BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Penyebab Gizi Lebih
Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia adalah:
Tabel 2.1 Kategori Nilai Ambang Batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia
Kategori IMT
Kurus < 17,0
Normal > 18,5 – 25,0
Gemuk > 25,0 – 27,0
Obesitas > 27,0
Sumber : Departemen Kehatan RI Tahun 2014
2.4 Penyebab Gizi Lebih
kurang, perubahan gaya hidup, serta pola makan yang salah diantaranya pola
makan tinggi lemak dan rendah serat (Makaryani, 2013).
Obesitas merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktorial, antara
lain disebabkan oleh faktor genetik, faktor-faktor individu (usia dan jenis kelamin,
pekerjaan), sedentary life style (peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan
tinggi karbohidrat, pengurangan aktivitas fisik dikarnakan pekerjaan), konsumsi
alkohol dan rokok, pengetahuan dan sikap mengenai hidup sehat. Dari semua
faktor risiko, sedentary life style merupakan faktor yang paling berpotensi
terjadinya obesitas (Istiqamah, 2013). Menurut Purwati (2007) beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang memiliki berat badan lebih antara lain; faktor
genetik, pola makan, pengetahuan, dan aktivitas fisik
1. Pola Makan
Kebiasaan yang kurang baik yang sering dilakukan seperti; mengonsumsi
makanan cepat saji, makan berlebihan, makan tidak teratur, menghindari
makan pagi,dan kebiasaan ngemil. Menurut Sismoyo dalam Pratama (2009)
Makan saat ingin makan tidak saat merasa lapar akan menyebabkan
kegemukan. Pola makan jika tidak dikonsumsi secara rasional mudah
menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan berat badan
berlebih.
Dalam penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan
kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini
dan akhirnya mengakibatkan kegemukan. Penelitian di Amerika dan
Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak
mempunyai resiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok
dengan asupan rendah lemak (Meini, 2012).
Hasil penelitian Suryaputra menunjukkan bahwa seluruh remaja pada
kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein
dan lemak yang lebih tinggi daripada kelompok non obesitas. Bahkan pada
tingkat konsumsi lemak, hampir semua responden kelompok obesitas
memiliki tingkat konsumsi lebih. Kelebihan energi setiap hari secara rutin
pada remaja dapat menimbulkan timbunan lemak (adiposit) tubuh menjadi
bertambah. Tingginya konsumsi protein hewani pada remaja dengan obesitas
berkorelasi dengan rendahnya zat gizi hewan pada umumnya yang
mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Bila kondisi ini terjadi
dalam jangka waktu yang lama, maka risiko untuk terjadinya obesitas makin
meningkat.
2. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang akan memengaruhi status gizinya.
Pengetahuan hasil dari tahu dan bagaimana seseorang akan mengaplikasikan
ilmunya. Pengetahuan akan berhubungan erat dengan sikap dan tindakan.
Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan tindakan yang baik. Pengetahuan
gizi seseorang akan memengaruhi status gizinya (Allo, 2013).
Pengetahuan gizi remaja sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan.
Seorang remaja akan mempunyai gizi yang cukup jika makanan yang mereka
Suharjo dalam penelitian Wulandari (2009) pengetahuan gizi memegang
peranan yang sangat penting di dalam penggunaan dan pemilihan bahan
makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan gizi seimbang.
Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan atau perilaku makan
suatu masyarakat (Emilia, 2009). Apabila penerimaan perilaku baru didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut
dapat berlangsung lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh
pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Seperti halnya juga
pada remaja apabila mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi
diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Suhardjo dalam Wulandari (2009), pengetahuan gizi adalah
pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat
gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Rahmiwati (2007), remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik hanya 6%,
pengetahuan gizi sedang 43% dan yang mempunyai pengetahuan gizi kurang
50%.
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali
kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.
Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur
pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan
(Emilia, 2009).
lebih mampu memilih makanan sesuai kebutuhannya. Tingkat pengetahuan
gizi seorang remaja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam
memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami
manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Perilaku yang
didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru
(Dewi, 2013).
Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian besar remaja kelompok obesitas
memungkinkan mereka kurang dapat memilih menu makanan yang bergizi.
Sebagian besar kejadian masalah gizi lebih atau kurang dapat dihindari
apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara
gizi dan mengatur makan.
3. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan mahasiswa sebagai salah
satu bentuk pengeluaran energi. Beberapa penelitian epidemiologi
menyebutkan bahwa obesitas pada remaja terjadi karena interaksi antara
makan yang banyak dan sedikit aktivitas. Aktivitas fisik menyebabkan
terjadinya proses pembakaran energi sehingga semakin remaja beraktivitas
semakin banyak energi yang terpakai. Hasil penelitian ini senada dengan studi
yang dilakukan Sherwood (2000), yang menunjukkan bahwa olahraga
berkonstribusi pada pencegahan kenaikan berat badan. Demikian juga studi
yang dilakukan Jakicic (2003), menunjukkan bahwa perempuan yang
dalam jangka panjang dengan tambahan aktivitas fisik 200-300
menit/minggu.
Dalam hasil penelitian Mahardikawati (2008) aktivitas fisik menentukan
kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas
fisik dapat meningkatkan resiko kegemukan dan obesitas. Aktivitas fisik
terbagi tiga macam yaitu; aktivitas fisik ringan (berjalan kaki, menyapu
lantai, mencuci baju, mencuci kendaraan, berdandan, duduk, dan nonton
TV), aktivitas sedang (berjalan cepat, berlari kecil, dan bermain tenis meja),
aktivitas berat (bermain sepak bola, berenang, dan senam) dilakukan
sedikitnya 60 menit setiap hari untuk mencegah berat badan berlebih
(Nurmalina, 2011).
Asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non
obesitas. Yang menarik adalah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering
mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi (≥ 2200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang
asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi
ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku
hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori.
Wanita Usia Subur (WUS) merupakan wanita usia produktif merupakan
wanita yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi
untuk mempunyai keturunan. Pada wanita, kurangnya aktivitas fisik sangat
makanan lebih banyak masuk, maka akan menyebabkan penimbunan lemak
yang akan mengakibatkan obesitas terjadi (Novitasary, 2013).
Aktivitas yang dilakukan oleh tubuh membutuhkan energi yang
dikeluarkan, begitupun sebaliknya apabila aktivitas fisik berkurang maka lebih
banyak energi yang tersimpan didalam tubuh (WHO, 2011). Hasil penelitian
Sartika (2011) anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki
asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga.
Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara
bersama maupun masing-masing.
Faktor lainnya seperti tingkat ekonomi, akan memengaruhi daya beli.
Seseorang juga mengonsumsi makanan terlihat dari kebudayaannya. Kerusakan
pada hipotalamus akan membuat seseorang mengalami kegemukan jika terjadi di
bagian HVM (hipotalamus ventromerdial) mengalami kerusakan dan orang akan
menjadi kurus atau kehilangan nafsu makan bila kerusakan terjadi pada HL
(hipotalamus lateral). Metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh akan
meningkat seiring bnertambahnya usia. Secara alamiah penurunan metabolisme
akan terjadi ketika usia semakin menurun. Efek penggunaan obat dapat menjadi
salah satu penyebab kegemukan. Beberapa obat akan merengsang rasa lapar
dalam tubuh. Makan mengonsumsi obat akan membuat nafsu makan meningkat.
Jenis obatnya seperti OAD (Obat Oral Antidiabetes), penggunaan dalam jangka
lama akan menyebabkan kegemukan.