TINJAUAN PUSTAKA
4. Penyakit Gosong
Menurut Dwidjoseputro (1978) jamur penyebab penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Myceteae Divisi : Eumycota Class : Basidiomycetes Ordo : Ustilaginales Family : Ustilaginaceae Genus : Ustilago
Species : Ustilago maydis (Dwidjoseputro, 1978).
Tanaman yang terserang menunjukkan gejala-gejala tongkolnya membengkak, mula-mula berwarna putih, kemudian setelah cendawan membentuk spora, warna putih tersebut berubah menjadi warna hitam. Kelobot pecah, akibat pembengkakan biji jagung yang berada di dalam tongkol tersebut. Pada serangan berat, batang biasanya membengkak, batang itu akan menonjol dan makin lama akan makin besar. Pada bagian epidermis akan keluar cairan lendir seperti blendok yang berwarna hitam (Matnawy, 2007).
a
Gambar 8. Gejala Serangan Penyakit Gosong Pada Tongkol (a) Sumber : http/www. vegetabelmdonline.ppath.cornell.edu
Dalam kelenjar jamur membentuk teliospora, bulat atau jorong, dengan garis tengah 8-11 µ m, hifa, dengan banyak duri halus. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium lalu membentuk basidiospora atau sporidium. Sporidium dapat berkecambah dengan cara membentuk hifa (Semangun, 1993).
Jamur dapat bertahan sebagai saprofit dalam bentuk teliospora pada sisa-sisa tanaman sakit, pada pupuk organik, atau dalam tanah. Spora tersebut mempunyai ketahanan yang sangat tinggi sehingga dapat bertahan selama bertahun-tahun. Pada keadaan yang cocok teliospora berkecambah membentuk sporidium yang dipencarkan oleh angin atau air (Semangun, 1993).
Gambar 9 : Siklus hidup Ustilago maydis Sumber : Internet
Penyakit gosong lebih banyak terdapat di daerah pegunungan yan suhunya lebih rendah. Penyakit lebih banyak terdapat di lahan subur dan lembab dimana tanaman jagung tumbuh dengan subur. Makin panjang umur tanaman makin besar kemungkinan terserang penyakit (Semangun, 1993).
Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur kelembaban areal pertanaman jagung dengan cara pengeringan dan irigasi, memotong bagian tanaman kemudian dibakar, benih yang akan ditanam dicampur dengan fungisida secara merata hingga semua permukaan benih terkena (Semangun, 1993).
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Tanaman Jagung
Kesehatan tanaman secara langsung berhubungan dengan serangan hama dan penyakit. Tanaman yang kekurangan unsur hara akan mudah terserang hama dan penyakit, sebaliknya pemupukan berlebihan juga akan memudahkan tanaman terserang hama dan penyakit. Pemberian pupuk yang berlebihan memberikan daya tarik bagi hama dan mendorong populasi hama berkembang lebih besar, pertumbuhan tanaman akan berlebihan tetapi rapuh terhadap serangan hama (Sutanto, 2002a).
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri
merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan (Pranoto, dkk, 2007).
Dalam pertanian organik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan secara umum adalah sebagai berikut:
• Menghindari benih/bibit hasil rekayasa genetika. Sebaiknya benih berasal dari kebun pertanian organik,
• Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis, zat pengatur tumbuh, pestisida. Pengendalian hama dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman,
Peningkatan kesuburan tanah dilakukan secara alami melalui penambahan pupuk
organik, sisa tanaman, pupuk alam, dan rotasi dengan tanaman legume (Husnain dan Syahbudin, 2007).
Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibandingkan bahan pembenah lainnya. Nilai pupuk yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat bervariasi, misalkan unsur Nitrogen (N), fosfor (P), dan Kalium (K) tetapi juga mengandung unsur mikro esensial
terjadinya erosi dan mengurangi terjadinya retakan tanah. Pemberian bahan organik mampu menambah kelembaban tanah (Sutanto, 2002b).
Pupuk organik dapat berupa pupuk kandang, kompos dan campuran keduanya. Kunci pokok dalam pemilihan pupuk kandang adalah tingkat kematangan, perbandingan Carbon dan Nitrogen (C/N) dan kandungan unsur hara. Pupuk kandang selain berfungsi untuk memperbaiki sifat tanah juga sebagai sumber unsur hara walaupun dalam jumlah kecil. Dengan sifat fisik tanah yang baik, maka tanaman menjadi lebih subur karena leluasa dalam pengambilan unsur hara. Sedangkan kelebihan kompos yang dibuat dengan memanfaatkan aktif atau mikroba adalah mengandung mikroba yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (Musnamar, 2003).
Di Indonesia, pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk kandang telah sejak lama dipraktekkan oleh petani tradisional. Meskipun tidak ada catatan mengenai sejak kapan petani memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik. Pupuk kandang selalu diaplikasikan sebelum atau pada saat tanah diolah sebelum benih atau bibit ditanam. Pupuk kandang setelah menyebar merata di permukaan tanah dibajak dan digaru (Pranoto, dkk, 2007).
Dari berbagai jenis kotoran ternak, umumnya petani lebih menyukai kotoran Ayam, karena kandungan nitrogennya lebih tinggi dibandingkan kotoran ternak lain. Kotoran Lembu biasanya digunakan dengan dicampur bahan lain dan dikomposkan. Ternak Lembu dewasa, kuda, dan kerbau dapat memproduksi kotoran rata-rata 3 kg/hari, kambing dan domba 0,5 kg/hari, dan ayam 200 g/hari. Apabila kotoran tersebut dikomposkan maka akan terjadi penyusutan sekitar 50%.
Berdasarkan data populasi ternak pada tahun 2002 maka dalam kurun waktu satu tahun dapat diproduksi kotoran ternak basah 57,88 juta ton. Apabila kotoran tersebut dikomposkan dapat diproduksi sekitar 29 juta ton kompos per tahun apabila kompos tersebut dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik untuk tanaman pangan, maka untuk setiap musim tanam tersedia sekitar 14,5 juta ton kompos pupuk kandang (Sofyan, 2007).
Pupuk kandang mengandung unsur hara lengkap yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya disamping mengandung unsur makro seperti nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K), pupuk kandang juga mengandung unsur mikro seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S). Unsur Posfor dalam pupuk kandang sebagian besar berasal dari kotoran padat. Kandungan hara dalam kotoran ayam tiga kali lebih besar dari hewan ternak lainnya. Hal ini disebabkan lubang pembuangan ayam hanya satu sehingga kotoran cair dan padat bercampur (Musnamar, 2003).
Tabel 1. Persentase Kandungan Hara Beberapa Pupuk Kandang (%) Jenis Ternak N (%) P2O5 (%) K2O (%) Kambing Lembu Ayam Burung Puyuh Kuda 0,83-0,95 0,10-0,96 1,00-3,13 2,21 233,93 0,35-0,51 0,64-1,15 0,35-0,41 2,35 0,882 1,00-1,20 0, 45-1,00 0,40-2,90 3,321 1,044
Sumber : Musnamar, 2003 dan hasil analisa di laboratorium
Banyak petani di Indonesia, khususnya di luar Jawa petani organik karena mereka belum terpengaruh oleh ‘green revolution’ dan meneruskan sistem pertanian secara tradisional. Di daerah lain, akibat krisis ekonomi yang menyebabkan harga-harga melonjak naik, petani tidak mampu lagi untuk membeli obat-obat pestisida dan pupuk buatan. Ini berarti bahwa argumentasi tentang
pertanian organik sangat masuk diakal. Beberapa kelompok petani dan LSM melihat pertanian organik sebagai cara protes terhadap dampak kehancuran dari green revolution, dan dengan membebaskan petani dari dominasi green revolution
dan ketergantungan pada pupuk kimia, pestisida dan sebagainya (Yulianti dan Nidar, 2000).
Kotoran Puyuh dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman sayuran, tanaman lain dan campuran bahan pakan (konsentrat) ternak. Kandungan gizi kotoran Puyuh sangat bervariasa, tergantung ransum, temperatur lingkungan, kandungan air dan cara penyimpanan serta pengolahannya. Kotoran Puyuh dapat diambil setiap hari karena puyuh banyak mengeluarkan kotoran. Pengelolaan kotoran dilakukan dengan mengumpulkan kotoran Puyuh dari dropping board (papan penampung tinja) di setiap unit kandang. Peneliti yang dilakukan oleh Riza ZA, et al dari Balitvet dan IPB ini menghasilakan kesimpulan sebagai berikut. 1) Penyimpana kotoran puyuh selama 6 bulan dapat meningkatkan kadar air,
kalsium klorida (KCL), kalsium (Ca), kalium (K), magnesium (Mg) dan natrium (Na)
2) Penyimpanan selama 2 bulan meningkatkan nilai C organik dan N total. 3) Kadar fosfat (P) yang paling besar diperoleh tampa penyimpanan.
Oleh sebab itu, pemanfaatan kotoran puyuh sebagai pupuk tanaman harus memperhatikan lama penyimpanannya agar unsur hara yang diperlukan tersedia secara maksimal (Kafrawi, 2007).
Penambahan pupuk kandang ke dalam tanah disamping bermanfaat bagi tanaman, juga dapat meningkatkan aktivitas dan kompetisi mikro organisme di dalam tanh termasuk penekanannya terhadap penyakit tanaman (Cook dan Baker,
1983: Voland dan Epstein 1994: Hoitink dan fahy, 1986). Menurut Rahardjo et al (1998) bahwa media tanam dari pupuk kandang dicampur dengan tanah, intensitas serangan penyakit rebah semai lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan media tanam tanpa perlakuan pupuk kandang (Vandyk, 2007).