• Tidak ada hasil yang ditemukan

bahan pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "bahan pendidikan"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu usaha dari setiap warga negara untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam masyarakatnya. Dalam proses pembangunan di Indonesia pendidikan sangat diprioritaskan, karena melalui pendidikan membentuk moral pada diri seseorang serta menambah pengetahuannya, rasa tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa, masyarakat dan agama. Pendidikan di Indonesia dimulai dari jenjang pendidikan dasar atau disebut SD kemudian dilanjutkan dengan sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) kemudian dilanjutkan ke sekolah menengah atas (SMA) dan terakhir jenjang perguruan atau pendidikan tinggi.

SMA merupakan bagian jenjang pendidikan yang sangat fundamental dalam perkembangan generasi selanjutnya mengingat pada jenjang pendidikan ini usia pelajar yang mengenyam pendidikan berkisar antara 15 tahun ke atas. Pada usia ini merupakan usia yang sangat rentan akan suatu perubahan sosial budaya. Apabila kita tidak serius dalam melaksanakan pendidikan akan berakibat buruk pada masa yang akan datang.

Aturan pemerintah di bidang pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan amanat konstitusi. Amanat tersebut tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat, yang berbunyi antara lain mencerdaskan kehidupan

(2)

bangsa. Rumusan dihasilkan oleh para pendiri republik tersebut sangat dalam maknanya, tetapi dalam setiap periode mengalami interprestasi sesuai dengan perkembangan. Berkembangnya tujuan pendidikan dari GBHN satu ke GBHN berikutnya mengidentifikasikan bahwa apa yang telah dikemukakan dalam Undang-undang Dasar tersebut, ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, haruslah dapat diinterprestasikan menurut kurun zamannya.

Dalam penyelenggaraan pendidikan banyak masalah yang segera harus diatasi. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut : Ketidakseimbangan itu meliputi ketidakseimbangan mengenai jumlah penduduk yang berada pada usia sekolah dengan fasilitas yang tersedia untuk mereka, ketidakseimbangan pendidikan secara horizontal. (kesenjangan jenjang pendidikan), ketidakseimbangan vertical (ketidakseimbangan jumlah jenjang sekolah).

Pemerataan atau kualitas pendidikan berkenaan dengan seberapa banyak anak-anak yang berada pada usia sekolah mendapatkan layanan pendidikan. Masalah kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar bangsa Indonesia lebih maju. Masalah relevansi pendidikan merupakan masalah yang timbul berkaitan dengan hubungan antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional serta kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

(3)

seberapa sumber-sumber pontesial pendidikan, baik yang bersifat manusiawi maupun non manusiawi yang sangat terbatas,dapat dioptimalkan penggunaannya.

Kebijakan penerapan kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu menjawab semua persoalan di atas, namun di sisi lain apakah kebijakan kurikulum berbasis komputensi tersebut cocok digunakan pada daerah yang sedang mengalami konflik dan musibah seperti provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini.

SMA Negeri 1 Lhokseumawe untuk saat ini telah menerapkan kurikulum berbasis kompentesi. Hal ini ditandai dengan adanya sarana lab komputer yang memungkinkan siswa untuk praktek komputer secara mandiri. Selanjutnya juga ada penambahan sarana dan prasarana untuk mata pelajaran yang lain.

Penerapan kurikulum sebagai salah satu kebijakan yang diambil pemerintah pusat dalam upaya meningkatkan pendidikan sering kali tidak sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang terjadi di daerah. Untuk itu diperlukan langkah bijak oleh pemerintah daerah untuk mengambil langkah dan kebijakan guna memperbaiki mutu pendidikan tanpa harus bertentangan dengan kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah :

(4)

2. Mengapa kebijakan kurikulum berbasis kompetensi belum dapat diimplementasikan secara optimal dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMA Negeri I Lhokseumawe?.

1.3 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:

1. Model kebijakan kurikulum berbasis kompetensi dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMA Negeri I Lhokseumawe.dengan fokus penelitian pada proses perencanaan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan.

2. Penyebab kebijakan kurikulum berbasis kompetensi belum dapat diimplementasikan secara optimal dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMA Negeri I Lhokseumawe.dengan fokus penelitian kemampuan sumber daya manusia dan pendanaan pendidikan.

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan focus penelitian, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

(5)

2. Mendeskripsikan dan menganalisis penyebab kebijakan kurikulum berbasis kompetensi belum dapat diimplementasikan secara optimal pada SMA Negeri I Lhokseumawe.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis: menjadi masukan bagi SMA Negeri I Lhokseumawe untuk meningkatkan mutu pendidikan di kota Lhokseumawe

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Nurhayati (2004 : 54) dengan judul “kebijakan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis” Pemerintah Daerah turut memberi andil bagi bertambahnya gelandangan dan pengemis apabila dalam mengeluarkan suatu kebijakan tidak memperhatikan keadaan atau kemampuan orang-orang miskin. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan berjualan di jalan-jalan kota, tetapi Pemerintah Daerah tidak memberikan solusi dimana seharusnya mereka memperdagangkan barangnya. Dalam keadaan yang demikian ini jelas menimbulkan gelandangan dan pengemis berwajah baru. Mereka tidak mempunyai kemampuan atau keahlian lain kecuali membuka kelontong, apabila usaha yang demikian ini dilarang maka habislah mata pencaharian mereka dan menjadi gelandangan dan pengemis menjadi pilihan yang terbaik bagi mereka.

Ade Cahyana (1998 : 4-20) dengan judul penelitian “Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan” menjelaskan salah satu pola perilaku kelembagaan pemerintah Orde Baru yang dinilai menghambat pembaharuan selama ini adalah dalam menentukan kepentingan program pendidikan, yang kerap kali menggunakan justifikasi kemapanan yang bersifat pasif (misalnya UUD 1945).

(7)

Sementara di era globalisasi ini tujuan-tujuan dan program-program pendidikan dituntut untuk secara dinamik menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat bahkan terlalu cepat untuk diikuti. Dalam konteks inilah, reformasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk merubah masukan (input) pendidikan menjadi dampak pembangunan. Masukan di sini dapat diartikan atau siswa atau calon Sumber Daya Manusia pembangunan, sedangkan dampak atau pembangunan harus diterjemahkan secara substantif ke dalam komponen-komponen prioritas pembangunan nasional (misalnya: iptek untuk industrialisasi). Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan pendidikan nasional perlu dirumuskan dalam jangka menengah. Mengapa jangka menengah? Karena keampuhan kinerja dari suatu sistem pendidikan terbatas dan harus secara cepat mampu merubah orientasinya sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada.

2.2. Konsep Kebijakan

(8)

Pandangan yang pertama ialah pendapat para ahli yang mengindetikkan kebijkan publik dengan tindakan - tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pakar dalam wahab (1989 : 30) telah menyajikan suatu daftar yang cukup lengkap mengenai pelbagai definisi kebijakan Negara. Salah satu definisi itu menyebutkan bahwa :

Kebijakan negara itu adalah suatu tujuan tertentu, atau serangkaian azas tertentu, atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu subjek atau berbagai respon terhadap suatu lanjutan yang kritis

Dye dalam Wahab (1989 : 31) merumusakan kebijaksanaan Negara sebagai ‘semua pilihan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah”.

Rumusan lain yang agak mirip dengan definisi Dye dikemukakan oleh dua orang ahli dalam Edwards dan Sharkanky (1989 : 31) yang mengatakan bahwa kebijaksanaan Negara adalah “apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya. Ia adalah tujuan - tujuan atas sasaran – sasaran dari program pelaksanaan niat dan peraturan – peraturan.

(9)

Para ahli yang mewakili kutub yang pertama memandang kebijkasaan Negara dalam tiga aspek, yaitu perumusan kebijaksaaan sebenarnya terdiri dari serangkaian keputusan atau tindakan. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Pressman dalam Wahab (1989 : 32) mendefinisikan kebijaksanaan Negara sebagai :”Suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal serta akibat-akibat yang dapat diramalkan.

Dalam memperbincangkan konsep pembuatan kebijaksaaan Negara ini, kita akan menampilkan beberapa pendapat dari pakar yang kita angggap dapat memperjelas makna yang tergantung dalam pembuatan kebijkasanaan tersebut diantara para pakar tersebut adalah sebagai berikut : Wahab (1989 : 32-34)

1. Charles Lindbiom yaitu yang menyatakan bahwa proses pembuatan kebijaksanaan itu adalah :

An extremely complex analytical and political process to which there is no beginning or end and the bourdaries of which are must uncertain somehow complex set of forces that the call”. Policy making “ all taken together, produces effeets called policies”Suatu proses yang amat kompleks, bersifat analisis dan politis yang tidak mempunyai awal atau akhir dan batasan – batasan dari proses tersebut pada umumnya tidak pasti. Kadangkala rangkaian kekuatan – kekuatan yang kompleks yang kita sebut pembuatan kebijaksanaan itu menghasilkan suatu akibat yang kita namakan kebijaksanaan).

(10)

3. Raymond Baver, memandang pembuatan kebijaksanaan Negara sebagai “the process of transformation which turns political imputs into political” (proses pengalih ragaman yang mengubah masukan – masukan politik menjadi keluaran politik)”.

Dari rumusan pembuatan kebijaksanaan Negara yang dikemukakan oleh Dror tersebut di atas kita dapat mengenali 12 (dua belas ) ciri yang terdapat dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. Kedua belas ciri tersebut adalah :

1. Sangat kompleks

2. Prosesnya bersifat dinamis

3. Komponen – komponen beraneka ragam

4. Peran masing – masing sub struktur berbeda-beda 5. Memutuskan

6. Sebagai pedoman umum 7. Untuk mengambil tindakan 8. Diarahkan pada masa depan

9. Terutama dilakukan oleh lembaga – lembaga pemerintah 10. Secara formal dimaksudkan untuk mencapai sesuatu tujuan 11. Apa yang tercermin dalam kepentingan umum

(11)

2.3. Model – model pembuatan Kebijakan Negara / Publik

Tujuan diciptakannya sebuah model mungkin amat sederhana, mungkin pula kompleks. Secara sederhana mungkin model itu sekedar dimaksudkan sebagai sebuah alat pengingat yang dapat dilihat sewaktu – waktu.

Model – model pembuatan kebijaksanaan negara (public policymaking models) yang akan disajikan adalah mengacu pada pembagian yang telah dibuat oleh Dye dalam Wahab (1989 : 49) yang membaginya dalam 6 buah model yaitu

1. Model kelembagaan 2. Model kelompok 3. Model elite 4. Model rasional 5. Model incremental 6. Model sistem.

1. Model Kelembagaan : Kebijakan di pandang sebagai kegiatan lembaga – lembaga pemerintahan.

(12)

Agung, Kantor Gubernur, Kotamadya, Kabupaten, Kantor Desa dan partai Politik, Golongan Karya.

Model kelembagaan biasanya dipakai untuk menelaah proses pembuatan kebijaksanaan, namun sebetulnya dapat pula dimanfaatkan untuk menelaah implementasi kebijakan. Kalau model kelembagaan tersebut digunakan untuk menganalisis implementasi kebijaksanaan, maka yang menjadi pusat perhatian ialah keadaan lembaga – lembaga yang terlibat dalam proses implementasi kebijaksanaan tersebut masalah – masalah koordinasi diantara lembaga – lembaga itu.

[image:12.612.113.513.447.593.2]

Sungguh pun demikian, model kelembagaan ini bukannya tanpa cacat, barangkali kelemahan yang serius dari model kelembagaan ialah ketidak mampuannya untuk menjelaskan secara sistematik sebab musabab gagalnya suatu kebijaksanaan.

Gambar I : model Kelembagaan

Sumber (Wahab 1989 : 52)

2. Model kelompok : kebijaksanaan Di Pandang Sebagi hasil Keseimbangan Kelompok

Model kelompok pada dasarnya berangkat dari suatu anggapan bahwa interaksi antar kelompok dalam masyarakat adalah merupakan pusat pelatihan politik.

MPR

MPR

MA

MA

BPK

BPK

DPR

DPR

PRES

PRES

DPA

DPA

KEJAGUNG

(13)

Menurut pakar ilmu politik (Wahab 1989 : 52) kelompok kepentingan itu pada hakikatnya adanya suatu kelompok yang mempunyai sikap – sikap yang sama dan medesakkan tuntutan – tuntutan terhadap kelompok – kelompok lain dalam masyarakat.

Latham dikutip oleh Dye, dalam Wahab (1989) menggambarkan kebijaksanaan negara dari sudut teori kelompok sebagai berikut :

Kebijaksanaan negara pada hakikatnya adalah keadaan seimbang yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan ia mencerminkan keseimbangan setelah pihak–pihak atau kelompok–kelompok tertentu mengarahkan kebijaksanaan itu kearah yang menguntungkan mereka. Adapun variable yang dipergunakan dalam kelompok ini diantaranya latar belakang kelompok tingkat kohesivitas kelompok, tujuan – tujuan kelompok, tingkat kesejahteran anggota – anggota kelompok, kemampuan kepemimpinan kelompok, ukuran dan komposisi kelompok.

(14)
[image:14.612.149.533.150.313.2]

Gambar 2 ; Model Kelompok

Sumber : (wahab 1989 : 55).

3. Model Elite : kebijaksanaan di pandang sebagai prefeensi elite

Model elite adalah sebuah model yang dikembangkan dengan mengacu pada teori elite. Teori elite pada umumnya menentang keras terhadap pandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat itu terdistribusi secara merata.

Pareto dan Mosca dalam Wahab (1989 : 56) menyatakan bahwa kehadiran elite politik itu adalah penting dan bahkan merupakan ciri yang melekat pada semua masyarakat.

Menurut Dye, dalam Wahab (1989) teori elite dilandasi oleh belbagai asumsi – asumsi dasar sebagai berikut : masyarakat itu terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mereka yang jumlahnya sedikit dan berkuasa jumlahnya banyak namun tidak mempunyai kekuasaan.

Pengaruh Kelompok B

Pengaruh Kelompok A

Alternatif

(15)

1. Mereka yang jumlahnya sedikit dan memerintah itu (elite) tidak mempunyai ciri – ciri yang sama bila dibandingkan dengan Mosca yang diperintah golongan elite berasal dari lapisan sosial ekonomi teratas dalam masyarakat.

2. Pergeseran posisi dari kalangan bukan elite ke kedudukan – kedudukan elite biasanya berlangsung secara lamban, karena ada kecendrungan untuk mempertahankan stabilitas seraya menghadiri revolusi.

3. Golongan elite pada umumnya mempunyai kesadaran bersama mengenai nilai – nilai dasar dari sistem sosial yang berlaku dan berusaha untuk melanggengkan sistem sosial tersebut.

4. kebijaksanaan negara tidaklah mencerminkan tuntutan – tuntutan rakyat, melainkan lebih mencerminkan supaya golongan elite untuk melestarikan golongan mereka.

5. Keaktifan golongan elite sebenarnya menunjukkan betapa kecilnya pengaruh rakyat (masa) Golongan elite yang paling banyak mempengaruhi rakyat

(16)
[image:16.612.129.490.101.356.2]

Gambar 3 : Model Elite

Sumber ; Wahab (1986 : 61 )

4. Model rasional ; kebijaksanaan di Pandang Sebagai Pencapaian Tujuan Secara Efesien

Pembuatan kebijaksanaan yang rasional juga memerlukan informasi yang lengkap mengenai belbagai alternatif kebijaksanaan, kemampuan meramal untuk melihat secara cermat akibat – akibat dari kebijaksanaan yang dipilih dan kejadian untuk memperhitungkan secara tepat nisbah antara biaya dan manfaat yang diperoleh pembuatan kebijaksanaan yang rasional juga membutuhkan adanya suatu sistem pengambilan keputusan yang mendorong terciptanya rasional dalam perumusan kebijaksanaan.

Model rasional atau kadangkala disebut model rasional koprehensif atau model sinoptik ini banyak dikecam oleh para pakar analisis kebijaksanaan, kecaman yang paling berdasar adalah yang dikemukan oleh Lindblom, dalam hubungan ini

Elite

Para Pejabat Pemerintah dan

Administrator

Massa Arah Kebijaksanaan

(17)

Lindblom mencatat adanya 8 (delapan) kelemahan yang melekat pada model rasional dalam Wahab (1989 ; 69) yang menyebabkan gagal untuk beradaptasi / menyesuaikan diri `; adapun kelemahannya adalah ;

1. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan keterlibatan manusia dalam memecahkan masalah.

2. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan informasi yang serba kurang. 3. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan analisis biaya.

4. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegagalan – kegagalan mungkin muncul dalam penyusunan suatu metode evaluasi yang memuaskan.

5. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan keterdekatan hubungan antara fakta dan nilai dalam pembuatan kebijaksanaan.

6. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan sifat keterbukaan disistematika yang satu sama lain mungkin bertentangan.

7. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan analisis untuk menyusun stategi analisis yang utuh dan berubah.

8. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan bentuk masalah kebijasakanaan yang senyatanya terjadi.

(18)

1. Dalam masyarakat sebetulnya, tidak ada nilai - nilai sepakat bersama yang ada hanyalah nilai – nilai yang dianut oleh kelompok – kelompok tertentu, bahkan individu – individu tertentu.

2. Nilai-nilai yang saling bertentangan itu kebanyakan tidak dapat diperbandingkan ataupun diberi pembobotannya.

3. Lingkungan yang meliputi para pembuat kebijaksanaan.

4. para pembuat kebijaksanaan dalam pengambil keputusan tidaklah menyadarkan diri pada tujuan – tujuan masyarakat.

5. Para pembuatan kesejahteraan sebenarnya tidaklah dimotivasikan tidaklah menyadarkan diri pada tujuan – tujuan masyarakat.

6. Investasi – investasi dalam jumlah besar dalam program – program dan kebijaksanaan – kebijaksanaan yang ada sekarang menjadikan para pembuat kebijaksanaan enggan untuk membuat ketimpangan atau mengambil keputusan yang sama sekali lain dari keputusan yang dibuat pada masa lalu.

7. terhadap sejumlah besar rintangan yang akan dihadapi jika dilakukan usaha-usaha untuk pengumpulan suatu informasi yang diperlukan guna mengetahui setiap alternatif kebijaksanaan.

(19)

9. para pembuat kebijaksanaan, meski dalam abad kemajuan dewasa ini belum memadai dalam situasi kemasyarakatan yang beraneka ragam nilai-nilai tesnya baik ditilik dari sudut politik, sosial, ekonomi dan budaya.

10. para pembuat kebijaksanaan mungkin mempunyai kepentingan pribadi atau kemungkinan cacat dari yang mencegahnya untuk bertindak secara rasional. 11. Ketidak pastian mengenai akibat –akibat dari belbagai alternatif kebijaksanaan

menolong untuk hanya menempuh alternatif kebijaksanaan yang paling dekat dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan sebelumnya.

12. Bersifat segmental dari pembuatan kebijaksanaan, terutama di dalam birokrasi – birokrasi yang besar pada umumnya menyucikan pengkoordinasian pengambilan keputusan.

[image:19.612.96.573.456.718.2]

Walaupun model rasional ini banyak dikecam oleh para ahli atau tidak dapat dipraktekkan namun tetap penting untuk keperluan analisis.

Gambar 4 : Model Rasional Menyusun Tujuan Operasional secara lengkap beserta pembobotyaannya Menyusun dan mendaftar nilai – nilai dan sumber -2 yang diperlukan serta pembobotannya Menyiapkan semua alternatif kebijaksanaan Menyapkan ramalan – ramalan yang menyeluruh tentang biaya dan manfaat dari alternatif yang dipilih Menghitung manfaat yang akan diperoleh dari tiap – tiap alternatif kebijaksanaa n yang dipilih Membangdingk an manfaat dari tiap – tiap alternatif kebijaksanaa n yang dipilih dan memilih alternatif yang paling tinggi manfaatnya Kebijaksa naan yang rasional Imput semua

sumber – sumber yang diperlukan demi berlangsungnya proses yang benar – benar rasional

(20)

Sumber : Dye (Dalam Wahab 1989 : 68).

5. Model Inkremental : Kebijakan di pandang sebagai variasi dari kebijaksanaan – kebijaksanaan sebelumnya.

Model incremental pada hakikatnya memandang kebijaksanaan negara sebagai kelanjutan dari kegiatan. Kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah dimasa lampau, dengan hanya dilakukan perubahan – perubahan sebelumnya.

Model incremental ini oleh para penganutnya Wahab (1987 : 72) sering disebut – sebut sebagai lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam proses pembuatan kebijaksanaan negara bila dibandingkan dengan model rasional

komprehensif.

Adapun ciri-ciri yang dimaksud menurut Lindblom dkk, dalam Wahab )1989 : 72) antara lain :

1. Para pembuat kebijaksanaan seringkali enggan berfikir dalam kerangka yang menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujuan – tujuan yang akan dicapai.

2. Jika kenyataan bahwa kebijaksanaan – kebijaksanaan yang ada tidak berhasil mengatasi masalah, maka langkah – langkah perbaikan yang ditempuh oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan para administrator akan cendrung bersifat incremental.

(21)

4. hanya sedikit sekali kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dibuat oleh individu – individu atau bahkan oleh badan – badan tunggal, melainkan kebanyakan justru dibuat melalui interaksi dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijaksanaan.

5. Walaupun para actor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijaksanaan itu masing – masing mempunyai kepentingan pribadi, namun mereka bukanlah peserta – perserta yang buta dan mereka mampu menyesuaikan diri satu sama lain.

6. Suara nilai yang melekat pada kebanyakan demokrasi liberal yang pluralistik

ialah upaya untuk mencari consensus, sebagai yang muncul tidak selalu kebijaksanaan yang terbaik, melainkan kebijaksanaan yang paling disepakati oleh kelompok – kelompok yang terlibat. Berdasarkan keenam ciri di atas bahwa model incremental ini menampilkan “gaya” yang komprehensif dalam proses pembuatan kebijaksanaan. Menurut pengamatan Dye dalam Wahab (1989 : 74) ada sejumlah alasan yang dapat diketengahkan kenapa para pembuatan kebijaksanaan para umumya cenderung berbuat seperti itu :

a. Karena para pembuat kebijaksanaan pada umumnya tidak mempunyai waktu yang cukup, kecakapan atau uang meneliti secara cermat suatu alternatif kebijaksanaan yang ada.

(22)

akibat dari kebijaksanaan – kebijaksanaan yang sama sekali baru atau sama sekali berbeda dalam program – program yang ada boleh jadi terdapat.

[image:22.612.160.473.260.430.2]

c. Investasi besar – besaran yang mencegah dilakukannya setiap perubahan yang bersifat radikal. Pendekatan incremental ini juga layak serta politis.

Gambar 5 : Model Inkremental

Sumber : wahab (1989 : 78)

6. Model Sistem : kebijaksanaan dipandang sebagai output dari system

Model system pada hakikatnya adalah sebuah model untuk pertama kalinya dikembangkan oleh ilmuwan politik Amerika David Easton model ini kadangkala juga disebut dengan istilah “model Easton” atau “Eastanian Model”.

Melihat utama dari model system ini adalah kemampuan untuk mengkonsepsualisasikan secara sederhana gejala – gejala politik yang kerap kali jauh lebih kompleks. Model system ini juag bermanfaat dalam mengelompokkan proses kebijaksanaan kedalam sejumlah tahapan yang berbeda – beda yang masing – masing tahapan itu dapat pula dianalisis secara lebih terperinci.

Kebijaksanaan incremental

Kebijaksanaan yang telah disepakati sebelumnya

(23)

Menurut Dye, dalam Wahab (1989 : 81) model system ini mempunyai tingkat kegunaan tertentu, sebab model ini dapat memberikan petunjuk mengenai hal – hal berikut :

1. Dimensi – dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan – tuntutan terhadap system politik?.

2. Ciri-ciri system politik yang bagaimanakah yang memungkinkan untuk mengubah tuntutan – tuntutan menjadi kebijaksanaan negara dan berlangsung terus menerus?.

3. Dengan cara bagaimanakah masukan – masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi system politik?.

4. Ciri – ciri system politik bagaimanakah yang mempengaruhi isu kebijaksanaan negara?.

5. Bagaimanakah masukan – masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijaksanaan negara?.

(24)
[image:24.612.104.557.121.340.2]

Gambar 6 : Model Sistem

Sumber Wahab (1989 : 82)

2.4. Model-Model Implementasi Kebijakan

Konsep implementasi kebijakan publik yang telah dipaparkan di atas, maka mengkaji lebih mendalam berikut dikemukakan tiga model implementasi kebijakan yaitu : (1) Model Meter dan Van Horn, (2) Model Grindle dan (3) Model Sahatier dan Mazmanian.

1. Model Kebijakan Mater dan Van Horn

Model Meter dan Horn dalam Ayub (2005 : 4) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan antara berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kerja suatu kebijakan, implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja yang tinggi berlangsung dalam hubungan berbagai faktor. Dalam teorinya Meter danVan Horn yang beranjak dari suatu argumen

Tuntutan – tuntutan Dokumen sumber – sumber

Proses – prose konversi / pengambilan keputusan dsb Lingkungan

Masukan –

Masukan Sistem Politik

Keluaran kebijaksanaan

Lingkungan Hasil Akhir Kebijaksanaan

(25)

bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implemtasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan.

Mereka menawarkan suatu pendekatan untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Meter dan Van Horn berusaha membuat tipologi kebijakan menurut : (1) jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan, (2) jangkauan atau proses implementasi. Alasannya adalah bahwa proses implentasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program relatif lebih tinggi (Wahab, 1997 : 78).

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting, karena bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil bisa juga gagal ketika para pelaksana tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan.

2. Model Grindle

(26)

Pendapat mereka tidak jauh dengan gagasan yang selama ini telah berkembang dalam studi-studi kelembagaan. Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi yakni : tujuan, pelaksanaan tugas dan organisasi dengan lingkungan. (Ayub, 2005 : 4)

Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, dan konteks kebijakannya. Isi kebijakan mencakup (1) kepentingan yang berpengaruh oleh kebijakan, (2) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4) kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program dan (6) sumberdaya yang dikerahkan. Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang salinng berbeda lebih sulit diimplentasikan dibandingkan yang menyangkut sedikit kepentingan.

3. Model Sabatier dan Mazmanian

Sabatier dan Mazmanian dalam Stilman (1988 : 379-300) meninjau implementasi dari kerangka analisisnya. Model ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top-down palingg maju, karena telah mencoba mensitesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan button up menjadi enam kondisi bagi implementasi kebijakan yang efektif, apabila :

1. Tujuan-tujuan bersifat konsisten dan jelas, sehingga mereka bisa memberi standar evaluasi dan sumber yang legal.

(27)

3. Standar organisasi disusun secara legal, guna mengupayakan kepatuhan bagi pelaksana kebijakan dan kelompok sasaran.

4. Para implementator punya komitmen dan ketrampilan dalam menerapkan kebebasan yang dimilikinya, guna mewujudkan tujuan kebijakan.

5. Dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan dan kekuasaan dalam legislatif dan eksekutif.

6. Perubahan kondisi sosial ekonomi yang tidak menghilangkan dukungan kelompok keluasaan atau memperlemah teori kausal yang mendukung kebijakan tersebut.

Kedua tokoh ini menyadari bahwa bila kondisi-kondisi di atas terpengaruhi bukan berati ada jaminan mutlak bahwa implementasi itu akan benar-benar berjalan efektif. Ada faktor-faktor lain yang harus diperhatikan, faktor-faktor tersebut oleh Sabatier dan Mazmanian disebut sebagai bagian dari kondisi.

2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Pembuatan keputusan bukanlah keputusan / kebijaksanaan pekerjaan yang sederhana dan mudah, setiap administrasi dituntut mempunyai keahlian tanggung jawab, kemauan sebagai ia dapat membuat kebijaksanaan dengan segala resikonya baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

(28)

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu menurut Nigro (Islamy 1984 : 25) adalah sebaagi berikut :

b. Adanya pengaruh tekanan – tekanan dari luar. c. Adanya pengaruh kebiasaan lama.

d. Adanya pengaruh sifat pribadi. e. Adanya pengaruh dari kelompok luar. f. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.

Di samping adanya faktor – faktor tersebut di atas Caiden (Islamy 1989 : 2&) menyebutkan adanya beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan yaitu :

Sulit memperoleh informasi yang cukup bukti –bukti sulit disimpulkan ; adanya belbagai macam kepentingan yang berbeda pula ; dampak kebijaksanaan sulit dikenali ; umpan balik keputusan bersifat sporadic; proses perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebagainya. Anderson, Islamy (1984 : 27) melihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi tingkah laku pembuat keputusan dalam pembuatan keputusan yaitu : 1. Nilai – nilai politik keputusan – keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik

dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.

2. Nilai – nilai organisasi keputusan – keputusan dibuat atas dasar nilai – nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa.

(29)

4. Nilai – nilai kebijaksanaan keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijaksanaan yang secara moral dapat dipertanggung jawabkan.

5. Nilai – nilai ideologi misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya kebijaksanaan dalam dan luar negeri.

Kesalahan – kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan, Nigro, (Islamy 1984 : 28) menyebutkan adanya 7 (tujuh) macam kesalahan umum itu, itu :

a. Cara berfikir yang sempit.

b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumpition that future will repeat past).

c. Terlampau menyerderhanakan sesuatu (over simplification).

d. Terlampau menguntungkan pada pengalaman satu orang (overeliance on one’s own experience).

e. Keputusan – keputusan yang dilandasi oleh para konsepsi pembuat keputusan (preconceived nations).

f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillangnees to experiment).

(30)

2.6. Kebijakan Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, setiap individu atau kelompok wanita atau pria mereka bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan anak-anaknya. Lingkungan yang baik maupun tidak baik akan sangat mempengaruhi minat belajar anak.

Situasi dan kondisi sekarang ini sangat tidak mendukung untuk berlangsungnya proses belajar mengajar secara efektif dan efesien akibat dari timbulnya konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu sekolah, anak didik, guru dan manyarakat bersama-sama untuk saling membantu dalam mengupayakan hal-hal untuk perbaikan proses belajar mengajar. Lingkungan yang aman, baik akan membangkitkan semangat belajar anak.

Aturan pemerintah di bidang pendidikan dimaksudkan untuk mengemban amanat kontitusi. Amat tersebut tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat, yang berbunyi antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan dihasilkan oleh para pendiri republic tersebut sangat dalam maknanya, tetapi dalam setiap priode mengalami interprestasi sesuai dengan perkembangan. Berkembangnya tujuan pendidikan dari GBHN satu ke GBHN berikutnya mengidentifikasikan bahwa apa yang telah dikemukakan dalam Udang-undang Dasar tersebut, ialah mencerdaskan kehidupan bangsa, haruslah dapat diinterprestasikan menurut kurun zamannya.

(31)

1. Ketidakseimbangan

Ketidakseimbangan itu meliputi ketidakseimbangan mengenai jumlah penduduk yang berada pada usia sekolah dengan fasilitas yang tersedia untuk mereka, ketidakseimbangan pendidikan secara horizontal. (kesenjangan jenjang pendidikan), ketidakseimbangan vertical (ketidakseimbangan jumlah jenjang sekolah)

2. Pemerataan pendidikan

Pemerataan atau kualitas pendidikan berkenaan dengan seberapa banyak anak-anak yang berada pada usia sekolah mendapatkan layanan pendidikan.

3. Kualitas pendidikan

Masalah kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, agar kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi lebih maju dan berkualitas sehingga dapat bersaing dengan sumber daya manusia di luar negeri.

4. Relevansi pendidikan

Masalah relevansi pendidikan adalah masalah yang timbul berkaitan dengan hubungan antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional serta kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

5. Efektivitas pendidikan

(32)

6. Efesiensi pendidikan

Masalah efesiensi berkenaan dengan seberapa sumber-sumber pontesial pendidikan, baik yang bersifat manusiawi maupun non manusiawi yang sangat terbatas, dapat dioptimalkan penggunaannya.

Di era-era belakangan ini, keadaan dunia senantiasa perubahan terus. Perubahan tersebut berlangsung cepat, menyeluruh, mendalam dan serba tak terduga. Cepat, karena perubahan tersebut tak pernah dapat diikuti oleh mereka yang turut terlibat, apalagi oleh yang tak pernah terlibat. Menyeluruh, kerena perubahan tersebut menyangkut hampir segala aspek kehidupan dan sector di dunia ini. Mendalam, karena perubahan tersebut sampai ke detail-detail subjek yang sedang atau lagi berubah. Serta tak terduga, karena perubahan-perubahan yang terjadi sering kali dapat diestimasi dan diramalkan secara jitu oleh ahli ramal di berbagai bidang, biarpun hal tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan apa pun.

2.7. Konsep Pendidikan Indonesia

Jika manusia Indonesia yang dibutuhkan dimasa depan diindikasikan oleh kualitas-kualitas sebagaimana disebutkan di atas, maka harus ada konsep pendidikan yang relevan adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas pendidikan yang harus diprioritaskan.

(33)

adalah manusia yang berkualitas. Manusia yang demikianlah yang diharapkan dapat bersama-sama manusia yang lain turut berpartisipasi dalam percaturan dunia yang senantiasa berubah dan penuh teka-teki.

2. Peningkatan persiapan peserta didik menghadapi dunia yang selalu berubah. Hal ini membawa konsekuensi logis bagi pemberian materi ajaran yang serba pasti. Anak didik harus sejak dini dilatih untuk menghadapi perubahan yang terus menerus, karena dengan adanya pengalaman menghadapi perubahanlah mereka tidak kan terkejut dengan adanya perubahan-perubahan yang akan dialami dimasyarakatnya kelak. Kemampuan yang pernah dimiliki ketika menghadapi perubahan di lembaga pendidikan, akan ditransfer kedalam dunia senyatanya yang serba berubah dalam pengertian yang sebenarnya, dan bukan aritifisial. 3. Peningkatan kemandirian anak melalui pengajaran.

(34)

tingkat kemandiriannya agar dapat memacu yang lain menjadi siswa atau peserta didik yang mandiri.

4. Mengarahkan anak didik di lembaga pendidikan kearah karya nyata.

Ini harus dilakukan agar siswa didik sejak dini berlatih untuk banyak berkarya. Kemampuan berkarya haruslah ditempatkan dalam proses kehormatan, karena orang yang berkaryalah yang dapat memberikan sumbangan langsung dan bermanfaat bagi sesamanya. Kebiasaan berkarya yang dilakukan oleh anak di dunia pendidikan akan dapat diteruskan anak manakala telah kembali kemasyarakat kelak. Penghargaan atas karya anak di sekolah haruslah tinggi, agar mereka terpacu terus untuk berkarya. Perlu juga ditanamkan bahwa kebanggaan yang sangat besar banyak bergantung kepada banyak dan seberapa berkualitas karya seseorang. Evaluasi pendidikan dengan demikian juga harus banyak diasentuasikan ke dalam kekaryaan yang dimiliki oleh anak didik.

5. Penanaman kedisiplinan yang tinggi kepada peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan

(35)

6. Penanaman keimanan dam Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ini sangat diperlukan, agar ketika terlibat dalam arus percaturan dunia, dia senantiasa mengendalikan diri agar tidak terjerembab ke dalam Lumpur kehidupan yang sesat. Bagaimanapun ia adalah makhluk beragama yang harus menaati perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Apa yang dia perbuat dengan demikian akan senantiasa memperoleh perkenaan-Nya.

7. Penanaman kesetiakawanan di antara teman sebangsa.

Ini sangat penting oleh karena ia hidup dalam kerangka dan wadah nation yang hamper setiap hari akan senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. Interaksi dengan sesame ini mengingatkan yang bersangkutan pada hakikat dirinya, ialah selain sebagai makhluk pribadi juga sekaligus sebagai makhluk social. Dengan demikian dalam konteks mahkluk social tersebut ia akan senantiasa bertanya kepada dirinya sendiri, apakah yang sudah ia perbuat untuk sesamanya sebangsa dan setanah air.

2.8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses pendidikan

(36)

dibagi kedalam dua bagian yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pelajar (faktor interen) dan faktor yang berasal dari luar diri pelajar (faktor eksteren).

Adapun faktor-faktor tersebut adalah : 1. Faktor interen, yaitu :

a. Faktor-faktor Rohani (jiwa)

Faktor rohani adalah faktor kemauan yang menjadi pendorong utama tercapainya suatu cita-cita, sedangkan cita-cita merupakan pusat dari macam-macam kemauan atau kebutuhan serta keinginan yang akan memacu diri untuk lebih giat lagi belajar. Pada pribadi yang punya cita-cita banyak hal yang dapat mendorong seseorang untuk belajar antara lain :

- Sifat ingin tahu yang besar untuk menyelediki dunia yang penuh dengan misteri ini.

- Adanya jiwa yang kreatif dan keinginan lebih maju.

- Ingin mencapai kehidupan yang lebih baik serta ingin mengangkat harkat dan martabat ke tempat yang terhormat.

- Berkeinginan mendapatkan rasa simpati dari orang lain. - Berkeinginan memperbaiki diri dari kesalahan di masa lalu. - Adanya rasa percaya diri bila menguasai suatu ilmu.

(37)

1. Kematangan

Seseorang tidak bisa mempelajari sesuatu dengan baik apabila hal tersebut di luar batas kematangan jiwa yang dimilikinya. Misalnya seorang anak SMA kelas I tidak mampu menerima dan menanggapi kalau diberikan pelajaran kelas II atau kelas III kepadanya, sebab potensi-potensi jasmaniah dan rohaniahnya belum matang untuk menerima pelajaran tersebut.

Purwanto (1985 : 1020 mengemukakan sebagai berikut :

“Kita tidak dapat mengajar ilmu pasti kepada anak kelas tiga sekolah dasar, atau mengajar ilmu filsafat kepada anak-anak yang baru duduk di bangku sekolah menengah pertama. Semua itu disebabkan pertumbuhan mentalnya belum matang untuk menerima pelajaran itu. Mengajar sesuatu baru dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah memungkinkannya. Potensi-potensi jasmaniah atau rohaniahnya telah matang untuk itu”.

Berdasarkan pendapat di atas, maka semakin jelaslah bahwa kematangan perlu sekali diperhatikan di dalam belajar-mengajar. Kalau siswa yang bersangkutan memiliki mental yang cukup matang untuk menerima pelajaran yang diberikan oleh guru, cenderung hasil belajarnya akan baik. Sebaliknya bagi siswa yang belum siap untuk menerimanya meskipun di paksa, maka hasil belajarnya cenderung tidak baik.

2. Intelegensia/kecerdasan

(38)

sedang atau kurang baik kemampuan pola fikirnya. Sehubungan dengan itu, Purwanto (1985 : 102) mengemukakan bahwa :

”Meskipun anak yang berumur 14 tahun ke atas pada umumnya telah matang dalam berfikir untuk belajar ilmu pasti, tetapi tidak semua anak-anak tersebut pandai dalam ilmu pasti tersebut. Demikian pula halnya dalam mempelajari mata pelajaran dan kecakapan-kecakapan lainnya”.

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa kiranya intelegensia atau kecerdasan memang sangat besar peranannya dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar seseorang. Oleh karena itu kecerdasan merupakan perbekalan bagi seseorang dalam melaksanakan sesuatu tugas dengan cepat dan tepat. Kecerdasan pulalah yang menyebabkan tidak semua anak bisa dengan cepat menanggapi isi pelajaran yang dipelajari.

3. Motivasi

Motivasi merupakan suatu kekuatan yang datangnya dari luar yang masuk terserap kedalam diri seseorang yang menyebabkan anak berbuat atau bertindak, dimana tindakan itu diarahkan pada tujuan tertentu yang hendak di capai. Motivasi di dalam belajar adalah tindakan yang dapat mendorong anak untuk melakukan kegiatan belajar secara sendiri tanpa adanya paksanaan dari pihak lain. Di samping itu seseorang akan belajar dengan baik dan efisien apabila di dalam dirinya terkandung motivasi atau dorongan yang sangat kuat.

(39)

Motif intrinsik dapat mendorong seseorang sehingga akhirnya orang itu menjadi spesialis dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu. Tidak mungkin seseorang mau berusaha mempelajari sesuatu dengan sebaik-baiknya, jika ia tidak mengetahui betapa pentingnya dan faedahnya hasil yang akan dicapai dari belajarnya itu bagi dirinya. Kutipan di atas menunjukkan bahwa motivasilah yang mendorong seseorang dapat mempelajari sesuatu dengan tekun dan sebaik-baiknya. Motivasi pula yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang harus dan boleh dilakukannya, yang serasi guna mencapai tujuan dengan mengesampingkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu. Seseorang yang benar-benar ingin mencapai gelar sarjana, tidak akan menghambur-hamburkan waktunya dengan berfoya-foya, sebab perbuatan tersebut tidak cocok dengan tujuan semula.

4. Bakat dan minat

Bakat dan minat juga besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Belajar dalam bidang yang sesuai dengan bakat dan minat akan lebih berhasil dari pada harus mempelajari pelajaran yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya.

Sehubungan dengan itu, Erhan (1995 : 24) memberikan definisi bakat dan minat sebagai berikut :

(40)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka jelaslah bahwa antara bakat dan minat mempunyai penekan dan pengertian yang berbeda. Apabila bakat adalah dibawa oleh seseorang sejak lahir sedangkan minat muncul ketika seseorang itu sudah lahir dan mampu berfikir dengan baik terhadap sesuatu hal. Disamping bakat, maka minat turut menentukan keberhasilan proses belajar seorang siswa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Partowisastro (1979 : 34) yang mengatakan bahwa :”Minat yang kurang mengakibatkan kurangnya intensitas kegiatan. Kurangnya intensitas kegiatan ini menimbulkan hasil yang kurang pula. Sebaliknya hasil yang kurang dapat pula mengakibatkan berkurangnya minat seseorang dalam mempelajari pelajaran tersebut”.

Dengan demikian kesesuaian antara bakat dan minat, dalam suatu pelajaran akan membuat seseorang menjadi lebih tertarik dalam mengikuti pelajaran, sehinga perhatiannya terhadap pelajaran tersebut semakin besar dan dapat menimbulkan hasrat untuk setiap saat mengulanginya.

b. Faktor-faktor Jasmani (Raga)

(41)

mengajar. Oleh karena itu, kewajiban pendidik dan terjaga dengan baik, apakah secara kuratif ataupun preventif.

Kedaan jasmani dapat dipengaruhi oleh kadar gizi makanan seseorang. Jika seseorang anak didik memperoleh gizi yang kurang dapat mengakibatkan kelesuan, lekas mengantuk, cepat lelah serta tidak bergairah sewaktu belajar. Selain itu, kekurangan gizi juga menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit lain yang mulanya terasa ringan, tapi lama kelamaan, akan menjadi lebih serius, sehingga mempengaruhi konsentrasi belajar. Untuk lebih jelasnya mengenai faktor-faktor ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Kesehatan

Keadaan fisik seseorang sangat mempengaruhi aktivitas seseorang dalam belajar, dala hal ini walaupun seseorang tersebut cukup pandai dan rajin belajar, tetapi kalau keadaan fisiknya sering sakit-sakitan, lemah dan lain sebagainya akan mempengaruhi hasil belajarnya. Sehubungan dengan hal kesehatan ini, Suryabrata (1984 : 255) mengemukakan bahwa : “Keadaan jasmaniah yang segar akan lain pengaruhnya dengan keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan jasmani yang lelah lain pengaruhnya dari pada yang tidak lelah”.

(42)

memusatkan perhatiannya. Sebaliknya kalau seorang belajar dalam keadaan sakit bagaimana mungkin ia dapat memusatkan perhatiannya. Sementara ia lagi membaca buku pelajaran, perutnya sakit, batu-batuk dan lain sebagainnya, tentu saja konsentrasi menjadi buyar dan akhirnya selera untuk belajar menjadi hilang sama sekali.

2. Latihan dan ulangan

Kegiatan belajar sendiri adalah untuk perubahan tingkah laku. Sedangkan perubahan tingkah laku itu dapat terjadi karena latihan, oleh karena itu latihan belajar tidak bisa diabaikan. Seorang olah ragawan akan merasa sakit badanya bila sebelumnya ia tidak pernah berolah raga. Demikian pula halnya dalam belajar, semakin sering mempelajari suatu pelajaran, maka semakin mantaplah penguasaan pelajaran.

Dalam kaitan ini, Purwanto (1985 : 103) mengemukakan bahwa : Karena terlatih, karena seringkali megulangi sesuatu, maka kecakapan dan pengetahuan yang dimilikinya, dapat menjadi makin dikuasai dan makin mendalam. Sebaliknya tanpa latihan, maka pengalaman-pengalaman yang telah dimilikinya dapat menjadi hilang atau berkurang. Karena latihan, karena seringkali mengalami sesuatu, seorang dapat timbul minatnya kepada sesuatu itu. Semakin besar minatnya akan semakin besar pula perhatiannya, sehinga memperbesar hasratnya untuk belajar.

(43)

pelajaran tersebut akan semakin dimengerti bahkan mungkin dapat dikuasai seluruhnya dengan baik. Sebaliknnya kalau satu pelajaran hanya di baca saat belajar di sekolah saja, maka pelajaran tersebut semakin asing dan mudah untuk dilupakan, akhirnya minat untuk mempelajarinya semakin berkurang sehingga pelajaran tersebut tidak dikuasai lagi.

2. Faktor eksteren, yaitu : a. Faktor-faktor non sosial

Dalam menyelenggarakan suatu pendidikan, selain faktor adanya anak didik dan pendidikan, serta lingkungan, faktor non-sosial juga sangat berpengaruh kepada berhasil tidaknya suatu pendidikan. Faktor lingkungan di sini meliputi letak geografis, keadaan cuaca, suhu, waktu pagi, siang atau malam. Lokasi gedung, kebisingan dan lain-lain. Begitu juga jika ditinjau dari kesehatan apakah telah memenuhi syarat.

b. Faktor-faktor sosial

(44)

orang-orang yang ada disekitar ataupun masyarakat dimana anak didik tersebut bertempat tinggal.

Motivasi di sini dapat diartikan sebagai alat pemacu yang abstrak yang dapat membuat seseorang lebih giat dan bersemangat. Apabila seseorang anak didik tidak berbuat sebagaimana mestinya, maka harus diselidiki faktor-faktor yang menyebabkannya. Di sinilah motivasi berperan untuk menciptakan suasana bergairah dan menyenangkan. Anak didik akan giat belajar jika memiliki motivasi yang kuat dan tidak di bawah pengawasan atau tekanan, sebab hal ini dapat menghambat perkembangan serta mematikan kreatifitas anak didik. Seorang guru dituntut untuk dapat menciptakan motivasi yang kuat dan menyeluruh. Untuk lebih jelasnya mengenai faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Keadaan keluarga

(45)

Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Jangan sampai mereka diganggu dengan tugas-tugas rumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru anaknya, untuk mengetahui perkembangannya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa, keadaan keluarga memang satu hal yang sangat menentukan keberhasilan anak dalam belajar. Anak sebagai individu yang sangat unik banyak menuntut perubahan-perubahan baru dan perubahan itu kadang-kadang membuat suatu masalah bagi dirinya, semangat belajarnya menurun bahkan mungkin saja cabut dari sekolah. Di sinilah kerja sama antara oang tua dengan guru di jalin dengan baik.

2. Guru dan cara mengajar

Faktor guru dan cara guru mengajar di depan kelas merupakan faktor yang sangat penting, apalagi sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru serta bagaimana cara guru mengajar pengetahuan itu kepada aak-anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil yang dicapai anak.

(46)

membosankan dapat menimbulkan tingkah laku murid yang tidak menyenangkan. Mereka menjadi nakal, agresif dan juga bersifat apatis terhadap belajar. Apabila timbul keadaan yang demikian itu, maka disiplinan akan berkurang”.

Dapat dipahami bahwa cara penyajian pelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya pelajaran tersebut diserap oleh murid-murid. Oleh karena itu, keadaan yang membosankan dapat menyebabkan pelajaran yang diberikan menjadi tidak disukai, dengan demikian kerajinan dan ketekunan murid menjadi berkurang.

Selanjutnya Roestiyah dan Purnomo (1979 : 8) mengatakan bahwa: “Cara guru mengajar yang menarik akan dapat menyebabkan presttasi belajar meningkat. Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru dapat membantu meningkatkan kegiatan belajar mengajar, dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar”.

(47)

3. Suasana lingkungan

Lingkungan masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan dan pergaulan anak sehari-hari, terutama bagi seorang anak yang sedang belajar. Dalam hal ini bagi seorang siswa yang tinggal di sekitar tempat yang membisingkan pasti tidak akan dapat belajar dengan baik, sebab belajar memerlukan ketenangan untuk memusatkan pemikiran.

Selain itu keadaan tempat belajar seperti kelembaban udara, penerangan dan kebersihan lingkungan tidak kalah pentingnya, dalam hal ini seperti dikemukakan oleh Soemanto (1990 : 102) adalah sebagai berikut : “Suasana lingkungan eksternal menyangkut banyak hal antara lain: Cuaca, waktu, kondisi tempat, penerangan, dan sebagainya. Faktor ini mempengaruhi sikap dan reaksi individu dalam aktivitas belajarnya”.

(48)

4. Alat-alat pelajaran

Alat sekolah yang cukup dan lengkap akan menunjang proses belajar. Misalnya buku-buku pelajaran, perpustakaan, tape recorder, overhead projector, filmstrip, radio dan televisi. Ditambah lagi dengan kecakapan guru dalam menggunakan alat-alat tersebut akan mempermudah dan mempercepat belajar anak-anak. Sebab alat-alat yang dimaksudkan di atas selain berperan untuk menghemat waktu juga dapat memperjelas dan mengkongkritkan pemahaman murid tentang konsep yang dipelajari. Seperti yang dikemukakan oleh Rochmanatawidjaja (1979 :27) sebagai berkut :

Alat bantu untuk mewujudkan situasi mengajar dan belajar yang efektif, mengandung nilai mengurangi terjadinya verbalisme, memperbesar minat dan perhatian murid, dasar bagi pengembangan belajar, memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata, menumbuhkan pemikiran yang teratur, memperoleh pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain.

(49)

ini mengakibatkan minat dan perhatian murid terhadap pelajaran semakin bertambah karena ia tetap memperoleh pengalaman-pengalaman baru. 5. Motivasi sosial

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analisis. Pendekatan ini dipandang relevan untuk mengkaji persoalan tentang pengaruh kurikulum berbasis kompetensi terhadap peningkatan mutu pendidikan di SMA Negeri I Lhokseumawe.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Observasi adalah mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian, hal ini dilakukan untuk bahan masukan terhadap objek yang diteliti.

2. Wawancara (Interview) yaitu melakukan wawancara berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Penulis melakukan wawancara dengan informan yang ditentukan secara purposif (purposive sampling)

yang kemudian dikembangkan secara snowball.. Adapun informan yang di wawancara adalah : Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Guru, Orang Tua Siswa dan Siswa

(51)

3. Dokumentasi, teknik ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder sebagai pelengkap data primer dengan mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penelitian penulis. Dokumentasi ini berupa buku-buku, majalah dan bahan bacaan lainnya.

3.3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan model analisis. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, setiap perkembangan data diperoleh akan ditampilkan dalam laporan penelitian. Dengan demikian, kegiatan analisis data sudah mulai dilakukan pada saat–saat awal pengumpulan data lapangan. Data yang sudah dikumpulkan diatur secara berurutan, diorganisasikan ke dalam satu pola, dikatagorikan dan diuraikan ke dalam satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum SMA Negeri 1 Lhokseumawe

Pada tahun awal 1950 berdirilah sebuah SMA yang dinegerikan selanjutnya diberi nama dengan SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Keberadaan sekolah tersebut atas inisiatif warga masyarakat, khususnya warga yang berada di sekitar lingkungan sekolah tersebut yang merasa kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka pada usia sekolah.

Inisiatif mendirikan SMA Negeri 1 Lhokseumawe didasari oleh sulitnya para orang tua wali murid dalam menyekolahkan anak-anak mereka yang masih berusia di atas 15 tahun. Atas dasar kesepakatan maka mereka mengusulkan kepada pemerintah agar dirikan sekolah yang diberi nama SMA Negeri 1 Lhokseumawe./ SMA Negeri Lhokseumawe sudah dipimpin oleh beberapa orang kepala sekolah, pada saat ini dipimpin oleh Drs. Maimun Mahyiddin.

SMA Negeri 1 Lhokseumawe saat ini telah memiliki 133 orang pegawai dengan kriteria sebagai berikut : Tenaga pengajar tetap 96 orang, Tenaga pengajar tidak tetap 21 orang, Karyawan Tata Usaha tetap 8 orang, Karyawan Tata Usaha tidak tetap 4 orang, Pesuruh tetap 2 orang, Pesuruh tidak tetap 2 orang, struktur organisasi SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Sedangkan keadaan siswa pada SMA Negeri 1 Lhokseumawe.

(53)

Dalam usaha menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar dan kesinambungan SMA Negeri 1 Lhokseumawe perlu adanya dukungan administrasi dan keuangan yang memadai. Pengadaan administrasi dan gaji pegawai dan guru sebagian besar ditanggulangi melalui pendapatan yang diterima oleh pihak pengelola melalui dana santunan siswa dan juga dari pihak lain, termasuk guru yang ikut sebagai peserta Honor Daerah (Honda) yang bersedia membantu keuangan SMA Negeri 1 Lhokseumawe.

Mengenai perlengkapan yang lain, pengadaannya sebagian besar ditanggung pengelola, seperti : meja dan kursi murid, meja dan kursi guru, buku – Buku bacaan, buku pegangan guru, kertas alat tulis Kantor, dan alat – alat kebersihan ruangan dan tamu.

Sementara itu alat tulis anak-anak seperti buku-buku, pulpen, rol, dan lain-lain yang diperuntukkan bagi anak-anak ditanggung oleh wali murid. Hal ini

dilakukan karena ketidakmampuan pihak sekolah untuk membiayai seluruh keperluan dan kebutuhan peserta didik. Di pihak orang tua muridpun yang tergabung dalam komite sekolah setelah diadakan pertemuan tidak merasa keberatan dengan kebijakan yang diambil oleh pihak sekolah tersebut.

(54)

wali murid. Setiap selesai mengajar masing-masing guru membuat kesiapan untuk keesokan harinya.

Untuk guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe masuk kerja jam 07.15 sampai dengan 13.30 wib. Sedangkan pesuruh masuk jam 07.15 sampai dengan jam 14.00 wib. Istirahat siang dimulai pada jam 12.00 wib sampai jam 14.00 wib. Pada hari jum'at guru dan pegawai masuk jam 07 sampai dengan jam 11.00 wib, sedangkan siswa masuk dari jam 07.45 wib sampai dengan jam 11.30 wib. Pada jam-jam tersebut semua guru sudah harus berada ditempat dan tidak boleh melalaikan tugas sebelum waktu yang telah disepakati bersama berakhir.

Mengenai kelengkapan SMA Negeri 1 Lhokseumawe sebagai penunjang semangat anak didik, juga sudah disediakan berbagai macam alat peraga baik yang terdapat dalam ruangan maupun di luar ruangan. Jenis-jenis alat peraga yang terdapat didalam ruangan antara lain adalah :1) Alat kesenian, 2) Perlengkapan keagamaan, 3) Alat keterampilan dan 4) Perlengkapan Laboraturium.

4.1.2. Model Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi

(55)

Model kebijakan KBK mengacu pada model Sabatier dan Mazmanian yang ditandai dengan tujuan bersifat konsisten dan jelas. Susunan organisasi disusun secara legal dan perubahan kondisi sosial ekonomi yang tidak menghilangkan dukungan kelompok kekuasaan atau memperlemah teori kausal yang mendukung kebijakan tersebut.

Menurut Maimun Mahyiddin Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lhokseumawe menjelaskan tentang perbedaan kurikulum CBSA dan KBK yaitu :

Dalam pendidikan terdapat dua jenis standar yaitu standar akademis dan standar kompetensi. Standar akademis merefleksikan pengetahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh keseluruhan peserta didik ini yang digunakan dalam CBSA. Sedangkan standar kompetensi ditunjukkan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya ini dasar dari kebijakan KBK. (Wawancara, 14 November 2005)

Berdasarkan hasil wawancara di atas diketahui bahwa CBSA mengacu pada standar akademis merefleksikan pengetahuan dan ketrampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh keseluruhan peserta didik ini yang digunakan. Sedangkan KBK mengacu pada standar kompetensi ditunjukkan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya

Untuk mengetahui bagaimana perumusan kebijakan KBK, maka penulis melakukan wawancara dengan Maimun Mahyiddin, ia menjelaskan :

(56)

Berdasarkan hal penjelasan tersebut jelas nampak bahwa kebijakan KBK dapat dikatakan merupakan hasil dari keputusan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat yang diharapkan ini merupakan keputusan yang tepat bagi pendidikan yang akan datang.

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Maimun Mahyiddin, dijelaskan bahwa :

Konsep KBK menekankan pada pengembangan pengetahuan melakukan kompetensi dengan standar performasi tertentu, yang jadi persoalan apakah siswa kita mampu melakukan dan apakah gurunya siap karena kalau dilihat belum, kalau tidak dilaksanakan KBK, maka sekolah kita akan ketinggal dengan sekolah lain. Hal ini merupakan hasil evaluasi yang saya lakukan (Wawancara, 14 November 2005)

Hal tersebut diperkuat dengan Sudarman, guru bidang studi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut:

Ketika kita akan memberikan materi pengajaran praktek komputer, siswa belum kenal sama sekali dengan komputer, hal tersebut sangat menyulitkan, sedangkan yang dituntut dalam KBK siswa aktif belajar dan mampu mengimplementasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk keterampilan. (Wawancara, 29 September 2005)

Pernyataan ini dikuatkan dengan Jhony siswa kelas II IPS.2 yang menjelaskan tentang kesulitannya dalam menangkap pelajaran dengan sistem pendidikan sekarang sebagai berikut:

(57)

Hasil wawancara di atas menunjukan pada proses reformasi pendidikan harus berorientasi pada peningkatan mutu SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja seiring dengan perkembangan teknologi dan mampu bersaing dan bersanding secara internasional. Untuk mewujudkan tujuan ini pendidikan masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan hal ini seperti yang diungkapkan oleh Maimun Mahyiddin Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lhokseumawe sebagai berikut :

Permasalahan-permasalahan seperti perluasan, relevansi, peningkatan mutu pendidikan, dan pengelolaan pendidikan. Mengatasi permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan pendekatan yang demokratis partisipasif dan terdesentralisasi agar sumber daya masyarakat semakin besar untuk pendidikan. (Wawancara, 29 September 2005)

Dengan Otonomi daerah yang merupakan prasyarat yang tidak boleh dikesampingkan. Dalam rangka otonomi ini kemampuan lembaga pendidikan juga harus digali dan dikembangkan agar pendidikan menjadi peka terhadap permasalahan lingkungan yang dihadapi dalam rangka peningkatan mutu. Mutu pendidikan merupakan prioritas dalam era reformasi pendidikan pada masa depan. Dalam kaitan ini diperlukan kurikulum yang fleksibel dan mampu menjawab tantangan masyarakat, teknologi dan lingkungan yang cepat berubah. Pendidikan tinggi juga harus diarahkan pada otonomi agar pendidikan tinggi dapat menjadi suatu industri yang mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada masyarakat.

(58)

Krisis ekonomi menimbulkan dampak yang buruk bagi sektor pendidikan dan sektor industri. Dampak terhadap pendidikan adalah bertambahnya siswa yang dropout, sedangkan terhadap industri adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja sebagai akibat ketidakmampuan industri untuk berkembang. Akibat dari keadaan ini terjadilah peningkatan jumlah pengangguran terdidik. Dengan pertimbangan ini pemerintah daerah memtuskan untuk tidak memungut biaya pendidikan tetapi langkah ini tidak diiringi dengan penambahan anggaran pendidikan yang memadai.

Akibat yang timbul adalah sekolah mengalami kesulitan dalam pembiayaan proses pendidikan, apalagi untuk penambahan sarana prasana yang dibutuhkan. Hal ini seperti diungkapkan Cut Anisah, wakil sekolah bidang perlengkapan yang menjelaskan sebagai berikut :

Dulu waktu kita masih diperbolehkan memungut biaya SPP kepada siswa, Insya’allah, sekolah tidak pernah telat memberikan gaji pada guru honor, tetapi sekolah tidak diperbolehkan lagi memungut SPP semua ikut menanggung akibatnya, guru, siswa dan pihak sekolah. Semua ini disebabkan anggaran yang diberikan untuk proses belajar mengajar oleh pemerintah tidak mencukupi. (Wawancara, 29 September 2005)

Kurikulum berbasis kompetensi memberikan keluluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran, tetapi hal ini tidak diikuti dalam mengambil kebijakan masalah keuangan sekolah, sehingga sekolah mengalami kesulitan bidang keuangan.

(59)

Konsep KBK menekankan pada pengembangan pengetahuan melakukan kompetensi dengan standar performasi tertentu, untuk menerapakan dan melakuakn sesuai dengan rumusan KBK sulit sekali kita laksanakan karena kekurangan dana untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan (Wawancara, 14 November 2005)

Hal tersebut diperkuat dengan Sudarman, guru bidang studi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai berikut:

Memang untuk mengadakan sarana pendidikan dibutuhkan dana yang besar jadi wajar saja kalau ketika kita akan memberikan materi pengajaran praktek komputer, siswa belum kenal sama sekali dengan komputer karena komputer tidak ada disekolah. (Wawancara, 14 November 2005)

Wawancara di atas menarik kesimpulan bahwa dana yang dibutuhakan untuk pengadaan sangat besar karena kesulitan dana sekolah tidak dapat mengadakan peralatan dan sarana pendidikan seperti yang diharapkan KBK. Hal ini merupakan masalah yang sangat mendasar dan harus mendapat perhatian serius.

(60)

Untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dalam masyarakat yang heterogen (majemuk), perlu keterlibatan semua pihak (pemerintah, keluarga, masyarakat) dan ini merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Namun jika guru yang memberi pendidikan tidak mampu maka akan berakibat buruk. (Wawancara, 29 September 2005)

Mengenai keberhasilan murid menyerap materi pelajaran yang diberikan, tidaklah menjadi bahan pemikiran yang serius bagi guru. Para guru idak berani mengambil suatu tindakan yang tegas kepada siswa yang melanggar aturan atau kedisiplinan yang diterapkan sekolah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Marzuki, selaku guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe, yakni :

Hampir tidak ada guru yang berani mengambil tindakan yang tegas terhadap siswa yang bermasalah. Sulit rasanya kami berkompetensi, karena keseriusan siswa sangat rendah dalam mengikuti materi pelajaran. ( Wawancara, 29 September 2005).

Berdasarkan kutipan pendapat di atas, jelas bahwa guru kurang memperdulikan kompetensi. Dalam keadaan yang demikian ini wajar sekali apabila yang tidak mampu menyerap pendidikan yang baik karena tidak adanya motivasi dari guru.

(61)

Daripada terjadi kekosongan tenaga pengajar, lebih baik ada yang mengisi meskipun guru tersebut kurang menguasai pelajaran yang akan diberikan. Namun setidak-tidaknya kekosongan tenaga pengajar tidak terjadi dan para siswa dapat tetap belajar sebagaimana mestinya tanpa resah karena tidak ada guru. ( Wawancara, 29 September 2005).

Ungkapan tersebut memperkuat anggapan bahwa tenaga pengajar pada umumnya masih sangat kurang, termasuk pada SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru sangat sulit untuk dilaksanakan atau dengan kata lain Kepala sekolah mengalami kesulitan dalam usaha meningkatkan kompetensi guru.

Disamping itu, kegiatan-kegiatan yang dapat mendongkrak kemampuan guru pada bidang keahliannya masih sangat kurang. Kegiatan-kegiatan tersebut misalnya seminar, lokakarya, pertemuan guru bidang studi dan lainnya. Kalaulah ada belum tentu dilaksanakan setahun sekali karena tergantung kepada panggilan dari pihak atasan dalam hal ini Dinas Pendidikan Pemko Lhokseumawe dan tergantung pada ketersediaan dana yang ada pada mereka.

Untuk meningkatkan kompetensi para murid perlu adanya rangsangan atau stimulus yang diberikan oleh guru. Rangsangan tersebut dapat berupa benda-benda tertentu, alat peraga dalam bidang studi tertentu. Kesemua itu tergantung pada fungsi kemampuan guru sepenuhnya mampu atau tidak menciptakan rangsangan yang dapat memancing para murid untuk berkompetensi.

(62)

Rangsangan untuk berkompetensi yang diberikan oleh harus memperhatikan segala aspek pendidikan.berikut keterangan dari Sudarman guru bidang studi TIK yaitu :

Rangsangan guna meningkatkan kemauan para murid untuk meningkatkan kemampuannya dapat dikatakan tidak ada. Bagaimana kami membuat suatu rangsangan guna meningkatkan daya kompetensi murid, semua itukan membutuhkan dana, hal ini menyebabkan minimnya prasarana terutama untuk proses pengajaran saya. (Wawancara, 29 September 2005).

Ungkapan yang demikian ini menunjukkan bahwa kemampuan guru sangat terbatas. Pemberian rangsangan biasanya diikuti oleh ketersediaan dana. Tanpa tersedianya dana yang memadai semua itu tidak mungkin untuk dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa guru mempunyai keterbatasan tugas dan tanggung jawab untuk dapat melaksanakan suatu program tertentu guna

Gambar

Gambar I : model Kelembagaan
Gambar 2 ; Model Kelompok
Gambar 3 : Model Elite
Gambar 4 : Model Rasional
+3

Referensi

Dokumen terkait

Melalui pembelajaran Problem Based Learning, dengan pendekatan Saintifik dan metode Diskusi mengenai Indonesia Zaman Hindu Buddha, peserta didik mampu Mendeteksi

4.5.2 Melalui lembar kerja siswa, peserta didik mampu menyelesaikan masalah kontekstual barisan dan deret aritmatikad. D.MATERI PEMBELAJARAN

Dengan mengamati contoh video peragaan oleh guru, peserta didik dapat mempraktikkan cara memperkenalkan anggota keluarga inti secara lisan dengan santun dan

Menyajikan hasil penyusunan kertas kerja secara lisan maupun tulisan Dengan disajikan akun jurnal penyesuaian Peserta didik dapat menganalisis kertas kerja Dengan

Dalam pengerjaan desain untuk desain sosial media Irresistible Bazaar dan Irress Urban Bazaar, penulis bertanggung jawab untuk membuat konsep desain sosial media

Hasil wawancara dengan perusahan atau pemilik kapal didapati bahwa mereka mengambil keputuan menghentikan operasi pada musim- musim tertentu (musim barat dan

5. Guru membuka pelajaran dengan salam dan berdoa sebagai perwujudan iman dan takwa kepada Allah SWT. Guru menanyakan kabar peserta didik dan mengecek kehadiran peserta didik

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan tumbuh jamur Fusarium oxysporum dan Acremonium kiliense yang digunakan untuk