• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebab Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Belum Dapat Diimplementasikan Secara Optimal

Dalam dokumen bahan pendidikan (Halaman 57-65)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.3. Penyebab Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Belum Dapat Diimplementasikan Secara Optimal

Krisis ekonomi menimbulkan dampak yang buruk bagi sektor pendidikan dan sektor industri. Dampak terhadap pendidikan adalah bertambahnya siswa yang dropout, sedangkan terhadap industri adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja sebagai akibat ketidakmampuan industri untuk berkembang. Akibat dari keadaan ini terjadilah peningkatan jumlah pengangguran terdidik. Dengan pertimbangan ini pemerintah daerah memtuskan untuk tidak memungut biaya pendidikan tetapi langkah ini tidak diiringi dengan penambahan anggaran pendidikan yang memadai.

Akibat yang timbul adalah sekolah mengalami kesulitan dalam pembiayaan proses pendidikan, apalagi untuk penambahan sarana prasana yang dibutuhkan. Hal ini seperti diungkapkan Cut Anisah, wakil sekolah bidang perlengkapan yang menjelaskan sebagai berikut :

Dulu waktu kita masih diperbolehkan memungut biaya SPP kepada siswa, Insya’allah, sekolah tidak pernah telat memberikan gaji pada guru honor, tetapi sekolah tidak diperbolehkan lagi memungut SPP semua ikut menanggung akibatnya, guru, siswa dan pihak sekolah. Semua ini disebabkan anggaran yang diberikan untuk proses belajar mengajar oleh pemerintah tidak mencukupi. (Wawancara, 29 September 2005)

Kurikulum berbasis kompetensi memberikan keluluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran, tetapi hal ini tidak diikuti dalam mengambil kebijakan masalah keuangan sekolah, sehingga sekolah mengalami kesulitan bidang keuangan.

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Maimun Mahyiddin, dijelaskan bahwa :

Konsep KBK menekankan pada pengembangan pengetahuan melakukan kompetensi dengan standar performasi tertentu, untuk menerapakan dan melakuakn sesuai dengan rumusan KBK sulit sekali kita laksanakan karena kekurangan dana untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan (Wawancara, 14 November 2005)

Hal tersebut diperkuat dengan Sudarman, guru bidang studi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut:

Memang untuk mengadakan sarana pendidikan dibutuhkan dana yang besar jadi wajar saja kalau ketika kita akan memberikan materi pengajaran praktek komputer, siswa belum kenal sama sekali dengan komputer karena komputer tidak ada disekolah. (Wawancara, 14 November 2005)

Wawancara di atas menarik kesimpulan bahwa dana yang dibutuhakan untuk pengadaan sangat besar karena kesulitan dana sekolah tidak dapat mengadakan peralatan dan sarana pendidikan seperti yang diharapkan KBK. Hal ini merupakan masalah yang sangat mendasar dan harus mendapat perhatian serius.

Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini adalah keterbatasan SDM yang berkualitas, dan ini menjadi suatu fenomena yang sekaligus menjadi masalah utama yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kualitas SDM Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan SDM negara-negara Asean lainnya. Ketinggalan ini hanya dapat dijawab dengan peningkatan kualitas pendidikan. Indonesia dengan latar belakang yang beragam memerlukan penataan sistem dan layanan pendidikan yang lebih demokratis sesuai dengan tuntutan masyarakat. Guru merupakan ujung tombak dalam menciptakan masyarakat yang berkualitas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Maimun Mahyiddin Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lhokseumawe, yaitu :

Untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dalam masyarakat yang heterogen (majemuk), perlu keterlibatan semua pihak (pemerintah, keluarga, masyarakat) dan ini merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Namun jika guru yang memberi pendidikan tidak mampu maka akan berakibat buruk. (Wawancara, 29 September 2005)

Mengenai keberhasilan murid menyerap materi pelajaran yang diberikan, tidaklah menjadi bahan pemikiran yang serius bagi guru. Para guru idak berani mengambil suatu tindakan yang tegas kepada siswa yang melanggar aturan atau kedisiplinan yang diterapkan sekolah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Marzuki, selaku guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe, yakni :

Hampir tidak ada guru yang berani mengambil tindakan yang tegas terhadap siswa yang bermasalah. Sulit rasanya kami berkompetensi, karena keseriusan siswa sangat rendah dalam mengikuti materi pelajaran. ( Wawancara, 29 September 2005).

Berdasarkan kutipan pendapat di atas, jelas bahwa guru kurang memperdulikan kompetensi. Dalam keadaan yang demikian ini wajar sekali apabila yang tidak mampu menyerap pendidikan yang baik karena tidak adanya motivasi dari guru.

Di pihak lain, pada SMA Negeri 1 Lhokseumawe masih terdapat tenaga pengajar yang bukan mengajar pada bidang keahlian yang dimilikinya. Terdapat guru yang mengajar mata pelajaran lain dan tidak sesuai dengan jurusan atau spesialisasi ilmu pengetahuan yang pernah diperolehnya. Sedikit banyaknya hal ini juga dapat memperlemah kemampuan guru untuk berkompetensi. Sehubungan dengan ini, Maimun Mahyiddin selaku Kepala Sekolah mengatakan bahwa :

Daripada terjadi kekosongan tenaga pengajar, lebih baik ada yang mengisi meskipun guru tersebut kurang menguasai pelajaran yang akan diberikan. Namun setidak-tidaknya kekosongan tenaga pengajar tidak terjadi dan para siswa dapat tetap belajar sebagaimana mestinya tanpa resah karena tidak ada guru. ( Wawancara, 29 September 2005).

Ungkapan tersebut memperkuat anggapan bahwa tenaga pengajar pada umumnya masih sangat kurang, termasuk pada SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru sangat sulit untuk dilaksanakan atau dengan kata lain Kepala sekolah mengalami kesulitan dalam usaha meningkatkan kompetensi guru.

Disamping itu, kegiatan-kegiatan yang dapat mendongkrak kemampuan guru pada bidang keahliannya masih sangat kurang. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya seminar, lokakarya, pertemuan guru bidang studi dan lainnya. Kalaulah ada belum tentu dilaksanakan setahun sekali karena tergantung kepada panggilan dari pihak atasan dalam hal ini Dinas Pendidikan Pemko Lhokseumawe dan tergantung pada ketersediaan dana yang ada pada mereka.

Untuk meningkatkan kompetensi para murid perlu adanya rangsangan atau stimulus yang diberikan oleh guru. Rangsangan tersebut dapat berupa benda-benda tertentu, alat peraga dalam bidang studi tertentu. Kesemua itu tergantung pada fungsi kemampuan guru sepenuhnya mampu atau tidak menciptakan rangsangan yang dapat memancing para murid untuk berkompetensi.

Namun tidak semua rangsangan untuk berkompetensi dari guru dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena bagaimanapun guru masih mempunyai atasan yang lebih berhak menentukan maju dan berkembangnya suatu pendidikan.

Rangsangan untuk berkompetensi yang diberikan oleh harus memperhatikan segala aspek pendidikan.berikut keterangan dari Sudarman guru bidang studi TIK yaitu :

Rangsangan guna meningkatkan kemauan para murid untuk meningkatkan kemampuannya dapat dikatakan tidak ada. Bagaimana kami membuat suatu rangsangan guna meningkatkan daya kompetensi murid, semua itukan membutuhkan dana, hal ini menyebabkan minimnya prasarana terutama untuk proses pengajaran saya. (Wawancara, 29 September 2005).

Ungkapan yang demikian ini menunjukkan bahwa kemampuan guru sangat terbatas. Pemberian rangsangan biasanya diikuti oleh ketersediaan dana. Tanpa tersedianya dana yang memadai semua itu tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa guru mempunyai keterbatasan tugas dan tanggung jawab untuk dapat melaksanakan suatu program tertentu guna dapat merangsang murid dalam pelaksanaan pendidikan.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Model Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Karakteristik kebijakan KBK antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Disamping itu KBK memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik, pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja bila mereka telah siap dan dalam

pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing.

Sebenarnya kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri sebagai berikut :

1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

2. Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman.

3. Penyampaian dalam belajar menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya pengusaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Lebih lanjut dari berbagai sumber sedikitnya dapat diidentifikasikan enam ciri kebijakan KBK yaitu : 1). Sisitem belajar dengan modul, 2). Menggunakan keseluruhan sumber belajar, 3). Pengalaman lapangan, 4). Strategi individual personal, 5). Kemudahan belajar dan 6). Belajar tuntas.

Hal ini sesuai dengan model kebijakan KBK dimana kebijakan ini mengarah pada :

1. kepentingan yang berpengaruh oleh kebijakan pendidikan.

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan adalah peningkatan mutu pendidikan. 3. Derajat perubahan yang diinginkan lebih dari kebijkan kurikulum terdahulu

4. Pembuat kebijakan adalah orang-orang mengerti dan peduli pendidikan 5. pelaksana kebijakan KBK dilakukan semua pihak.

6. Sumberdaya yang dikerahkan merupakan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah yang peduli dengan peningkatan mutu pendidikan.

Konsep KBK menekankan pada pengembangan pengetahuan melakukan kompetensi dengan standar performasi tertentu, yang jadi persoalan apakah siswa mampu melakukan dan apakah gurunya siap dapat diatasi selangkah demi selangkah dengan tidak mengenal putus asa. Peningkatan mutu SDM yang sesuai dengan kebutuhan juga mutlak ditingkatkan sesuai dengan perkembangan teknologi sehingga kelak akan mampu bersaing dan bersanding secara internasional.

4.2.2. Penyebab Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi Belum Dapat Diimplementasikan Secara Optimal

Sudah dapat dipastikan bahwa apapun kegiatan yang akan dilakukan sangat memerlukan dukungan dana. Besar kecilnya dana yang dibutuhkan tergantung dengan kegiatan yang akan dilakukan. Dana termasuk faktor penentu keberhasilan program dari suatu organisasi.

Demikian pula halnya dengan pelaksanaan untuk keperluan peningkatan KBK sangat tidak mungkin, karena segala keuangan telah ada dan telah ditentukan penggunaannya. Misalnya penggunaan Dana Biaya Operasi (DBO) untuk keperluan peningkatan kompetensi guru sangat tidak mungkin. Dana DBO sudah dianggarkan khusus untuk operasional sekolah setiap harinya. Demikian juga penggunaan dana- dana yang lainnya.

Bekerja sama dengan pihak ketiga, misalnya dengan orang tua wali murid ataupun dengan perusahaan sangatlah sulit. Mereka sangat sulit apabila dimintakan bantuannya guna peningkatan daya kompetensi guru. Bantuan dana dari pihak ketiga baik itu dari orang tua murid ataupun perusahaan-perusahaan tertentu sangatlah sulit dan tidak pernah ada

Dalam keadaan yang demikian ini peningkatan daya kompetensi guru dilaksanakan apa adanya saja dan diserahkan pada para tenaga pengajar/guru sebagai upaya membangkitkan kesadaran dan kemauan guru bertanggung jawab penuh terhadap proses belajar mengajar dan penigkatan mutu pendidikan.

Kepala Sekolah hanya memposisikan diri sebagai pelindung dan mengarahkan para guru apabila mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar. Hal itu memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab dari setiap Kepala sekolah. Langkah lainnnya adalah mengusulkan kepada pemerintah daerah agar dana pendidikan ditambah untuk tahun-tahun yang akan datang.

Masalah yang dihadapi tentang keterbatasan SDM guru yang berkualitas, dapat dijawab dengan peningkatan kualitas pendidikan guru. Guru dapat ditingkatkan kualitasnya dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :.

Dalam dokumen bahan pendidikan (Halaman 57-65)

Dokumen terkait