• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON” (Studi Semiotik Deskriptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo Wathon”).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON” (Studi Semiotik Deskriptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo Wathon”)."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Semiotik Deskr iptif Kualitatif Pemaknaan Syair Pada “Syair Tanpo Wathon”)

SKRIPSI

(Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sar jana Pada FISIP UPN “Veteran” J awa Timur )

Oleh : FIKRI ROSYADI NPM. 0743010148

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

i Disusun : FIKRI ROSYADI NPM. 0743010148

Tela h disetujui untuk mengikuti Ujian Skr ipsi

Menyetujui Pembimbing Utama

Zaina l Abidin Achmad. S.Sos, M.Si. M.ED NPT. 37305990170.1

Mengetahui DEKAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “PEMAKNAAN PADA SYAIR “SYAIR TANPO WATHON”. Tujuan penulis meneliti syair ini adalah untuk mengetahui isi makna yang terkandung di dalamnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya meskipun penulis sudah berusaha sebaik-baiknya. Hal tersebut karena masih kurangnya ilmu, penulis bersedia menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan Skripsi ini.

Penyelesaian Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Mengingat hal tersebut, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Bpk. Zainal Abidin Achmad. S.Sos, M.Si. M.ED selaku Dosen Pembimbing Penulis yang sangat membantu dan memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Dan tak lupa juga Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT. yang senantiasa melimpahkan segala karuniaNYA sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses pengerjaan Skripsi.

(4)

iv

4. Bapak Juwito, S. Sos., Msi, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

5. Bapak / Ibu Dosen serta staf karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi banyak dorongan pada penulis.

6. Alm. H. Drs. A. Dimyathi Bishri, M.M dan Ibunda Hj. Fauzun Asofa, kakak Sofie Fikriyati, mas Puger dan yang terkasih Firdausinabah, S.sos yang tidak pernah berhenti memberikan dorongan dalam segala hal baik moral maupun material yang membuat penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan Skrispi.

7. Sahabat-sahabat terbaik entah di kampus maupun sahabat komunitas-komunitas lain dan teman-teman lainnya yang selalu memberikan dukungan moral dan semangat yang tiada henti.

8. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis yang sangat-sangat membantu untuk menyelesaikan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini belum sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa laporan ini dapat berguna untuk teman-teman mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi, maka saran dan kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

Surabaya, Mei 2012

(5)
(6)

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 40

4.1.1. Biografi Pencipta Syair ... 40

4.2. Penyajian dan Analisis Data ... 43

4.2.1. Pemaknaan Syair ”Tanpo Wathon” ... 43

4.2.2. Syair ”Tanpo Wathon” Menurut Teori Tanda Saussure 73 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(7)

(St udi Semiot ik Deskript if Kualit at if Pemaknaan Syair Pada “ Syair Tanpo Wat hon” ).

Penelit ian Syair Tanpo Wat hon ini didasari pada ket ert arikan penelit i unt uk lebih menget ahui makna yang t erkandung dalam syair sert a kepopulerannya di masyarakat . Pada penelit ian ini, penelit i berkesem pat an unt uk bert emu langsung dengan pencipt a syair, yait u, KH. M uhammad Nizam As-Shofa, Lc, pengasuh pondok pesant ren As-Shofa w al Wafa di Wonoayu – Sidoarjo.

Dari hasil analisis t erhadap Pemaknaan Syair Pada “ Syair Tanpo Wat hon” , diperoleh beberapa kesimpulan dari int erpret asi dat a yait u, pencipt a syair menggunakan met ode pemaknaan syair ini t erhadap realit as yang t erjadi di masyarakat dengan menggunakan met ode pendekat an bahasa dan syair juga pendekat an dari segi agama, menjadi sebuah media komunikasi melalui t anda bahasa dan budaya sehingga mampu melekat t erhadap masyarakat .

Kat a kunci : Syair Tanpo Wat hon, KH. M uhammad Nizam As-Shofa, Lc ABSTRACT dormit ory in Wonoayu – Sidoarjo.

The result of t his analize, it can t ake t he final answ ers t hat t he creat or using t he met hode depends on t he realit y in people and also using t his syair based on religion view , becomes a communicat ion media t hrought a languages sign and cult ure, so it can reflect direct ly t o t he people.

(8)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum. Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi.

(9)

lahir puisi, syi'ir. Bahasa puisi Arab ini menurut catatan sejarah ditemukan kurang lebih dari dua ratus tahun sebelum Hijrah (Ar- Rafi i, 1974: 22).

Diyakini bahwa kemampuan puitik bangsa Arab awal adalah anugerah dan bukan peniruan terhadap bangsa-bangsa lain. Puisi Arab kuno, selain diakui keindahan penyusunan isi dan diksinya, juga memiliki pola ritmik dan musikal yang baku yang direalisasikan dalam bentuk wazan dan qa:fiyah, anasir yang tidak (secara lengkap) dimiliki oleh karya-karya puisi bangsa lain sejamannya, seperti Ibrani dan Suryani. Bangsa Suryani tidak menyaratkan adanya qa:fiyah dalam puisi-puisi mereka meskipun memiliki wazan. Sedangkan bangsa Ibrani menyaratkan qa:fiyah tetapi tidak mengharuskan keberpolaan (wazan). Di samping itu, pola-pola ritmik dan musikal puisi Arab tidak ditemukan di dalam khazanah puitik bangsa lain (Ar-Rafi i, 1974: 24).

(10)

Nabighah al-Dzubyani, Tharafah bin Abd al-Bakri, Amr bin Kultum, Labid bin Rabi ah, dan al-A sya (Abdullah, tt.: 343).

Pada abad pertama hijriah atau abad ke-6 masehi, ketika kaum muslimin masih disibukkan oleh ekspansi dan pembangkangan, seperti perang riddah (632 M) pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, penulisan karya sastra belum berkembang. Sampai abad ke-7 baru ada penulisan Al-Qur an. Pengumpulan karya sastra baru dilakukan pada akhir abad ke-8 (Abdullah, tt.: 343). Sedang karya prosa tertua, yaitu Nahj al- Balaghah karya Ali bin Abi Thalib, baru dikumpulkan pada abad ke 10 atau ke-11 (Abdullah, tt.: 344).

Belakangan, pada masa kekhalifahan Islam paska khulafaur rasyidin (yang merangkum masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) muncul genre karya sastra lain yang disebut nadzam. Karya yang disebut terakhir muncul seir- ing dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Se- cara formal, kedua genre karya sastra, syi'ir dan nadzam, ini memiliki ke- serupaan yang secara sepintas tidak menampakkan perbedaan substansial antara keduanya. Oleh karena itu, belakangan muncul perbedaan pandan- gan dalam memahami kedua genre karya ini di kalangan sastrawan Arab.

(11)

Pertama, pandangan yang memaknai syi'ir sebagai tuturan yang ditata sedemikian rupa sesuai dengan neraca atau timbangan puisi (wazan) yang telah disepakati kalangan masyarakat Arab terutama para sastrawannya. Kedua, pandangan yang mendefinisikan syi'ir sebagai tuturan imajinatif dan artistik yang memiliki kekuatan emotif untuk mempengaruhi penikmatnya. Ketiga, pandangan yang merangkum dua pengertian syi'ir sebelumnya, mendefinisikannya sebagai tuturan imajinatif yang tertata (mauzu:n) secara artistik berdasarkan aturan-aturan (wazan) yang telah disepakati masyarakat Arab yang mengandung kekuatan emotif untuk mempengaruhi hati dan perasaan penikmatnya.

Jika kita menulis kata “syi’ir” di Google, maka akan turut di belakangnya kata “Tanpo Waton” atau “Gus Dur”. Kemudian jika mulai mengaksesnya, kita akan diajak melancong ke berbagai situs. Mesin pencarian akan mengarahkan kita ke syi’ir yang populer di masyarakat, yaitu “Syi’ir Tanpo Waton” atau “Shalawat Gus Dur”. Ini sekedar menggambarkan popularitas “Syi’ir tanpo Waton di dunia maya.

(12)

Syi’ir tersebut lumrah dilantunkan dalam acara-acara kegamaan seperti tahlilan, tasyakuran, lailatul ijtima’, bahkan dalam rapat-rapat organisasi dan pertemuan ibu-ibu arisan. Banyak warga yang hapal di luar kepala, meski syair ini agak panjang.

Ada beberapa faktor kepopuleran syi’ir tersebut. Pertama adalah Gus Dur sendiri. Gus Dur menjadi daya tarik dari segi apa pun. Dari tindakannya, pernyataannya, humornya. Dari segi apa pun, orang sudah paham.

Faktor kedua, adalah faktor primordial masyarakat Nusantara yang akrab dengan syi’ir-syi’ir. Dulu, ajaran-ajaran disampaikan melalui tembang.

Dan sangat luar biasa pengaruhnya.

Jadi meskipun belakangan banyak orang yang tahu kalau syi’ir ini ternyata tidak diciptakan atau dilantunkan Gus Dur, masyarakat tak peduli. Mereka dari awal sudah sangat akrab dan terlanjur gandrung denang dengan syi’ir.

Ketertarikan peneliti memilih syi’ir Tanpo Wathon lebih cenderung dikarenakan penelitian ini bermaksud utnuk mengangkat makna tersembunyi dari syair tersebut yang menggunakan simbo-simbol bahasa yang singkat, padat namun memiliki filsafah yang meluas.

(13)

yang sesuai dan bermanfaat bagi kenyataan yang terdapat di seluruh lapisan masyarakat pada era saat ini. Sehingga penelitian ini berupaya lebih menitik beratkan pada makna dari isi syair tersebut yang diciptakan oleh KH. Muhammad Nizam As-Shofa, Lc. yang popular dengan sebutan "Syi’ir Gus Dur”. Dalam metode Saussure, dikembangkan sebuah model relasi yang disebut signifier dan signified. Signifier adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dari ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mentak yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bartends, 1985:382 dalam Kurniawan, 2004:14), dan Roland Barthes yang menekankan kepada teks.

Lebih ringkasnya peneliti disini meneliti tentang suatu sistem tanda, salah satunya bagaimana pencipta syair tersebut dengan memberi makna pada lirik syair tersebut dan seperti apa KH. Muhammad Nizam As-Shofa, Lc. merefleksikan fenomena ke dalam sistem tanda komunikasi berupa syair.

Penelitian tentang suatu sistem penelitian ini secara khusus untuk mengetahui bagaimana makna nasehat-nasehat yang menggunakan pola bahasa sastra Jawa tersebut dituangkan di dalam syair yang terkenal dengan sebutan Syi’ir Tanpo Wathon atau Syi’ir Gus Dur.

1.2 Perumusan Masalah

(14)

1. Bagaimanakah tanda dan penanda yang terdapat dalam syair Tanpo Wathon?

2. Bagaimana uraian makna yang terkandung di dalam syair Tanpo Wathon tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan tentu saja mempunyai tujuan. Penelitian yang penulis lakukan terhadap syair Tanpo Wathon yang populer setelah wafatnya KH. Abdurrahman Wachid ini mempunyai tujuan. Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu penelitian ini bertujuan.

1. Mendeskripsikan kepada masyarakat tentang tanda-penanda

yang terdapat di dalam Syair Tanpo Waton

2. Menguraikan tentang makna-makna yang terkandung di dalam Syair Tanpo Wathon hingga sekiranya masyarakat luas memahami pemaknaan menurut sudut pandang peneliti.

1.4 Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah literatur penelitian ilmu komunikasi berupa syair dengan menggunakan pendekatan semiotik khususnya semiotik Saussure.

(15)
(16)

KAJ IAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Komunikasi Verbal

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama” adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyatakan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama.

Partisipan komunikasi menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol atau lambang-lambang. Simbol atau lambang tersebut dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Pesan diwujudkan dalam bentuk berupa kata-kata, gambar dan tulisan (pesan verbal), dan perilaku non verbal. Komunikasi disebut sistem simbolik karena penggunaan simbol-simbol yang terorganisasi da disepakati secara umum sebagai wahana pertukaran gagasan. Apa saja yang dipakai, dimakan dan dikerjakan, benda apa saja yang diciptakan, merupakan simbol-simbol komunikasi.

(17)

berdasarkan kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada suatu lambang. Tidak ada hubungan alami atau pasti antara lambang dengan apa yang dilambangkan, jadi hubungannya anatara lambang dengan apa yang dilambangkan bersifat sembarang atau makna suka (Mulyana, 1999:80). Pesan yang dikomunikasikan pada dasarnya terdiri dari dua aspek, yaitu aspek isi pesan (the content of the message) dan aspek lambang (symbol), konkritnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan dan lambang adalah bahasa (Effendy, 2000:30).

Dalam sebuah syair terkait dengan sebuah bahasa yang harus diteliti dalam semua jenis fungsinya serta adanya sebuah skema faktor pembentuk dalam komunikasi verbal. Menurut Roman Jakobson dalam “Aart Van Zoest” bukunya Serba-Serbi Semiotika bahwa semua faktor yang terdapat dalam komunikasi verbal dapat digambarkan sebagai berikut :

KONTEKS PESAN

PENGIRIM :::::::::::::::::::::: PENERIMA KONTAK

KODE

(Jakobson, 1992:70-71 dalam Linguistik dan Bahasa Puitis)

(18)

kognitif (berkaitan dengan perasaan, emosi, ekspresi), pesan pada pokoknya ditujukan untuk menciptakan, memperpanjang atau memutuskan percakapan, untuk meneliti kembali apakah komunikasi berjalan dengan baik atau tidak. Mencari Kontak ini yaitu berfungsi fatik yaitu fungsi yang dapat diperagakan dengan tukar-menukar ritus formula, dengan dialog yang lengkap semata-mata untuk memperpanjang komunikasi, sedangkan kode menyangkut dengan fungsi metalinguistik, artinya bagaimana proses maksud dari bahasa yang dimaksud.

Bahasa verbal adalah saran utama kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita, konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu, contoh kata rumah, begitu banyak ragam rumah, ada rumah bertingkat, mewah, Rumah Sederhana (RS), Rumah Sangat Sederhana (RSS) (Mulyana, 2000:238)

2.1.2. Pengertian Linguistik

(19)

atau bahasa Indonesia), tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga

langage itu, yaitu bahasa pada umumnya.

Linguistik membahas bahasa sebagai kajian yang hakiki dalam kegiatan manusia. Kegiatan manusia akan menjadi hakikat bahasa jika dengan mudah untuk memahami bahasa tersebut. Sifat atau ciri bahasa itu antara lain : (1) bahasa adalah sebuah sistem, (2) bahasa berwujud lambang, (3) bahasa berupa bunyi, (4) bahasa bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa bersifat konvensional, (7) bahasa bersifat unik, (8) bahas bersifat universal, (9) bahasa itu produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu dinamis, (12) bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial, dan (13) bahasa itu merupakan identitas penuturnya, Chaer (1994:33).

Menurut Ridwan (2006:1), bahasa demikian berperan dan pentingnya, dan demikian pula luas jangkaunnya dan ruang lingkupnya, sehingga kadang kala timbul pendapat yang mengatakan “tanpa bahasa, kehidupan manusia tidak mempunyai arti sama sekali”.

(20)

2.1.3. Pengertian Sastra

Pengertian sastra sampai sekarang ini masih menjadi polemik dalam kesusastraan barat dan lokal (Nusantara), karena batasan-batasan yang mutlak terhadap sastra belum memaksimalkan dalam kajian-kajian sasr=tra, sehingga sastra menjadi lahan perdebatan dalam lingkungan sastrawan, seniman, budayawan dan akademikus untuk memobjektivitaskan kebenaran sastra.

Pandangan dari berbagai kalangan untuk pengertian sastra masih banyak yang harus dibenahi shingga tidak lagi kontroversi dalam konvensi sastra. Adapun menurut beberapa ahli tentang sastra berpendapat bahwa sastra itu adalah; menurut Luxemburg Jan Van dkk (1982:9) sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Sedangkan menurut Laelasari dkk (2006:225) sastra adalah setiap bahasa berbentuk syair berisi imajinasi yang baikm ilustrasi yang indah, makna yang kuat dan hikmah yang sesuai yang berpengaruh terhadap pembinaan jiwa, kepekaan rasa dan kefasihan lisan.

(21)

Kedudukan syair pada tataran yang mana? Pusisi, prosa ataukah drama. Jika dirunut pada ketiga tataran tersebut, maka yang lebih banyak untuk mendekati kepada syair dari bentuk, fungsinya dan makna adalah puisi. Karena menurut Laelasari dkk (2006:240) syair adalah karya sastra yang berasal dari kesusastraan Arab yang merupakan puisi lama yang terdiri dari empat baris dan semuanya adalah isi; setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata puisi lama yang tiap-tiap bait terdiri atas empat larik (baris yang terakhir dengan bunyi atau rima yang sama).

2.1.4. Semiotik Linguistik dan Semiotik Sastra

Menurut Zoest (1996) semiotika adalah ilmu tanda; istilah tersebut berasal dari kata Yunani “Semeion” yang berarti “tanda”. Tanda terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian dapat dianggap sebagai tanda. Selanjutnya Kridalaksana (1993) semiotika Anglo-Amerika. Ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda lalu lintas, kode morse dan sebagainya. Beberapa kalangan sarjana menganggap linguistik adalah cabang dari semiotika.

(22)

seni (estetika), antropologi, budaya, filsafat dan lain-lain menurut Teeuw (2003:40).

Dikemukanan Pradopo (1995:140) yang mengutip dari Abrams, bahwa terdapat empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1)

mimetik yang menganggap karya sastra tiruan alam (kehidupan), (2)

Pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu, (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pemikiran dan pengalam penyair (pengarang) dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca dan pengarang itu sendiri.

Masalah yang penting dalam hubungan penelitian ini adalah apakah dan sampai dimanakah pembaca dalam reaksinya terhadap karya sastra mewakili kelompok atau lapisan atau kelas tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena yang lebih penting, dalam penelitian mengenai fungsi tanda dan penanda dalam syair Tanpo Wathon adalah tergantung pada faktor waktu. Hal itu berarti bahwa faktor diakronis merupakan sesuatu yang hakiki untuk memahami dengan baik terhadap makna dan fungsi sebuah syair Tanpo Wathon.

(23)

Sedangkan Pradopo (1995:142) berpendapat sajak adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi tesebut. Untuk memperjelas makna syair Tanpo Wathon perlu pembacaan semiotik yaitu pembacaan heruistik dan hermeneutika. Pembacaan heruistik bermaksud untuk memperjelas hubungan antar unsur kebahasaannya dan arti linguistiknya. Pembacaan hermeneutika untuk memberikan makna syair. Hal itu disebabkan bahwa syair itu sebagai sistem tanda tingkat keduayang mempunyai konvensi sendiri yang lain dari koncensi bahasa sebagai tanda tingkat pertama.

(24)

2.1.5. Syair Dalam Kajian Semiotika

Semiotik memberikan tempat yang sentral terhadap tanda. Semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu sistem pemaknaan (Signifying system) (Danesi dan Perron, 1999:23).

Secara semiotik, kebudaayan merupakan reaksi dari competence yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang, untuk menginterpretasi dan untuk menghasilkan sesuatu (Aart van Zoest, 1992:96).

Kebudayaan dalam batasan itu akan menjelma terutama sebagai

performance, sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah

laku dan hasil-hasil darinya sehingga orientasinya menyibukkan diri dengan mempelajari hasil-hasil karya.

Terkait dengan penelitian ini, maka mengutamakan situasi dan kondisi yang menjadi latar belakang pembuatan syair di dalam syair Tanpo Wathon, sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Pesan tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda-tanda kata-kata dalam bentuk bahasa dalam format sebuah syair dan di dalam tanda tersebut terdapat makna agama.

(25)

Saussure dalam hal ini lebih memperhatikan realita pembongkaran makna terhadap sebuah nilai-nilai bahasa yang sedang berlaku dalam budaya itu yaiyu sebuah ideologi (keterkaitan sejumlah asumsi yang memungkinkan penggunaan tanda) yang terdapat di dalam syair Tanpo Wathon. Dalam Aart Van Zoest mendefinisikan kebudayaan adalah suatu keterampilan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat untuk mengenali, menginterpretasikan dan memproduksi tanda-tanda dengan cara yang sama. Pada akhirnya hal itu diartikan, bahwa suatu kebudayaan merupakan sesuatu keseluruhan utuh kebiasaan semiotika yang saling terkait satu sama lain, kebiasaan-kebiasaan tersebut memberi efisiensi tertentu terhadap pergaulan kita dengan dunia dan segala sesuatu merupakan tanda.

2.1.6. Simbologi Agama

Dalam bahasa komunikasi, simbol sering diistilahkan sebagai lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), prilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama (Mulyana, 2002:84). Hal ini terkait dengan syair Tanpo Wathon yang di dalamnya terdapat konstruksi simbologi agama.

(26)

pertumbuhanide-ide agama dan lembaga-lembaganya dengan perantaraan periode-periode tertentu dari perkembangan tertentu. Pengalaman agama dimanifestasikan untuk dimasukkan pada suatu skema yang sudah ditentukan terlebih dahulu seperti halnya manusia mencari hakikat dari Yang Maha Esa dan mempelajari tindak laku agamis sehingga akan menemukan eksistensi diri tentang hakikat dan pemahaman tentang nilai-nilai moral.

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu sehingga jelas dalam manifestasi dalam sebuah keyakinan terhadap smeua penciptaan yang ada di dunia.

(27)

Bahkan kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, menurut Geertz (1992:57), terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai tersebut, dan juga kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai tersebut untuk menjadi bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan.

2.1.7. Pendekatan Bahasa

Penggunaan bahasa memiliki peranan yang penting dalam sebuah syair, artinya, bahasa dalam syair merupakan titik sentral dalam penggunaan tanda dalam metode Saussure. Dalam logika modern dibedakan antara dua tingkatan tentang bahasa; “bahasa objek” yang membicarakan benda dan metabahasa yang membicarakan bahasa. Metabahasa bukan hanya alat ilmiah yang digunakan oleh ahli logika dan liguistik saja, metabahasa juga memainkan perananan yang penting dalam percakapan sehari-hari (Jakobson, 1992:74).

(28)

untuk melahirkan perasaaan dan pikiran, 2. Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku, bangsa, negara, daerah, dsb), 3. Percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik. Sehingga bahasa memiliki peran yang sentral dalam semiotik, perlu adanya pendektanan bahasa dalam tanda-penanda yang terdapat di dalam sebuah syair.

(29)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register. Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake,

honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat

berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.

(30)

2.1.8. Semiotika Dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2003:15).

Semiotika modern mempunyai tokoh yaitu Ferdinand de Saussure, dimana melalui tokoh tersebut kemudian muncul cikal bakal linguistik umum. Ferdinand de Saussure memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu, suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan merupakan suatu tanda.

(31)

ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plant). Charles Morris menyebut semiosis sebagai suatu “proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme. Dari beberapa definisi diatas, maka semiotika atau semiosis adalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.

Pada dasarnya semiosis daoat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah :

S adalah semiotic relation (hubungan semiotik); e untuk efek atau pengaruh (misalnya suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r oada kondisi-kondisi tertentu, c karena s; r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi).

Saat ini dikenal dua jenis semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi.

1. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders

Pierce lebih menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanad), pesan, saluran komunukasi dan acuan.

2. Semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya

(32)

dalam suatu konteks tertentu. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda.

2.1.9. Tanda dan Makna

Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama, peran, fungsi dan tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia, maka ini berarti tanda dapat pula berada pada kebudayaan manusia dan menjadi sistem tanda yang mengatur kehidupannya. Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan (Budianto dalam Sobur, 2006:124).

(33)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari

signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut

dinamakan signification. Ddengn kata lain, signification adalah uoaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990 dalam Sobur, 2006:125).

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified tidak dapat dijelaskan dengan nalar apapun, pilihan bunyi-bunyinya maupun pilihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dikamsud, karena hubungannya yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka signifier harus dipelajari yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna.

Sifat arbiter antara signifier dan signified serta kaitan antara kedua komponen ini menarik bila diakaitkan dengan nasehat, maksudnya, bagaimana sebuah makna dari sebuah nasehat dapat menentukan signified mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi dalam sebuah tutur kata nasehat. Maksudnya bagaimana sebuah nasehat dapat menentukan

signified mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi di

(34)

melalui sebuah karya sastra syair yang dapat membuat signified bisa mengikuti signifier.

Ketika bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa bahasa sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian signifier belaka tanpa referensi langsung terhadap yang ditandakan (signified). Suatu pengertian atau definisi tentang sesuatu tinggal sebagai rangkaian perumusan yang tersimpan dalam kamus atau memori saja.

Hubungan antara signifier dan signified ini, yaitu (Kurniawan, 2001:30) :

1. Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna (aspek

material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca

2. Signified atau petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau

konsep (aspek mental) dari bahasa.

2.1.10. Teori-Teori Makna

Beberapa teori tentang makna dikembangkan oleh Alston (1964:11-26) dalam Sobur (2001:259) diantaranya adalah :

1. Teori Acuan (Referential Theory)

(35)

2. Teori Ideasional (The Identional Theory)

Teori ideasional adalah suatu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini, teori ideasional menghubungkan makna atau ungkapan dengan suatu ide atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut kepada kesadaran. Atau dengan kata lain, teori ideasional mengidentifikasi makna E (expression atau ungkapan) dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang ditimbulkan E (expression). Jadi pada dasarnya teori ini meletakkan gagasan (ide) sebagai titik sentral yang menentukan makna suatu ungkapan.

3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)

Teori tingkah laku merupakan salah satu jenis teori makna mengenai makna suatu kata atau ungkapan bahasa dengan rangsangan-rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut. Teori ini menanggapai bahasa sebagai semacam kelakuan yang mengembalikannya kepada teori stimulus dan respons. Makna menurut teori ini, merupakan rangsangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respons kepada rangsangan itu tadi.

(36)

pengarang syair berdasarkan relita-realita yang sedang terjadi dan dekat kehidupan sehari-hari masyarakat yang menjadi inspirasi dalam menciptakan sebuah karya sastra. Melalui refleksi dari realita-realita tersebut, pengarang syair berusaha untuk mengungkapkan ide atau gagasan berupa nasehat melalui sebuah syair ke dalam sebuah ungkapan (expression) yang dituangkan di dalam syair yang penuh dengan makna dan mampu menggugah alam bawah sadar kita bahwa kita (manusia) hidup harus dengan kesadaran tingkat tinggi untuk mencapai sebuah kehakikian dalam hidup dan berjalan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Yang Maha Esa. Berlandaskan teori ideasional, peneliti berusaha untuk melakukan pemaknaan pada syair yang terdapat di dalam Syair Tanpo Wathon.

2.2. Kerangka Berpikir

Dalam memaknai tanda dan lambang yang ada di dalam obyek, juga berdasarkan pengalaman dan tingkat pengetahuan peneliti. Dalam penitian ini, peneliti melakukan pemaknaan dan lambang berbentuk tulisan pada syair Tanpo Wathon dengan menggunakan metode semiotik Saussure, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai makna lirik syair tersebut.

(37)

signifier (penanda) dan signified (petanda) hubungan tersebut membuahkan

interpretant (efek yang ditimbulkan dari proses penandaan).

Digunakannya metode Ferdinand de Saussure dalam penelitian ini adalah semiotiknya yang mencakup tanda-tanda yang bersifat linguistik pada sebuah teks syair. Hal ini diperkuat juga oleh Cobley dan Janz (1999:10), yang menyatakan bahwa wilayah perhatian Saussure hanya meliputi tanda linguistik. Dalam hal ini, dia mengikuti tradisi teorisasi tanda-tanda konvensional.

Dari hasil interpretasi tersebut akan dapat diungkap muatan pesan yang terkndung di dalam syair Tanpo Wathon tersebut, apakah kandungan faktualnya, siapa yang menjadi sasarannya, unsur agama dan norma-norma apa yang terdapat di dalamnya.

Dari hal tersbut, maka secara sistematis dapat dibuat sebuah kerangka berpikir seperti pada gambar di bawah ini :

(38)

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana dalam pendekatan deskriptif kualitatif akan dapat menginterpretasikan secara rinci pemaknaan syair di dalam syair Tanpo Wathon.

Penelitian ini akan mendekonstruksi tanda-tanda dengan menggunakan metode semiotik milik Saussure. Pemaknaan di dalam syair Tanpo Wathon adalah untuk mengetahui bagaimanakah makna-makna yang terkandung di dalam syair tersebut sehingga dapat diketahui kandungan yang terdapat di dalam syair Tanpo Wathon, apakah menyentuh terhadap aspek-aspek nilai agama, sosial-budaya, yang dekat dengan kehidupan sehari-hari dan mampu diinterpretasikan sehingga menjadi makhluk-Nya yang hakiki. Hal tersebut bersifat subyektif, tergantung dari latar belakang individu yang memaknainya.

(39)

Kemudian untuk menginterpretasikan bagaimana makna syair Tanpo Wathon tersebut, maka perlu terlebih dahulu diketahui sistem tanda yang ada pada syair. Penulis menggunakan pendekatan semiotika untuk dapat menganalisis makna yang terdapat di dalam syair tersebut.

Metode semiotika ini adalah sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2003:270). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kccenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Piliang, 2003:257).

(40)

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Data dan Sumber Data

Bahasa sastra menurut sasarannya terbagi atas dua yaitu; sastra lisan dan sastra tulisan. Dua jenis bahasa sastra itu, peneliti memilih sastra lisan sebagai sumber data. Sastra lisan dijadikan sebagai data primer, sedangkan sastra tulisan dijadikan sebagai data skunder. Ragam sastra lisan yang dikaji berupa syair Tanpo Wathon yang kerap dikumandangkan oleh masjid-masjid sesaat sebelum adzan di sebagian neasr wilayah jawa timur. Pemilihan data tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar dari syair berbentuk do’a yang dikemas dalam sebuah karya sastra syair. Tentunya, kegiatan dalam do’a yang melibatkan syair-syair memiliki tanda dan penanda dalam bentuk kalimat yang diujarkannya oleh penuturnya.

3.3. Kerangka Operasional 3.3.1. Corpus

(41)

Corpus haruslah cukup luas untuk memberikan harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Sifat dari corpus itu sendiri homogen, baik pada taraf substansi maupun homogen pada taraf waktu (sinkron), dan terbuka pada konteks yang beraneka ragam, (Kurniawan, 2001:70). Sedangkan corpus dalam penelitian ini adalah syair dengan judul “Syair Tanpo Waton.

Corpus adalah kata lain dari sampel bertujuan dan kusus digunakan untuk analisis semiotika dan analisis wacana. Corpus dalam penelitian ini adalah syair dengan judul “Syair Tanpo Wathon”. Alasan pengambilan syair diatas sebagai corpus adalah karena di dalam syair tersebut memuat tentang gambaran atau refleksi dari kehidupan nyata dan terjadi pada masyarakat pada ummnya. Selain itu, pengarang sangat menitikberatkan terhadap aspek nilai norma-norma, keagamaan, keberagaman, hakikat manusia terhadap Tuhannya, nasehat-nasehat akan perjalanan kehidupan yang dipenuhi oleh berbagai macam pelik permasalahan namun manusia harus mampu merefleksikan diri sebagai mahkluk-Nya yang bermartabat. Syair dari “Syair Tanpo Wathon” yang kerap dikumandangkan di masjid-masjid bagian jawa timur sebelum adzan, yang menggunakan bahasa jawa sebagai penghantarnya namun penulis menyisipkan berikut terjemahan bahas Indonesia, adalah sebagai berikut :

“Syair Tanpo Wathon”

Pengarang : KH. Muhammad Nizam As-Shofa, Lc.

(42)

Yarosulalloh salammun’alaik… *Gur pinter ndongeng, nulis lan moco

(43)

*Baguse sangu mulyo matine *Dzikir lan suluk jo nganti lali

(44)

*Kang anglakoni sakabehane

Berikut adalah terjemahan ke dalam bahasa Indonesia:

Kumulai menguntai syairan Hanya pandai berdongeng, tulis dan baca

Kelak di belakang bakal sengsara

Banyak yang hafal Al-Qur’an dan haditsnya Malah suka mengafirkan yang lainnya

Kafirnya sendiri tidak dipedulikan Jika masih kotor hati dan akalnya

(45)

Mari saudara, jangan lupakan Kewajiban dengan semua aturannya

Demi menebalkan iman tauhidnya Bagusnya bekal, hati nan mulia

Disebut soleh karena bagus hatinya Karena selaras dengan ilmunya Menempuh thariqah dan ma’rifatnya

Juga hakikat merasuk jiwanya

Al-Qur’an Qodim wahyu mulia Tanpa ditulis bisa dibaca Itulah nasehat dari guru waskita

Tancapkan di dalam dada

Merasuk hati dan pikiran Merasuk badan hingga ke dalam

Mu’jizat Rosul jadi pedoman Sebagai jalan masuknya iman

Bersama Allah Yang Maha Suci Harus pelukan siang dan malam Dilakukan dengan tirakat riyadhoh

Dzikir dan suluk janganlah lupa

Hidupnya damai merasa aman Sampai dirasa tandanya iman Sabar dan menerima walau sederhana

(46)

Yang bisa menjalankan semuanya Allahlah yang mengangkat derajatnya

Walau rendah kelihatan tampaknya Namun mulia maqom derajatnya

Jika di akhir hayatnya Tak tersesat ruh dan jiwanya Dihantar Allah syurga tempatnya

Utuh mayatnya dan kafannya

3.3. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tekhnik merekam syair, mencatat syair, bukti foto pada layar televisi dengan stasiun tv lokal yaitu TV9 yang menggunakan syair ini dan memvisualkan disetiap akhir televisi akan berhenti siaran setiap harinya, mengklasifikasikan syair dan mengevaluasi syair. Data-data yang terkumpul dari sumber tersebut kemudian diperiksa yaitu dengan cara sebagai berikut:

1. Membaca seluruh isi syair “Syair Tanpo Wathon dengan cermat

dan teliti

2. Mengartikan bahasa Jawa yang terdapat di dalam syair tersebut dengan menggunakan beberapa relasi penulis.

(47)

4. Mendeskripsikan semua tanda dan penanda yang dijumpai ke dalam bentuk data.

5. Menganalisis pembentukan tanda dan penanda dalam data tersebut.

6. Mengamati peran bahasa dalam tanda dan penanda apa yang

terkandung di dalam syair tersebut.

7. Melakukan wawancara langsung terhadap pencipta syair terkait maksud penciptaan dan kandungan makna yang terdapat di dalamnya.

Saussure mendefinisikan bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda (sign) dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca, sedangkan petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Kurniawan, 2001:30). Apabila penanda dan petanda ini digabungkan akan menghasilkan suatu konsep makna yang sebenarnya. Gabungan anatar kedua unsur tersebut menghasilkan suatu pemahaman yang dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya untuk memberikan makna.

Di dalam syair “ Syair Tanpo Wathon”, ketiga bagian dari teori tanda Saussure adalah sebagai berikut:

(48)

2. Signified-nya adalah kata yang terkandung dalam syair “Syair

Tanpo Wathon”

3. Signification-nya adalah kata, dan kalimat yang terdapat dalam

(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1 Biografi Pencipta Syair

Banyak kalangan menduga-duga bahkan mengklaim pencipta dan pelantun syair “Tanpo Wathon” ini adalah almarhum Kyai Abdurrahman Wachid. Namun anggapan semua kalangan tersebut seolah luput namun tidak mengurangi esiensi nilai dari syair. Dikatakan di dalam sebuah blog yang ditulis oleh seseorang bernama Damar Kasaenan pada tanggal 17 Agustus 2011 pada jam 07.05. Di dalam blog tersebut dikatakan, bahwa pencipta dan pelantun syair “Tanpo Wathon” adalah KH. Mohammad Nizam As-Shafa, Lc. Peneliti juga mendatangi secara langsung dan tatap muka dengan KH. Mohammad Nizam As-Shafa, Lc.

(50)

Dhiya’uddin Musthofa Al-Kamisykhonawy) dan Kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmany (Syaikh Abdul Qadir Al-Jeelani).

4.2. Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Pemaknaan Syair “Tanpo Wathon”

Data yang ditemukan dalam syair tersebut maka dapat dianalisis dengan menggunakan teori semiotik sebagai pendekatan dalam penelitian. Penelitian semiotik terhadap syair “Tanpo Wathon” adalah untuk mengungkapkan tanda dan penanda dalam syair tersebut. Maka demikian, penulis akan mengkaji tiap-tiap bait dari syair “Tanpo Wathon” tersebut. Banyak kalangan bertanya mengapa syair tersebut dinamakan “Tanpo Wathon”, nama ini timbul dan dikenalkan oleh penciptanya sendiri dan pelantunnya yaitu KH. Muhammad Nizam As-Shafa, Lc, maksud hati memaknai Tanpo Wathon sebagai “Tanpa Batas”, artinya, syair ini memiliki kajian persepsi yang tanpa batas yang sesuai dengan kemampuan nalar para pendengarnya. Dahulu, sekitar awal tahun 2011, syair ini dikenal dengan sebutan Syi’iran Gus Dur, dikarenakan banyak kalangan yang menduga bahwa syair ini diciptakan dan dilantunkan oleh almarhum KH. Abdurrahman Wachid.

(51)

nasehat-nasehat akan perjalanan kehidupan yang dipenuhi oleh berbagai macam pelik permasalahan namun manusia harus mampu merefleksikan diri sebagai mahkluk-Nya yang bermartabat. Syair dari “Syair Tanpo Wathon” yang kerap dikumandangkan di masjid-masjid bagian jawa timur sebelum adzan, yang menggunakan bahasa jawa sebagai penghantarnya.

Jadi dapat diamaknai dari judul syair “Tanpo Wathon” ini bisa diartikan sebagai syair tanpa batas yang diartikan dari arti kata “Tanpo Wathon” dalam bahasa jawa itu berarti “Tanpa Batas” karena syair ini memiliki kajian persepsi yang tanpa batas yang sesuai dengan kemampuan nalar para pendengarnya, tapi dalam syair ini berisi tentang pedoman umat manusia agar selalu mengingat sang pencipta .

Bait pertama dalam “Syair Tanpo Wathon”, lengkapnya sebagai berikut :

Yarosulalloh salammun’alaik… Yaarofi’asaaniwaddaaroji…

‘atfatayaji rotall ‘aalami… Yauhailaljuu diwaalkaromi…2x *Ngawiti ingsun nglara syi’iran *Kelawan muji maring Pengeran *Kang paring rohmat lan kenikmatan

*Rino wengine tanpo petungan

(52)

menyatakan pengandaian dan merupakan kalimat konotasi atau makna yang bukan sesungguhnya dari sholawat nabi dalam bait tersebut adalah sebagai pembuka atau pengawal dari ritual keagamaan yang bisa diadakan oleh umat islam, seperti pengajian, tahlil dan istighosah. Sehingga Sholawat Nabi disini mengibaratkan suatu pembukaan dalam pembacaan syair. Sedangkan Sholawat Nabi dalam makna denotasi yang artinya adalah pujian atau sanjungan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan kata “Ngawiti ingsun nglarasa syi’iran” dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “kumulai menguntai syairan” . Kemudian dilanjutkan dengan “Kelawan muji maring Pengeran”. Maksud dari kalimat tersebut adalah untuk merendahkan pribadi dihadapan Sang Khalik. Di dalam ajaran agama Islam, khususnya ilmu thareqat, terdapat sopan santun ketika sedang berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Di dalam pola yang lebih mendalam, penghormatan kepada Allah SWT disampaikan melalui beberapa pujian seperti bacaan Asmaul – Husna (sifat-sifat Allah yang mencapai 99 sifat).

(53)

Dalam sebuah hadits di kitab Bulughul Maram disebutkan :

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku selalu bersama hamba-Ku selama ia mengingat-hamba-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-hamba-Ku." Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan mu'allaq menurut Bukhari.

Hadits tersebut menguatkan pola pikir penyair terhadap syair yang ditulis, yaitu, barangsiapa yang selalu mengingat Allah SWT dan kedua bibirnya senantiasa menyebut nama-Nya, maka hamba tersebut akan selalu bersama-Nya dengan segala kemurahan, kasih sayang yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.

Sehingga definisi dari bagian pertama dari syair Tanpo Wathon secara keseluruhan pada kalimat “Ngawiti ingsun nglarasa syi’iran

,Kelawan muji maring pengeran,

Kang paring rohmat lan kenikmatan, Rino wengine tanpo petungan” adalah makna yang mewajibkan kita (umat Islam) agar selalu memantaskan diri di hadapan Allah SWT ketika hendak akan melakukan apapun. Dalam pengertian ini, setiap kehendak, tindak-tanduk, sikap dan tujuan, dimaksudkan untuk mendapatkan ridha, rahmat dan syafa’at dari Allah SWT.

*Duh bolo konco priyo wanito

(54)

*Gur pinter ndongeng, nulis lan moco

*Tembe mburine bakal sangsoro

Pada bait pertama terdapat kata “duh” yang menyiratkan makna “mengaduh”, atau “mengeluh”. Dilanjutkan dengan bait kedua yaitu “Ojo mung ngaji syare’at bloko”. Pada bait ini, penyair memiliki latar belakang sebagai seorang kyai atau ulama, sehingga terdorong niatan untuk mengingatkan terhadap siapapun dan tidak terkait dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan untuk tidak hanya mengaji atau belajar tentang syari’at saja. Tetapi juga belajar tentang hal-hal yang sifatnya meluas dan bermanfaat selain untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain, bangsa dan negara. Dikuatkan pada bait ketiga dan keempat yang berbunyi “hanya pandai berdongeng, tulis dan baca” kemudian “kelak di belakang bakal sengsara”. Adalah merupakan sebuah indikasi sebab-akibat, dimana “hanya mengaji syare’at saja”, “hanya pandai berdongeng, tulis dan baca” sebagai hubungan sebab, kemudian yang akan berakibat “kelak di belakang bakal sengsara”. Kata “belakang”, memiliki makna tentang masa depan, sesuatu yang akan terjadi di bagian akhir. Baik esok, atau bahkan ketika kelak di akherat nanti akan mendapakan balasan yaitu “sengsara”. Kata “sengsara” ini, dimaknai secara luas menurut penyairnya, yaitu, sengsara dalam arti sengsara dalam kemiskinan harta, bahkan sengsara dalam arti kemiskinan rohani.

(55)

refleksi terhadap pernyataan yang mengungkapkan bahwa kita (umat Islam), baik laki-laki maupun perempuan, diingatkan untuk tidak hanya sekedar mengaji, menulis dan membaca saja. Namun dalam arti yang lebih kritis lagi, umat Islam diwajibkan untuk lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam setiap perbuatan, bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Paragraf ketiga dari syair ini adalah :

*Akeh kang apal Qur’an Haditse

*Seneng ngafirke marang liyane

*Kafire dewe dak digatekke

*Yen isih kotor ati akale

(56)

orang lain maka akan segera diketahui, sedangkan dirinya sendiri dianggap yang paling sempurna. Sama dengan istilah peribahasa Indonesia yaitu “ Semut diseberang lautan terlihat jelas, tapi gajah dipelupuk mata tidak kelihatan “. Penjelasan ini berdasarkan pada bait ke tiga dan ke empat, yaitu, “Kafire dewe gak digatekke, Yen isih kotor ati akale”. Seseorang yang seperti ini suka meneliti kesalahan dan kejelekan orang lain, tapi tidak pernah memperhatikan keadaan atau perbuatan dia sendiri. Padahal bisa saja dirinya masih kalah baik dibanding dengan mereka yang dia bicarakan. Ini menggambarkan tabiat atau sifat seseorang tersebut dengan jelas. Seperti apakah kualitas orang itu sebenarnya.

Paragraf ke empat yaitu :

*Gampang kabujuk nafsu angkoro

*Ing pepahese gebyare ndunyo

*Iri lan meri sugihe tonggo

*Mulo atine peteng lan nistho

Paragraf tersebut diartikan sebagai seseorang yang mudah terpengaruh dengan kenikmatan dunia, apapun yang enak dan terasa menyenangkan di dunia dapat membuat dia merasa bahagia. Apalagi yang berhubungan dengan kemewahan dunia, seperti materi, harta, jabatan dan kesuksesan dalam hal-hal tertentu.

(57)

ada artinya. Terkait dengan bait pertama dan kedua, adalah implementasi dari “Gampang kabujuk nafsu angkoro, Ing pepahese gebyare ndunyo”.

Kata-kata “Iri lan meri sugihe tonggo” mempunyai makna kalau seseorang tersebut mempunyai rasa iri dan dengki terhadap kekayaan tetangga ataupun lingkungan sekitarnya. Kekayaan yang dimaksud bukan cuma harta atau tahta, tapi apapun yang membuat tetangga tersebut bahagia justru membuat dia merasa resah, tidak terima bahkan marah. Kekayaan harta, kebahagiaan, kemakmuran, kedamaian, justru hal-hal tersebut yang membuat hatinya tidak tenang bukan malah ikut bersyukur dan berharap mendapatkan hal yang serupa melalui ridha Allah Ta’ala. “Mulo atine

peteng lan nistho”, itu sebabnya perasaannya tidak pernah tenang, selalu

diliputi perasaan gelisah, bimbang, karena hatinya sudah diliputi oleh kegelapan nafsu duniawi. Kehausan akan harta, takhta dan kenikmatan dunia lainnya menjadi faktor utama untuk menyempurnakan dirinya, hingga apa yang didapat orang lain dia juga berusaha mendapatkannya.

Paragraf selanjutnya, paragraf ke lima yaitu :

*Ayo sedulur jo nglaleake

*Wajibe ngaji sak pranatane

*Nggo ngandelake iman tauhide

*Baguse sangu mulyo matine

(58)

muslim untuk tetap menjalankan kewajiban dan ibadahnya, “Wajibe ngaji

sak pranatane“, yang memiliki makna, untuk mengaji sekaligus dengan

tingkatannya. Di dalam ilmu thareqat, tasawuf, maupun ilmu fiqh, di setiap bagiannya memiliki tingkatan-tingkatan atau derajat dari kitab-kitab yang dikaji. Demikian maksudnya untuk memudahkan supaya pengetahuannya berjalan sesuai syari’at-syari’at yang telah ditentukan. Ditakutkan jika mengaji tidak sesuai dengan tingkatannya, maka pengetahuannya akan menjadi setengah-setengah.

Kalimat “Nggo ngandelake iman tauhide” pada bait ketiga, memiliki makna yang cukup dalam, dengan makna bahasa Indonesia yang artinya “Untuk menebalkan iman tauhidnya”, maksudnya demikian adalah, dengan mengaji yang tentunya diikuti dengan tafsir sesuai dengan maknanya, diamalkan ilmu yang diserapnya terhadap orang-orang disekitarnya, maka garansi yang akan didapat adalah ketebalan iman tauhid yang dijanjikan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an :

"... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat

...." (Al-Mujaadilah: 11)

(59)

telah didapat, sudah seharusnya disebar luaskan. Cara penyebaran pun dituntut untuk dapat mudah dimengerti dan dipahami oleh khayalak luas. Sehingga ilmu yang disampaikan akan mampu dimengerti oleh orang lain maupun murid-murid.

Kemudian, di dalam bait terakhir “Baguse sangu mulyo matine” adalah akhir dari syair paragraf tersebut. Maksudnya, dengan arti bahasa Indonesia, “Bagusnya bekal, mulia wafatnya”, kata “bekal” disini memiliki arti sesuatu yang disiapkan untuk perjalanan. Dalam ilmu tafsir memiliki makna bekal ilmu, aqidah, amal jariyah, do’a anak-anaknya yang sholeh sebagai bekal untuk di akhirat nanti, sehingga amal ibadahnya selama di dunia akan ditimbang dan diterima oleh Allah SWT sesuai dengan apa yang dilakukan. Maka kemudian, seseorang akan wafat dalam keadaan yang mulia. Wallahu ‘alam.

Pada syair ke-enam yang selanjutnya :

*Kang aran sholeh bagus atine

*Kerono mapan sari ngelmune

*Laku thoreqot lan ma’rifate

*Ugo hakekot manjing rasane

(60)

mencapai segala sesuatu yang bernilai mulia, namun pada hakikatnya, sesuatu yang diperjuangakan dengan sungguh-sungguh juga dengan keikhlasan, kepasrahan hati dalam menempuhnya, maka ganjaran yang akan diperoleh akan sesuai dengan apa yang telah dilakukan.

Pada kalimat “Kang aran sholeh bagus atine”, yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, “ Disebut sholeh karena bagus hatinya”, memiliki makna dapat dikatakan shaleh karena memiliki hati yang mulia. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan :

“Jejak-jejak akhlakku akan tetap berada di tengah-tengah umatku

hingga hari kaiamat. Satu-satunya alasan bagi kemuliaan dan

kebanggaan bagi setiap orang adalah akhlak mereka. Dalam pekerjaan

mereka, perolehan, kebiasaan, keadaan merek saat ini, keberhasilan sejati

hanya dicapai melalui akhlak yang baik, terutama jika akhlak itu

disempurnakan dengan keadilan” (Al Hadits)

“Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR. Imam Malik)

(61)

sudah terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun, pada kenyataannya adalah munculnya hadits-hadits palsu atau hadits dhaif, yaitu hadits yang sifatnya lemah atau bahkan tidak pernah dituturkan oleh Rasulullah SAW. Hematnya, masih terdapat banyak sumber-sumber yang tetap menjaga hadits shahih seperti kitab Bulughul Maram, Ihya’ ‘Ulumuddin, Kitab Jami’ul Ushul Fil Auliya’ (Syaikh Ahmad Dhiya’uddin Musthofa Al-Kamisykhonawy), Kitab Al-Fathur Rabbani wal Faidlur Rahmany (Syaikh Abdul Qadir Al-Jeelani) dan lain sebagainya.

Pada kalimat “Laku thoreqot lan ma’rifate” kemudian “Ugo hakekot

manjing rasane”. Di dalam arti bahasa Indonesia, yaitu, “Menempuh

(62)

”Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah

tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. Al-Nur 24 : 40)

Ayat di atas berbicara tentang cahaya Allah, cahaya tersebut hanya diberikan Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah akan mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan

kesesatan hidup.

Dalam Ma’rifat kepada Allah yang didapatkan orang Sufi adalah cahaya. Dengan demikian ajaran Ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

Seperti dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian

siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi

orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Dengan demikian, inti dari paragraf syair ini adalah, penyempuraan sebuah keshalehan adalah melalui proses-proses yang tidak mudah yaitu dengan pencapaian ilmu thariqat dan ma’rifat. Dengan memasukkan seluruh aspek tersebut ke dalam Qalbu (hati) maka sebuah kemuliaan akan didapat.

Untuk paragraf selanjutnya :

*Al-Qur’an qodim wahyu minulyo

(63)

*Iku wejangan Guru waskito

*Den tancepake ing jero dodo

Pada paragraf ini secara garis besar maknanya adalah kesempurnaan dan keagungan dari Al-Qur’an. Yaitu Al-Qur’an Qodim wahyu yang mulia. Suatu sifat yang dikatakan mulia adalah, sesuatu yang kemurniannya tetap terjaga sampai akhir jaman. Tidak ada satupun yang dapat merubah isi dari Al-Qur’an, begitupun kandungan – kandungan yang ada didalamnya.

Pada kalimat “Tanpo ditulis iso di woco”, memiliki arti dalam bahasa Indonesia, “ Tanpa ditulis bisa dibaca ”, memiliki makna istimewa, bahwa Al-Qur’an keberadaannya tidak pernah dituliskan sebelumnnya, namun semua yang ada didalamnya dapat dibaca dan disaksikan kebenarannya. Seperti contoh tentang alam semesta, keajaiban – keajaiban yang sering kita lihat dan rasakan, itu hanya beberapa hal dari kebesaran – NYA. Sesuai dengan Q.S. Al – Baqarah ayat 284 yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah SWT :

(64)

anfusikum aw tukhfuuhu yuhaasibkum bihi allaahu fayaghfiru liman yasyaau wayu’adzdzibu man yasyaau waallaahu ‘alaa kulli syay-in qadiirun

Artinya :

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di

bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu

menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu

tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang

dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-dikehandaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa

atas segala sesuatu.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah SWT dalam hal:

1.Esa dalam kekuasan-Nya.

2.Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini.

Allah SWT Esa dalam memiliki seluruh makhluk, maksudnya ialah hanya Allah SWT. sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun

yang berserikat dengan Dia.

(65)

ini, maka wujudnya itu tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Allah SWT Esa dalam kekuasaan-Nya, maksudnya ialah apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat merubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, maka adalah dia, sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, lenyaplah ia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengazabnya dan keputusan yang adil hanyalah di

tangan-Nya saja.

Yang ada di dalam hati manusia itu ada dua macam:

Pertama: Sesuatu yang ada di dalam hati yang datang dengan sendirinya tergerak tanpa ada yang menggerakkannya, terlintas di dalam hati dengan sendirinya. Gerak yang demikian tidak berdasarkan iradah (kehendak) dan ikhtiar (pilihan) manusia, hanya timbul saja dalam hatinya. Hal yang seperti ini tidak dihukum dan dihisabi Allah SWT., kecuali bila diikuti dengan iradah, niat dan ikhtiar.

(66)

Pada kalimat “Iku wejangan Guru waskito”, dalam arti Indonesia memiliki makna, “itulah nasehat dari guru waskita”, yang dimaksud nasihat disini adalah nasihat secara kritis yang merujuk pada ciptaan – ciptaan atau bukti – bukti kebesaran Allah SWT, semua yang ada di langit dan di bumi, apa yang nampak maupun tidak tak satupun luput dari kebesaran Allah SWT. Guru waskita yang dimaksudkan adalah alam semesta, yang semuanya kembali merujuk pada keagungan Allah dengan segala kuasanya – NYA.

(67)

Selanjutnya bait keempat adalah “Den tancepake ing jero dodo”. Dimaksudkan dengan di tancapkan didalam dada. Dada identik dengan hati, hati merupakan pusat pengendali dari sebuah perasaan, jika hati seseorang tersebut kotor, maka tindakan yang dilakukan pun akan menyimpang. Namun jika hati seseorang itu bersih, maka apa yang diperbuat dan dirasakan akan selalu indah dan bermakna, baik buat dia ataupun sekitarnya.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW pernah menegaskan,

”Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal

daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh tubuh, dan

apabila ia jelek, maka jeleklah seluruh tubuh. Ia adalah hati.”

Hati adalah organ yang paling vital dalam hidup kita. Ia menjadi penentu segala kebaikan dalam kehidupan kita. Maka hati haruslah bersih dan sehat. Bukan hanya harus sehat secara fisik, tetapi yang lebih menentukan dari itu, sehat secara batin. Karena segala amal perbuatan merupakan hasil keputusan dari dewan perancang kebaikan yang berpusat di hati, hatilah yang menetukan apakah kita akan melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Sedang akal hanya memikirkan dan menimbangnya, tidak mengambil keputusan.

(68)

harus diperiksa pertama kali. Kemudian diobati, dibersihkan agar ia tidak terus menerus mengambil keputusan salah.

Paragraf selanjutnya adalah :

*Kumanthil ati lan pikiran

*Mrasuk ing badan kabeh jeroan

*Mu’jizat Rosul dadi pedoman

*Minongko dalan manjinge iman

Paragraf ini merupakan kelanjutan dari paragraf sebelumnya, “Kumanthil ati lan pikiran” dalam bahasa Indonesia adalah merasuk dalam hati dan pikiran, jika sebelumnya keyakinan dipegang teguh dan ditancapkan ke dalam dada, sekarang diimplementasikan ke pemikiran. Selanjutnya “Mrasuk ing badan kabeh jeroan” yaitu merasuk badan hingga ke dalam, semua saling berhubungan sehingga tercipta keyakinan penuh terhadap kebesaran dan kuasa Allah SWT.

(69)

oleh nabi atau rasul atas izin Allah SWT. Mu’jizat ini untuk membuktikan kebenaran atau sebagai senjata untuk menghadapi musuh-musuh yang menentang dan tidak mau menerima ajaran yang dibawanya.

Secara bahasa, kata Mu’jizat adalah ism fa’il yang diambil dari fi’il madhi arti melemahkan yang kata itu berasal dari kata yang berarti lemah lawan dari kata yang berarti mampu. Jadi ungkapan mu’jizat Nabi berarti sesuatu yg melemahkan lawan saat berhadapan.

Secara istilah, para ulama memberikan beberapa definisi tentang mu’jizat di antaranya: Mu’jizat adalah suatu perkara yang luar biasa dan tidak bisa ditandingi yang disertai dengan tantangan dengan maksud membuktikan kebenaran seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang rasul. Ibnu Hamdan mendefinisikan: “Mu’jizat adalah suatu keluarbiasaan baik ucapan atau perbuatan jika diiringi dan tepat dengan pengakuan kerasulan serta sesuai dengannya. Awal mula dalam rangka tantangan. Dan tidak seorang pun yang mampu melakukan menyamai bahkan mendekati sekalipun.”

Sebegitu istimewanya suatu mukjizat, maka hendaknya para muslim lebih mendalami kecintaan mereka kepada penciptanya, dengan mendalami dan mempertebal iman mereka.

(70)

*Kelawan Alloh kang Moho Suci

*Kudu rangkulan rino lan wengi

*Ditirakati diriyadloi

*Dzikir lan suluk jo nganti lali

Pengertian dari paragraf tersebut adalah “Kelawan Alloh kang Moho

Suci”, “Kudu rangkulan rino lan wengi”, “Ditirakati diriyadloi”, “Dzikir

lan suluk jo nganti lali”, “Bersama Allah Yang Maha Suci, Harus pelukan

siang dan malam, Dilakukan dengan tirakat riyadhoh, Dzikir dan suluk janganlah lupa”.

Al-Quddus adalah Dzat Yang Maha Suci. Arti al-Quddus adalah suci. Dengan nama tersebut Baitul Maqdis dinamakan tempat yang didalamnya beberapa dosa disucikan. Surga juga disebut juga disebut dengan Hathirah al-Quds karena surga itu merupakan tempat yang suci dari segala kejelekan dunia. Dan al-Quds juga bisa diartikan syari’ah karena kesucian dapat diambil dari syari’ah serta Allah menamakan malaikat Jibril dengan Ruh al-Quddus karena malaikat Jibril diciptakan dari kesucian yang murni yaitu diciptakan dari cahaya. Disamping itu Jibril merupakan utusan Allah untuk membawa kesucian atau Al-Qur’an dan Hikmah yang dapat mensucikan jiwa para hamba-Nya.

Dengan demikian arti dari Al-Quddus pada nama yang diperkenalkan Allah kepada hamban-Nya adalah Dzat Yang Maha Suci, Yang Maha

Sejahtera, yang memberi berkah yang disucikan dari segala kekurangan,

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi bersabda: “ Shirat akan dibentangkan( pada hari kiamat) dan diletakkan di atas neraka.” Kami berkata: “Ya

permasalahan berupa fenomena gap maka rumusan masalah (problem statement) dalam penelitian ini dapat dirumuskan bahwa masih terjadi inkonsistensi antara kajian

Sistem Informasi Manajemen Sekolah yang telah diimplementasi dan diterapkan sudah membantu proses kerja pengguna sistem dan sesuai dengan tujuan dari sekolah

Penyesuaian diri itu sendiri biasanya banyak dilakukan oleh mereka yang telah memasuki masa dewasa dini yang menurut Hurlock (1999: 246) dianggap sebagai masa

Mungkin aspek yang paling signifikan dan agak diabaikan adalah hubungan antara RTA dengan stabilitas politik, yang isu terakhir ini menjadi salah satu penentu

- Isi Title dengan Judul atau Nama Blog (huruf normal, huruf kapital untuk huruf pertama saja).. - Isi Adress dengan alamat blog (huruf kecil semua) - Klik/Pilih

Begitu juga untuk jumlahan langsung sebanyak tak berhingga dari modul injektif-lemah belum tentu kembali menjadi modul injektif- lemah.Dalam Teorema 3 dinyatakan

Analisa Kelayakan Usaha Peternakan (Cortunix Coturnix Japonica) dan Pengepulan Telur Puyuh di Kecamatan Kras Kabupaten Kediri. Usaha peternakan burung puyuh dan pengepulan