat bekerja dengan optimal dan efektive karena banyak negaranegara anggota yang tidak memberikan izin atau mengundang komisi penyelidik, pelapor khusus ataupun menolak tuduhantuduhan yang dilaporkan oleh warga negaranya kepada Komisi.
Bagaimana cara masyarakat dunia memastikan hak asasi manusia itu dapat dinikmati oleh setiap umat manusia?
Setidaknya sejak Perang Dunia Kedua, komunitas internasional membangun standarstandar hukum yang mengikat secara internasional untuk memastikan setiap manusia di dunia dapat menikmati hak asasi manusia. Setidaknya hingga saat ini, komunitas internasional telah berhasil membuat sejumlah besar naskah hukum hak asasi manusia baik di tingkat internasional dan regional. Selain itu mereka juga telah membangun sebuah mekanisme pemantauan dan badanbadan pemantauan internasional dan regional. Bahkan mekanisme dan badanbadan pemantauanya dilengkapi dengan mandat dan kewenangan untuk melakukan pemantauan dengan pelbagai macam cara, seperti: meminta negaranegara anggota memberikan laporan secara periodik dan atau jika diminta; menerima pengaduan antar negaranegara anggota; menerima laporan individu; dan mengirimkan pelapor khusus ke negaranegara anggota secara reguler.Berikut ini adalah sejumlah instrumen hukum dan badan pemantau hak asasi internasional dan regional:
LEVEL INSTRUMEN BADAN PEMANTAU
Internasional Sidang rutin tahunan Universal Periodic Review Prosedur Khusus 1503
Dewan Hak Asasi Manusia
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
(Sudah ada 164 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi) Komite Hak AsasiManusia Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(ICESCR)
(Sudah ada 160 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)
Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD)
(Sudah ada 173 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial
Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan(CAT)
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)
(Sudah ada 185 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi)
Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
Konvensi Hak Anak (CRC)
(Sudah ada 193 Negara Pihak, Indonesia sudah meratifikasi) Komite Hak Anak Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya
(ICMWR)
(Sudah ada 41 Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)
Komite Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya
Konvensi HakHak Difabel/Penyandang Cacat (CRPD) (Sudah ada 51 Negara Pihak, Indonesia sudah tanda tangan tetapi belum meratifikasi)
Komite HakHak Difabel
Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (Baru ada 10 Negara Pihak, bisa berlaku bila sudah ada 20 Negara Pihak, Indonesia belum meratifikasi)
Belum ada
(Menunggu 20
ratifikasi) Benua Eropa Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR)
Pengadilan HAM
Pengaduan AntarNegara Pengaduan Individual
Dewan Eropa
Piagam Sosial Eropa Komite Para Menteri
Konvensi Kerangka Kerja Eropa untuk Perlindungan Kelompok
Minoritas Nasional Komite Para Menteridan dibantu oleh Komite Pakar
Piagam Eropa untuk Bahasa Regional dan Minoritas idem
Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Biomedis Sekretaris Jenderal Dewan Eropa dan Pengadilan HAM Eropa sebagai penasihat
Badanbadan di luar perjanjian Komisaris
Eropa untuk HAM
Komisi Eropa Menentang Rasisme dan Intoleransi (ECRI) Benua
Amerika Piagam Organisasi Negara Negara Amerika (OAS)Pengaduan Individu Dewan OASPengadilan HAM Negara Negara Amerika
Konvensi HAM Negara Negara Amerika Komisi HAM Negara
Benua
Afrika Perjanjian Afrika Terhadap Hak Asasi Manusia dan Rakyat (Piagam Banjul) Prosedur pelaporan negara
prosedur pengaduan individu prosedur pengaduan antar negara
Komisi Hak Manusia dan Bangsa Negara Negara Afrika Pengadilan
Afrika Hak Asasi Manusia dan Bangsa Piagam Afrika Tentang Hak Asasi Manusia Komisi Afrika
Mengenai Hak Hak Manusia dan Bangsa Bangsa
Piagam Afrika Tentang Hak dan Kesejahteraan Anak Komite Ahli Hak Asasi Manusia dan
Kesejahteraan Anak
Indonesia UUD 1945 Amandement ke II Tidak ada
UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia Komnas HAM UU No.40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial Komnas HAM
UU No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM Komnas HAM,
Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM
UU No.11/2005 Tentang Ratifikasi ICESCR UU No.12/2005 Tentang Ratifikasi ICCPR
Namun demikian perlu untuk diketahui bahwa upayaupaya komunitas internasional untuk memastikan bahwa seluruh standar dan mekanisme pemantauan hak asasi manusia ini masih terus berlanjut hingga saat ini. Masih banyaknya kelemahankelemahan dari setiap standar dan mekanisme pemantauan menjadi dasar bagi komunitas internasional untuk terus menguatkan seluruh standar dan mekanisme tersebut, termasuk disini mengembangkan standarstandar baru yang relevan dengan perkembangan ekonomi politik internasional, regional dan nasional.
I.1.2. Teori Dasar Hak Asasi Manusia
Hingga saat ini masih banyak orangorang di pelbagai tempat, termasuk orangorang Indonesia, yang melihat hak asasi manusia tak ubahnya seperti macan ompong. Standarstandar hukum internasional dan nasional hanya menjadi tumpukan dokumen, tanpa bisa menjawab masalah ketidakadilan yang masih terus dirasakan oleh banyak orang di pelbagai tempat. Namun apakah skeptisme sebagian besar orangorang ini sudah berada pada tempatnya? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya benar. Karena praktik penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintahan, termasuk pemerintah Indonesia, tidak sepenuhnya mengikuti teori dasar dan praktik dari hak asasi manusia. Oleh karena itu untuk dapat menguji seberapa jauh negaranegara di dunia telah secara konsekuen menjalankan hak asasi manusia, ada baiknya jika kita terlebih dahulu melihat ulang teori dasar dan aplikasi hak asasi manusia.
Apa saja prinsip dasar hak asasi manusia?
Pada dasarnya aplikasi hak asasi manusia harus merujuk pada tiga prinsip dasar yang telah digariskan oleh para pakar hukum internasional. Tanpa ketiga prinsip dasar tersebut maka bisa dipastikan bahwa standarstandar hak asasi manusai internasional, regional dan nasional tidak dapat diaplikasikan atau kalau pun diaplikasi pasti praktiknya akan menyimpang dari teori dasarnya. Para pakar hukum hak asasi manusia internasional merumuskan tiga prinsip dasar yaitu, prinsip universal dan tidak dapat dibagi; saling bergantung dan terkait; setara dan non diskriminasi.
regional.3 Oleh karena itu pandangan bahwa hak asasi manusia adalah produk barat atau produk negaranegara kapitalisme atau bertentangan dengan nilainilai ketimuran sudah terbantahkan.
Selanjutnya prinsip dasar kedua adalah saling terkait dan bergantung. Prinsip kedua ini mensyaratkan bahwa seluruh standar hak asasi manusia (instrumen) berikut dengan hakhak yang diakuinya harus dijalankan secara bersamaan. Karena antara instrumen yang satu dengan yang lainnya serta antara hak yang satu dengan hak yang lainnya itu saling terkait dan bergantung.4 Tidak dibenarkan praktikpraktik pengutamaan penikmatan instrumen ataupun hak oleh suatu negara dengan dalih apapun. Misalnya penikmatan hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dipenuhi jika hak sipil dan politik tidak bisa dinikmati. Demikian halnya dengan penikmatan hakhak perempuan, anakanak dan kelompok minoritas, kelompokkelompok khusus ini tidak dapat menikmati hakhak khusus mereka jika hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka dibatasi atau dihilangkan.
Kemudian hak asasi manusia juga memiliki prinsip setara dan nondiskriminasi, maksudnya adalah bahwa hak asasi manusia itu adalah hak setiap orang, tanpa memandang latarbelakang ras, suku, agama, bahasa, budaya, jenis kelamin, warna kulit dan afiliasi politik.5 Oleh karena itu tidak seorang pun atau kelompok manapun atau pemerintahan model apapun yang dapat menghilangkan hak setiap manusia yang tinggal di jagad raya ini untuk menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasarnya dengan dalih apapun dan atau dalam keadaan apapun.
Siapa yang berkewajiban untuk memastikan hak asasi manusia dapat dinikmati oleh setiap orang?
Dengan pejabaran ketiga prinsip dasar hak asasi manusia ini jelaslah sudah bahwa hak asasi manusia itu bersifat universal, saling bergantung dan terkait serta menjunjung asas kesetaraan dan nondiskriminasi. Lantas pertanyaan selanjutnya adalah siapa pihak yang berkewajiban untuk memastikan setiap manusia menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut mari kita lanjutkan pembahasan kita denggan topik pemangku kewajiban dari pemenuhan penikmatan hak asasi manusia di bawah ini.
Ketika membicarakan tentang siapa yang berkewajiban untuk memenuhi penikmatan hak asasi manusia banyak pihak, terutama pihak pemerintahan di banyak negara termasuk Indonesia, selalu mencoba mengaburkan pertanyaan tersebut dengan melontarkan pernyataan “bahwa
3Lihat., Apa itu Hak Asasi Manusia di http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx, diakses 8 April 2009 4Ibid.,
pihak yang berkewajiban mememuni hak asasi manusia adalah semua orang.” Pernyataan ini biasanya mereka lontarkan bukan karena mereka tidak memahami konsep kewajiban negara dalam hukum hak asasi manusia. Akan tetapi merupakan bagian dari strategi mereka untuk menghindar dari kewajibankewajiban mereka atas praktik pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia yang terjadi di wilayah teritori mereka.
Pada dasarnya konsep pemangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dalam hukum hak asasi manusia internasional sangatlah jelas yaitu adalah “negara”. Hampir seluruh instrumen hukum hak asasi manusia internasional, regional, dan nasional selalu menyebutkan di bagian awal bahwa negara adalah pihak yang memangku kewajiban pemenuhan hak asasi manusia. Penunjukkan oleh hukum hak asasi manusia ini semata mata didasari oleh teori hukum internasional yang menempatkan negara sebagai pihak utama dan menentukan dalam keberhasilan penikmatan hak asasi manusia di seluruh dunia. Bagaimanapun juga negara adalah institusi yang secara politik dan hukum legitimate untuk mengerahkan seluruh alatalat kenegaraan guna memastikan seluruh rakyatnya dapat menikmati hak asasi dan kebebasan dasarnya.6 Selain itu, teori hukum internasional lainnya juga menyebutkan bahwa agar hukum internasional tidak merusakan kedaulatan sebuah negara, maka hukum internasional menempatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban memastikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dapat dinikmati semua rakyatnya.7
Apa saja kewajibankewajiban utama negara?
Pada dasarnya konsep tiga kewajiban ini merujuk pada teori status dari Georg Jellinek, yang mana menjelaskan tentang kewajiban negati dan kewajiban positif (Nowak: 2003). Kewajiban negatif ini adalah bahwa negara tidak boleh mancampuri atau melakukan intervensi atas hakhak sipil warga negara. Sedang kewajiban positif adalah bahwa negara harus mengambil langkahlangkah aktif atau layanan positif terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun demikian sejalan dengan perjalanan waktu tersebut, para pakar hukum internasional melihat bahwa teori tersebut sudah ketinggalan zaman atau tidak mampu lagi mengikuti dinamika ekonomi politik internasional, regional, dan nasional yang mempengaruhi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar. Dengan mempelajarai pelbagai hambatan penegakan hak asasi manusia seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, praktikpraktik pelanggaran oleh pihak non negara (pihak ketiga), para pakar hukum internasional memformulasikan ulang teori kewajiban negara tersebut (Nowak: 2003). Dengan mengatakan bahwa pemisahan kewajiban negatif dan positif oleh negara saat menjalankan kewajiban yang dibebankan hukum hak asasi manusia membuat banyak orang masih terlanggar hak asasi dan kebebasan dasarnya, para pakar kemudian merumuskan ulang kewajiban tersebut menjadi negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia secara menyeluruh. (Lihat, Nowak: 2003). Rumusan ini menjadi semakin menguat ketika konsep
ketakterpisahan dan saling bergantung hak asasi manusai telah mendapatkan pengakuan dari 171 negaranegara anggota PBB pada Konferensi Dunia di Wina 1993, dengan wujud Deklarasi Wina 1993 Dan Program Aksi.
Apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi?
Untuk melihat batasan dari tiga kewajiban tersebut kita memiliki banyak rujukan. Rujukan yang pertama adalah instrumen hukum hak asasi manusia. Hampir setiap instrumen hak asasi manusia mencantumkan tentang apa yang dimaksud dengan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi. Sumber kedua adalah Komentar Umum ataupun Rekomendasi Umum yang dibuat oleh Badanbadan pemantauan perjanjian. Hampir setiap badan perjanjian selalu membuat penjelasan lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan tiga kewajiban yang dijelaskan di dalam perjanjian. Penjelasan ini mereka buat agar negara tidak menafsirkan pasalpasal tersebut sekehendak hatinya. Contohnya adalah baru baru ini Komite Hak Asasi Manusia mengeluarkan Komentar Umum No.31 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tentang Sifat Kewajiban Hukum Umum Negaranegara Pihak pada Kovenan. Dengan menggantikan Komentar Umum No 3, Komite Hak Asasi Manusia menjelaskan tentang konsep kewajiban negara dalam hal menghormati, melindungi dan memenuhi yang juga harus menyertakan kewajiban positif dan negatif dalam mengambil tindakantindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan hak asasi manusia. Sumber ketiga adalah yurisprudensi yang dibuat oleh badanbadan pemantau perjanjian ataupun piagam. Biasanya badanbadan ini juga membuat penjelasan penjelasan lebih lanjut tentang tiga kewajiban dasar negara tersebut. Dan sumber yang terakhir adalah pendapat para ahli hukum internasional. Sejumlah pakar hukum internasional terpercaya diketahui juga kerap membuat rumusanrumusan tentang kewajiban negara dalam menjalankan isi perjanjian. Contohnya Limburg dan Prinsip Prinsip Maastrich.
Dengan merujuk pada sumbersumber tersebut dapat kita rumuskan tentang apa itu kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi sebagai berikut:
KEWAJIBAN BATASAN DAN MAKSUD CONTOH PELAKSANAAN
Menghormati Kewajiban ini mengharuskan negara untuk menghindari tindakantindakan intervensi negara atau mengambil
Untuk hak untuk hidup negara berkewajiban untuk tidak melakukan pembunuhan.
kewajiban negatif berkewajiban untuk tidak menyingkirkan orang dari pasar tenaga kerja
Melindungi Sedangkan untuk kewajiban melindungi, negara harus mengambil kewajiban positifnya untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia
Kewajiban untuk melindungi termasuk pula kewajiban negara untuk melakukan investigasi, penuntutan/penghukuman
terhadap pelaku, dan pemulihan bagi korban setelah terjadinya suatu tindak pidana (human righs abuse) atau pelanggaran HAM (human rights violation)
Hak untuk hidup, negara harus mencabut produk undangundang yang masih membenarkan hukuman mati
Sementara untuk hak atas pekerjaan negara harus mencabut produk hukum nasional yang membenarkan penyingkiran orang dari pasar tenaga kerja, termasuk disini membuat produk hukum baru jika belum memilikinya
Selain itu negara juga harus memastikan bahwa institusiinstitusi tersebut, termasuk lembaga judisial dapat mengambil tindakantindakan yang diperlukan guna mencegah praktekpraktek kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang mana dapat membuat penikmatan hak menjadi terganggu atau terkurangi
merupakan suatu pelanggaran HAM yang baru, yang sering disebut sebagai impunitas (impunity). Memenuhi Untuk Kewajiban ini negara
harus mengambil tindakan tindakan legislatif, administratif, peradilan dan langkahlain yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pejabat negara ataupun pihak ketiga untuk melaksanakan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia
Negara harus melatih institusi kepolisian dan militer tentang bagaimana melakukan tindakan tindakan dalam melawan para pengunjuk rasa ataupun kriminal yang agresif secara profesional dan effisien.
Sedangkan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, negara harus memastikan bahwa lembagalembaga pemerintahan harus mampu memberikan pelayanan yang memadai kepada warga negara dan warga asing dalam hal mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan dengan mudah dan tidak ada diskriminasi.
Tapi kembali ke pertanyaan sebelumnya, apa saja indikator struktur, proses dan hasil itu dan bagaimana cara menggunakannya dalam mengukur tindakantindakan negara telah sepenuhnya merujuk pada standar pelaksanaan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kita perlu merujuk pada dokumen Dokumen Komentar Umum No 3 ICESCR dan Komentar Umum No.31 ICCPR. Kedua dokumen tersebut menjelaskan dengan cukup detail tentang ketiga indikator tersebut.
indikator struktur adalah menyangkut seberapa jauh tindakantindakan yang diambil negara pada di level kewajiban melindungi telah mencakup langkah seperti memasukkan hak ke dalam konstitusi nasional; mengharmonisasi hukum nasional, dan memastikan bahwa hakhak tersebut dapat dituntut secara hukum.8
Kedua dokumen itu juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan indikator proses, yaitu sejumlah indikator untuk mengukur kualitas dari tindakantindakan yang diambil negara terkait dengan kewajiban memenuhi, seperti apakah tindakantindakan tersebut telah mencakup tindakan legislatif, administratif, peradilan dan tindakantindakan yang diperlukan guna memastikan hak asasi dan kebebasan dasar dilaksanakan.9
Sedangkan untuk indikator hasil adalah merupakan ukuranukuran kualitatif dan kuantitatif atas hasil dari dua langkah sebelumnya, misal apakah jika negara telah memenuhi indikator struktur dan proses, apakah indikator hasilnya menunjukkan adanya penurunan laporan pengaduan dari masyarakat terkait dengan praktik pelanggaran yang dilakukan oleh aparatus negara atau pihak ketiga.10
Untuk lebih jelasnya mari kita simulasikan indikatorindikator diatas seperti yang nampak pada tabel di bawah ini:
Ilustrasi analisis atas pelaksanaan hak untuk bebas dari penyiksaaan
Indikator Menghormati Memenuhi Melindungi
Struktur Apakah negara telah
memasukkan hak untuk bebas dari penyiksaaan ke
dalam konstitusi nasional? Apakah hak asasi dan kebebasan dasar yang masuk dalam konstitusi juga memasukkan ketentuan bahwa hakhak tersebut dapat dituntut melalui mekanisme hukum?
Apakah negara telah mengharmonisasi seluruh produk hukum nasional
dengan hukum
internasional yang mereka ratifikasi?
dst
Proses Apakah negara telah
menyelenggarakan
penyiksaan?
Apakah negara telah menyediakan buku saku hak asasi manusia untuk aparatus negara?
Apakah negara telah membangun mekanisme pengawasan dan pengaduan yang effektif dan mudah diakses oleh korban?
dst
Hasil Apakah jumlah
kasuskasus penyiksaan yang melibatkan aparatus negara setiap tahuannya terus menurun atau sebaliknya?
para pelakunya diberikan sangsi?
dst
Disamping berkewajiban untuk menjalankan tiga kewajiban dasar di atas, jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia, negara juga harus mengambil langkahlangkah penyelidikan, penuntutan, dan penghukuman, baik melalaui pengadilan maupun lembagalembaga penegak displin lainnya. Selanjutnya negara juga harus melakukan pemulihan yang efektif terhadap para korban jika terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Khusus untuk hak pemulihan, negara harus menjamin bahwa hak ini harus dijamin dalam produk hukum. Disamping itu proses pemberiaanya harus merupakan keputusan dari lembaga yudisial atau institusi negara lain yang ditunjuk oleh undang udang sebagai lembaga yang berwenang.11
Apakah hukum hak asasi manusia mengizinkan praktik pembatasan atau penyimpangan penikmatan hak asasi manusia oleh Negara?
Sorotan utama hukum hak asasi manusia terhadap negara membuat banyak pihak, terutama aparatus negara, melihat hak asasi manusia ini telah mengekang mereka. Tak heran jika kemudian mereka agak tidak suka dengan masuknya hak asasi manusia ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Pada dasarnya hukum hak asasi manusia juga memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan penyimpangan dan atau pembatasan atas penikmatana hak asasi manusia. Pemberian kewenangan ini diberikan guna menjamin agar penikmatan hak asasi manusia tidak terganggu akibat gejolak ekonomi politik yang tidak menentu atuapun akibat dari bencana alam yang melumpuhkan sarana dan prasaran negara yang cukup luas.
Namun, untuk dapat menjalankan kewenangan penyimpangan atauapun pembatasan, setiap Negara Anggota harus memenuhi ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum hak asasi manusia internasional, regional dan nasional. Adalah Pasal 30 DUHAM merupakan induk dari ketentuan hukum hak asasi manusia yang memberikan prasyarat pembatasan. Selanjutnya Pasal 4 dan 5 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga merupakan ketentuan hukum lain untuk melihat batasan dan prasyarat kewenangan penyimpanggan ataupun pembatasan yang bisa diambil oleh negara. Lalu pertanyaannya prasyarat apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum tersebut sehingga Negara Anggota dianggal legal untuk melakukan penyimpangan dan atau pembatasan?
Berikut ini adalah prasyarat yang harus dipenuhi oleh Negara Anggota yang hendak melakukan praktik “penyimpangan” dan atau “pembatasan”: Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa;12
Negara mengumumkan keadaan darurat tersebut secara resmi ke publik dalam negeri dan internasional ;13
Negara Anggota harus memberitahu pasalpasal yang disimpangi atau dibatasi berikut alasan penyimpangannya kepada Negara Negara Anggota Lainnya Melalui Sekretaris Jenderal PBB, termasuk disini tanggal pengakhirannya.14
praktik tersebut ditujukan bukan untuk menghancurkan hak asasi dan kebebasan dasar;15
praktik tersebut tidak bersifat diskriminatif atas dasar berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan asalusul sosial;16 praktik tersebut tidak ditujukan untuk membatasi Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 (ayat 1 dan 2), Pasal 11, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 dalam
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik;17
praktik pembatasan ditentukan dengan ketentuan hukum yang sesuai dengan sifat hak tersebut, dan sematamata dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. 18
praktik pembatasan tidak bertentangan dengan hukum internasional yang lain dimana Negara Anggota juga menjadi anggota dari hukum tersebut;19
I.1.3. Membedah Hak dan Kebebasan Dasar di Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, Regional & Internasional
Seperti yang telah kita pelajari di bagian teori dasar hak asasi manusia sebelumnya, bahwa instrumen hukum hak asasi manusia sangatlah banyak meliputi instrumen internasional, regional dan nasional. Di level internasional, hingga saat ini setidaknya terdapa delapan instrumen hak asasi manusia internasional, yaitu: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Kovensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
12Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 4 (1) 13Ibid., ; lihat juga Pasal 22 (2)
14Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politk, Pasal 4 (3)
15Lihat DUHAM Pasal 3; lihat juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 5 (1) 16Op., Cit., Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 4 (1)
17Lihat Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 4 (2)
(CERD), Kovensi Internasional Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Kovensi Menentang Penyiksaan (CAT), Kovenasi Hak Anak (CRC), Kovensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (ICMWR). Sementara di tingkat regional, masing masing benua memiliki lebih dari dua instrumen hak asasi manusia. Sedangkan di tingkat nasional sendiri, terdapat delapan instrumen hak asasi manusia utama dan pelbagai macam undangundang khusus yang juga mengadopsi konsep hak asasi manusia di dalamnya. Instrumen tersebut antara lain UUD 1945; UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU No.40/2008 tentang Anti Diskriminasi; Keputusan Presiden No.36/1990 tentang Ratifikasi CRC, UU No.07/1984 tentang Ratifikasi CEDAW, UU No.5/1998 tentang Ratifikasi CAT, UU No.29/1999 Tentang Ratifikasi CERD, UU No.11/2005 Tentang Ratifikasi ICESCR, UU No12/2005 tentang Ratifikasi ICCPR.
KELOMPOK HAK
SUB HAK DETAIL HAK YANG
DILINDUNGI
Sipil & Politik a) Hak untuk bebas dari pencabutan hidup
sewenang wenang
Hak bebas dari pembunuhan sewenang
wenang Hak bebas dari
genocide
hak untuk bebas dari pembunuh kilat hak untuk bebas dari
ancaman pembunuhan
DUHAM Pasal 3, ICCPR pasal 6, dan Pasal 4 (1) Konvensi Amerika.
Pasal 4 Konvensi Banjul, dan Pasal 2 (1) Konvensi Eropa.
Kemudian pasal 1 Kovensi Pencegahan dan Penghukuman
atas kejahatan Genosida juga menekankan perlindungan hak hidup. Selain itu, Pasal 3 Kovensi
Genewa ke IV juga menyatakan bahwa hak untuk hidup juga
dilindungi.
Selanjutnya, Instrumen hak asasi manusia lain yang juga digunakan untuk mencegah pelanggaran atas
hak ini jug mencakup Pasal 3 Kode Etik Aparatus penegak hukum dan Prinsipprinsip dasar
Pengunaan senjata api bagi aparatus penegak hukum juga
b) Hak perlindungan atas
integritas pribadi
Hak bebas dari penyiksaan hak bebas dari hukuman kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat
Pasal 5 DUHAM, Pasal 7 ICCPR dan Komentar Umum No 7 ICCPR, Pasal 10 (1) ICCPR, Pasal
1 (1) CAT secara jelasnya menyatakan bahwa hak bebas dari penyiksaan, hukuman kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat adalah hak fundamental
yang tidak bisa dicabut dalam keadaan apapun atau sering disebut sebagai nonderogable.
Pasal 5 (1) Konvensi Amerika, Pasal 5 Piagam Banjul, Konvensi
Pencegahan dan penghukuman Penyiksaan negaranegara Amerika, dan Konvensi Eropa tentang Pencegahan Penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga
memperkuat tentang instrumen internasional tentang larangan penyiksaan, hukuman kejam dan tidak manusiawi dalam keadaan
c) Hak kebebasan dan keamanan pribadi
Hak bebas dari penahanan sewenang
wenang Hak bebas dari
penghilangan paksa
DUHAM pasal 3, ICCPR pasal 9 (1) memberikan perlindungan
terhadap hak bebas dari penangkapan dan penahanan
sewenangwenang dan penghilangan paksa. Secara Khusus pula Komite Hak Asasi Manusia mengeluarkan Komentar
Umum No 6 untuk menguatkan tentang larangan penghilangan
paksa.
Selanjutnya Konvensi Eropa Pasal 5 (1), Pasal 6 Piagam Banjul, Pasal 7 (2) dan (3) Konvensi Amerika
Ekonomi, Sosial, dan
Budaya
a) Hak atas standar kehidupan yang
layak
Hak kelayakan pangan, pakaian dan perumahan hak atas perumahan hak atas perawatan medis
hak atas pelayanan sosial yang diperlukan Hak standar hidup yang
layak untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial
anak.
DUHAM Pasal 25 (1) dan Pasal 1(2), 11 dan 23 ICESCR adalah
payung hukum yang secara spesifik mengatur tentang hakhak
yang terkait dan termasuk dalam hak atas standar kehidupan yang
layak. Kemudian Komentar Umum No.12 Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga
turut menguatkan hakhak ini dengan memberikan penafsiran
atas atas pangan yang layak. Selain itu Pasal 24 dan 27 Kovensi
Hak Anak juga memberikan dukungan terhadap hak atas pangan dan layak bagi anakanak.
Sementara di tingkat regional Pasal 12 (1) Protokol San Salvador, Pasal 4 Piagam Sosial
Hak Hak Kelompok
Khusus
Anakanak Hak bebas dari diskrininasi hak untuk hidup
hak untuk berekspresi dan
berpendapat Hak atas
perlindungan dari tindakan yang membayakan fisik dan
mental
Hak atas perlakuan istimewa bagi anakanak
cacat
Hak atas kesehatan hak untuk menikmati
pendidikan dasar hak untuk mendapat
perlindungan dari aktivitas eksploitasi
ekonomi
hak untuk mendapat perlindungan dari pelecehan dan eksploitasi
seksual
hak untuk mendapat perlindungan dari perekrutan menjadi
anggota tentara
Pengakuan dan perlindungan hak asasi dan kebebasan dasar kelompok anakanak ini terdapat
Kelompok Minoritas
Hak untuk
menikmati budaya Hak untuk meyakini
dan menjalankan agama atau menggunakan bahasa ibu mereka hak untuk setara di
depan hukum hak bebas dari
praktikpraktik diskriminasi
Hak untuk
mendapatkan perlakuan khusus (affirmative
Actions)
Pasal 27 ICCPR, Pasal 1 dan 2 Deklarasi Orang Orang dari Bangsa, Etnis, Agama atau Bahasa
Minoritas
II.1.4. Mengidentifikasi Pelanggaran dan Kejahatan Hak Asasi Manusia
Setelah kita memahami teori dasar dan mengetahui cakupan hak dan kebebasan dasar yang diakui dalam instrumen internasional, regional dan internasional, maka pertanyaan selanjutnya bagaimana kita bisa mengidentifikasi pelanggaran hak dan kejahatan hak asasi manusia? Memang tidaklah mudah untuk mengindentifikasi peristiwa pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia. Karena untuk menentukannya memerlukan sebuah ketercukupan informasi lapangan dan ketelitian dalam membaca informasiinformasi lapangan tersebut. Namun cara mudah untuk mengidentifikasi pelanggaran dan kejahatan adalah dengan cara memahami dahulu apa itu pelanggaran hak asasi manusia dan apa itu kejahatan hak asasi manusia.
telah dilakukan negara dalam menjamin hakhak dan kebebasan dasar yang diakuinya dapat dinikmati oleh seluruh warganya. Sementara untuk konsep kejahatan hak asasi manusia selalu berpihak pada pertanggungjawab para pelaku individu atas tindakantindakan yang telah mereka ambil sehingga mengakibatkan hak asasi dan kebebasan dasar terkurangi atau hilang sama sekali.
Misalnya adalah peristiwa pembunuhan Tengku Bantaqiyah di Aceh. Dalam konteks peristiwa ini Negara telah melanggar Instrumen Hak Sipil Politik tentang pengakuan dan perlindungan atas hak hidup untuk kategori pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati, karena negara membenarkan aparatus negaranya melakukan pencabutan nyawa Tengku Bantaqiyah dan pengikutnya secara sewenangwenang. Sementara untuk memahami kejahatannya, tindakan penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh personel dari satuan operasi militer yang bertugas saat ini adalah bentuk dari kejahatan hak asasi manusianya. Oleh karena itu pertanggungjawaban dari kejahatan ini bukan lagi negara, akan tetapi personelpersonel yang terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan tersebut, baik dari level pelaksana, pemberi perintah dan perancang operasi.
Dengan berpijak pada pemahaman di atas maka untuk lebih jelasnya dapat kita praktekkan lagi dalam Peristiwa Kerusuhan Mei di Jakarta Mei 1998. Untuk dapat mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa tersebut, maka langkah pertama adalah mengindetifikasi seluruh fakta kekerasan fisik/nonfisik dan akibatakibat langsung terhadap korban guna melihat siapa korban, pelaku dan bentukbentuk dari tindak kekerasan fisik/non fisik. Langkah kedua adalah mengidentifikasi hukum hak asasi manusia nasional yang tersedia, termasuk instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh negara, termasuk disini kewajibankewajiban yang dibebankan kepada negara oleh hukum tersebut, termasuk disini mengindentifikasi hakhak yang diakui dan dilindunginya.
Setelah kita melihat hukum tersebut, langkah ketiga adalah mengidentifikasi tindakantindakan yang diambil oleh negara, baik sebelum, saat maupun paska peristiwa kerusuhan terjadi, dalam mewujudkan penikmatan hak dan kebebasan dasar yang diakui dalam hukumhukum tersebut, termasuk disini tindakantindakan pencegahan pada saat kerusuhan sosial terjadi dan tindakantindakan penanganan atas peristiwa kerusuhan sosial pasca kejadian.
Langkah yang terakhir adalah menganalisa temuan langkah pertama, kedua dan ketiga untuk menemukan apakah ada hak asasi dan kebebasan dasar yang terlanggar; menemukan para korban dan akibatakibatnya; menentukan para pelaku berikut tindak kejahatan yang dilakukannya dan buktibukti penguatnya: dan terakhir adalah menganalisa apakah bentukbentuk pelanggaran negara dan para pelaku kejahatan hak asasi
I.2. Isu-Isu Tematik terkait Pelanggaran HAM
I.2.1. Bisnis dan HAM
Selama kurang lebih 40 tahun setelah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 di masa era Perang Dingin, isu utama dalam diskursus HAM adalah menyoroti tindakan atau perilaku negara (state), sebagai entitas legal utama dalam hukum HAM internasional. Era pasca Perang Dingin fokus dalam diskursus HAM mulai meluas ke perilaku aktor-aktor non-negara (non-state actor). Salah satu elemen penting dalam konteks isu ini adalah para perusahaan transnasional raksasa (transnational/multinational corporations). Perusahaan transnasional ini memiliki keleluasaan beroperasi –yang seringkali memiliki implikasi negatif dalam isu HAM- dalam konteks globalisasi di satu sisi, di lain sisi mereka memanfaatkan lubang-lubang legal dalam mekanisme HAM internasional. Para perusahaan transnasional ini umumnya memiliki aset ekonomi (dan kekuasaan) yang mampu menekan atau mempengaruhi suatu pemerintahan. Problem-problem HAM yang seringkali muncul terkait beroperasinya suatu perusahaan transnasional besar adalah:
minimnya jaminan hak-hak ekonomi dan sosial terhadap para pekerja (buruh) dengan kemampuannya merelokasi situs produksi;
privatisasi di berbagai sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak seringkali justru memiliki efek terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak;
seringkali untuk menekan biaya produksi, perusahaan tersebut memanfaatkan buruh di bawah umur;
perusahaan transnasional seringkali terlibat dan mengambil keuntungan dari situasi konflik di suatu negara/daerah;
lebih buruk dari memanfaatkan politik upah yang murah dan kontrol represif terhadap organisasi buruh, beberapa perusahaan transnasional kadangkala mempraktekan suatu kerja paksa serupa dengan perbudakan, khususnya terhadap para pekerja migran yang menjadi korban trafficking.
Untuk merespon isu ini, Komisi HAM PBB mengeluarkan suatu resolusi -UN Doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2, (2003)- untuk bisa membangun pagar-pagar normatif dalam upaya mengendalikan perilaku perusahan-perusahaan transnasional. Dalam resolusi tersebut meski dinyatakan kewajiban utama dalam promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM ada di tangan negara, perusahaan-perusahaan transnasional tersebut juga memiliki tugas serupa dalam berbagai aspek:
perlindungan terhadap hak integritas pridadi orang lain, khususnya dari situasi perang, konflik bersenjata, praktek genosida, penyiksaan, dan dari berbagai pelanggaran serius HAM lainnya;
jaminan atas hak sosial dan ekonomi para buruh;
penghormatan terhadap prinsip kedaulatan nasional; kewajiban untuk menghormati hak-hak konsumen; dan kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup.
Perkembangan di atas mendorong para perusahan transnasional secara kreatif (maupun terpaksa) mengembangkan sendiri suatu standar normatif sukarela (voluntaristik), baik secara individual maupun secara kolektif, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor bisnis serupa.20 Standar voluntaristik ini kemudian bisa menjadi alat publik untuk mengawasi dan mengontrol perilaku perusahaan-perusahaan
transisional tersebut.
I.2.2. Perempuan
Tematik perempuan dalam diskursus HAM selalu mendapat tempat yang strategis. Pengarusutamaan gender -dengan penekanan pada penguatan kapasitas perempuan- ada di seluruh instrumen HAM internasional. Salah satu pilar prinsip HAM yang universal, yaitu prinsip anti-diskriminasi selalu mencakup kesetaran gender. Sayangnya meski ketentuan normatif internasional terkait dengan perempuan sudah banyak -termasuk instrumen HAM internasional khusus perempuan CEDAW- secara aktual penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak perempuan masih belum memadai. Posisi perempuan selalu berada di bawah laki-laki di hampir seluruh indikator politik, sosial, ekonomi, atau budaya:
angka putus sekolah, statistik kemiskinan, akses terhadap kesehatan masih menunjukan perempuan lebih dirugikan ketimbang laki-laki; perempuan di dunia secara umum memiliki jumlah waktu kerja yang hampir sama dengan laki-laki (termasuk sebagai ibu rumah tangga),
namun penghasilan yang didapat begitu timpang, beberapa kerja bahkan tidak dibayar atau penghasilannya dikontrol oleh pihak laki-laki di keluarganya;
sementara itu para politisi di parlemen, pemerintahan, atau petugas penegakan hukum di dunia masih dianggap ‘dunia laki-laki’, di mana jumlah perempuan masih minim;
bahkan di berbagai negeri perempuan hanya memiliki sedikit hak-hak sipil-politik mereka tidak boleh menjadi anggota parlemen, kabinet, atau aparat penegak hukum; perempuan juga menjadi sasaran kekerasan atau teror dalam suatu situasi konflik bersenjata;
kekerasan dalam rumah tangga memiliki efek negatif sangat tidak proporsional terhadap perempuan di banding laki-laki;
perempuan tidak hanya menjadi korban karena praktek-praktek kebijakan formal negara, namun juga difasilitasi oleh praktek-praktek kultural yang telah berurat akar dalam masyarakat yang patriarchal;
setiap tahunnya jutaan ‘perempuan’ di dunia ‘dihilangkan’ karena adanya praktek preferensi keturunan laki-laki.
CEDAW (Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) yang diadopsi oleh PBB pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku sejak 3 September 1981 memiliki serangkaian aturan normatif untuk merespon ketimpangan gender tersebut;
Diskriminasi gender merupakan konsep yang mencakup pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan;
kekerasan terhadap perempuan juga merupakan suatu praktek diskriminasi terhadap perempuan;
negara harus mengambil langkah-langkah administratif, legislatif, atau yudikatif untuk menjamin penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di berbagai bidang;
kebijakan affirmative action yang dibuat secara temporer untuk meningkatkan kesetaraan gender bukan merupakan praktek diskriminatif;
menjamin pemenuhan hak-hak sipil-politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang setara antara laki-laki dan perempuan; kesetaraan gender bukan hanya harus diwujudkan dalam aspek prosedural (lewat kebijakan negara/non-diskriminasi formal), namun juga harus diwujudkan dalam hasil (non-diskriminasi substansial).
I.2.3. Kebebasan Beragama
berdimensi antar/inter-agama/kepercayaan/keyakinan maupun intra-agama/kepercayaan. Pada masa Perang Dunia II praktek pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan berujung pada praktek genosia. Di negara-negara komunis, seringkali terjadi persekusi atau pembatasan ruang kebebasan beragama bagi agama-agama di luar ‘institusi resmi’ negara. Sebaliknya di negara-negara yang memiliki agama resmi negara, kelompok agama/kepercayaan minoritas dan kaum ateis menjadi sasaran persekusi.
Kebebasan bergama dan berkeyakinan dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM (1948), sebuah dokumen hak asasi manusia internasiona tertua. Pengaturan atas kebebasan beragama atau kepercayaan lebih rinci diatur oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 pada 18 (ayat 1-3) dan Pasal 20 (ayat 2) dan dilengkapi oleh Komentar Umum (General Comment) No. 22 (1993) yang dibuat oleh Komite HAM (Human Rights Committee), yang isinya mengatur bahwa:
Dengan penjelasan ini hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama ada di tingkatan baik individual maupun komunitas. Artinya pengakuan atas hak ini bisa diklaim secara individual atau komunitas. Ini menunjukkan sulitnya mendefinisikan secara ketat apa itu agama (on all matters) tapi sekaligus menggugurkan argumen bahwa hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama bisa ditentukan oleh suatu entitas politik atau hukum, seperti pengakuan negara untuk menentukan mana agama resmi dan tidak resmi, atau suatu badan keagamaan tertentu menentukan mana agama yang benar atau sesat. Hak beragama dan berkeyakinan termasuk pula hak untuk berpindah agama/keyakinan secara suka rela.
Secara sosiologis dan empirik sulit mendefinisikan ‘agama’ atau kepercayaan. Bahkan agama yang dianggap terstruktur sekalipun -secara teologis, organisatoris, dan administratif- bisa memiliki sub-struktur dan sub-sistem. Agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya secara empirik memiliki varian yang beragam, tidak hanya menyangkut level institusi, namun juga di tingkatan teologis dan ritual.
Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama, atau tidak menganut suatu agama dan kepercayaan apa pun. Kebebasan beragama juga termasuk meyakini agama tradisional atau membentuk agama baru. Selain itu paragraf ini juga menjelaskan pentingnya mencegah terjadinya diskriminasi atau permusuhan (hostility) terhadap kepercayaan atau agama minoritas. Dan sesuai dengan prinsip hukum HAM internasional, setiap hak (di tingkatan individu) mengandaikan adanya kewajiban di lain pihak, yaitu negara. Negara sebagai subjek hukum HAM wajib memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk secara khusus terhadap masyarakat kepercayaan atau agama minoritas.
pikiran orang) bisa dikekang atau diintervensi oleh orang lain atau negara. Sementara hak untuk mengekspresikan keyakinan/agama atau hak untuk beribadat bisa dibatasi untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Praktek keagamaan atau kepercayaan tidak boleh dijadikan sebuah propaganda perang, diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan yang bersifat rasial atau religius. Dan negara wajib membuat peraturan atau perundang-undangan yang melarang praktek tersebut.
I.2.4. Buruh dan HAM
Gerakan buruh merupakan salah satu gerakan sosial yang menyumbangkan banyak hal terhadap gerakan HAM. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya banyak menyerap hak-hak buruh seperti hak atas pekerjaan, hak atas kondisi kerja yang sehat dan aman, hak atas upah dan hari libur kerja, dan hak untuk membentuk serikat buruh. Demikian pula Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik memiliki beberapa ketentuan yang diinspirasikan oleh pengalaman gerakan buruh, seperti Pasal 8 soal pelarangan kerja paksa dan perbudakan, Pasal 21 soal hak untuk berkumpul secara damai dan Pasal 22 tentang hak untuk berasosiasi termasuk membentuk serikat buruh. Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organisation) –berdiri pada 1919- dianggap sebagai organisasi HAM internasional tertua. Konvensi-konvesi ILO selalu bekerja secara komplementer dengan instrumen HAM internasional.
Sementara itu arus globalisasi, yang menyebabkan perusahan-perusahan transnasional leluasa mengeksploitasi para buruh di berbagai negara, memiliki dampak negatif tidak hanya bagi kesejahteraan buruh –baik itu buruh di negara industri maju yang tetap rentan kehilangan pekerjaannya maupun buruh di negeri berkembang yang dipaksa bekerja dalam relasi kerja yang fleksibel- namun juga bagi kekuatan daya tawar organisasi buruh vis a vis majikannya.
Untuk memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh, ILO memiliki 8 Konvensi fundamental, yang semuanya sangat erat kaitannya dengan instrumen-instrumen HAM internasional utama, baik prinsip maupun substansi. Kedelapan konvensi fundamental ILO tersebut mengatur empat tema besar, yaitu: