• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Pemaknaan Syair “Tanpo Wathon”

Data yang ditemukan dalam syair tersebut maka dapat dianalisis dengan menggunakan teori semiotik sebagai pendekatan dalam penelitian. Penelitian semiotik terhadap syair “Tanpo Wathon” adalah untuk mengungkapkan tanda dan penanda dalam syair tersebut. Maka demikian, penulis akan mengkaji tiap-tiap bait dari syair “Tanpo Wathon” tersebut. Banyak kalangan bertanya mengapa syair tersebut dinamakan “Tanpo Wathon”, nama ini timbul dan dikenalkan oleh penciptanya sendiri dan pelantunnya yaitu KH. Muhammad Nizam As-Shafa, Lc, maksud hati memaknai Tanpo Wathon sebagai “Tanpa Batas”, artinya, syair ini memiliki kajian persepsi yang tanpa batas yang sesuai dengan kemampuan nalar para pendengarnya. Dahulu, sekitar awal tahun 2011, syair ini dikenal dengan sebutan Syi’iran Gus Dur, dikarenakan banyak kalangan yang menduga bahwa syair ini diciptakan dan dilantunkan oleh almarhum KH. Abdurrahman Wachid.

Di dalam syair tersebut memuat tentang gambaran atau refleksi dari kehidupan nyata dan terjadi pada masyarakat pada umumnya. Selain itu, pengarang sangat menitikberatkan terhadap aspek nilai norma-norma, keagamaan, keberagaman, hakikat manusia terhadap Tuhannya,

nasehat-nasehat akan perjalanan kehidupan yang dipenuhi oleh berbagai macam pelik permasalahan namun manusia harus mampu merefleksikan diri sebagai mahkluk-Nya yang bermartabat. Syair dari “Syair Tanpo Wathon” yang kerap dikumandangkan di masjid-masjid bagian jawa timur sebelum adzan, yang menggunakan bahasa jawa sebagai penghantarnya.

Jadi dapat diamaknai dari judul syair “Tanpo Wathon” ini bisa diartikan sebagai syair tanpa batas yang diartikan dari arti kata “Tanpo Wathon” dalam bahasa jawa itu berarti “Tanpa Batas” karena syair ini memiliki kajian persepsi yang tanpa batas yang sesuai dengan kemampuan nalar para pendengarnya, tapi dalam syair ini berisi tentang pedoman umat manusia agar selalu mengingat sang pencipta .

Bait pertama dalam “Syair Tanpo Wathon”, lengkapnya sebagai berikut :

Yarosulalloh salammun’alaik… Yaarofi’asaaniwaddaaroji…

‘atfatayaji rotall ‘aalami… Yauhailaljuu diwaalkaromi…2x *Ngawiti ingsun nglara syi’iran *Kelawan muji maring Pengeran *Kang paring rohmat lan kenikmatan

*Rino wengine tanpo petungan

Pada bait pertama sampai keempat pada syair tersebut terdapat sholawat nabi yang diulang sebanyak dua kali, disini merupakan kalimat yang

menyatakan pengandaian dan merupakan kalimat konotasi atau makna yang bukan sesungguhnya dari sholawat nabi dalam bait tersebut adalah sebagai pembuka atau pengawal dari ritual keagamaan yang bisa diadakan oleh umat islam, seperti pengajian, tahlil dan istighosah. Sehingga Sholawat Nabi disini mengibaratkan suatu pembukaan dalam pembacaan syair. Sedangkan Sholawat Nabi dalam makna denotasi yang artinya adalah pujian atau sanjungan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan kata “Ngawiti ingsun nglarasa syi’iran” dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “kumulai menguntai syairan” . Kemudian dilanjutkan dengan “Kelawan muji maring Pengeran”. Maksud dari kalimat tersebut adalah untuk merendahkan pribadi dihadapan Sang Khalik. Di dalam ajaran agama Islam, khususnya ilmu thareqat, terdapat sopan santun ketika sedang berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Di dalam pola yang lebih mendalam, penghormatan kepada Allah SWT disampaikan melalui beberapa pujian seperti bacaan Asmaul – Husna (sifat-sifat Allah yang mencapai 99 sifat).

Kemudian syair “Kang paring rohmat lan kenikmatan”, “Rino wengine tanpo petungan”. Yang maksudnya, “Yang merahmati dan memberi nikmat” dan “Siang malam tanpa hitungan”. Maksud dari makna syair tersebut adalah, kata “yang” merujuk kepada Sang Maha Pencipta, Dia memberikan rahmat (dalam bahasa Indonesia berarti “menghasihi”) juga kenikmatan terhadap hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, beriman dan beramal shaleh.

Dalam sebuah hadits di kitab Bulughul Maram disebutkan :

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku selalu bersama hamba-Ku selama ia mengingat-hamba-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-hamba-Ku." Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan mu'allaq menurut Bukhari.

Hadits tersebut menguatkan pola pikir penyair terhadap syair yang ditulis, yaitu, barangsiapa yang selalu mengingat Allah SWT dan kedua bibirnya senantiasa menyebut nama-Nya, maka hamba tersebut akan selalu bersama-Nya dengan segala kemurahan, kasih sayang yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.

Sehingga definisi dari bagian pertama dari syair Tanpo Wathon secara keseluruhan pada kalimat “Ngawiti ingsun nglarasa syi’iran

,Kelawan muji maring pengeran,

Kang paring rohmat lan kenikmatan, Rino wengine tanpo petungan” adalah makna yang mewajibkan kita (umat Islam) agar selalu memantaskan diri di hadapan Allah SWT ketika hendak akan melakukan apapun. Dalam pengertian ini, setiap kehendak, tindak-tanduk, sikap dan tujuan, dimaksudkan untuk mendapatkan ridha, rahmat dan syafa’at dari Allah SWT.

*Duh bolo konco priyo wanito *Ojo mung ngaji syare’at bloko

*Gur pinter ndongeng, nulis lan moco *Tembe mburine bakal sangsoro

Pada bait pertama terdapat kata “duh” yang menyiratkan makna “mengaduh”, atau “mengeluh”. Dilanjutkan dengan bait kedua yaitu “Ojo mung ngaji syare’at bloko”. Pada bait ini, penyair memiliki latar belakang sebagai seorang kyai atau ulama, sehingga terdorong niatan untuk mengingatkan terhadap siapapun dan tidak terkait dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan untuk tidak hanya mengaji atau belajar tentang syari’at saja. Tetapi juga belajar tentang hal-hal yang sifatnya meluas dan bermanfaat selain untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain, bangsa dan negara. Dikuatkan pada bait ketiga dan keempat yang berbunyi “hanya pandai berdongeng, tulis dan baca” kemudian “kelak di belakang bakal sengsara”. Adalah merupakan sebuah indikasi sebab-akibat, dimana “hanya mengaji syare’at saja”, “hanya pandai berdongeng, tulis dan baca” sebagai hubungan sebab, kemudian yang akan berakibat “kelak di belakang bakal sengsara”. Kata “belakang”, memiliki makna tentang masa depan, sesuatu yang akan terjadi di bagian akhir. Baik esok, atau bahkan ketika kelak di akherat nanti akan mendapakan balasan yaitu “sengsara”. Kata “sengsara” ini, dimaknai secara luas menurut penyairnya, yaitu, sengsara dalam arti sengsara dalam kemiskinan harta, bahkan sengsara dalam arti kemiskinan rohani.

Sehingga definisi dari paragraf kedua dari syair ini secara keseluruhan berdasarkan penggabungan makna-makna dari tiap baitnya adalah, sebuah

refleksi terhadap pernyataan yang mengungkapkan bahwa kita (umat Islam), baik laki-laki maupun perempuan, diingatkan untuk tidak hanya sekedar mengaji, menulis dan membaca saja. Namun dalam arti yang lebih kritis lagi, umat Islam diwajibkan untuk lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam setiap perbuatan, bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Paragraf ketiga dari syair ini adalah :

*Akeh kang apal Qur’an Haditse *Seneng ngafirke marang liyane

*Kafire dewe dak digatekke *Yen isih kotor ati akale

Pada bait ketiga ini, menjelaskan tentang seseorang yang dibilang “hafidz“ yaitu seseorang yang hafal dan paham tentang al-qur’an. Tapi seseorang tersebut belum bisa menerapkan pemahamannya tentang Al-Qur’an dalam dunia nyata. Penjelasan ini merujuk pada bait pertama dan kedua, “Akeh kang apal Qur’an Haditse , Seneng ngafirke marang liyane”. Dalam mengamalkan isi Al-Qur’an di kehidupan sehari-hari masih dapat dikatakan sulit, dalam konteks penerapan makna yang ada dalam Al-Qur’an. Malah justru cenderung ‘mengkafirkan’ orang lain, yang dimaksud dengan mengkafirkan disini adalah membicarakan keburukan orang lain, mengajak orang lain untuk berbuat yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Teliti terhadap kesalahan orang lain, setiap kesempatan tentang keburukan

orang lain maka akan segera diketahui, sedangkan dirinya sendiri dianggap yang paling sempurna. Sama dengan istilah peribahasa Indonesia yaitu “ Semut diseberang lautan terlihat jelas, tapi gajah dipelupuk mata tidak kelihatan “. Penjelasan ini berdasarkan pada bait ke tiga dan ke empat, yaitu, “Kafire dewe gak digatekke, Yen isih kotor ati akale”. Seseorang yang seperti ini suka meneliti kesalahan dan kejelekan orang lain, tapi tidak pernah memperhatikan keadaan atau perbuatan dia sendiri. Padahal bisa saja dirinya masih kalah baik dibanding dengan mereka yang dia bicarakan. Ini menggambarkan tabiat atau sifat seseorang tersebut dengan jelas. Seperti apakah kualitas orang itu sebenarnya.

Paragraf ke empat yaitu :

*Gampang kabujuk nafsu angkoro *Ing pepahese gebyare ndunyo

*Iri lan meri sugihe tonggo *Mulo atine peteng lan nistho

Paragraf tersebut diartikan sebagai seseorang yang mudah terpengaruh dengan kenikmatan dunia, apapun yang enak dan terasa menyenangkan di dunia dapat membuat dia merasa bahagia. Apalagi yang berhubungan dengan kemewahan dunia, seperti materi, harta, jabatan dan kesuksesan dalam hal-hal tertentu.

Apa yang sudah didapatkan saat ini masih terasa kurang dan selalu kurang, sampai segala sesuatu yang berhasil didapatkan terasa masih belum

ada artinya. Terkait dengan bait pertama dan kedua, adalah implementasi dari “Gampang kabujuk nafsu angkoro, Ing pepahese gebyare ndunyo”.

Kata-kata “Iri lan meri sugihe tonggo” mempunyai makna kalau seseorang tersebut mempunyai rasa iri dan dengki terhadap kekayaan tetangga ataupun lingkungan sekitarnya. Kekayaan yang dimaksud bukan cuma harta atau tahta, tapi apapun yang membuat tetangga tersebut bahagia justru membuat dia merasa resah, tidak terima bahkan marah. Kekayaan harta, kebahagiaan, kemakmuran, kedamaian, justru hal-hal tersebut yang membuat hatinya tidak tenang bukan malah ikut bersyukur dan berharap mendapatkan hal yang serupa melalui ridha Allah Ta’ala. “Mulo atine

peteng lan nistho”, itu sebabnya perasaannya tidak pernah tenang, selalu

diliputi perasaan gelisah, bimbang, karena hatinya sudah diliputi oleh kegelapan nafsu duniawi. Kehausan akan harta, takhta dan kenikmatan dunia lainnya menjadi faktor utama untuk menyempurnakan dirinya, hingga apa yang didapat orang lain dia juga berusaha mendapatkannya.

Paragraf selanjutnya, paragraf ke lima yaitu :

*Ayo sedulur jo nglaleake *Wajibe ngaji sak pranatane *Nggo ngandelake iman tauhide

*Baguse sangu mulyo matine

Paragraf tersebut merupakan seruan untuk melakukan kebaikan, tertulis di dalam bait pertama, “Ayo sedulur jo nglaleake”, mengingatkan sesama

muslim untuk tetap menjalankan kewajiban dan ibadahnya, “Wajibe ngaji

sak pranatane“, yang memiliki makna, untuk mengaji sekaligus dengan

tingkatannya. Di dalam ilmu thareqat, tasawuf, maupun ilmu fiqh, di setiap bagiannya memiliki tingkatan-tingkatan atau derajat dari kitab-kitab yang dikaji. Demikian maksudnya untuk memudahkan supaya pengetahuannya berjalan sesuai syari’at-syari’at yang telah ditentukan. Ditakutkan jika mengaji tidak sesuai dengan tingkatannya, maka pengetahuannya akan menjadi setengah-setengah.

Kalimat “Nggo ngandelake iman tauhide” pada bait ketiga, memiliki makna yang cukup dalam, dengan makna bahasa Indonesia yang artinya “Untuk menebalkan iman tauhidnya”, maksudnya demikian adalah, dengan mengaji yang tentunya diikuti dengan tafsir sesuai dengan maknanya, diamalkan ilmu yang diserapnya terhadap orang-orang disekitarnya, maka garansi yang akan didapat adalah ketebalan iman tauhid yang dijanjikan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an :

"... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah: 11)

Di dalam ayat tersebut, jelas sekali Allah akan menjamin kedudukan bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu. Kata “berilmu” disini, memiliki makna yang dalam, yaitu, berilmu bukan hanya sekedar menimba ilmu, mempelajari dan mengerti. Namun, ilmu yang

telah didapat, sudah seharusnya disebar luaskan. Cara penyebaran pun dituntut untuk dapat mudah dimengerti dan dipahami oleh khayalak luas. Sehingga ilmu yang disampaikan akan mampu dimengerti oleh orang lain maupun murid-murid.

Kemudian, di dalam bait terakhir “Baguse sangu mulyo matine” adalah akhir dari syair paragraf tersebut. Maksudnya, dengan arti bahasa Indonesia, “Bagusnya bekal, mulia wafatnya”, kata “bekal” disini memiliki arti sesuatu yang disiapkan untuk perjalanan. Dalam ilmu tafsir memiliki makna bekal ilmu, aqidah, amal jariyah, do’a anak-anaknya yang sholeh sebagai bekal untuk di akhirat nanti, sehingga amal ibadahnya selama di dunia akan ditimbang dan diterima oleh Allah SWT sesuai dengan apa yang dilakukan. Maka kemudian, seseorang akan wafat dalam keadaan yang mulia. Wallahu ‘alam.

Pada syair ke-enam yang selanjutnya :

*Kang aran sholeh bagus atine *Kerono mapan sari ngelmune *Laku thoreqot lan ma’rifate *Ugo hakekot manjing rasane

Pada paragraf syair ini secara garis besar maknanya adalah kesempurnaan dari keshalehan. Tingkatan sesuatu sifat yang dikatakan shaleh adalah, melalui pencapaian-pencapaian dalam mencari ilmu, baik ilmu duniawi dan khususnya ilmu syari’at. Tidaklah mudah dalam

mencapai segala sesuatu yang bernilai mulia, namun pada hakikatnya, sesuatu yang diperjuangakan dengan sungguh-sungguh juga dengan keikhlasan, kepasrahan hati dalam menempuhnya, maka ganjaran yang akan diperoleh akan sesuai dengan apa yang telah dilakukan.

Pada kalimat “Kang aran sholeh bagus atine”, yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, “ Disebut sholeh karena bagus hatinya”, memiliki makna dapat dikatakan shaleh karena memiliki hati yang mulia. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan :

“Jejak-jejak akhlakku akan tetap berada di tengah-tengah umatku

hingga hari kaiamat. Satu-satunya alasan bagi kemuliaan dan kebanggaan bagi setiap orang adalah akhlak mereka. Dalam pekerjaan mereka, perolehan, kebiasaan, keadaan merek saat ini, keberhasilan sejati hanya dicapai melalui akhlak yang baik, terutama jika akhlak itu disempurnakan dengan keadilan” (Al Hadits)

“Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR. Imam Malik)

Kemuliaan hati, akhlak yang mulia, amal ibadah, semua sudah terdapat di dalam sosok seorang Rasulullah yaitu Nabi Muhammad SAW. Sungguh Allah Azza Wa Jalla adalah Yang Maha Mengetahui. Maka demikian, umat Islam sudah seharusnya menjalankan sunnah Rasul tentang keakhlakan demi mendapatkan ridha dan kemuliaan dari Allah SWT. Bagaimana cara mendapatkan informasi tentang sunnah-sunnah Rasul yang shahih (betul-betul dibenarkan oleh para perawi hadits), semua

sudah terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun, pada kenyataannya adalah munculnya hadits-hadits palsu atau hadits dhaif, yaitu hadits yang sifatnya lemah atau bahkan tidak pernah dituturkan oleh Rasulullah SAW. Hematnya, masih terdapat banyak sumber-sumber yang tetap menjaga hadits shahih seperti kitab Bulughul Maram, Ihya’ ‘Ulumuddin, Kitab Jami’ul Ushul Fil Auliya’ (Syaikh Ahmad Dhiya’uddin Musthofa Al-Kamisykhonawy), Kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmany (Syaikh Abdul Qadir Al-Jeelani) dan lain sebagainya.

Pada kalimat “Laku thoreqot lan ma’rifate” kemudian “Ugo hakekot

manjing rasane”. Di dalam arti bahasa Indonesia, yaitu, “Menempuh

thariqat dan ma’rifatnya” dan “Juga hakikat merasuk jiwanya”. Thariqat atau Tariqah merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan batin bagi syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan shaleh di dalam agama Islam. Sedangkan ilmu ma’rifat memiliki definisi mengenal yang hak pada segala Asma dan sifat-Nya dengan sebenar-benarnya. Ma'rifat adalah keistimewaan yang tertinggi yang ada pada hati, karena seseorang yang sudah ma'rifat hubungan antaranya dan Allah sudah sangat dekat dan harmonis hingga dirinya menyatu dengan Allah, sifatnya (manusia) adalah sifat Allah dan semua aktivitasnya adalah qudrat Allah.

”Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. Al-Nur 24 : 40)

Ayat di atas berbicara tentang cahaya Allah, cahaya tersebut hanya diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah akan mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan

kesesatan hidup.

Dalam Ma’rifat kepada Allah yang didapatkan orang Sufi adalah cahaya. Dengan demikian ajaran Ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Seperti dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Dengan demikian, inti dari paragraf syair ini adalah, penyempuraan sebuah keshalehan adalah melalui proses-proses yang tidak mudah yaitu dengan pencapaian ilmu thariqat dan ma’rifat. Dengan memasukkan seluruh aspek tersebut ke dalam Qalbu (hati) maka sebuah kemuliaan akan didapat.

Untuk paragraf selanjutnya :

*Al-Qur’an qodim wahyu minulyo *Tanpo ditulis biso diwoco

*Iku wejangan Guru waskito *Den tancepake ing jero dodo

Pada paragraf ini secara garis besar maknanya adalah kesempurnaan dan keagungan dari Al-Qur’an. Yaitu Al-Qur’an Qodim wahyu yang mulia. Suatu sifat yang dikatakan mulia adalah, sesuatu yang kemurniannya tetap terjaga sampai akhir jaman. Tidak ada satupun yang dapat merubah isi dari Al-Qur’an, begitupun kandungan – kandungan yang ada didalamnya.

Pada kalimat “Tanpo ditulis iso di woco”, memiliki arti dalam bahasa Indonesia, “ Tanpa ditulis bisa dibaca ”, memiliki makna istimewa, bahwa Al-Qur’an keberadaannya tidak pernah dituliskan sebelumnnya, namun semua yang ada didalamnya dapat dibaca dan disaksikan kebenarannya. Seperti contoh tentang alam semesta, keajaiban – keajaiban yang sering kita lihat dan rasakan, itu hanya beberapa hal dari kebesaran – NYA. Sesuai dengan Q.S. Al – Baqarah ayat 284 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah SWT :

anfusikum aw tukhfuuhu yuhaasibkum bihi allaahu fayaghfiru liman yasyaau wayu’adzdzibu man yasyaau waallaahu ‘alaa kulli syay-in qadiirun

Artinya :

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-dikehandaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah SWT dalam hal:

1.Esa dalam kekuasan-Nya.

2.Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini.

Allah SWT Esa dalam memiliki seluruh makhluk, maksudnya ialah hanya Allah SWT. sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun

yang berserikat dengan Dia.

Allah SWT. Esa dalam mengetahui segala sesuatu di alam ini maksudnya ialah Allah SWT. mengetahui yang besar dan yang kecil, yang tampak dan yang tidak tampak oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud di alam

ini, maka wujudnya itu tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Allah SWT Esa dalam kekuasaan-Nya, maksudnya ialah apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat merubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, maka adalah dia, sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, lenyaplah ia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengazabnya dan keputusan yang adil hanyalah di

tangan-Nya saja.

Yang ada di dalam hati manusia itu ada dua macam:

Pertama: Sesuatu yang ada di dalam hati yang datang dengan sendirinya tergerak tanpa ada yang menggerakkannya, terlintas di dalam hati dengan sendirinya. Gerak yang demikian tidak berdasarkan iradah (kehendak) dan ikhtiar (pilihan) manusia, hanya timbul saja dalam hatinya. Hal yang seperti ini tidak dihukum dan dihisabi Allah SWT., kecuali bila diikuti dengan iradah, niat dan ikhtiar.

Kedua: Sesuatu yang ada di dalam hati yang timbul dengan usaha, pikiran, hasil renungan dan sebagainya. Gerak yang seperti ini berubah menjadi cita-cita keinginan yang kuat, sehingga timbullah iradah, niat dan ikhtiar untuk melaksanakannya. Gerak hati yang seperti inilah yang dihisab dan dijadikan dasar dalam menentukan balasan pekerjaan manusia.

Pada kalimat “Iku wejangan Guru waskito”, dalam arti Indonesia memiliki makna, “itulah nasehat dari guru waskita”, yang dimaksud nasihat disini adalah nasihat secara kritis yang merujuk pada ciptaan – ciptaan atau bukti – bukti kebesaran Allah SWT, semua yang ada di langit dan di bumi, apa yang nampak maupun tidak tak satupun luput dari kebesaran Allah SWT. Guru waskita yang dimaksudkan adalah alam semesta, yang semuanya kembali merujuk pada keagungan Allah dengan segala kuasanya – NYA.

Demikian pula dengan kerajaan Allah, semua yang ada dalam alam semesta ini adalah makhluk yang tunduk dan bertaqwa kepada-Nya. Para ilmuwan sampai saat ini belum bisa mengukur berapa luas gugusan bintang yang ada di alam semesta ini, padahal Allah berfirman dalam surat Al-Shaafat (37) ayat 6 bahwa bintang-bintang tersebut hanyalah hiasan

Dokumen terkait