• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Malaria

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG (Halaman 37-43)

C. Angka Kematian Ibu (AKI)

5. Penyakit Malaria

Malaria merupakan masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia karena mengakibatkan dampak yang luas dan berpeluang menjadi penyakit emerging dan re-emerging. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya kasus import, resistensi obat dan beberapa insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor, serta adanya vektor potensial yang dapat menularkan dan menyebarkan malaria. Selain itu, malaria umumnya merupakan penyakit di daerah terpencil, sulit dijangkau dan banyak ditemukan di daerah miskin atau sedang berkembang. Oleh karena itu, malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi sasaran prioritas komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dideklarasikan oleh 189 negara anggota PBB pada tahun 2000.

World Health Assembly (WHA) pada tahun 2005 menargetkan penurunan angka kesakitan dan kematian malaria sebanyak lebih dari 50 persen pada tahun 2010 dan lebih dari 75 persen pada tahun 2015 dari angka tahun 2000. Berbagai upaya penanggulangan telah dilaksanakan dengan menggalang berbagai sumber dana, baik dari pemerintah maupun non pemerintah antara lain World Health Organisation (WHO) dan

Global Fund (GF). Pada pertemuan WHA ke 60 tahun 2007, telah dihasilkan komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Di Indonesia, eliminasi malaria dimulai sejak tahun 2004 dan untuk percepatan penanggulangan malaria dilakukan berbagai intervensi antara lain: kelambu berinsektisida untuk penduduk berisiko, pengobatan yang tepat untuk subjek terinfeksi malaria dengan Artemisinin-based Combination Therapy (ACT), penyemprotan rumah dengan insektisida, dan pengobatan pencegahan pada ibu hamil.

Di Indonesia, ditemukan semua jenis human plasmodia terutama Plasmodium falciparum dan P. vivax. Kasus malaria yang dilaporkan umumnya masih merupakan malaria yang didiagnosis hanya berdasarkan gejala klinis karena keterbatasan akses dan fasilitas pemeriksaan laboratorium. Laporan tahunan menunjukkan kasus

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

terbanyak dilaporkan dari Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. Sejak tahun 2004, eliminasi malaria di Indonesia secara bertahap menggunakan ACT sesuai dengan rekomendasi WHO. Kelebihan derivatif artemisinin ini adalah dapat mencegah penularan. ACT yang digunakan oleh program malaria nasional adalah kombinasi artesunat-amodiakuin dan dihidroartemisinin-piperakuin.

Provinsi Gorontalo, upaya untuk mengendalikan penyebaran dan menurunkan jumlah kasus malaria menjadi setengahnya pada tahun 2015.terus dilakukan, Angka kejadian malaria pada tahun 1990 adalah sebesar 4,68 per 1000 penduduk, yang pada tahun 2015 ditargetkan akan turun menjadi <1 per 1000 penduduk. Pada tahun 2010 jumlah kasus penderita malaria positif adalah sebanyak 1709 kasus dengan angka kesakitan adalah 1,8 per 1000 penduduk (yang berarti telah terjadi penurunan angka kejadian secara nasional sebesar >50%). Kasus tertinggi dilaporkan oleh Kabupaten Gorontalo sebanyak 1579 kasus dan terendah Kabupaten Gorontalo utara dengan 12 kasus. Untuk Kota Gorontalo tahun 2010 tidak terdapat kasus malaria. Pencapaian ini adalah pencapaian secara nasional yang bila dilihat pada pencapaian daerah (Provinsi, Kabupaten maupun Kota Gorontalo) angka kesakitan malaria sebagai berikut :

Gambar : 3.13

Angka Kesakitan Malaria Positif Provinsi Gorontalo Tahun 2009-2010

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

Dari grafik di atas dapat di lihat perbandingan cakupan angka kesakitan penyakit malaria di Provinsi Gorontalo. Data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dari tahun sebelumnya. Menurut data profil kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi Gorontalo tahun 2010 yang melaporkan paling tinggi yaitu Kabupaten Gorontalo jumlah kasus sebanyak 1579 kasus dengan angka kesakitan 4,4 per 1000 penduduk, Kabupaten yang melaporkan terendah/tidak ada kasus yaitu Kota Gorontalo.

Gambar

Persentase Rumah Tangga yang Mengobati Sendiri Bila Sakit dalam Satu Tahun Terakhir menurut Provinsi, Riskesdas 2010

Provinsi Gorontalo tahun 2010 angka kesakitan malaria mencapai 5,4 per 1000 penduduk, angka ini 50% menurun dibandingkan target nasional (menurut Riskesdas 2010) sebesar 10,6 per 1000 penduduk. Data angka penemuan kasus tahun 2010 menurut indicator API mencapai 1,8 per 1000 penduduk, hal ini menurun dari capaian tahun sebelumnya yaitu 11,4 per 1000 penduduk di tahun 2009.

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

Grafik : 3.14

Persentase Penderita Malaria Diobati Provinsi Gorontalo Tahun 2009-2010

Sumber : Profil Kabupaten/Kota Tahun 2009-2010

Grafik di atas menunjukkan persentase penderita malaria diobati tahun 2009 Provinsi mencapai 82% sedangkan di tahun 2010 menurun hingga 31,5%. Hal ini di antaranya karena Kota Gorontalo tahun 2010 tidak melaporkan data penderita malaria posotif dan penderita yang diobati, sedangkan data penderita klinis mencapai 4309 jiwa. Sedangkan penderita klinis malaria tertinggi adalah Kabupaten Gorontalo mencapai 5389 tetapi persentase yang diobati Begitu juga dengan Kabupaten Boalemo dan Pohuwato yang masing – masing hanya 0,5% dan 5% yang diobati. Dari table di atas yang menunjukkan persentase tertinggi adalah Kabupaten Gorontalo Utara yang mencapai pengobatan hingga 100%.

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

Gambar.

Angka Kasus Baru Malaria Tahun 2009/2010 menurut Provinsi, Riskesdas 2010

Gambar : 3.15

Angka Kesakitan Penyakit Malaria, DBD Dan Diare Di Kabupaten / Kota Tahun 2010

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

Grafik di atas menunjukkan kecenderungan angka kesakitan DBD,Diare dan Malaria di tahun 2010. Penyakit DBD paling tinggi dilaporkan oleh Kota Gorontalo yaitu dengan angka kesakitan 112 per 100.000 penduduk, tertinggi berikutnya Kabupaten Bone Bolango dengan 50,1 kemudian Kabupaten Gorontalo 47,1, Kabupaten Gorontalo Utara dengan angka kesakitan 16,8 per 100.000 penduduk dan terendah Kabupaten Pohuwato tdk ada kasus DBD.

Untuk angka kesakitan Diare tertinggi di laporkan oleh Kabupaten Gorontalo Utara sebanyak 45 per 1000 penduduk, kemudian di susul ke dua Kabupaten Gorontalo dengan 37,8, berikutnya Kabupaten Bone Bolango dengan 35,5 terendah Kabupaten Boalemo sebanyak 14,9 per 1000 penduduk. Sementara penyakit malaria tertinggi di laporkan Kabupaten Gorontalo sebanyak 4,4 per 1000 penduduk. Data ini masih lebih terkendali di bandingkan dari target nasional sebanyak 10,6 per 1000 penduduk (Riskesdas 2010). 6. Penyakit Campak

Jumlah kasus campak di provinsi Gorontalo Tahun 2010 mencapai 219 kasus angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 149 kasus, jumlah kasus campak pada tahun 2010 terbanyak dilaporkan dari Kabupaten Gorontalo sebanyak 141 kasus disusul Kota Gorontalo sebanyak 60 kasus. Kemudian Kabupaten Pohuwato dan Bone Bolango masing - masing sebanyak 9 kasus. Sedangkan Kabupaten Boalemo dan Gorontalo Utara tidak dilaporkan adanya kasus campak. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ;

Gambar : 3.16

Jumlah Kasus Campak di Provinsi Gorontalo Tahun 2008 - 2010

Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2010

Gambar di atas menunjukkan tren jumlah kasus campak mengalami fluktuasi dari tahun 2008 sebanyak 381, menurun ditahun 2009 menjadi 149 kasus dan di tahun 2010 kembali meningkat sebanyak 219 kasus. Tertinggi di tahun 2008 Kota Gorontalo sebanyak 191 kasus dan terendah di tahun 2010 Kabupaten Boalemo dan Gorontalo utara tidak ada kasus.

3.3 Status Gizi Masyarakat

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Indikator status gizi masyarakat antara lain tergambar pada jumlah kunjungan neonatus (KN-2), jumlah bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), Balita dengan Gizi buruk, jumlah kunjungan bayi ke sarana pelayanan kesehatan dan indikator Kecamatan bebas rawan gizi.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG (Halaman 37-43)

Dokumen terkait