MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
MODUL FISIOTERAPI
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
PROFESI FISIOTERAPIS PROGRAM PROFESI
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
VISI DAN MISI FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI VISI
Menghasilkan lulusan yang unggul dalam bidang keperawatan gawat darurat traumatik dan manual terapi yang mampu bersaing secara nasional dan regional Asia pada tahun 2022.
MISI
1. Menyelenggarakan proses belajar mengajar yang kondusif dengan berbagai fasilitas belajar, metode, dan sistem pembelajaran kelas dan praktik (laboratorium, RS, dan pelayanan kesehatan lainnya) sehingga menghasilkan karakter yang unggul, kompeten dan excellent service.
2. Mengoptimalkan dan mengimplementasikan program riset keperawatan dan fisioterapi di tingkat lokal maupun nasional dengan menggunakan pendekatan riset kolaboratif dalam bidang ilmu keperawatan dan fisioterapi.
3. Mengimplementasikan program pengabdian kepada masyarakat berbasis riset untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan di tingkat nasional bahkan kawasan regional Asia dengan menekankan upaya pendekatan preventive health science.
4. Menjalin kerjasama yang baik dengan stakeholder mulai dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sebagai pengguna lulusan.
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
VISI DAN MISI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI
FISIOTERAPIS PROGRAM PROFESI VISI
Menjadi program studi yang unggul dan excellent service dalam bidang fisioterapi khususnya manual terapi di tingkat nasional dan regional Asia pada tahun 2022.
MISI
1. Menyelenggarakan proses belajar mengajar yang kondusif dengan berbagai fasilitas belajar, tools, metode, dan sistem pembelajaran kelas dan praktik di laboratorium dan lapangan
2. Mengoptimalkan dan mengimplementasikan program riset dibidang fisioterapi yang difokuskan pada masalah manual terapi dengan menggunakan pendekatan riset dalam bidang fisioterapi.
3. Mengimplementasikan program pengabdian kepada masyarakat berbasis riset untuk menyelesaikan berbagai permasalahan fisioterapi.
4. Mengembangkan kerjasama dengan institusi pendidikan, pelayanan, organisasi, dan stakeholderbaik dalam maupun luar negeri.
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan modul praktek stase Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fisioterapi ini.Modul ini di susun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam pendidikan profesi Fisioterapi Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam.
Penyelesaian penulisan modul ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh rekan rekan yang ikut serta dalam penyusunan modul ini.
Penyusun menyadari bahwa apa yang tertuang dalam modul ini masih banyak memiliki kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dan semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Lubuk Pakam, 2019
Penyusun
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
ii DAFTAR ISI
Halaman VISI MISI FAKULTAS ...
VISI MISI PROGRAM STUDI ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN ...
1.1 Latar Belakang ...
1.2 Tujuan Penelitian ...
BAB II LOW BACK PAIN (HERNIA NUCLEUSPULPOSUS) ...
2.1 Deskripsi ...
2.2 Diagnosa ...
2.3 Pemeriksaan ...
2.4 Intervensi ...
BAB III CARPAL TUNNEL SYNDROM (CTS) ...
3.1 Deskripsi ...
3.2 Gejala Carpal Tunnel Syndrom ...
3.3 Diagnosa ...
3.4 Pemeriksaan ...
3.5 Intervensi ...
BAB IV VARICOSE VEIN ...
4.1 Deskripsi ...
4.2 Diagnosa ...
4.3 Pemeriksaan ...
4.4 Inervensi ...
BAB V PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) ...
5.1 Deskripsi ...
5.2 Diagnosa ...
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
iii
5.3 Pemeriksaan ...
5.4 Inervemsi ...
BAB VI TENNIS ELBOW ...
6.1 Deskripsi ...
6.2 Pemeriksaan ...
6.3 Inervensi ...
BAB VII SKOLIOSIS ...
7.1 Deskripsi ...
7.2 Etiologi ...
7.3 Gejala Klinis...
7.4 Pemeriksaan ...
7.5 Intervensi ...
BAB VIII PLANTAR FASCITIS ...
8.1 Deskripsi ...
8.2 Etiologi ...
8.3 Tanda dan Gejala...
8.4 Pemeriksaan ...
8.5 Intervensi ...
DAFTAR PUSTAKA ...
MODUL FISIOTERAPI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
iv
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Fisioterapis merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang saat ini semakin pesat keberadaannya, baik dari sisi jumlah dan penggunaan teknologi alat kedokteran yang beraneka ragam serta bidang pelayanan.Fisioterapi sebagai salah satu unit bidang pelayanan kesehatan yang memiliki fungsi serta peranan penting terhadap perkembangan rehabilitasi pasien. Bentuk pelayanan fisioterapis menurut Kepmenkes (2013) adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi. Banyaknya bentuk pelayanan yang dilakukan oleh fisioterapis maka faktor resiko kerja yang dihadapi oleh pelaksana fisioterapis jugabanyak.
Faktor resiko yang terjadi seperti yang dijelaskan oleh Khoiriah (2013) pada pendahuluan diatas, fisioterapi akan beresiko di faktor biologis, ergonomi, fisik dan psikosial saja, untuk faktor resiko kimia sangat kecil kemungkinannya, karena bidang kerja fisioterapi tidak menyentuh di ranah tersebut.
1.2 Tujuan
1. Memahami kasus-kasus fisioterapi kesehatan dan keselamatan kerja
2. Memahami dan mampu menganalisa kasus-kasus fisioterapi kesehatan dan
2 keselamatan kerja
3. Memahami dan mampu melakukan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus kesehatan dan keselamatan kerja
3 BAB II
LOW BACK PAIN (HERNIA NUCLEUSPULPOSUS)
2.1
DeskripsiLow back pain (LBP) merupakan permasalah yang sering muncul dalam suatu asuhan keperawatan dengan gejala umum yang terasa pada bagian lumbo sacral, otot gluteal, paha dan sering kali pada ekstremitas bawah.Ketika karakteristik gejala low back pain muncul maka diperlukan pengangkatan suatudiagnosa dan bagaimana penanganannya yang tepat.Hampir dari 90 % penduduk pernah mengalami LBP dalam siklus kehidupannya. Low back pain dikatagorikan sebagai akut (kurang dari 12 minggu), sub akut (6 12 minggu) dan kronik (lebih dari 12 minggu). Umumnya LBP berhubungan dengan peregangan ligament dan otot yang diakibatkan dari mekanik tubuh yang salah saat mengangkat sesuatu.Faktor resiko untuk mengalami LBP adalah berat badan berlebih, memiliki postur dan memiliki kekuatan otot perut yang buruk.Sindroma klinis ini meskipun jarang berakibat fatal namun merupakan penyebab utama penurunan produktivitas kerja seseorang dan peningkatan biaya pengobatan.
2.2
DiagnosaUntuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:
1. Tentukan Diagnosis klinisnya Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih
4
dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit dari anamnesis, pemeriksaan fisik sampai penunjang. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup: Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara khronologis Lamanya melakukan masing masing pekerjaan Bahan yang diproduksi Materi (bahan baku) yang digunakan Jumlah pajanannya Pemakaian alat perlindungan diri (masker) Pola waktu terjadinya gejala Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa) Informasi tertulis yang ada mengenai bahan bahan yang digunakan (MSDS, label, dan sebagainya).
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut Apakah terdapat bukti bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita
5 (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit.
Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu
6
pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya penyakit. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data epidemiologis.
2.3
Pemeriksaan2.3.1
Pemeriksaan fisika. Inspeksi : Posisi lumbalescoliosis
b. Tes cepat : Gerak fleksi lumbale nyeri dan paresthesia padatungkai-kaki c. Tes gerak aktif :
1. Gerak fleksi lumbale nyeri dan paresthesia hingga tungkaibelakang- kaki
2. Gerak lain kadangpositif d. Tes gerak pasif:
1. Nyeri dan terbatas dengan springy end feel pada gerak fleksilumbale.
2. Gerak ekstensi lumbale terasanyaman 3. Gerak lain kadangnyeri
7
e. Tes gerak isometric :Kadang ekstensi ibu jari kakilemah.
f. Tes khusus:
1. Palpasi teraba otot para vertebralespasm 2. Lasegue sign positif, bragard testpositif
3. Compression test posisi fleksi nyeri dan paresthesia hinggakaki 4. Traction test posisi ekstensi keluhanberkurang
5. Tes sensasi dijumpai hypoaesthesia/paresthesia area dermatometertentu 2.3.2 Pemeriksaan penunjang
a. X-ray diumpai flatback
b. MRI dijumpai disc bulging hinggaprotrusi 2.4 Intervensi
1. Stretching
2. Ultrasound and shock wafetherapies
3. Transcutaneus elextrical Nerve Stimulation(TENS) 4. Stabilization exercise/ Corestability
5. Lumbartraction 6. Hot and coldtherapy
7. Spinal manipulativetherapy
8 BAB III
CARPAL TUNNEL SYNDROME (CTS)
3.1 Deskripsi
Carpal tunnel syndrome atau CTS (sindrom terowongan/lorong karpal)
merupakan kondisi yang memengaruhi tangan dan jari.Kondisi ini dapat membuat pengidapnya mengalami sensasi rasa kesemutan, mati rasa, atau nyeri. Gejala yang muncul ini biasanya berkembang secara perlahan-lahan dan pada malam hari akan bertambah parah. Bagian yang paling sering terpengaruh adalah jempol, jari tengah, dan telunjuk.
Carpal tunnel adalah jalur pada pergelangan tangan yang terdapat terdapat saraf median dan sembilan tendon yang berguna dalam pergerakan jari-jari tangan. Saat terjadi pembengkakan bagian saraf, tendon, atau bahkan keduanya, saraf median akan tertekan, maka terjadilah Carpal tunnel syndrome atau CTS (sindrom terowongan/lorong karpal). Jika saraf median ini terjepit atau terhimpit, akan menimbulkan sensasi kesemutan, mati rasa, dan terkadang muncul rasa sakit pada bagian-bagian yang terpengaruh oleh saraf ini.
CTS dapat terjadi karena saraf median tertekan atau terhimpit, tetapi penyebab tertekannya saraf ini belum diketahui secara pasti. Namun, ada risiko seseorang dapat mengidap CTS, yaitu:
• Faktor keturunan keluarga yang mengidap CTS.
• Cedera pada pergelangan tangan.
• Kehamilan, hampir setengah dari wanita hamil mengalami CTS.
9
• Pekerjaan berat dan berulang-ulang dengan memakai tangan, seperti mengetik tanpa henti.
• Kondisi medis lain, misalnya rheumatoid arthritis dan diabetes 3.2 Gejala Carpal Tunnel Syndrome
Selain sensasi rasa kesemutan, mati rasa atau kebas dan rasa sakit pada beberapa bagian tangan, gejala lain CTS (Carpal Tunnel Syndrome) adalah ibu jari melemah dan muncul rasa sakit pada tangan atau lengan.Gejala yang muncul bisa terjadi pada salah satu atau kedua tangan sekaligus.Namun, pada kebanyakan kasus, CTS akhirnya memengaruhi kedua tangan. Gejala lain yang mungkin muncul akibat CTS:
• Muncul rasa sakit pada lengan.
• Menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan.
• Pembengkakan, kulit kering, atau perubahan warna pada kulit tangan.
• Kemampuan jari atau tangan yang terpengaruh oleh CTS akan berkurang, seperti mengancingkan baju, mengetik, atau mengangkat sesuatu dengan jari.
• Tangan atau jari yang terpengaruh CTS akan terasa sulit untuk digerakkan, misalnya mengetik, mengancingkan baju, atau mengangkat sesuatu dengan jari.
Berikut ini beberapa hal yang bisa memperparah CTS:
1. Menggunakan tangan yang terpengaruh untuk beraktivitas.
2. Melakukan gerakan tangan atau pergelangan secara berulang-ulang.
3. Tidak menggerakkan tangan atau lengan untuk waktu yang lama.
10 3.3 Diagnosa
Diagnosis CTS bisa dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada tangan dan pergelangan, serta mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan gejala yang dialami. Dokter pada umumnya akan melakukan penekanan lembut pada daerah saraf medianus di pergelangan tangan. Selain itu, dokter mungkin akan meminta untuk mengangkat pergelangan tangan sampai di atas kepala, dengan posisi pergelangan tangan tertekuk ke dalam (fleksi). Pengidap CTS biasanya akan merasa mati rasa, kesemutan, atau nyeri pada saat dokter melakukan pemeriksaan ini.
Namun, untuk mendiagnosis CTS, dokter akan menyarankan beberapa pemeriksaan lain, sepeti:
• Tes darah.
• Elektromiografi atau studi konduksi saraf
• Pencitraan dengan ultrasonografi
3.4 Pemeriksaan
3.4.1 Pemeriksaan fisik a. Inspeksi
1) Tangan tamapk sedikitcekung
2) Kadang tapak oedeme pungungtangan
b. Tes cepat : Nyeri dan terbatas pada gerak palmar fleksi pergelangantangan c. Tes gerak aktif :
1) Nyeri dan terbatas pada gerak palmar flexion pergelangantangan 2) Gerak palmar fleksi penuh dan ditahan timbul paraesthesia jari1-2-3
11 d. Tes gerak pasif:
1) Nyeri dan terbatas dengan hard end feel pada gerak palmarflexion pergelangantangan
2) Gerak dorsal fleksi disertai ekstensi jari tangan terbatas dengan springy endfeel
e. Tes gerak isometric : Kadang ekstensi ibu jari kakilemah f. Tes khusus:
1) Phalen test positif dengan paresthesia jari 1-2-3palmar.
2) Stretched test lig. Carpi transversum terbatas dengan firm endfeel 3) Stretched test flexor digitorum communis dan n.medianus nyeri dan
timbulparesthesia
4) JPM test intercarpal joint nyeri, terbatas dengan firm endfeel 5) Tes mobilisasi tulang lunatum kadang adasubluxatio
3.4.2 Pemeriksaan penunjang X ray: penyempitan sela sendi 3.5 Intervensi
1. Carpal bone and nervemobilization 2. Ultrasound
3. Electromagnetic field therapy 4. Splinting
5. Massage
12 BAB IV VARICOSE VEIN
4.1 Deskripsi
Varises ( vena varikosa ) adalah pelebaran dari vena superfisial yang menonjol dan berliku-liku pada ekstremitas bawah, sering pada distribusi anatomis dari vena safena magna dan parva.meskipun demikian, hanya beberapa orang saja yang berobat. Penyakit ini menimbulkan rasa sakit yang bermacam-macam dan tidak semua perawatan dapat diterapkan pada varises.Rata-rata pasien bermasalah dengan kecantikan (kosmetik) mereka, sementara yang lainnya bermasalah dengan gejala-gejala seperti, kaki yang sakit, pruritus, dan eksema.
4.2 Diagnosa
Dalam menghadapi penderita dengan varises tungkai, sebelum melakukan pemeriksaan khusus, pemeriksaan klinis tetap merupakan dasar penelitian medis, meskipun saat ini teknologi dalam menentukan diagnosis kelainan-kelainan vena sudah berkembang pesat, Evaluasi penderita varises tungkai dimulai dengan riwayat penyakitnya. Anamnesa yang terarah harus dinyatakan hal-hal sebagai beriku:
1. Riwayat insufisiensi vena (kapan onset terlihatnya pembuluh darah abnormal, onset dari gejala yang muncul, penyakit vena sebelumnya, adanya riwayat menderita varises sebelumnya)
2. Faktor predisposisi (keturunan, trauma pada tungkai, pekerjaan yang membutuhkan posisis tubuh berdiri yang terlalu lama, supporter olah raga)
13
3. Riwayat edema (onset, predisposisi, lokasi edema, intensitas, jenis edema, perubahan setelah beristirahat pada malam hari)
4. Riwayat pengobatan penyakit vena sebelumnya (obat, injeksi, pembedahan, kompresi)
5. Riwayat menderita tromboplebitis vena superficial atau vena profunda
6. Riwayat menderi penyakit vaskuler lainnya (penyakit arteri perifer, penyakit arteri coronaria, lymphadema, lymphangitis)
7. Riwayat keluarga
4.3 Pemeriksaan
4.3.1 Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan tanda vital(denyut nadi, frekuensi nafas, suhu, dan tekanandarah) 2) Pemeriksaan gerakan dasar (aktif, pasif, isometrik)
3) Inspeksi : apakah ada perubahan pada raut wajah, bentuk dada atau sangkar thoraks, melihat adanyaoedema.
4) Palpasi : menyentuh dan meraba, apakah ada piting oedema, suhu tubuh, nyeri tekan pada daerah dada atauthoraks.
4.3.2 Pemeriksaan penunjang
• Penilaian klinis dengan tes tourniquetTredelenburg.
• Velositometer Doppler: menilai sambungansafeno-femoral.
• Scan dupleks: cari lokasi yang sering kambuh (khususnya vena varikosa yang berulang).
4.4. Intervensi
14 1) Graduated Compression Stocking >MCS
kompresi rendah yakni tekanan kurang dari 20 mm Hg atau kelas 1;
kompresi sedang yakni tekanan 20-30 mm Hg atau kelas 2; dan kompresi tinggi yakni tekanan lebih dari 30 mm Hg, atau kelas 3. Tekanan keseluruhan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti elastisitas dan kekakuan bahan kaus kaki, ukuran dan bentuk kaki pemakai, dan pergerakan dan aktivitas pemakai.Selama kegiatan dalam sehari.Pemakaian saat istirahat/tidak berkegiatan tidak dianjurkan.
BAB V
15
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS(PPOK) 5.1 Deskripsi
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara.PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru.Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya. Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan dinding alveolus.Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
16 5.2 Diagnosa
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.a. Anamnesis Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya:
1. Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang, dapat dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
2. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok, riwayat paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak dan bermakna.
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang, lingkungan dengan asap rokok dan polusi udara.
4. Sesak napas yang semakin lama semakin memberat terutama saat melakukan aktivitas berat (terengah-engah), sesak berlangsung lama, hingga sesak yang tidak pernah hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner untuk mengakses keparahan sesak napas.
5.3 Pemeriksaan
17 5.3.1 Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
a) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu) Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafaskronis.
b) Penggunaan alat bantu napas Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran selaiga
c) Barrel chest Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior dan transversal pada rongga dada akibatusaha memperbesar volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.
d) Pink puffer Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lipsbreating.
e) Blue bloater Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basalparu
2. Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar.
Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan 3. Perkusi
18
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.
4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh
5.3.2 Pemeriksaanpenunjang
a. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator(post-bronchodilator)
Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity(FVC).
Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1).Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1.Bila perubahan nilai FEV1 < 20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.Uji
19
ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (diluar eksaserbasi akut).Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberiam bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:
1. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilaiprediksi 2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1
diantara 50-80% dari nilaiprediksi
3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilaiprediksi
4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik
b. Foto torak PA danlateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen
c. Analisia gas darah(AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan
20
dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40%
dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure.Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asambasa.
d. Pemeriksaansputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat.Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
e. Pemeriksaan darahrutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti
21
leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.
f. Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG)
Digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1antitryipsin.
g. Pemeriksaan penunjang lainnya 5.4 Intervensi
1. Breathingexercse
a. Diaphragmatic Breathing Exercise(DBE) /Latihan Pernapasan Diafragma:
Latihan pernapasan diafragma meningkatkan kekuatan diafragma sebagai otot inspirasi utama. Ini meningkatkan ventilasi saluran udara kecil dan dasar paru- paru. Selain itu, sering digunakandalam kombinasi dengan pernapasan mengerutkan bibir saat ekspirasi (PLBT) dan relaksasiteknik.
b. Pursed lips breathing (PLB) / Bernapas Mengerutkan Bibir (BMB) dikombinasi dengan low brething control tecnigoe(LBCT) /deep breathing technigues (DBT) Berlatih bernapas dengan bibir mengerucut selama
ekspirasi untuk mengatasi spasme saluran udara, karena dengan mempertahankan tekanan positif di saluran udara selama ekspirasi menstimulasi rileksasi bronkus. Selain itu ekspirasi dengan bibir mengerucut waktu panjang akhirnya menyebabkan penurunan jebakan udara dan volume residu sehingga, menstimulasi alveolar di dasar paru-
22 paru komplin lebihluas.
c. Breathing Control Techniques (BCT)/ Teknik Kontrol Pernapasan (TKP):
istilah lain deep breathing technigue( low breathing technigue). Teknik Kontrol Pernapasan mendorong pernapasan dalam dan untuk mengontrol sesak nafas (Napas dangkal/cepat). Mengontrol napas/ nafas perlahan saat bekerja sangat baik seperti ketika berjalan atau naik tangga, misalnya satu langkah menarik napas dalam dan dua langkah untuk menghembuskan napas, atau satu langkan tarik nafas dan satu langkah berikutnya untuk meng eluarkan nafas, atau irama sesuai pola nafas oleh individu tertentu.
Selain itu, kontrol pernapasan dapat dilakukan melalui latihan pernapasan diafragma dan mengerutkan bibir, yang mendorong pernapasan dalam dan mengontrol sesak nafas tersebut dengan menurunkan jumlah frekuensi nafasnya. Dalam low breathing atau mengurangi frekuensi nafas dapat dilakukan berdasarkan prosentasi dari respiratori rate hasil pemeriksaan.
Misalnya RR pemeriksaan 30/min dengan dosis 80%, 60%,40 % 20%
contoh 80% RR 30 x80 /100=RR latihan 24/min,60%= 30x60/100= RR latihan18,40%=30x40/100=RRlatihan12/min,20%=30x20/100=RRlatihan 6 kali /min. Dan dalam dosis selalu ingat : frekuensi latihan. Intensitas latihan, waktu latihan. Tipe latihan, Repetisi ( pengulangan/menit), set (berapa pengulangan per set (satu kali latihan) dan latihan dilakukan berapa sesi (intermeten training).
d. Biofeedback and respiratory muscle training/Biofeedback dan pelatihan otot pernafasan: Biofeedback mengajarkan pengendalian diri terhadap fungsi fisiologis dan pelatihan ototpengendali ventilasi membangun
23
kekuatan dan daya tahan pada ototpernapasannya.
2. MobilisasiSkret
a. Incentive spirometry: Tujuan intervensi ini adalah untuk mendorong pasien untuk mengambil pernapasan panjang/dalam yang mengarah kepengurangan sesaknapas.
b. Peak expiratory flow meter/Puncak arus ekspirasi : yang mendorong pasienuntuk melakukan ekspirasi penuh di setiap latihan dengan keberhasilan diakhirlatihan.
c. Oksimetri biofeedback digabung dengan latihan bernafas bibir mengerucut : pasien dapatmenggunakan oksimetri pulsa sebagai panduan biofeedback untuk mengajar mereka, meningkatkan oksigen saturasi selama kinerja pernapasan mengerutkan bibir yang mengurangi sesak nafas dan meningkatkan pertukaran gas, yang mengakibatkan peningkatan saturasioksigen.
d. Coughing (Batuk): Pasien dilatih batuk dan didorong untuk batuk efektif agar mukus/ sekresi termobilisasi. Sebagai alternatif, dilakukan "huffing"
terdiri dari inspirasi lambat dan mengeluarkan nafas spontan/ cepat untuk meningatkan total kapasitas paru, diikuti oleh huffing dengan glotis terbuka agar lebih efektif. Huffings dapat membuka saluran udara kecil, bronkospasme danmenurunkan kelelahan.
e. Chest physiotherapy/Fisioterapi dada: Postural drainase, perkusi/
getarandinding dada efektif secara klinis untuk mobilisasimukus.
24 3. Latihan peningkatan kemampuanaktifitas
Pada kelemahan otot rangka dan otot torak pada umumnya dialami pasien PPOK untuk meningkatkan kekuatan kelompok otot tersebut dilakukan pelatihan kelompok otot tertentu memungkinkan pasien untuk lebih nyaman dan percaya diri, sehingga mampu melakukan ADL mandiri. Oleh karena itu, latihan kekuatan dimungkinkan digabungkan dengan pelatihan daya tahan dengan intensitas: 60- 80% dan frekuensi 3-5/minggu
4. Pedoman dosis latihan untuk pasien denganCOPD a) LatihanFleksibilitas
Peregangan kelompok otot utama dari kedua ekstremitas atas dan, termasuk otot trapezius. Fleksibilitas / peregangan dianggap sebagai bagian dari pemanasan sebelum latihan aerobik dan sebagai bagian dari pendinginan setelah latihan aerobik b) Latihanaerobik:
• Motode: Harus menggabungkan kelompok otot besar yang dapat terus menerus dan aktivitas berirama. Jenis latihan meliputi: senam, berjalan, bersepeda, mendayung,berenangdll
• Frekuensi: Direkomendasikan minimal latihan adalah tiga sampai lima kali perminggu.
• Intensitas: intensitas Minimal 50% dari puncak VO2 maks/60 % HR maks- 85 %. Pendekatan lain adalah di bawah batas maksimum ditoleransi oleh gejala.
• Durasi : direkomendasikan minimal 20 sampai 45 menit, latihan
25 intermiten/terusmenerus.
• Tipe latihanaerobik
• Repetisi 20-30grakan/menit
• satu set minimal 2 x 8gerakan
• sesi disesuaikan denganwaktu.
BAB VI TENNIS ELBOW
26 6.1 Deskripsi
Tennis elbow merupakan salah satu tipe peradangan pada tendon yang paling sering terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi anggota gerak yang terkena.Menurut (Dimitrios, 2016) penurunan kemampuan fungsional yang terjadi seperti mengangkat gelas, membawa buku dan memegang benda. Pada beberapa kasus, penyebab tennis elbow belum dapat diidentifikasi secara jelas.
Meskipun ini berhubungan dengan olahraga tenis, tennis elbow juga dapat terjadi pada aktivitas berulang yang banyak melibatkan kerja dari otot extensor carpi.
Problematika yang sering muncul pada kasus tennis elbow adalah terjadinya penurunan atau keterbatasan fungsional pada suatu pekerjaan, olahraga dan pada aktivitas sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dihasilkan dari proses peradangan yang terjadi pada epycondylus lateral.
Nyeri pada kasus tennis elbow dapat dikurangi dengan pemberian modalitas terapi manual teknik Graston dan eccentric strengthening exercise. Tujuan penggunaan terapi manual teknik graston untuk menstimulasi proses remodeling jaringan yang selanjutnya akan terjadi pemecahan jaringan fibrosis sehingga nyeri dapat berkurang. Sedangkan tujuan dari pemberian eccentric strengthening exercise antara lain, (1) mempertahankan elastisitas fisiologis dan kontraktilitas otot, (2) menambah kekuatan otot, dan (3) mengembangkan koordinasi dan keterampilan motorik untuk aktivitas fungsional.
Ada beberapa tipe tennis elbow antara lain :
1. Type I : peradangan pada tendon ekstensor carpi radialis longus
27
2. Type II : peradangan pada tendoperiosteal extensor carpi radialis brevis
3. Type III : peradangan pada tendomuscular junction ekstensor carpi radialis brevis 4. Type IV : peradangan pada muscle belly ekstensor carpi radialis brevis.
Menurut Ovedoff (2002) tanda gejala yang sering dialami oleh penderita tennis elbow antara lain adalah :
1) Adanya nyeri kira-kira 1 - 2 cm di daerah lateral dari sendi siku tepatnya di area epicondylus lateralis humeri yang menjalar hingga lengan atas dan bawah
2) Terjadi kelemahan pada otot-otot pergelangan tangan sehingga terjadi penurunan aktivitas fungsional seperti ketidakmampuan membuka pintu yang bergagang sampai ketidakmampuan melakukan aktivitas mengocok suatu benda
3) Nyeri terjadi pada sendi siku bagian luar ketika tangan ekstensi dan sendi pergelangan tangan melawan tahanan
4) Nyeri terjadi ketika adanya tekanan (palpasi) di bawah epicondylus lateralis humeri 5) Nyeri siku bertambah bila menggenggam dan memutar dilakukan bersamaan,
mungkin menjalar ke bagian luar lengan dan lengan bawah.
6.2 Pemeriksaan
6.2.1 Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : Posisi siku normal atau pada posisi semi fleksi 2) Tes cepat :
• Gerak siku kadang nyeri
• Gerak ekstensi pergelangan tangan nyeri pada siku
3) Tes gerak pasif :
28
• Gerak fleksi dan ekstensi penuh nyeri
• Gerak pasif pergelangan tangan fleksi penuh nyeri
4) Tes gerak isometric
• Gerak isometrik dorsal fleksi pergelangan tangan nyeri pada siku
• Gerak lain kadang nyeri.
6.2.2 Pemeriksaan penunjang Tidak diperlukan
6.3 Intervensi
1) Deep transverse friction
2) Extracorporeal shock wave tharapy
3) Cyriax physiotherapy (combination deep transverse friction with mill’s manipulation)
4) Exercise therapy
5) Stretching exercise (ulangi 10 kali, 15-25 detik) 6) Isotonic exercise (repeat 15 kali, 3 set) - Ice = 10-15 7) Exentric exercise
8) Theraband exercise
BAB VII SKOLIOSIS
29 7.1 Deskripsi
Skoliosis adalah deformitas tulang belakang yang ditandai oleh lengkungan ke lateral dengan atau tanpa rotasi tulang belakang. Skoliosis dapat berupa skoliosis fungsional yang dapat diperbaiki sedangkan skoliosis struktural yang cenderung menetap. Sekitar 15-20 % dari kasus skoliosis penyebab awalnya tidak diketahui, serta 80% kasus skoliosis struktural mempunyai etiologi idiopatik dan biasanya ditemukan pada anak-anak atau remaja.
Tujuan terapi skoliosis ialah untuk menjaga agar kurvatura yang terjadi tetap terkontrol selama pertumbuhan. Terapi skoliosis dapat berupa observasi; terapi rehabilitasi, yaitu: pemberian modalitas, ortosis/brace, dan latihan; atau terapi invasif seperti operasi.
7.2 Etiologi
Penyebab dan patogenesis skoliosis belum dapat ditentukan dengan pasti.Kemungkinan penyebab pertama ialah genetik.Banyak studi klinis yang mendukung pola pewarisan dominan autosomal, multifaktorial, atau X- linked.Penyebab kedua ialah postur, yang mempengaruhi terjadinya skoliosis postural kongenital.Penyebab ketiga ialah abnormalitas anatomi vertebra dimana lempeng epifisis pada sisi kurvatura yang cekung menerima tekanan tinggi yang abnormal sehingga mengurangi pertumbuhan, sementara pada sisi yang cembung menerima tekanan lebih sedikit, yang dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat.Selain itu, arah rotasi vertebra selalu menuju ke sisi cembung kurvatura, sehingga menyebabkan kolumna anterior vertebra secara relatif menjadi terlalu panjang jika
30
dibandingkan dengan elemen-elemen posterior. Penyebab keempat ialah ketidakseimbangan dari kekuatan dan massa kelompok otot di punggung.
Abnormalitas yang ditemukan ialah peningkatan serat otot tipe I pada sisi cembung dan penurunan jumlah serat otot tipe II pada sisi cekung kurvatura.Selain itu, dari pemeriksaan EMG didapatkan peningkatan aktivitas pada otot sisi cembung kurvatura.
7.3 Gejala Klinis
Gejala-gejala yang paling umum dari skoliosis ialah suatu lekukan yang tidak normal dari tulang belakang.Skoliosis dapat menyebabkan kepala nampak bergeser dari tengah atau satu pinggul atau pundak lebih tinggi daripada sisi berlawanannya.Masalah yang dapat timbul akibat skoliosis ialah penurunan kualitas hidup dan disabilitas, nyeri, deformitas yang mengganggu secara kosmetik, hambatan fungsional, masalah paru, kemungkinan terjadinya progresifitas saat dewasa, dan gangguan psikologis.
7.4 Pemeriksaan 7.4.1 Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : Asimetri dan rib hump, atau pelvis torsion 2) Tes cepat : Fleksi punggung tampak rib hump
3) Tes gerak aktif :
• Gerak lateral fleksi kekanan terbatas pada T8 tetap melengkung kekiri atau hanya tegak
• Gerak lateral fleksi kekiri lebih besar
31 4) Tes gerak pasif :
• Gerak lateral fleksi kekanan terbatas pada T8 terbatas dengan firm end feel
• Gerak lateral fleksi kekiri pada T8 ROM lebih besar dari normal dengan end feel elastik
5) Tes gerak isometric : Negatif
6) Tes khusus :
• Fleksi dijumpai ribs hump kanan
• Asimetri pelvis (pelvic torsion) terhadap plumb line yang ditempatkan pada kolumna vertebrali
• Pengukuran panjang kaki dijumpai leg discrepancy
• LPAVP dijumpai keterbatasan dengan firm end feel
• Gapping test T7-8-9 terbatas dengan firm end feel 7.4.2 Pemeriksaan penunjang
• X-ray dijumpai flat neck kadang kifosis segment tertentu
• Pengukuran “cobb angle
7.5 Intervensi
Konservatif 3 dimensi Scroth Method : Curve specific exercises dan correction breathing techniques . berfungsi untuk mengurangi rotasi dan kurva yang salah dari spine pada bidang sagital dan sambilmengelongasi spine.
BAB VIII PLANTAR FASCITIS
32 8.1 Deskripsi
Plantar fascitis merupakan suatu inflamasi fascia plantaris yang disebabkan oleh cedera
yang berulang.Terjadi karena penguluran yang berlebihan dan penekanan saat kaki menyangga beban berat badan hingga mengakibatkan fascia mengalami kerobekan- kerobekan kecil pada jaringannya.(Sunarya, 2014). Pantar fascitiis merupakan masalah muskuloskeletal yang dipicu oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, berat badan (overweight atau obesitas), degeratif, anatomi kaki seperti flat foot atau pes cavum, aktivitas fisik, aktivitas berjalan mengunakan alas kaki, etnik, dan ras.
8.2 Etiologi
Ada beberapa faktor penyebab pada kasus fasciitis plantaris. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu faktor anatomi, faktor biomekanik, dan faktor lingkungan. Contoh pada faktor anatomi termasuk arcus yang rendah atau pes planus, arcus yang tinggi atau pes cavus, dan tekanan tubuh yang berlebih atau obesitas. Pada faktor biomekanik termasuk tightness pada tendon achilles, kelemahan flexor plantar fascia. Pada faktor lingkungan bisa disebabkan oleh trauma, dan aktivitas yang berlebih (Alghadir, 2006).
8.3 Tanda dan Gejala
Fasciitis plantaris biasanya timbul secara bertahap, tetapi dapat datang dengan tiba-tiba
dan langsung nyeri hebat. Dan meskipun dapat mengenai kedua kaki, akan tetapi lebih sering hanya pada satu kaki saja (Wibowo, 2008) :
1. Nyeri tajam di bagian dalam telapak kaki di daerah tumit, yang dapat teraasa seperti ditusuk pisau pada telapak kaki
2. Nyeri tumit yang cenderung bertambah buruk pada beberapa langkah pertama setelah bangun tidur, pada saat naik tangga atau pada saat jinjit (berdiri pada ujung-ujung jari).
3. Nyeri tumit yang timbul setelah berdiri lama atau duduk lama kemudian bangkit dan
33 berjalan, maka timbul nyeri tumit
4. Nyeri tumit yang timbul setelah berolahraga, tetapi tidak timbul saat sedang berolahraga.
5. Pembengkakan ringan di tumit.
8.4 Pemeriksaan
8.4.1 Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : Tidak tampak kelainan 2) Tes cepat :
• Gerak dorsal fleksi posisi berdiri nyeri
• Gait analisis : early foot flat atau berjalan dengan telapak kaki anterior 3) Tes gerak aktif : Gerak dorsal fleksi nyeri
4) Tes gerak pasif :
• Gerak dorsal fleksi pasif nyeri pada calcaneus, ROM terbatas dengan springy end fell
5) Tes gerak isometric : Gerak plantar fleksi isometric nyeri 6) Tes khusus :
Palpasi : palpasi pada apponeurosis plantaris dan tuberositas calcanel nyeri tajam
8.4.2 Pemeriksaan penunjang X-ray tampak osteophate 8.5 Intervensi
1. Streng training
34 2. Stretcing
3. Mobilizations and manipulation 4. Posterior-night splints
5. Foot orthoses 6. Taping
DAFTAR REFERENSI
35
Tarwaka, Solichul HA, Bakri, Lilik Sudiajeng., ergonomi untuk keselamatan, kesehatan kerja, dan produktifitas, (Surakarta: UNIBA PRESS, 2004), pp. 3- 13
Manuaba, A.2000. Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Surabaya: 1 - 4.
Pheasant, S. 1988. Body Space. Anthropometry, Ergonomics and Design, Taylor &
Francis. London
Pheasant, S. 1988. Body Space. Anthropometry, Ergonomics and Design, Taylor &
Francis. London
Bernard, T.E. 1996. Occupational Heat Stress. Dalam: Battacharya, A. & McGlothlin, J.D. eds. Occupational Ergonomic. Marcel Dekker Inc USA: 195-216
Lieckfield, Jr., R.G. and Farrar, A.C., 1991. Indoor Air Quality in Nonindustrial Occupational Environments. Amerika
Morris, Virginia, 1996, A Complete Guide: How to Care for Aging Parents, Workman Publishing, New York
Sutjana, DP. dan Sutajaya, IM. 2000. Penuntun tugas lapangan mata kuliah Ergonomi-Fisiologi Kerja, Udayana. Denpasar
Suma’mur, P.K. 1982. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Yayasan Swabhawa Karya, Jakarta
Middlesworth, Mark, MS, ATC/L, CEES, step by step guide rapid upper limb assessment (rula).2006
36