• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Pengertian Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefretis kronis, pielonefretis, hipertensi yang tidakdapat dikontrol, obstuksi traktus urinarius, lesi heriditer, lingkungan dan agenberbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis seperti timah, kadmium,merkuri, dan kromium (Smeltzer, 2002).

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan gangguan fungsi ginjal secara progresif dan irreversible, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga akan menimbulkan gejala uremia (Smeltzer, 2008 dalam Bestari, 2015).

2.1.2 EtiologiPenyakit Ginjal Kronik

Arora (2014 dalam Rangkuti, 2015) menyatakan ada begitu banyak kondisi klinis yang menyebabkan terjadinya penyakit ginjal kronik. Kondisi klinis tersebut adalah:

1. Penyakit ginjal diabetic 2. Hipertensi

4. Penyakit glomelurus (primer atau sekunder) 5. Penyakit ginjal kistik

6. Penyakit tubulointerstitial

7. Obstruksi atau disfungsi saluran kemih 8. Penyakit batu ginjal yang berulang

9. Cacat bawaan lahir pada ginjal atau saluran kemih (kongenital) 10. Penyakit ginjal akut yang belum dipulihkan

Banyak penyakit dan kondisi lainnya yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal, misalnya:

1. Gangguan pembukuh darah ginjal. Berbagai jenis lesi vascular dapat menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan konstruksi skletatik progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.

2. Gangguan autoimun (sistemik lupus eritematosus, glomerulonephritis dan scleroderma)

menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.

4. Infeksi.Infeksi dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal dai kontaminasi tinja pada trakus urinus bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden dari trakus urinarius bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut plenlonefritis.

5. Gangguan tubulus primer. Gangguan ini terjadi nefrotoksis akibar analgedic atau logam berat.

6. Obstruksi trakus urinarius. Ini disebabkan oleh atu ginjal, hipertrofi prostat dan kontruksi uretra.

7. Kelainan kongenital dan herediter, seperti kista. 2.1.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi stadium pada pasien dengan PGK ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.KDIGO (2013 dalam JU Rangkuti, 2015) membagikan penyakit ginjal kronik menjadi beberapa stadium berdasarkan laju filtrasi glomelurus (LFG).

Tabel 2.1 Pembagian Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Laju Filtrasi Glomelurus

Kategori LFG LFG (ml/min/1.73m2) Batasan

G1 90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Penurunan ringan

G3a 45-49 Penurunan ringan sampai sedang

G3b 30-44 Penurunan sedang sampai berat

G4 15-29 Penurunan berat

G5 <15 Gagal ginjal

Sumber: KDIGO (2013)

2.1.4 Manifestasi Klinis Penyakit Ginjal Kronik

Sudoyo (2009) menyatakan manifestasi klinis dari penyakit ginjal kronik antara lain:

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari yaitu diabetes melitus, infeksitraktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupusdan Eritomatosus Sistemik (LES).

2. Sindrom uremia yaitu lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,pruritus, perikarditis, kejangkejang dan koma. 3. Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payahjantung, asidosis metabolic, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

2.1.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi

volume filtrasi yang meningkat disertasi reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/ daya saing.Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai tiga per empat dari nefron-nefron rusak.Beban bahan yang harus dilarutkan menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorbsi berakibat diuresis osmotic disertai poliuri dan haus.Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak banyak, maka oliguria timbul disertai retensi produksi sisa.Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%.Pada tingkat ini fungsi ginjal yang demikian memiliki nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/ menit atau lebih rendah. (Long, 996, 368)

Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya dieksresikan kedalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik seteh dialisis.(Brunner & Suddath, 2001, 1448).

2.1.6 PenatalaksanaanPenyakit Ginjal Kronik

Penatalaksanaan PGK dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: tindakan konservatif dan terapi pengganti ginjal (Suharyanto, 2006).

2.1.6.1 Tindakan konservatif meliputi pembatasan diet protein, kalium, natrium dan cairan

1. Pembatasan protein

memperlambat terjadinya gagal ginjal.Apabila pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60-80 gr/hari (Smeltzer & Bare, 2002).

2. Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obatobatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia (Black & Hawks, 2005).

3. Diet rendah natrium

Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na).Asupan natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis, dkk, 2007).

4. Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama.Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran Berat Badan harian.Intake cairan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan

edema.Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal (Hudak & Gallo, 1996).

2.1.6.2 Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal yang diindikasikan adalah hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal.Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal yang paling banyak digunakan oleh pasien PGK.

2.2 Hemodialisis

2.2.1 PengertianHemodialisis

Hemodialisis adalah tindakan yang dilakukan dengan mengalirkan darah dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua komponen yang terpisah.Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat (Sudoyo, 2006).

Hemodialisis adalah suatu bentuk tindakan untuk menggantikan sebagian besar dari fungsi ginjal pada pasien yang menggalami gangguan ginjal. Hemodialisis merupakan suatu tindakan pembuangan sisa metabolisme ginjal dengan menggunakan alat bantu dialiser. Tujuan daripada tindakan hemodialisis adalah untuk membuang toksik-toksik yang ada di dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan lain-lain (Kandarini, 2013).

2.2.2 Prinsip Hemodialisis

Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah difusi dan ultrafiltrasi. Difusi merupakan proses perpindahan toksin dan zat limbah dari larutan dengan konsentrasi tinggi ke larutan dengan konsentrasi rendah sampai tercapai kondisi seimbang (Sukandra, 2006 dalam Rumentalia Sulistini, 2010). Larutan tersebut adalah cairan dialisat yang tersusun dari semua elektrolit penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal.Kadar elektrolit dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat secara tepat.Sel darah merah dan protein tidak dapat melewati pori-pori kecil dalam membrane semi permiabel (Ida Rosdiana, 2011).

Air yang berlebihan akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis.

2.2.3 Komplikasi Hemodialisis

Sukandar (2006, dalam Sulistini, 2010) menyatakan bahwa komplikasi yang terjadi selama prosedur hemodialisis terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi teknik dan non teknik.Komplikasi teknik dapat dicegah dengan melakukan pengawasan dan monitoring kompartemen darah dan dialisat.Pada komplikasi non teknik sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit

punggung, gatal, demam dan menggigil.

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis (Rosdiana, 2011) adalah:

1. Hipotensi

Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialysis ketika cairan dikeluarkan.

2. Emboli udara

Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang namun dapat saja terjadi jika udara memasuki system vaskuler pasien. 3. Nyeri dada

Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.

4. Pruritus

Pruitus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk akhir metabolism meninggalkan kulit.

5. Gangguan keseimbangan dialysis

Gangguan keseimbangan dialysis terjadi karena perpindahan cairan selebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini mungkin terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

6. Malnutrisi

Malnutrisi terjadi akibat control diet dan kehilagan nutrient selama hemodialisis.

7. Fatigue dan kram

Pasien PGK yang menjalani hemodialisis akan mudah mengalami fatigueakibat hipoksia yang disebabkan oleh edema pulmoner. Edema pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium, sedangkan hipoksia bisa terjadi akibat pneumonitis uremik.Fatigue merupakan komplikasi dengan prevalensi tinggi pada pasien hemodialisis (Kring & Crane, 2009).

2.3 Fatigue

2.3.1 Pengertian Fatigue

Fatigue merupakan perasaan subjektif berupa kelelahan (Jhamb, et al, 2008; Ream & Richardscn, 1996; Potter & Perry, 2007 dalam Sulistini, 2010).Fatigueberhubungan dengan pengalaman tertentu terhadap kelelahan dan kapasitas fisik maupun mental yang tidak dapat dikurangi dengan istirahat (Black & Hawks, 2005 dalam Sulistini, 2010).

Pengukuran fatiguedapat dilakukan dengan berbagai instrument yang banyak dikembangkan, diantaranya Piper Fatigue Scale (PFS) yang menggunakan 22 item pertanyaan dengan mengukur empat dimensi subjektif dari fatigueyaitu dimensi behavioral, afektif, sensory dan kognitif (Piper, 1998 dalam Sulistini, 2010). Skala fatiguedibagi menjadi tidak fatigue (skor 0), ringan (skor 1-3), sedang (skor 4-6), dan berat (skor 7-10).

2.3.2 Etiologi Fatigue

Fatiguebiasanya terjadi pada penyakit yang menyebabkan stress, gangguan tidur, cemas, depresi, kurang melakukan aktivitas (Lubkin & Larsen, 2006).Menurut Carpenito (1995, dalam Sulistini, 2010) fatigue dapat disebabkan oleh patofisiologi penyakit, treatmen dan maturasi. Penyakit yang mempengaruhi terjadinya fatiguediantaranya hipotiroid, chronic renal failure, maglinasi, congestive heart failure, anemia, gangguan nutrisi, penyakit paru, AIDS, Parkinson dan multiple sclerosis.

Fatigueyang dialami pasien dapat dijelaskan dengan berbagai teori diantaranya Middle Range Theory (Liehr, 2005, dalam Sulistini, Krisna, dan Rr Tutik, 2012) dan A Multi Dimensional Fatigue Experience (Lee, et al, 2007) dan Peripheral and Central Fatigue (Chaudhuri dan Behan, 2000 dalam Jhamb et al, 2008).

2.3.2.1 Middle Range Theory

Middle Range Theorymerupakan pengalaman subjektif yang mempengaruhi waktu, kualitas, intensitas dan distress yang dipengaruhi oleh faktor psikologi, fisiologi dan situasional.

2.3.2.2 A Multi Dimensional Fatigue Experience

Hasil studi yang dilakukan Lee (2007) mendapatkan 10 tema hasil wawancara pengalaman fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisis. Dari tema tersebut didaptkan 3 domain yaitu domain pertama physical fatiguedengan tema kebiasaan, symptom uremik, gangguan tidur dan insufisiensi energy fisik.Domain kedua adalah

affective fatiguedengan tema lama pengobatan, depresi dan perasaan kelelahan.Domain ketiga adalah cognitive fatiguedengan 3 tema yaitu kehilangan kognitif, isolasi dan koping (Lee, 2007 dalam Sulistini, 2010).

2.3.2.3 Peripheral and Central Fatigue

Peripheral and Central Fatiguedigambarkan sebagai kegagalan berinisiatif dan berkonsentrasi (mentalfatigue) dan aktivitas fisik (physical fatigue) yang membutuhkan motivasi diri, sedangkan peripheral atau motor fatigue merupakan kelelahan otot dan kemampuan otak untuk mengontrol otot tersebut. (Jhamb, 2008 dalam Sulistini, 2010).

2.3.3 Faktor yang berhubungan dengan Fatigue 2.3.3.1 Faktor Demografi

Faktor demografi diantaranya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan status pekerjaan (Jhamb, 2008 dalam Sulistini, 2010).

2.3.3.2 Faktor Fisiologis

Jhamb, et al (2008, dalam Rumentalia, Krisna, dan Rr Tutik, 2012) menyatakan bahwa fatiguesering dihubungkan dengan kondisi fisiologis pasien, yaitu kondisi malnutrisi, kurangnya karbohidrat, komposisi lemak, energy, dan berat badan.

2.3.3.3 Faktor Social Ekonomi

Faktor social ekonomi pasien yang menjalani hemodisis meliputi kebiasaan merokok, minum alcohol dan latihan fisik (Jhamb, 2009 dalam Sulistini, 2010).

2.3.3.4 Faktor Situasional

Faktor situasional merupakan faktor yang berhubungan dengan hemodialisis dan faktor laboratorium.Faktor yang berhubungan dengan hemodialisis meliputi model, dosis dan penyebab ESRD.Faktor laboratorium terdiri dari hematocrit, albumin, kreatinin, dan phospat (Jhamb, 2009 dalam Sulistini, 2010).

Dokumen terkait