• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Penyebab Abortus Iminens

Lebih kurang setengah wanita dengan abortus iminens akan menjadi abortus dan sisanya terus berlanjut sampai kehamilan viabel. Sekitar 15% kehamilan klinis akan mengalami abortus spontan dan 75% kejadian abortus ini terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat keguguran diperkirakan 2-3 kali lebih tinggi dengan kehamilan yang sangat awal dan seringkali secara klinis belum diketahui (Cunningham dkk, 2010).

2.2 Penyebab Abortus Iminens

Perdarahan pada trimester pertama dengan atau tanpa hematom subkorionik berhubungan dengan reaksi inflamasi kronik pada desidua yang menyebabkan uterus berkontraksi. Duapertiga kasus abortus terjadi akibat kelainan pada plasenta terutama akibat kegagalan invasi sitotrophoblast pada lumen arteri spiralis. Adanya perdarahan subkorionik pada abortus iminens berhubungan dengan insiden abortus spontan. Abortus iminens dipertimbangkan sebagai bagian yang terpisah dari abortus lainnya karena berasal dari pendarahan fokal pada bagian perifer dari plasenta yang sedang terbentuk. Pendarahan ini terjadi pada saat pembentukan membran dan dapat menyebabkan abortus komplit bila hematom meluas ke bagian plasenta yang definitif (Jauniaux dkk, 2006).

Sebagai penyebab abortus iminens adalah sebagai berikut:

1. Faktor embrio, biasanya akibat kelainan kromosom meliputi hampir 75% kejadian abortus trimester pertama.

26

2. Faktor ibu seperti penyakit ginjal, diabetes melitus, penyakit infeksi akut, trauma dan kelainan sistem reproduksi mioma uterus dan kelainan uterus.

Peran reaksi oksidatif pada plasenta akan menyebabkan kelainan plasenta itu sendiri. Sekarang terdapat bukti yang jelas bahwa abortus merupakan kelainan plasentasi. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi, yang memiliki karakteristik lapisan trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, kurangnya invasi endometrium oleh trofoblas dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini mengakibatkan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematur sirkulasi maternal pada plasenta (Jauniaux dkk, 2006).

Keguguran berulang terjadi pada 1% sampai 3% pasangan. Wanita keguguran berulang terkadang memerlukan pemeriksaan yang mahal dan lama untuk mengidentifikasi penyebabnya, tetapi sering penyebabnya tidak jelas bisa diketahui. Pada 50% sampai 60% kasus tidak bisa dibuktikan dengan jelas penyebab kelainan genetik, anatomi, endokrin, dan infeksi janin sebagai penyebab kegagalan kehamilan ini. Penelitian observasional membuktikan adanya hubungan antara komplikasi kehamilan dengan angiogenesis dan trombosis pada pembuluh darah plasenta yang mengalami gangguan (Jauniaux dkk, 2006).

Menggunakan model tikus dengan keguguran spontan berulang yang menunjukkan gambaran keguguran berulang dan pertumbuhan janin terhambat,

27

telah diidentifikasi faktor jaringan (TF: Tissue Factor) berperan penting dalam terjadinya kerusakan plasenta dan janin. Pada penelitian sebelumnya telah ditunjukkan bahwa C5a melepaskan molekul angiogenik sFlt-1 didalam sel monosit yang mengakibatkan gangguan pembentukan plasenta dan kematian janin pada tikus. Dalam penelitian itu dibuktikan bahwa tissue factor (TF) tidak hanya mengaktivasi faktor pembekuan tetapi juga pengeluaran sFlt-1 yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan plasenta dan kematian janin. Blokade TF dengan monoclonal antibody menghambat pengeluaran sFlt-1 , mencegah aktivasi patologis dari faktor pembekuan, memperbaiki aliran darah plasenta, mencegah stres oksidatif pada plasenta dan menjaga kelangsungan kehamilan (Calleja-Agius dkk, 2004 ; Redecha dkk, 2009).

Penelitian juga menunjukkan bahwa pravastatin dengan downregulasi ekspresi TF pada monosit dan trofoblas, mencegah kerusakan plasenta dan memberi perlindungan terhadap kehamilan pada tikus percobaan. Studi ini menunjukkan bahwa TF merupakan mediator penting dalam kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat dan bahwa statin dapat menjadi pengobatan yang baik untuk wanita dengan keguguran berulang dan pertumbuhan janin terhambat (PJT) (Pang dkk, 2011 ; Redecha et al, 2009)

Adaptasi vaskuler desidua pada proses implantasi berperan penting dalam keberhasilan kehamilan dan proses ini sudah dimulai sejak fase sekresi reseptif dalam setiap siklus haid. Desidualisasi, remodeling vaskuler dan invasi sel imun merupakan proses yang dominan pada minggu pertama pembuahan. Sel imun meningkat dari

28

8% dari total jumlah sel stroma saat siklus haid normal menjadi lebih dari 30% saat kehamilan trimester pertama. Kurang lebih 70% dari sel leukosit ini adalah uterine

natural killer cell (uNK) dan 10% merupakan sel makrofag. Adaptasi vaskuler

meliputi vaskulogenesis, remodeling arteri, angiogenesis dan pembentukan pembuluh darah baru. Angiogenesis bercirikan peningkatan permeabilitas vaskuler, proliferasi dan migrasi sel endotel dan ini diatur oleh berbagai macam growth factor seperti

vascular endhothelial growth factor (VEGF) , placental growth factor (PlGF),

angiopoitins dan protease seperti membrane-type matrix metalloproteinase. Gangguan pertumbuhan vaskuler merupakan penyebab penting abortus (Plaisier dkk , 2008). Gen VEGF adalah gen yang paling awal yang diaktifkan saat embrio masa praimplantasi dan VEGF dihasilkan oleh sel desidua ibu dan juga oleh sel blastokist dan sel trophoblast. Protein VEGF merupakan inducer yang poten dari proses angiogenesis dan berikatan dengan sFlt-1 (VEGFR-1) dan Kinase Domain Receptor, KDR (VEGFR-2) yang mengakibatkan proliferasi sel endothel, migrasi sel dan peningkatan permeabilitas vaskuler. KDR merupakan reseptor sentral VEGF dalam proses angiogenesis, sementara sFlt-1 berperan sebagai faktor pendukung. Selama kehamilan bentuk soluble dari Flt-1 juga terbentuk yang bisa membatasi aktivitas VEGF. Placenta Growth Factor (PlGF) menunjukkan gambaran biokimia dan fungsi seperti VEGF tetapi hanya berinteraksi dengan Flt-1. Placenta Growth Factor (PlGF) dan VEGF mempunyai efek yang sinergis dalam angiogenesis, tetapi pembuluh darah yang dipengaruhi oleh PlGF lebih matang dan lebih stabil dibandingkan pembuluh darah yang dinduksi oleh VEGF saja (Mattukrisna dkk, 2011 ).

29

2.3 Patofisiologi

Gangguan kehamilan terkait plasenta adalah komplikasi paling umum dari kehamilan manusia. Secara kolektif, abortus komplit, missed abortion, keguguran berulang, abortus iminens dan insufisiensi plasenta baik yang ada hubungannya maupun tidak dengan adanya hipertensi dalam kehamilan mempengaruhi lebih 30% kehamilan. Gangguan plasenta ini jarang ditemukan pada spesies mamalia lainnya. (Jauniaux dkk, 2006).

Proses plasentasi pada manusia dicirikan oleh sifat yang sangat invasif hasil konsepsi yang masuk dalam endometrium dan miometrium superfisial dan juga oleh remodeling dari ujung arteri spiralis ibu. Pada kehamilan normal, tahap awal perkembangan janin berlangsung dalam suatu lingkungan (O2) oksigen rendah. Hipoksia fisiologis ini melindungi janin terhadap efek buruk dan teratogenik radikal bebas O2. Gradien O2 yang stabil antara desidua uterus ibu dan jaringan feto-plasenta juga merupakan faktor penting dalam diferensiasi dan migrasi trofoblas, perkembangan vili normal dan angiogenesis (Jauniaux dkk, 2006).

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pada kehamilan normal ada stres oksidatif fisiologis dalam jaringan plasenta pada kehamilan sekitar 9-10 minggu yang dibuktikan dengan peningkatan aktivitas HSP70 terutama di pinggiran plasenta primitif . Perubahan vili diamati di pinggiran plasenta selama pembentukan membran janin adalah identik dengan yang ditemukan pada kasus missed abortion menunjukkan adanya mekanisme umum karena stres oksidatif . Klinis missed

30

abortion terlihat sebelum pengeluaran janin atau jaringan plasenta. Hal ini dapat

didiagnosis dengan ultrasonografi berdasarkan tidak adanya aktivitas jantung janin setelah lima minggu usia kehamilan atau adanya kantung kehamilan yang kosong. Abortus iminens didiagnosis dengan adanya janin tumbuh normal ditemukan saat USG disertai dengan perdarahan vagina. Abortus iminens berhubungan dengan stres oksidatif fokal pada plasenta definitif dan meningkatkan kemungkinan komplikasi kehamilan seperti keguguran, kelahiran prematur dan ketuban pecah dini (Jarek dkk, 2011 ; Muttukrisna dkk, 2011).

Plasentasi terjadi akibat infiltrasi difus pada endometrium dan sepertiga miometrium oleh sel trofoblas ekstravilus. Plasenta manusia digolongkan sebagai tipe hemokorial dengan trofoblas fetus direndam oleh darah ibu. Sebelumnya diperkirakan sirkulasi plasenta intervillous dibentuk setelah satu minggu implantasi. Namun teori ini di bantah oleh penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa sirkulasi intraplasenta ibu sangat terbatas sebelum usia kehamilan 12 minggu. Data tersebut menunjukkan bahwa selama trimester pertama, rongga intervilli plasenta yang sedang berkembang dipisahkan dari sirkulasi uterus oleh sel-sel trofoblas yang menutupi arteri uteroplasental (arteri spiralis). Pada akhir trimester pertama sel-sel trofoblas ini hilang dan mengakibatkan darah ibu mengalir secara bebas ke ruang intervilli. Sel-sel embrio dan plasenta sangat sensitif terhadap stres oksidatif karena berada dalam tahap pembelahan sel yang cepat sehingga meningkatkan risiko pemaparan Oxydative Free

Radicals (OFRs) pada sel DNA (Deoxy Nucleic Acid). Sel-sel sinsitiotrofoblas pada

31

konseptus sehingga terpapar lingkungan dengan konsentrasi oksigen yang sangat tinggi, namun karena ternyata sel-sel tersebut memiliki kadar enzim anti-oksidan yang sangat rendah pada awal kehamilan. Sehingga risiko abortus meningkat pada kehamilan dengan gangguan metabolisme maternal seperti pada ibu dengan diabetes mellitus dimana terjadi peningkatan produksi OFRs. Hal ini akan meningkatkan insiden abortus, vaskulopati dan kelainan struktural pada fetus, yang menunjukkan bahwa hasil konseptus mamalia dapat mengalami kerusakan yang irreversibel akibat stres oksidatif. Jadi asupan makan untuk embrio selama trimester pertama melalui kelenjar endometrium yang langsung disekresi pada ruang intervili plasenta. Pada akhir trimester pertama, sumbatan trofoblastik pada arteri spiralis dibuka secara bertahap, sehingga meningkatkan aliran darah maternal kedalam ruang intervillier secara bertahap pula. Selama fase transisi pada umur kehamilan 10-14 minggu, dua pertiga dari plasenta primitif yang sudah terbentuk akan menghilang, kavitas eksokoelomik hilang akibat pertumbuhan kantong amnion dan aliran darah maternal meningkat secara bertahap pada seluruh bagian plasenta. Perubahan tersebut memungkinkan darah maternal untuk mendekati jaringan fetus sehingga terjadi pertukaran nutrien dan gas antara sirkulasi maternal dan fetus (Burton GJ dkk, 2001 ; Jauniaux dkk, 2000; Jauniaux dkk, 2009).

32

Gambar 2.1 Permukaan uteroplasenta awal dan akhir timester satu (Jauniaux dkk, 2006)

Berdasarkan evaluasi sirkulasi plasenta pada berbagai masa kehamilan dengan menggunakan Doppler, tidak ditemukan sinyal nonpulsatile yang menunjukkan aliran darah maternal intraplasenta dalam rongga intervilli hingga umur kehamilan 10 minggu. Salah satu implikasi dari teori baru tersebut adalah bahwa kadar oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Sebaliknya pada kehamilan muda dengan komplikasi, terlihat hipervaskularisasi pada plasenta jauh sebelum akhir trimester pertama dengan pemetaan color flow. Pada kehamilan dengan komplikasi, invasi endometrium oleh trofoblas ekstravilli sangat terbatas dibandingkan dalam keadaan normal. Pembatasan (plugging) arteri spiralis yang tidak sempurna dan dapat menjadi faktor predisposisi

onset awal sirkulasi maternal. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam

konsentrasi rendah dan aktifitas rendah selama trimester pertama sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Ditemukan peningkatan

33

tajam dari ekspresi marker stres oksidatif pada trofoblas pada umur kehamilan delapan hingga sembilan minggu berhubungan dengan onset sirkulasi pada kehamilan normal dan diperkirakan bahwa stres oksidatif yang berlebih pada plasenta pada kehamilan muda mungkin merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis abortus (Jauniaux dkk, 2006; Burton GJ dkk, 2004).

Stres oksidatif dan peningkatan oksigenasi dapat mengubah sintesis berbagai protein plasenta. Konsentrasi serum human Chorionic Gonadotrophin (hCG) ibu mencapai puncak menjelang akhir trimester pertama dan kondisi pengoksidasi meningkatkan pembentukan sub-unit protein in vitro . Data terakhir menunjukkan hubungan antara konsentrasi O2 intrauterin in vivo dengan konsentrasi inhibin A dan sFlt-1 pada kehamilan awal, hal ini menunjukkan bahwa protein plasenta spesifik mungkin tergantung dengan konsentrasi O2 intrauterin. Pada kegagalan kehamilan dini, perkembangan pertemuan placento-desidua mengalami gangguan yang cukup berat menyebabkan aliran darah ibu yang mengalir terus menerus ke dalam plasenta dan bersamaan dengan adanya stres oksidatif menyebabkan degenerasi jaringan. Masuknya darah yang berlebihan di dalam plasenta ibu dalam tahap awal keguguran tidak berhubungan dengan karyotype janin . Lebih dua-pertiga kasus missed abortion, ada bukti anatomis dari plasentasi yang terganggu dengan pengurangan invasi sitotrofoblas ke dalam endometrium, arteri spiralis transformasinya berkurang dan adanya penyumbatan yang tidak lengkap (Muttukrisna dkk, 2011).

34

Gambar 2.2 Efek dari syncytiotrophoblastik oxidative stress terhadap abortus (Jauniaux dkk, 2000)

Angiogenesis ini ditandai dengan meningkatnya permeabilitas vaskuler, proliferasi dan migrasi sel endotel . Hal ini diatur oleh berbagai faktor pro-dan anti-angiogenik, angiopoietins dan matriks metalloproteinase. Faktor anti-angiogenik dan pro-angiogenik yang dilaporkan untuk memainkan peran penting dalam patofisiologi pre-eklampsia (PE) . Soluble Flt-1 adalah faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) reseptor 1 yang larut dalam aliran darah. Soluble Flt-1 mengikat faktor

35

pertumbuhan proangiogeni VEGF dan plasenta (PlGF), dengan demikian hal ini akan menekan fungsi mereka. Faktor pertumbuhan angiogenik VEGF-A dan PlGF telah diselidiki secara ekstensif dalam pengembangan pembuluh darah plasenta normal dan abnormal (Juniaux dkk , 2000).

Faktor angiogenik sebelumnya belum pernah dievaluasi dalam komplikasi kehamilan dini. Vaskularisasi abnormal dari plasenta dengan kerusakan oksidatif yang meningkat adalah etiologi umum dari pre-eklampsia, gangguan pertumbuhan janin akibat insufisiensi plasenta dan kegagalan kehamilan dini (Muttukrisna dkk, 2011).

Masuknya darah ibu yang berlebihan ke dalam ruang intervili memiliki efek mekanik langsung pada jaringan vili dan efek stres oksidatif yang tidak langsung untuk terjadinya disfungsi atau kerusakan sel. Korelasi data in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa stres oksidatif dari jaringan plasenta merupakan mekanisme patofisiologi umum untuk terjadinya keguguran awal. Trisomi autosom adalah kelainan kariotip paling sering ditemukan pada keguguran awal, tetapi perbandingan data dari studi sitogenetika berbeda adalah sulit karena kurangnya informasi klinis dalam penentuan usia ibu, usia kehamilan, waktu kematian janin dan metodologi sitogenetika yang digunakan. Mayoritas penulis menemukan hubungan yang lemah antara gambaran morfologi vili dan kelainan kromosom, dengan pengecualian triploidi pada mola parsial. Perbandingan temuan USG dan data histologis plasenta menunjukkan bahwa perubahan histologi vili pada kematian janin dalam rahim mempunyai nilai prediktif rendah dalam mengidentifikasi suatu aneuploidi atau

36

etiologi non-kromosom lainnya. Sebaliknya, gambaran histologis kehamilan mola dan mola parsial cukup khas dan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan histologi saja (Jauniaux dkk, 2000).

Dokumen terkait