• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyayang

Dalam dokumen Sifat pendidik dalam perspektif hadis (Halaman 56-63)

BAB IV : SIFAT PENDIDIK DALAM PERSPEKTIF HADIS

1. Penyayang

ﺔ ﺎ أ بﻮ أ هو ﺎ ﺪ لﺎ ﺪ أ

ﻚ ﺎ

و ﷲا ﻰ ﺻ ا أ ثﺮ ﻮ ا ا

ﺎ ر نﺎآو ﺮﺸ ﻩﺪ ﺎ ﺄ

ىأر ﺎ ر

لﺎ ﺎ ﺎهأ ﻰ إ

ا

و اﻮ ﻮﻜ اﻮ ﺟر

ﺻو هﻮ

اذﺈ اﻮ

Dari Mâlik bin Huwairits berkata: aku menemui Rasulullah saw yang berada dalam kelompok kami dari kaumku kemudian kami tinggal bersamanya selama dua puluh malam, dan Rasulullah selalu bersikap ramah dan penuh kasih sayang. Ketika Rasul mengetahui kami telah merasa rindu kepada keluarga kami, maka beliau berkata: “Pulanglah dan temui keluarga kalian, dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan shalatlah kalian ketika telah tiba waktunya dan hendaklah seseorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kami menjadi imam. (H.R. Bukhari).

Pada hadis di atas disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabatnya, mereks adalah Bani Laits yang terdiri dari tiga hingga sepuluh orang,2 untuk pulang dan menemui keluarga mereka ketika para sahabat berkumpul di kediaman Rasul. Selama mereka tinggal bersama, Rasul senantiasa mengajak mereka untuk melakukan shalat secara berjama’ah dan menunjuk seseorang untuk menjadi Imam ketika shalat, serta mencontohkan kepada mereka tata cara shalat yang benar.

Karena para sahabat sudah lama tidak bertemu dengan keluarga mereka, Rasul mengetahui bahwa para sahabatnya telah merasa rindu, menyadari hal itu, dengan sifat kasih dan sayangnya, ia memerintahkan para sahabat untuk pulang. Rasul tidak mau memaksakan para sahabat untuk tetap tinggal bersamanya dan melanjutkan pelajaran sedangkan mereka sudah tidak dapat berkonsentrasi. Karena jika dipaksakan, dikhawatirkan para sahabat tidak dapat menyerap pelajaran yang diberikan dengan baik.

Kemudian tidak lupa Rasul berpesan kepada para sahabat untuk mengajarkan kepada keluarga mereka apa yang telah Ia ajarkan, serta

1Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ’íl al-Bukhârî, Şaħîħ al-Bukhâri, Bab Man Qâla liyuadzin fî as-Safari Muadzinun Wâhidun, (Beirut: Maktabah al-Aşriyyah, t.t.,) Juz 4, h. 1901.

2 Ahmad bin Alî bin Hajar al-Asqalânî, Fatħ al-Bâri, Bab Man Qâla liyuadzin fî as-Safari Muadzinun Wâhidun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Juz 2, h. 320.

beradzan ketika waktu shalat tiba dan menunjuk salah seorang untuk menjadi Imam ketika melaksanakan shalat berjamaah.

Dalam kitab Fatħ al-Bâri yang merupakan kitab penjelas dari kitab

Şahîh Bukhâri, dikatakan bahwa kata “irji’ũ fakũnu fîhim wa’allimũhum” menjelaskan bahwa dalam suatu kelompok atau golongan, tidak sepatutnya seluruh anggota kelompok ikut pergi berperang (ketika itu sedang terjadi perang Tabuk), tapi utuslah sebagian orang3 untuk pergi mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa, menuntut ilmu sangat dianjurkan walau dalam keadaan bagaimanapun. Dan orang yang telah diutus untuk mencari pengetahuan tersebut mempunyai kewajiban untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatnya kepada orang-orang di sekelilingnya.

Kemudian pada kalimat “Irjiũ ilâ ahlîkum” juga menjelaskan bahwa Rasul memerintahkan para sahabat untuk pulang menemui keluarga mereka, karena ia mengetahui para sahabat telah begitu rindu dengan keluarganya, dan Rasul juga berpesan agar mereka melaksanakan shalat dan mengajarkan kepada keluarga mereka sebagaimana yang telah Rasul contohkan, dan menganjurkan untuk orang yang lebih dewasa menjadi imam dalam shalat.

Tindakan Rasul memerintahkan para sahabat untuk pulang menemui keluarga mereka merupakan bentuk kasih sayang Rasul, karena Rasul tidak ingin membiarkan sahabatnya menyimpan kerinduan begitu lama kepada keluarganya. Disamping itu Rasul tahu, jika memaksakan para sahabatnya untuk terus belajar, sedangkan mereka sudah tidak lagi bisa fokus dan berkonsentrasi, hal tersebut tidak akan bermanfaat, karena mereka tidak akan bisa menyerap pelajaran yang diberikan dengan baik. Seorang pendidik dituntut untuk dapat memahami kondisi psikologis anak didiknya, karena dengan begitu, kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan kondusif.

3Ahmad bin Alî bin Hajar al-Asqalânî, Fatħ al-Bâri, Kitâb al-Adâb, Bab Rahmat an-Nâsi wal Bahâimi, (t.tp.: Dar al-Fikr, 1992), Juz, 12. h. 51.

Hadis di atas menunjukkan keagungan perisai Rasul dengan memiliki sikap yang lemah lembut dan mengasihi peserta didiknya. Rasul sejak awal sudah mencontohkan dan mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau terapkan sangat akurat dalam menyampakan ajaran Islam. Rasul sangat memperhatikan kondisi dan karakter seseorang, sehingga nila-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasul juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang sehingga beliau mampu menjadikan peserta didiknya suka cita baik material maupun spiritual4.

Hal ini juga merupakan perintah untuk para pendidik (guru) berperilaku sebagaimana halnya Rasul dalam mendidik. Seorang pendidik harus mempunyai sifat lembut dan kasih sayang kepada muridnya, dan hal ini harus betu-betul dirasakan oleh anak didiknya. Rasa kasih sayang guru dapat direalisasikan berupa memberi perhatian kepada peserta didiknya, serta bersedia menjadi tempat untuk mencurahkan hati di saat mereka ada permasalahan. Sifat seperti ini secara psikologis akan memberikan rasa nyaman di hati mereka, dan dalam keadaan seperti inilah ilmu pengetahuan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik, sehingga mereka mampu mendapatkan nilai akhir yang baik dan memuaskan.

Kemudian kata “wa şallũ” dalam riwayat lain dikatakan “wa şallũ

kamâ roaitumũnî uşallî”, menjelaskan bahwa Rasul memerintahkan para sahabat untuk melakukan shalat sebagaimana yang telah ia ajarkan kepada mereka5. Hal ini mengindikasikan bahwa, sebelum seorang pendidik memerintahkan orang lain untuk melakukan sesuatu, hendaknya pendidik memberikan contoh terlebih dahulu. Atau dalam hal ini disebut dengan metode demonstrasi.

4Abu Aqil Dilangsa. Hadis Metode Pendidikan, dalam www.google.com/Hadis Pendidikan, 19 Maret, 2009 atau http://alatsar.wordpress.com/19/03/ 2009 Hadis Metode Pendidikan.

Metode demonstrasi ini dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu gerakan atau proses kerja sesuatu, dan metode ini bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan benar. 6 Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran adalah kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah laku orang lain.

Di sisi lain, pendidik tidak boleh memberikan hinaan, omelan bahkan bentakan kepada peserta didik yang melakukan kesalahan, terlebih jika kesalahan itu dikarenakan peserta didik tidak mampu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan pendidik. Pendidik harus bersikap bijaksana, jika hal itu terjadi, maka berikanlah bimbingan yang lebih intensif kepada mereka, karena kemungkinan hal itu terjadi karena peserta didik tersebut mempunyai tingkat intelegensi yang rendah, atau bahkan bisa terjadi karena kesalahan dari pendidik sendiri dalam menyampaikan materi tersebut, seperti penyampaian dan penggunaan metode yang kurang tepat atau sebagainya. Mengapa harus demikian? Karena di samping sebagai sahabat, pendidik juga merupakan pembina dan pembimbing yang memberikan stimulus bukan dengan dominasi dan paksaan, dan dengan dorongan bukan dengan celaan.7

Firman Allah:

Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". (QS. Al-Kahfi: 73)

Oleh sebab itu, seharusnya para pendidik memahami sisi ini dan mempraktikkannya kepada siswa didiknya. Berlaku kasar terhadap siswa dapat membahayakan mereka.

6Abu Aqil Dilangsa. Hadis Metode Pendidikan,,,

7Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2002), Cet. Ke-III, h. 101.

Selain itu, pendidik juga tidak boleh menghukum siswa secara fisik maupun mental dengan semena-mena. Ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum pendidik memberikan hukman fisik kepada siswa. Menurut hasil penelitian, di Indonesia ini cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Akibatnya adalah terjadi traumatis psikologis, dendam yang mendalam, makin kebal hukuman, dan cenderung akan melampiaskan kemarahan dan agresif terhadap siswa lain yang dianggap lemah.8

Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah:

a. Kurangnya pengetahuan pendidik bahwa kekerasan itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah tingkah laku. Selama ini kekerasan dilakukan pendidik dengan dalih untuk mendisiplinkan siswa, justru kekerasan akan mengakibatkan hal-hal yang berdampak bagi masa depan anak, baik dari segi perkembangan, pertumbuhan dan kepribadiannya. Akibat kekerasan akan membuat perilaku siswa menjadi tidak konsisten, yakni “patuh di depan dan berani di belakang guru”.

b. Adanya persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tetapi seharusnya mencari tahu apa yang melandasi tindakan tersebut.

c. Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam menangani masalah pendidik lebih sensitiv dan reaktif.

d. Adanya tekanan kerja; adanya target (standarisasi) yang harus dipenuhi pendidik, seperi kurikulum, materi, dan prestasi yang harus dicapai siswa.

e. Pola yang dianut adalah mengedepankan kepatuhan dan ketaatan pada siswa.

8Abdul Halim Rahmat. Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa, 17 Desember, 2008, dalam www.google.com/, Kasih Sayang Guru Pada Siswa, 01 Maret 2010.

f. Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif. Sehingga pendidik dalam mengajar suasananya cenderung kering, stressful dan tidak menarik, padahal mereka dituntut untuk mencetak siswa-siswi yang berprestasi. g. Adanya tekanan ekonomi pada pendidik yang akhirnya menjelma

menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil, emosional, mudah goyah ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit diwujudkan.9

Karena itu solusi yang bisa ditawarkan untuk menghentkan kekerasan ini adalah: Pertama, pendidik dan semua warga sekolah membuat kesepakatan untuk menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah. Kedua, mendorong dan mengembangkan humanisasi pendidikan dengan menyatu padukan kesadaran hati dan pikiran, membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus, serta mengembangkan suasana belajar yang meriah, gembira, dengan memadukan potensi fisik dan psikis menjadi sesuatu kekuatan yang integral. Ketiga, lebih mengedepankan penghargaan dari pada hukuman. Keempat, terus menerus membekali pendidik untuk menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangakan kreativitas mereka. Kelima,

adanya konseling, tidak hanya siswa yang membutuhkan bimbingan, tetapi juga pendidik. Sebab pendidik juga mengalami masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan dan bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik. Keenam, segera memberikan pertolongan bagi siapa pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti serta mencari solusi alternatif yang terbaik. Sehingga kekerasan tidak menjadi hal yang “biasa dan lumrah” tetapi menjadi suatu tindakan yang harus mendapat perhatian serius.

Di samping itu, Pendidik dalam mencurahkan kecintaan dan rasa kasih sayangnya kepada siswa tidak harus selalu diberikan dalam bentuk hadiah ataupun pujian, akan tetapi sikap tersebut dapat diwujudkan dengan

9Abdul Halim Rahmat. Menghilangkan Kekerasan Guru Pada Siswa…,

sikap pemberian kesempatan kepada kepada peserta didik yang dipandang sudah mampu menguasai pelajaran dan mampu untuk mengajarkannya kepada orang lain, maka hendaknya pendidik memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajarkannya.

Sikap pendidik seperti itulah yang menjadi idola para siswa, seorang yang penyayang, lembut, memahami kondisi siswa, serta bersahabat, dan pendidik seperti inilah yang berpeluang besar mencetak peserta didik yang tidak hanya pandai pada segi kognitif, tetapi juga dalam semua aspek kehidupannya.

Dalam dokumen Sifat pendidik dalam perspektif hadis (Halaman 56-63)

Dokumen terkait