• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.3 Penyelenggaraan Akreditasi Puskesmas

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi penyelenggaraan akreditasi puskesmas dilakukan berdasarkan standar akreditasi puskesmas yang dilakukan melalui dua tahapan yaitu survei akreditasi dan penetapan akreditasi.

Survei akreditasi dilakukan oleh surveior akreditasi dari lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri. Survei akreditasi dilakukan

melalui kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesesuaian terhadap standar akreditasi. Surveior akreditasi puskesmas terdiri dari surveior bidang administrasi dan manajemen, bidang upaya kesehatan masyarakat (UKM), dan bidang upaya kesehatan perorangan (UKP).

Penetapan akreditasi merupakan hasil akhir survei akreditasi oleh surveior dan keputusan rapat lembaga independen penyelenggara akreditasi. Penetapan akreditasi puskesmas dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang dibuktikan dengan sertifikat akreditasi.

Dalam penyelenggaraan akreditasi juga dilakukan pendampingan dan penilaian praakreditasi serta pendampingan pascaakreditasi. Pendampingan praakreditasi merupakan rangkaian kegiatan penyiapan puskesmas agar memenuhi standar akreditasi. Pada saat pendampingan praakreditasi dilakukan beberapa kegiatan antara lain :

1. Lokakarya untuk menggalang komitmen, meningkatkan pemahaman tentang akreditasi, standar serta instrument akreditasi, pembentukan panitia persiapan akreditasi puskesmas, serta pembentukan kelompok kerja di bidang administrasi dan manajemen, upaya kesehatan masyarakat, dan upaya kesehatan perorangan.

2. Pelatihan pemahaman standar dan instrumen yang diikuti seluruh karyawan untuk meningkatkan pemahaman secara rinci mengenai standar dan instrument akreditasi, kemudian melakukan persiapan self assessment.

3. Pelaksanaan self assesment oleh staf puskesmas (lintas POKJA) dan dipandu pendamping. Self assessment adalah kajian mandiri yang dilakukan pada tahap persiapan akreditasi yang penilaiannya dilakukan

oleh tim akreditasi yang terdiri dari beberapa kelompok kerja, sesuai dengan pelayanan yang akan dinilai. Agar pelaksanaan self assessment

dapat berjalan dengan baik, diperlukan pembinaan yang intensif dari tim pendamping dinas kesehatan, karena pembinaan merupakan hal yang penting untuk meningkatkan pemahaman sumber daya manusia terkait dengan pelaksanaan self assessment dalam persiapan akreditasi (Poerwani dan Sopacua, 2006). Setelah melakukan self assessment kemudian dilakukan pembahasan hasil self assessment serta membuat penyusunan rencana aksi persiapan akreditasi.

4. Penyiapan dokumen akreditasi sesuai dengan pedoman penyusunan dokumen akreditasi puskesmas.

5. Implementasi pelaksanaan kegiatan yang sesuai standar akreditasi dan dipandu oleh regulasi internal, memastikan rekam proses dan hasil kegiatan, mengadakan audit internal serta rapat tinjauan manajemen. 6. Penilaian pra survei oleh tim pendamping dinas kesehatan kabupaten/kota

kemudian rekomendasi hasil pra survey (Zakiah, 2015).

Setelah melakukan penilaian pra survei maka dilakukan penilaian akreditasi. Penilaian akreditasi merupakan kegiatan penilaian yang dilakukan setelah selesai pendampingan praakreditasi. Pendampingan pascaakreditasi merupakan kegiatan untuk memelihara serta meningkatkan pencapaian standar akreditasi pada puskesmas secara berkesinambungan sampai dilakukan penilaian akreditasi berikutnya. Pendampingan dilakukan oleh tim pendamping yang berasal dari dinas kesehatan kabupaten/kota (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Tim pendamping akreditasi memiliki tugas untuk melaksanakan fasilitasi dan pembinaan secara intensif kepada puskesmas selama persiapan menuju penilaian akreditasi. Dalam hal

keterbatasan sumber daya manusia pada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dapat merekrut tenaga pendamping yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, institusi pendidikan, organisasi profesi, dan/atau masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2015).

Dalam pelaksanaan pendampingan pra akreditasi terdapat kegiatan penyiapan dokumen akreditasi. Dokumen dalam akreditasi puskesmas dibagi menjadi dua bagian yaitu dokumen interal dan eksternal. Dokumen tersebut digunakan untuk membangun dan membakukan sistem manajemen mutu dan pelayanan di puskesmas. Dokumen-dokumen yang perlu disediakan di puskesmas untuk akreditasi adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan manajemen Puskesmas a. Kebijakan Kepala Puskesmas b. Rencana Lima Tahunan Puskesmas c. Pedoman/manual mutu

d. Pedoman/panduan teknis yang terkait dengan manajemen e. Standar Prosedur Operasional (SPO)

f. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) g. Rencana Usulan Kegiatan (RUK) h. Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) i. Kerangka Acuan Kegiatan.

2. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) a. Kebijakan Kepala Puskesmas

b. Pedoman untuk masing-masing UKM (esensial maupun pengembangan)

e. Kerangka Acuan Kegiatan pada tiap-tiap UKM 3. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)

a. Kebijakan tentang pelayanan klinis b. Pedoman Pelayanan Klinis

c. Standar Prosedur Operasional (SPO) klinis

d. Kerangka Acuan terkait dengan Program/Kegiatan Pelayanan Klinis dan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Konsep Kesiapan Puskesmas dalam Menghadapi Akreditasi

Akreditasi puskesmas memiliki tujuan utama yaitu untuk pembinaan peningkatan mutu dan kinerja melalui perbaikan yang berkesinambungan terhadap sistem manajemen, sistem manajemen mutu dan sistem penyelenggaraan pelayanan dan upaya, serta penerapan manajemen risiko di puskesmas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Sebelum adanya kebijakan mengenai akreditasi puskesmas, pemerintah di Kabupaten Gianyar telah menerapkan kebijakan BLUD di seluruh puskesmas di Kabupaten Gianyar. Kebijakan BLUD puskesmas ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan di puskesmas sehingga puskesmas dapat menyediakan layanan yang bermutu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat. Namun,

berdasarkan hasil penelitian Indrayathi dkk (2014) yang berjudul “Mutu Pelayanan Puskesmas Perawatan yang Berstatus Badan Layanan Umum Daerah” mutu pelayanan puskesmas perawatan yang berstatus BLUD di Kabupaten Gianyar dirasakan masih belum memuaskan. Ketidakpuasan terhadap mutu pelayanan puskesmas BLUD di Kabupaten Gianyar disebabkan karena beberapa hal antara lain masih terdapat

kesulitan dalam penyediaan kelengkapan dan kesiapan peralatan medis di puskesmas, komitmen dari dinas kesehatan dalam pelaksanaan kebijakan BLUD puskesmas yang masih rendah, masih terdapat kekurangan sumber daya manusia khususnya tenaga dokter dan perawat, dan tenaga administrasi yang mengelola keuangan masih kurang sehingga puskesmas mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik yang sesuai dengan filosofi puskesmas sebagai BLUD.

Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Sutiarini (2011) yang

berjudul “Analisis SWOT dan Rencana Strategik Pengembangan BLUD di Puskesmas

Se-Kabupaten Gianyar”. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa pada puskesmas di Kabupaten Gianyar kualitas pelayanannya masih rendah, salah satu penyebab rendahnya kualitas pelayanan di puskesmas adalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh puskesmas sehingga mempengaruhi ketersediaan peralatan medis serta sumber daya manusia di puskesmas. Salah satu sumber daya manusia di puskesmas yang kuantitas dan kualitasnya masih rendah terkait dengan pengembangan BLUD adalah tenaga non medis. Untuk mengatasi keterbatasan kuantitas dan kualitas tenaga non medis pada puskesmas di Kabupaten Gianyar diperlukan perhatian dan tindaklanjut melalui permohonan perencanaan perekrutan, penempatan, dan pelatihan pegawai yang diperlukan sesuai dengan peruntukannya pada instansi terkait atau dengan melakukan rekrutmen dengan pola outsourcing.

Menurut Muninjaya (2014) dalam Artini (2015) mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat atau dikaji berdasarkan output yang ada pada sistem pelayanan kesehatan.

Output pada sisitem pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu komponen input, proses dan juga lingkungan. Sedangkan menurut Donabedian (1980) dalam Alwi (2011) terdapat tiga pendekatan dalam melakukan penilaian mutu yaitu

peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, dan sumber daya manusia. Aspek proses adalah semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan pasien, yang meliputi metode atau tata cara pelayanan kesehatan. Sedangkan aspek output adalah kegiatan dan tindakan dokter, perawat dan tenaga administrasi yang dapat dirasakan oleh pengguna pelayanan kesehatan yang dapat memberikan perubahan ke arah tingkat kesehatan dan kepuasan yang diharapkan.

Kesiapan adalah hal yang penting dan harus tersedia ketika akan menghadapi atau melaksanakan sesuatu yang baru. Kesiapan akan dipengaruhi oleh dukungan baik dukungan internal maupun eksternal, sebaliknya dikatakan tidak siap bila ditemukan berbagai hambatan dari segi sumber daya (Sugiana,2015). Lehman (2002) dalam Muafi (2011) juga mengatakan bahwa kesiapan perubahan organisasi salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya yang ada pada organisasi tersebut.

Salah satu contoh penelitian mengenai kesiapan adalah penelitian yang dilakukan oleh Pawizi dan Rosyidah (2011) yang menganalisis kesiapan pelayanan administrasi dan manajemen di RSU Rajawali Citra Kabupaten Bantul dalam menghadapi akreditasi. Dalam penenlitiannya, Pawizi dan Rosyidah menganalisis kesiapan RSU Rajawali Citra dengan meninjau dari segi sumber daya dasar yaitu sumber daya manusia, dokumentasi, serta fasilitas. Hasil dari penelitian Pawizi dan Rosyidah (2011) menunjukan bahwa dari aspek sumber daya manusia, dokumentasi, serta fasilitas yang disiapkan dalam menghadapi akreditasi pada bidang pelayanan administrasi dan manajemen di rumah sakit tersebut, semuanya dalam kondisi siap dan baik. Artinya, tidak ada kendala berarti yang terkait dengan penyiapan tiga sumber daya mendasar tersebut. Secara teoritis, hal ini disebabkan karena bidang pelayanan

administrasi dan manajemen merupakan salah satu dari lima bidang pelayanan dalam paket dasar akreditasi rumah sakit yang tidak berat untuk disiapkan.

Penelitian lain mengenai kesiapan adalah penelitian Dewi dan Rimawati (2015) yang menganalisis tentang persiapan Unit Rekam Medis RSUD dr. R. Soeprapto Cepu dalam menghadapi akreditasi di bagian rekam medis. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat beberapa hambatan sumber daya yang terjadi saat persiapan akreditasi di unit rekam medis pada RSUD dr. R Soeprapto Cepu yaitu kurangnya sarana dan prasarana seperti komputer dan printer sehingga unit rekam medis tidak bisa segera mencetak dokumen-dokumen yang sudah disiapkan, kurangnya petugas rekam medis, kerjasama dan komunikasi antar petugas rekam medis yang mempersiapkan akreditasi tidak berjalan lancar, dan kurangnya pedoman untuk pembaharuan SPO dan dokumen lain yang terkait akreditasi. Kerjasama dan komunikasi antara petugas dengan dinas kesehatan harus lebih ditingkatkan supaya segala hal terkait persiapan akreditasi bisa cepat selesai. Selain itu perlu diperlukan juga penambahan sarana prasarana serta sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan di unit rekam medis.

Dalam sistem pelayanan kesehatan di puskesmas, untuk dapat mencapai kesiapan puskesmas dari segi administrasi manajemen, upaya kesehatan masyarakat, dan upaya kesehatan perorangan dalam menghadapi akreditasi diperlukan input yang baik dan memadai. Input dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari berbagai sumber daya organisasi yang merupakan alat untuk mencapai tujuan organisasi. Sumber daya organisasi tersebut dikenal dengan istilah 6M yang terdiri dari sumber daya manusia (man), biaya (money), metode (method), peralatan (machine), bahan-bahan (materials), dan pasar (market) (Sofia, 2010).

Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur input yang sangat penting dalam persiapan implementasi suatu kebijakan. Menurut Rondonuwu dan Trisnantoro (2013), sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kualifikasi sesuai dengan pekerjaannya merupakan salah satu hal yang dapat menunjang keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Sumber daya manusia di puskesmas terdiri dari tenaga kesehatan yang bertugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan. Sebagai pelaksana pelayanan kesehatan diharapkan agar tugas pokok dan fungsi tenaga kesehatan dapat sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki (Handayani dkk, 2010). Apabila sumber daya manusia yang ada tidak mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitas salah satunya dapat menyebabkan adanya tugas rangkap pada sumber daya manusia yang ada yang nantinya dapat berdampak pada output yang ingin dicapai. Menurut Sutarman, dkk (2008), petugas yang dibebani tanggung jawab pekerjaan yang lebih dari satu kegiatan (tugas rangkap), akan merasa memiliki pekerjaan yang berat karena tugas rangkap tersebut dapat menambah beban tanggung jawab mereka.

Pada puskesmas, seringkali jumlah tenaga kesehatan yang ada masih terbatas jika dibandingkan dengan jenis program yang dikerjakan sehingga menyebabkan sebagian besar tenaga kesehatan melakukan pekerjaan rangkap (Handayani dkk, 2010). Menurut Paruntu dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia di Puskesmas Kabupaten Minahasa” salah satu

penyebab dari tidak proporsionalnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di puskesmas salah satunya disebabkan oleh tidak ada kesamaan persepsi antara dinas kesehatan dan puskesmas tentang pengadaan sumber daya manusia kesehatan, sehingga komunikasi dan koordinasi antara manajemen puskesmas dengan dinas kesehatan terkait perencanaan sumber daya manusia merupakan hal yang penting.

Perencanaan kebutuhan sumber daya manusia merupakan hal yang penting terutama untuk menghindari adanya beban kerja yang tinggi pada sumber daya manusia yang ada, sehingga tidak akan menimbulkan stres yang dapat berakibat pada menurunnya kinerja (Silanno,dkk 2014).

Menurut Notoatmodjo (2007), input, proses dan output merupakan elemen-elemen dalam sub sistem pelayanan kesehatan yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Input atau masukan merupakan sub elemen-sub elemen yang diperlukan sebagai masukan untuk berfungsinya sistem, input juga dapat dikatakan sebagai sumber daya yang diperlukan untuk melakukan proses. Proses merupakan suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan sehingga menghasilkan keluaran yang direncanakan, sedangkan output merupakan hal yang dihasilkan dari proses. Apabila output yang dihasilkan telah berjalan selama beberapa waktu maka output akan menghasilkan dampak atau impact.

LINGKUNGAN

Gambar 2.1 Elemen Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sumber : Notoatmodjo (2007)

INPUT PROSES OUTPUT DAMPAK

Dokumen terkait