• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korban Penyekapan Bersaks

E

ffendy Choirie selaku salah satu perwakilan dari DPR mengatakan bahwa pelaksanaan tugas Badan Intelijen Negara ini tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam melaksanakan fungsinya, BIN tetap harus menghormati hukum, nilai- nilai demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Terkait ancaman luar, seperti

spionase dan iniltrasi, sewajarnya BIN

diberikan kewenangan pengawasan yang salah satu bentuknya berupa pemberian rekomendasi yang berkaitan dengan orang atau lembaga asing.

Demikian disampaikan Effendy Choirie, di samping perwakilan DPR yang lain dalam sidang pleno pertama dalam perkara Pengujian Undang-Undang No. 17/2011 tentang Intelijen Negara - Perkara No. 7/PUU-X/2012 - yang berlangsung di MK, Selasa (6/3). Sidang mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.

Effendy Choirie yang disapa Gus Choi ini juga mengatakan hal seperti

Sejumlah Anggota DPR RI dan Pemerintah terlihat hadir dalam persidangan Pengujian UU Intelijen Negara, di MK.

Humas mK/aNNIsa LEstarI

diatas dilakukan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan yang lainnya. Bahwa proses clean house selama ini telah dilaksanakan BIN beserta kementerian terkait. Selanjutnya, kewenangan BIN terbatas membuat rekomendasi. ”Otorisasi utama bukan berada pada BIN, tetapi pada kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian,” jelasnya.

Effendy Choirie juga mengatakan kewenangan penggalian informasi yang dimiliki BIN dimaksudkan bahwa para Intelijen memerlukan reaksi cepat untuk memperoleh informasi yang akurat, dan objektif yang membahayakan keamanan negara. “Penggalian informasi merupakan upaya lebih lanjut, mendapatkan informasi tentang orang, tempat, kejadian, kegiatan, dan jaringan yang dibutuhkan untuk menilai lebih lanjut tentang informasi yang tidak diperoleh melalui sumber-sumber yang terdapat dalam masyarakat,” tutur Gus Choi, sapaan akrab Effendy Choirie.

Tanpa adanya penggalian informasi, lanjut Gus Choi, hasil dari para Intelijen

hanyalah merupakan perkiraan-perkiraan belaka, yang justru akan menimbulkan ketidakpastian atas suatu informasi ancaman keamanan nasional. “Penggalian informasi ini juga tidak akan melanggar hukum, karena dilakukan melalui kerja sama dengan aparat penegak hukum terkait, dan merupakan upaya yang terakhir dalam mendapatkan informasi yang lebih akurat,” jelasnya. Selain itu, Gus Choi menuturkan terkait penyadapan. Menurutnya, penyadapan berguna sebagai salah satu metode untuk pengumpulan informasi. Penyadapan juga merupakan alternatif lain untuk mengumpulkan

informasi dalam mengindentiikasi

terhadap ancaman nasional.

Sementara itu, Pemerintah dalam sidang ini juga mengatakan bahwa dalam upaya mewujudkan tujuan nasional, sebagai dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka integritas nasional, dan tegaknya kedaulatan negara merupakan persyaratan utama. “Hal ini bisa terwujud dengan baik apabila Intelijen Negara sebagai bagian dari

sistem keamanan nasional merupakan lini terdepan yang dituntut mampu mendeksi dini dari berbagai bentuk ancaman,” terang Mualimin Abdi.

Menghadirkan Saksi Korban, Ahli Pemerintah, Ahli DPR

Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Intelijen Negara kembali digelar di ruang sidang pleno MK, Selasa (20/3). Sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan saksi Pemohon dan Ahli Pemerintah dan Ahli DPR. Hadir sebagai saksi Pemohon, yaitu Rahardjo Waluyo Jati, aktivis dan korban dari penghilangan paksa tahun 1998. Sedangkan dari pihak pemerintah salah satunya hadir seorang ahli hukum pidana internasional dari Universitas Diponegoro, Muladi.

Sidang dimulai dengan kesaksian Rahardjo. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami penyekapan yang dilakukan “Tim Mawar”. “Saya diambil 12 Maret 1998, di depan RSCM, jam 2 siang. Saya berada di penyekapan yang sampai saat ini tidak kami ketahui di mana itu. Saya disekap selama 45 hari, dibebaskan pada 26 April 1998. Selama penyekapan saya dipaksa untuk mengakui hal yang tidak saya ketahui,” jelas Rahardjo.

Di dalam tempat penyekapan, Rahardjo mendapat informasi bahwa terdapat orang-orang yang disekap dan hilang tidak bisa ditemukan karena tidak jelas keberadaannya. Yang dialami

Rahardjo dan korban penyekapan dan penghilangan paksa menurut Rahardjo tidak pernah diklaim dilakukan oleh salah satu lembaga negara pun. “Sampai akhir persidangan militer, para Tim Mawar itu mengklaim melakukan operasinya itu atas dasar interpretasi mereka atas perintah atasan, jadi atas kemauan mereka sendiri,” ungkap Rahardjo.

Pernyataan Rahardjo yang menimbulkan simpati tiba-tiba “mentah” ketika ahli dari Pemerintah yang mantan Hakim Konstitusi, Ahmad Syarifuddin Natabaya menyampaikan keterangannya. Natabaya, begitu ia biasa disapa, mengatakan bahwa pengujian UU seperti yang diatur dalam PMK (Peraturan MK) yang berhak mengajukan pengujian UU

Aktivis dan korban dari penghilangan paksa tahun 1998, Rahardjo Waluyo Jati, Hadir sebagai saksi Pemohon dalam Sidang Pengujian Undang- Undang (PUU) Intelijen Negara.

Humas mK/GaNIE

ini adalah Pemohon atau pihak yang menganggap hak dan kewenangannya dirugikan terhadap UU.

Namun, dari kelima Pemohon yang mengajukan perkara ini dianggap Natabaya tidak mengalami kerugian akibat berlakunya UU Intelijen Negara. “Ada lima syarat secara kumulatif sesuai putusan MK untuk pengajuan Pengujian UU, yaitu kewenangan konstitusional pihak tersebut dianggap telah dirugikan oleh suatu UU. Artinya, Pemohon harus membuktikan Pemohon dirugikan oleh UU ini dan dalam permohonan ini tidak ada satu kata pun yang menunjukkan kerugian Pemohon. Kalau saksi yang tadi menyampaikan ada kerugian, itu kerugian masa lalu bukan karena UU ini, justru UU ini bermaksud melindungi,” papar Natabaya.

Sedangkan Muladi menyampaikan bahwa UU Intelijen belum bisa dievaluasi. Pasalnya, Muladi menilai UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara itu sudah cukup demokratis. Hal ini terlihat dari proses penyusunan maupun dalam perumusan substansinya. Tetapi Muladi mengatakan bahwa UU Intelijen belum dapat dievaluasi. “Sampai seberapa jauh kualitas actual enforcement belum bisa dievaluasi karena baru saja diundangkan,” ujar Muladi.(Shohibul Umam/Yusti Nurul Agustin/mh)