SELENIUM SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENYAKIT
6.4 Penyakit Virus .1 Penyakit Keshan
Penyakit Keshan adalah kardiomiopati yang terdapat pada wanita dan anak-anak pada daerah di China dimana kandungan seleniumnya rendah. Penyakit Keshan dicirikan dengan lesi nekrotik pada seluruh miokardium dengan derajat
infiltrasi seluler dan kalsifikasi yang berbeda-beda. Bentuk akut penyakit ini ditandai dengan terjadinya insufisiensi jantung yang tiba-tiba, sedangkan bentuk kronik ditandai dengan pembesaran jantung yang berat dengan berbagai derajat insufisiensi. Insiden penyakit ini berhubungan dengan rendahnya intake selenium dan suplementasi selenium dapat mencegah terjadinya penyakit ini.1,57
Adanya variasi musiman pada penyakit ini menunjukkan bahwa ada agen infeksius lain yang berperan dalam timbulnya penyakit Keshan selain selenium. Virus coxsackie telah diisolasi dari penderita Keshan dan virus ini mampu menyebabkan peradangan pada jantung yang disebut miokarditis.
Defisiensi selenium dapat meningkatkan virulensi atau progresifitas virus coxsackie. Meningkatnya stress oksidatif akibat defisiensi selenium dapat menimbulkan mutasi atau perubahan gen virus. Hal ini diperlihatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Melinda A.Beck pada tikus yang diinokulasi dengan virus Coxsackie B3. Pada penelitian ini, tikus yang mengalami defisiensi selenium dan tikus dengan diet selenium yang cukup, diinokulasi dengan strain virus coxsackie yang amiokarditik (CVB3/0). Pada tikus dengan defisiensi selenium timbul miokarditis sedangkan pada tikus dengan diet selenium cukup tidak terjadi miokarditis. Hasil ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan genome virus pada tikus dengan defisiensi selenium. Untuk mengkonfirmasi perubahan genome ini dilakukan penguraian gen, dan ditemukan ada 6 tempat mutasi pada virus tersebut.57-59
Perubahan genome virus coxsackie pada defisiensi selenium juga berhubungan dengan rendahnya aktivitas seluler glutathione peroksidase (GPx-1). Pada tikus dengan aktifitas seluler GPx yang rendah didapatkan perubahan nucleotide virus sebanyak 7 buah dibandingkan dengan tikus biasa.57-59
Selain faktor nutrisi dan virus, adanya perubahan respons immune pada defisiensi selenium juga mempermudah timbulnya miokarditis. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa pada tikus dengan defisiensi selenium terjadi hambatan dalam proliferasi sel limfosit T.57-59
6.4.2 Influenza
Virus influenza mempunyai kemampuan untuk mengubah protein permukaanya (hemaglutinin/HA dan neurominidase/NA) untuk menghindar dari deteksi sistem immune. Perubahan sedikit saja dari HA dan NA membuat virus tersebut dapat terhindar dari deteksi.
Efek ini telah dibuktikan oleh peneliti di University of North Carolina. Mereka membandingkan tikus yang mengalami defisiensi selenium dengan yang tidak, semua tikus terekspos human influenza virus. Tikus dengan defisiensi selenium yang diinfeksi dengan strain virus influenza yang ringan (A/Bangkok/1/29) mengalami radang paru (pneumonitis) berat. Penelitian pada mRNA virus yang mengkode protein permukaan (HA dan NA) menunjukkan adanya perubahan pada matrix protein sebanyak 29 nukleotide. Perubahan nucleotide ini menyebabkan perubahan 6 asam amino.57
6.4.3 Human Immunodefisiensi Virus (HIV)
Penurunan kadar selenium pada individu yang terinfeksi HIV merupakan tanda yang sensitive untuk progresifitas penyakit. Rendahnya kadar selenium juga berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian karena HIV. Status nutrisi selenium yang adekuat dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi virus HIV dengan cara memperkuat sistem immune. Pada infeksi HIV, stress oksidatif dapat mempengaruhi replikasi virus. Sebagai komponen dari glutathione peroksidase, selenium berperan dalam menurunkan stres oksidatif pada sel yang terinfeksi HIV dan menurunkan kecepatan replikasi virus.1,60,61
Defisiensi selenium juga berhubungan dengan progresifitas virus dan kematian pada infeksi HIV dibandingkan dengan mikronutrien lain. Pada observasi selama 5 tahun terhadap 24 anak dengan HIV, mereka yang mempunyai kadar selenium yang rendah meninggal dalam umur yang lebih muda, hal ini mengindikasikan perjalanan penyakit yang lebih cepat.
Pada penderita HIV dengan suplementasi selenium, sel-T menghambat replikasi virus HIV dan menurunkan pembentukan sitokin, yang berperan dalam proses peradangan. Suplementasi dengan jamur yang diperkaya selenium pada individu dengan HIV dengan dosis 400 mcg/hari memperlihatkan perbaikan. Studi
lainnya yang mengikuti 15 penderita HIV yang disuplementasi dengan sodium selenit 100 mcg/hari selama 1 tahun, memperlihatkan penurunan stress oksidatif.1
6.5 Kanker
Studi geografi secara konsisten memperlihatkan bahwa populasi yang tinggal di daerah dengan kadar selenium pada tanah yang rendah menyebabkan intake selenium relatif rendah dan mempunyai angka mortalitas kanker yang lebih tinggi. Studi epidemiologi menunjukkan individu dengan kadar selenium yang rendah (pada darah dan kuku) mempunyai insiden kanker yang lebih tinggi. Tetapi kecenderungan ini tidak begitu nyata pada perempuan, contohnya, studi prosfektif pada 60.000 perawat perempuan di U.S menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kadar selenium dengan risiko kanker. Infeksi kronis virus hepatitis B dan C secara signifikan meningkatkan risiko kanker hepar, contohnya, studi yang dilakukan pada orang laki-laki di Taiwan menunjukkan penurunan kadar selenium berhubungan dengan meningkatnya risiko kanker hepar. Kadar selenium yang rendah juga berhubungan dengan meningkatnya risiko mendapat kanker paru-paru, terutama pada perokok. Individu dengan intake selenium sebesar 159 mcg/hari risiko untuk mendapat kanker prostat hanya 35% dibandingkan dengan individu dengan intake selenium 86 mcg/hari.1,62,63
Beberapa mekanisme telah diketahui dalam mencegah kanker, yaitu:1
1. Maksimalisasi aktifitas antioksidan selenoenzim dan memperbaiki status antioksidan.
2. Memperbaiki sistem imun.
3. Mempengaruhi metabolisme karsinogen.
4. Meningkatnya kadar metabolit selenium yang dapat menghambat pertumbuhan sel tumor
Walaupun peranan selenium dalam kehidupan sel telah terbukti, tetapi mekanisme protektif masih terbatas. Studi yang dilakukan pada sel Jurkat, suatu sel lymphoma, dalam 24 jam terlihat penurunan viabilitas sel pada media bebas selenium. Pada penelitian ini terlihat kematian sel terjadi setelah pembelahan pertama kali. Penelitian ini memberikan spekulasi bahwa pembelahan sel tergantung dengan selenium. Pada studi ini juga terlihat bahwa kematian sel disebabkan karena
peningkatan ROS intraseluler, terutama lipid hidroperoksida. Selenite terbukti dapat mencegah akumulasi ROS intraseluler.62
Pada sel dengan defisiensi selenium juga terjadi penurunan aktifitas glutathione peroksidase, terutama phospholipid hidroperoksida (PHGPx) dan selular GPx (cGPx) masing-masing sebesar 39% dan 36%. Tetapi, pada penelitian ini terlihat bahwa hanya PHGPx yang dapat mengurangi lipid hidroperoksida, termasuk phospholipid hidroperoksida dan kholesterol hidroperoksida.62
Telah dikemukakan dua model untuk menjelaskan perbedaan aktifitas antikarsinogenik selenium pada dosis yang berbeda. Pada dosis fisiologis, 40-100 mcg/hari pada orang dewasa, memaksimalkan aktifitas antioksidan dan meningkatkan sistem imun. Pada dosis farmakologi, 200-300 mcg/hari, bentuk metilasi selenium memperbesar efek antikarsinogenik.1 Lebih dari 90% eksperimen yang menggunakan sodium selenite dan selenomethionine sebesar 1-5 ppm per hari dapat menekan proses karsinogenesis.64