• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara.PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru.Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya. Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolus.Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

16 5.2 Diagnosa

Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.a. Anamnesis Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya:

1. Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.

2. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak dan bermakna.

3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan dengan asap rokok dan polusi udara.

4. Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan aktivitas berat (terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner untuk mengakses keparahan sesak napas.

5.3 Pemeriksaan

17 5.3.1 Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

a) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu) Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafaskronis.

b) Penggunaan alat bantu napas Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran selaiga

c) Barrel chest Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan transversal pada rongga dada akibatusaha memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.

d) Pink puffer Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lipsbreating.

e) Blue bloater Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basalparu

2. Palpasi

Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar.

Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan 3. Perkusi

18

Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.

4. Auskultasi

Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh

5.3.2 Pemeriksaanpenunjang

a. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator(post-bronchodilator)

Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity(FVC).

Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1).Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1.Bila perubahan nilai FEV1 < 20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.Uji

19

ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (diluar eksaserbasi akut).Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberiam bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.

Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

1. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilaiprediksi 2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1

diantara 50-80% dari nilaiprediksi

3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilaiprediksi

4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik

b. Foto torak PA danlateral

Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen

c. Analisia gas darah(AGD)

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan

20

dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40%

dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure.Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asambasa.

d. Pemeriksaansputum

Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat.Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

e. Pemeriksaan darahrutin

Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti

21

leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.

f. Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG)

Digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1antitryipsin.

g. Pemeriksaan penunjang lainnya 5.4 Intervensi

1. Breathingexercse

a. Diaphragmatic Breathing Exercise(DBE) /Latihan Pernapasan Diafragma:

Latihan pernapasan diafragma meningkatkan kekuatan diafragma sebagai otot inspirasi utama. Ini meningkatkan ventilasi saluran udara kecil dan dasar paru- paru. Selain itu, sering digunakandalam kombinasi dengan pernapasan mengerutkan bibir saat ekspirasi (PLBT) dan relaksasiteknik.

b. Pursed lips breathing (PLB) / Bernapas Mengerutkan Bibir (BMB) dikombinasi dengan low brething control tecnigoe(LBCT) /deep breathing technigues (DBT) Berlatih bernapas dengan bibir mengerucut selama

ekspirasi untuk mengatasi spasme saluran udara, karena dengan mempertahankan tekanan positif di saluran udara selama ekspirasi menstimulasi rileksasi bronkus. Selain itu ekspirasi dengan bibir mengerucut waktu panjang akhirnya menyebabkan penurunan jebakan udara dan volume residu sehingga, menstimulasi alveolar di dasar paru-

22 paru komplin lebihluas.

c. Breathing Control Techniques (BCT)/ Teknik Kontrol Pernapasan (TKP):

istilah lain deep breathing technigue( low breathing technigue). Teknik Kontrol Pernapasan mendorong pernapasan dalam dan untuk mengontrol sesak nafas (Napas dangkal/cepat). Mengontrol napas/ nafas perlahan saat bekerja sangat baik seperti ketika berjalan atau naik tangga, misalnya satu langkah menarik napas dalam dan dua langkah untuk menghembuskan napas, atau satu langkan tarik nafas dan satu langkah berikutnya untuk meng eluarkan nafas, atau irama sesuai pola nafas oleh individu tertentu.

Selain itu, kontrol pernapasan dapat dilakukan melalui latihan pernapasan diafragma dan mengerutkan bibir, yang mendorong pernapasan dalam dan mengontrol sesak nafas tersebut dengan menurunkan jumlah frekuensi nafasnya. Dalam low breathing atau mengurangi frekuensi nafas dapat dilakukan berdasarkan prosentasi dari respiratori rate hasil pemeriksaan.

Misalnya RR pemeriksaan 30/min dengan dosis 80%, 60%,40 % 20%

contoh 80% RR 30 x80 /100=RR latihan 24/min,60%= 30x60/100= RR latihan18,40%=30x40/100=RRlatihan12/min,20%=30x20/100=RRlatihan 6 kali /min. Dan dalam dosis selalu ingat : frekuensi latihan. Intensitas latihan, waktu latihan. Tipe latihan, Repetisi ( pengulangan/menit), set (berapa pengulangan per set (satu kali latihan) dan latihan dilakukan berapa sesi (intermeten training).

d. Biofeedback and respiratory muscle training/Biofeedback dan pelatihan otot pernafasan: Biofeedback mengajarkan pengendalian diri terhadap fungsi fisiologis dan pelatihan ototpengendali ventilasi membangun

23

kekuatan dan daya tahan pada ototpernapasannya.

2. MobilisasiSkret

a. Incentive spirometry: Tujuan intervensi ini adalah untuk mendorong pasien untuk mengambil pernapasan panjang/dalam yang mengarah kepengurangan sesaknapas.

b. Peak expiratory flow meter/Puncak arus ekspirasi : yang mendorong pasienuntuk melakukan ekspirasi penuh di setiap latihan dengan keberhasilan diakhirlatihan.

c. Oksimetri biofeedback digabung dengan latihan bernafas bibir mengerucut : pasien dapatmenggunakan oksimetri pulsa sebagai panduan biofeedback untuk mengajar mereka, meningkatkan oksigen saturasi selama kinerja pernapasan mengerutkan bibir yang mengurangi sesak nafas dan meningkatkan pertukaran gas, yang mengakibatkan peningkatan saturasioksigen.

d. Coughing (Batuk): Pasien dilatih batuk dan didorong untuk batuk efektif agar mukus/ sekresi termobilisasi. Sebagai alternatif, dilakukan "huffing"

terdiri dari inspirasi lambat dan mengeluarkan nafas spontan/ cepat untuk meningatkan total kapasitas paru, diikuti oleh huffing dengan glotis terbuka agar lebih efektif. Huffings dapat membuka saluran udara kecil, bronkospasme danmenurunkan kelelahan.

e. Chest physiotherapy/Fisioterapi dada: Postural drainase, perkusi/

getarandinding dada efektif secara klinis untuk mobilisasimukus.

24 3. Latihan peningkatan kemampuanaktifitas

Pada kelemahan otot rangka dan otot torak pada umumnya dialami pasien PPOK untuk meningkatkan kekuatan kelompok otot tersebut dilakukan pelatihan kelompok otot tertentu memungkinkan pasien untuk lebih nyaman dan percaya diri, sehingga mampu melakukan ADL mandiri. Oleh karena itu, latihan kekuatan dimungkinkan digabungkan dengan pelatihan daya tahan dengan intensitas: 60-80% dan frekuensi 3-5/minggu

4. Pedoman dosis latihan untuk pasien denganCOPD a) LatihanFleksibilitas

Peregangan kelompok otot utama dari kedua ekstremitas atas dan, termasuk otot trapezius. Fleksibilitas / peregangan dianggap sebagai bagian dari pemanasan sebelum latihan aerobik dan sebagai bagian dari pendinginan setelah latihan aerobik b) Latihanaerobik:

• Motode: Harus menggabungkan kelompok otot besar yang dapat terus menerus dan aktivitas berirama. Jenis latihan meliputi: senam, berjalan, bersepeda, mendayung,berenangdll

• Frekuensi: Direkomendasikan minimal latihan adalah tiga sampai lima kali perminggu.

• Intensitas: intensitas Minimal 50% dari puncak VO2 maks/60 % HR maks- 85 %. Pendekatan lain adalah di bawah batas maksimum ditoleransi oleh gejala.

• Durasi : direkomendasikan minimal 20 sampai 45 menit, latihan

25 intermiten/terusmenerus.

• Tipe latihanaerobik

• Repetisi 20-30grakan/menit

• satu set minimal 2 x 8gerakan

• sesi disesuaikan denganwaktu.

BAB VI

Dokumen terkait