• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Perencanaan Menu

Perencanaan menu menjadi tanggung jawab Pelaksana V sebagai penanggung jawab pengembangan resep makanan di bawah Manager II Bidang Perencanaan dan Administrasi. Menu makanan dikembangkan dari bahan makanan utama yang frekuensi pemakaiannya dalam satu siklus menu sudah ditentukan terlebih dahulu. Setelah ditentukan menunya, dibuat resep standar dengan cara trial and error untuk menentukan jenis dan jumlah bahan makanan yang sesuai untuk satu porsi makanan dan dapat diterima secara organoleptik. Menu makanan dievaluasi setiap bulan dan akan direvisi apabila diperlukan.

b. Pengadaan Bahan Makanan

Pengadaan bahan makanan dilakukan sesuai dengan perencanaan kebutuhan bahan makananan yang dibuat setiap bulan. Perencanaan bahan makanan didasarkan pada standar porsi bahan makanan, rata-rata kekuatan pasien dan pegawai tiga bulan terakhir, harga pasar pada saat itu, Rencana Kebutuhan Anggaran Tahunan, dan biaya pembelian bahan makanan triwulan sebelumnya sehingga dihasilkan daftar kebutuhan dan perkiraan biaya bahan makanan. Biaya yang ditetapkan per pasien per hari untuk makanan saring kelas III B Rp 8.200, makanan lunak kelas III B Rp 9.065, dan makanan biasa kelas III B Rp 9.370.

Daftar kebutuhan dan perkiraan biaya bahan makanan dijadikan sebagai acuan pengadaan bahan makanan. Pengadaan bahan makanan dilakukan melalui dua cara yaitu tender dan pembelian langsung. Tender dilakukan oleh Panitia pembelian sampai mendapatkan rekanan yang mampu memberikan harga paling rendah dan memiliki spesifikasi bahan makanan sesuai dengan standar UPM. Rekanan pemenang tender akan mengirimkan bahan makanan dalam jangka waktu yang berbeda-beda (harian, mingguan, bulanan) tergantung pada jenis dan pemakaian bahan makanan. Pembayaran dilakukan setiap 10 hari setelah rekanan memenuhi semua pesanan. Pembelian langsung dilakukan khusus untuk masakan VIP. UPM membeli langsung pada penjual bahan makanan menggunakan uang muka kerja yang diberikan RS. Setiap bulan UPM merekap penggunaan bahan makanan tersebut dan melaporkan biaya yang dikeluarkan kepada pihak RS.

c. Penerimaan Bahan Makanan

Panitia penerimaan bahan makanan yang ditetapkan berdasarkan SK Direktur RS bertanggung jawab pada penerimaan bahan makanan di UPM. Panitia tersebut memeriksa kualitas dan kuantitas setiap bahan makanan yang dikirim oleh rekanan sebelum digunakan oleh UPM. Pemeriksaan dilakukan untuk mengecek kesesuaian antara kualitas dan kuantitas bahan makanan yang telah disepakati dalam kontrak dengan bahan makanan yang dikirim rekanan.

d. Penyimpanan Bahan Makanan

Bahan makanan yang dibeli UPM ada yang langsung digunakan dan ada yang tidak. Bahan makanan yang tidak langsung digunakan akan disimpan pada tiga ruang penyimpanan yaitu ruang penyimpanan lauk hewani & nabati; sayur, buah, & bumbu; dan bahan makanan kering. Ruang penyimpanan lauk hewani & nabati serta sayur, buah, & bumbu dilengkapi dengan refrigerator dan freezer yang dapat diatur suhunya untuk menjaga mutu bahan makanan. Ruang penyimpanan ini sekaligus berfungsi sebagai ruang penyiapan beberapa bahan makanan.

e. Penyiapan Bahan Makanan

Penyiapan bahan makanan bisa dilakukan di ruang penyimpanan atau ruang pengolahan. Lauk hewani, buah, dan bumbu disiapkan di ruang penyimpanan sedangkan lauk nabati dan sayuran disiapkan ruang pengolahan. Jumlah bahan makanan yang disiapkan untuk diolah disesuaikan dengan jumlah pasien rawat inap dan pegawai yang bertugas pada hari itu, standar porsi bahan makanan, dan standar bumbu.

f. Pengolahan Bahan Makanan

Ruang pengolahan bahan makanan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama untuk makanan biasa pasien kelas I, II, dan III, pegawai, dokter, dan co-ass. Kedua, untuk makanan diet. Ketiga, untuk snack (makanan selingan). Keempat, untuk makanan anak dan saring dan kelima, untuk pasien kelas VIP. Selain itu, ada satu bagian khusus untuk memasak nasi dan bubur nasi. Setiap bagian dipegang oleh satu sampai lima orang juru masak.

g. Pembagian Makanan

Pembagian makanan di UPM dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Makan pagi dibagikan pukul 06.30 – 07.30, makan siang pukul 11.30-12.30, dan makan sore pukul 17.00-18.00. Apabila pada jam tersebut makanan belum siap maka jam pembagian makanannya menjadi mundur. Pembagian makanan dilakukan di meja pembagian yang ada di ruang pengolahan oleh juru masak masing-masing bagian. Makanan yang telah dibagikan kemudian dibawa oleh petugas gizi ke ruangan

masing-masing menggunakan kereta makan yang terbuat dari stainless steel, rantang, atau container.

Pembagian makanan di ruangan dilakukan dengan dua cara yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Cara sentralisasi untuk ruang rawat kelas III dan ruang rawat anak di IRNA A dan B sedangkan ruangan lainnya menggunakan cara desentralisasi.

h. Penyajian Makanan

Makanan untuk pasien di ruang rawat kelas I, II, III, dan VIP disajikan menggunakan tempat makan yang berbeda. Pada kelas I dan II makanan disajikan dengan tempat makan dari melamin, kelas III menggunakan plato stainless steel, dan kelas VIP menggunakan tempat makan keramik dengan garnish dan diwrapping.

6. Pengawasan

Kegiatan produksi makanan di UPM diawasi oleh pengawas yang bertugas secara bergantian. Satu orang pengawas bertugas pada jam makan pagi dan dua orang pengawas bertugas pada makan siang dan sore. Selain itu, dilakukan juga pengawasan terhadap mutu organoleptik makanan oleh tujuh orang ahli gizi yang bergantian setiap harinya.

Karakteristik Contoh Umur

Umur contoh yang berselang antara 26-70 tahun dikategorikan menjadi dewasa awal, dewasa menengah, dan dewasa akhir. Mayoritas contoh termasuk dewasa menengah yaitu 55%. Sisanya sebanyak 30% termasuk dewasa awal dan 15% dewasa akhir.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kelompok umur Total Kelompok Umur n % Dewasa Awal 6 30 Dewasa Menengah 11 55 Dewasa Akhir 3 15 Total 20 100

Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Hati

Jenis kelamin sebagian besar contoh (85%) yaitu laki-laki dan 15% sisanya perempuan. Jenis penyakit hati yang diderita contoh dari yang paling banyak sampai paling sedikit berturut-turut yaitu sirosis hati (60%), hepatoma (35%), dan hepatitis B (5%). Contoh yang menderita sirosis hati lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Akbar (2002) dan Dalimartha (2004).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan jenis penyakit hati Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total Jenis Penyakit Hati

n % n % n % Hepatitis B 1 5 - - 1 5 Sirosis Hati 9 45 3 15 12 60 Hepatoma 7 35 - - 7 35 Total 17 85 3 15 20 100 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan contoh menyebar dari tidak tamat SD/sederajat sampai dengan S1. Paling banyak contoh berpendidikan tamat SMA/sederajat yaitu 30% sedangkan paling sedikit contoh tidak tamat SMP/sederajat dan D3 masing-masing sebesar 5%.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Total

Tingkat Pendidikan n %

Tamat Sekolah Dasar/sederajat 2 10

Tidak tamat Sekolah Dasar/sederajat 5 25 Tamat Sekolah Menengah Pertama/sederajat 2 10 Tidak tamat Sekolah Menengah Pertama/sederajat 1 5 Tamat Sekolah Menengah Atas/sederajat 6 30 Tidak tamat Sekolah Menengah Atas/sederajat - 0

D3 1 5

S1 3 15

Total 20 100

Pekerjaan

Pekerjaan contoh tersebar hampir merata pada jenis pekerjaan yang terlihat pada Tabel 9. Persentase tertinggi (20%) ada pada pekerjaan PNS. Sebesar 15%

contoh pada pekerjaan wiraswasta, karyawan swasta, pensiunan, dan ibu rumah tangga. Sisanya masing-masing sebesar 10% memiliki pekerjaan sebagai buruh dan petani.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan Total Pekerjaan n % Buruh 2 10 Petani 2 10 Wiraswasta 3 15 Karyawan Swasta 3 15

Pegawai Negeri Sipil 4 20

Pensiunan 3 15

Ibu Rumah Tangga 3 15

Total 20 100

Status Malnutrisi

Tidak semua contoh bisa diketahui status malnutrisinya berdasarkan berat badan dan kadar albumin darah. Ada 5% contoh yang tidak diketahui kadar albumin darahnya sehingga status malnutrisinya tidak bisa ditentukan sedangkan 95% sisanya mengalami malnutrisi. Contoh paling banyak mengalami malnutrisi protein (kwashiorkor) dan malnutrisi ringan masing-masing sebesar 40%. Sisanya sebesar 5% mengalami malnutrisi energi-protein berat dan 10% mengalami malnutrisi sedang.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status malnutrisi Total

Status Malnutrisi n %

Malnutrisi Energi-Protein Berat 1 5

Malnutrisi Sedang 2 10

Malnutrisi Energi (Marasmus) - 0

Malnutrisi Ringan 8 40

Malnutrisi Protein (Kwashiorkor) 8 40

Tidak Malnutrisi - 0

Tidak Ada Data 1 5

Total 20 100

Penderita penyakit hati kronis dengan malnutrisi sedang atau berat cenderung mempunyai serum bilirubin yang lebih tinggi, serum albumin lebih rendah, dan masa protrombin lebih panjang. Selain itu, mereka cenderung mempunyai asites yang resisten, mengalami infeksi berulang, dan tingkat

mortalitasnya lebih tinggi (Mendenhall et al. 1986 & Merli et al. 1996, diacu dalam Morgan & Heaton, 2000).

Kondisi malnutrisi dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, pemberian nutrisi (oral, enteral, parenteral, atau kombinasinya) dengan memperhatikan kondisi pasien mutlak diperlukan.

Lama Perawatan

Contoh menyebar pada lama perawatan kurang dari 5 hari, 5-10 hari, dan lebih dari 10 hari. Separuh contoh (50%) ada pada lama perawatan 5-10 hari sedangkan persentase terendah yaitu sebesar 10% ada pada lama perawatan lebih dari 10 hari.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan lama perawatan Total Lama Perawatan n % < 5 hari 8 40 5 – 10 hari 10 50 > 10 hari 2 10 Total 20 100

Salah satu upaya untuk memperpendek hari perawatan dan mempercepat penyembuhan penyakit yaitu dengan adanya penyelenggaraan makanan yang dikelola pihak rumah sakit sehingga pasien memperoleh makanan sesuai dengan kebutuhan gizinya (Moehyi 1986). Pasien yang menderita penyakit kronis kadang memerlukan hari perawatan yang lama sehingga pasien mudah menghafal menu yang disajikan rumah sakit. Akibatnya nafsu makan pasien hilang sebelum makanan disajikan (Moehyi 1997).

Kebutuhan Energi-Protein Contoh

Kebutuhan energi contoh per hari berkisar antara 1800-2900 kkal dengan rata-rata 2459±258 kkal pada laki-laki dan 1967±208 kkal pada perempuan. Energi dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperoleh dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak, protein, dan alkohol pada makanan yang metabolismenya diatur oleh hati (Almatsier 2002). Oleh karena itu, hati dikatakan sebagai pemegang peran utama dalam menjaga keseimbangan energi (Morgan & Heaton 2000).

Kebutuhan protein contoh per hari berkisar antara 49,5-98,6 gram dengan rata-rata 80,4±14,9 gram pada laki-laki dan 64,2±12,8 gram pada perempuan. Fungsi utama protein yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada (Almatsier 2002). Proses sintesis dan degradasi protein berpusat di hati (Lieber 1999). Pada penderita penyakit hati, protein dibutuhkan dalam jumlah yang agak tinggi agar terjadi anabolisme protein (Yunahar 2004). Akan tetapi, pada pasien yang mengalami ensefalopati, protein dibutuhkan dalam jumlah yang rendah untuk meminimalkan hasil metabolisme protein yang berupa amonia. Ini terjadi karena hati tidak bisa bekerja maksimal dalam mengubah amonia menjadi urea sebelum diekskresikan melalui urin (Nelson et al. 1994). Amonia yang tidak terkonversi tersebut akan meracuni sistem saraf pusat sehingga penderitanya mengalami ensefalopati yang ditandai dengan terjadinya koma. Kondisi tersebut bisa berakhir dengan kematian (Eschleman 1996).

Ketersediaan Diet Hati Jenis Diet Hati

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan jenis diet hati Total Jenis Diet Hati

n %

Sebelum Contoh Diteliti

Diet Hati I + Diet Hati II 3 15

Diet Hati II 2 10

Diet Hati II + Diet Hati III 5 25

Diet Hati III 10 50

Total 20 100

Saat Contoh Diteliti

Diet Hati II 4 20

Diet Hati II + Diet Hati III 5 25

Diet Hati III 11 55

Total 20 100

Diet Hati yang disediakan UPM Perjan RSCM berupa makanan utama dan makanan selingan. Menu dietnya bisa dilihat pada Lampiran 6, 7, dan 8. Selama contoh menjalani perawatan, diet yang diberikan rumah sakit akan berubah seiring dengan perubahan kondisi kesehatan contoh. Diet Hati III paling banyak diterima contoh sebelum (50%) dan saat (55%) diteliti. Secara umum, Diet Hati I diberikan pada contoh dengan kondisi koma, hematemesis, melena, atau setelah menjalani tindakan medis tertentu (contohnya ligasi dan endoskopi). Diet Hati II

diberikan pada pasien dengan kesulitan menelan, nafsu makan rendah, atau sebagai perpindahan dari Diet Hati I sedangkan Diet Hati III diberikan pada pasien dengan nafsu makan cukup, kondisinya cukup baik, atau sebagai perpindahan dari Diet Hati II.

Diet Hati ada yang rendah garam dan tidak rendah garam. Diet Hati Rendah Garam diberikan kepada pasien dengan asites (perut busung) berat dan diuresisnya (kelancaran kencing) belum baik. UPM RSCM menyediakan Diet Hati Rendah Garam hanya untuk Diet Hati Lunak atau Biasa. Menu Diet Hati dan Diet Hati Rendah Garam sama hanya penambahan garam dapur pada sayur dan lauk hewaninya berbeda.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan diet hati rendah garam dan asites Asites Ya Tidak Total Diet Hati Rendah Garam n % n % n % Ya 2 10 1 5 3 15 Tidak 8 40 9 45 17 85 Total 10 50 10 50 20 100

Ada 15% contoh yang mendapat Diet Hati Rendah Garam dengan 10% mengalami asites hebat dan 5% menderita hipertensi. Sebanyak 40% contoh dengan asites tidak mendapat Diet Hati Rendah Garam dengan alasan asites ringan dan diuresisnya masih bisa diatasi dengan pemberian obat.

Ketersediaan Energi dan Protein Diet Hati

Rata-rata ketersediaan energi dan protein Diet Hati III Biasa lebih besar daripada Diet Hati II Saring (Tabel 14). Hal ini dimungkinkan oleh jenis makanan pada Diet Hati III yang lebih lengkap daripada Diet Hati II. Diet Hati III terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, dan buah sedangkan pada Diet Hati II hanya terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, dan buah.

Rata-rata ketersediaan energi dan protein Diet Hati III Biasa lebih besar daripada Diet Hati III Lunak (Tabel 14). Ini dikarenakan makanan pokok pada Diet Hati III Biasa disajikan dalam bentuk nasi sedangkan pada Diet Hati III Lunak dalam bentuk bubur nasi.

Rata-rata ketersediaan energi Diet Hati III Lunak lebih kecil daripada Diet Hati II Saring sedangkan ketersediaan proteinnya lebih besar (Tabel 14). Hal ini

sesuai dengan standar kandungan energi dan protein yang dikeluarkan rumah sakit (Tabel 15).

Tabel 14 Rata-rata ketersediaan energi dan protein contoh per hari berdasarkan jenis diet hati

Kandungan Zat Gizi Zat Gizi Diet Hati II

Saring Diet Hati III Lunak Diet Hati III Biasa Energi (kkal) 1884±164 1733±143 1901±125

Protein (g) 54,1±5,4 62,2±7,3 65,3±4,4

Apabila rata-rata ketersediaan energi-protein Diet Hati (Tabel 14) dibandingkan dengan standar kandungan energi-protein makanan rumah sakit (Tabel 15) maka nilainya tidak sama. Perbedaan ini dimungkinkan oleh pemorsian makanan yang tidak sesuai standar sebab sulit untuk menyamakan jumlah dan besar potongan bahan makanan setiap porsi makanan. Meskipun demikian, ketersediaan energi dan protein Diet Hati dirasa sudah sesuai dengan alokasi biaya makanan yang dianggarkan rumah sakit.

Tabel 15 Kandungan energi dan protein makanan biasa, makanan lunak, dan makanan saring kelas III per hari

Kandungan Zat Gizi

Zat Gizi Makanan

Saring Makanan Lunak Makanan Biasa

Energi (Kkal) 1765 1745 2048

Protein (g) 50,0 72,7 71,3

Sumber: UPM Perjan RSCM (2001)

Konsumsi Energi dan Protein Contoh

Konsumsi energi dan protein contoh berasal dari tiga sumber. Sumber tersebut yaitu Diet Hati, makanan luar, dan cairan infus.

Tabel 16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh per hari Konsumsi Zat Gizi Sumber Energi dan Protein Energi (Kkal) Protein (g)

Diet Hati DH II Saring 1299±337 35,3±10,9 DH III Lunak 1145±343 44,7±16,1 DH III Biasa 1572±334 51,3±12,8 Rata-rata 1293±374 43,2±14,9 Makanan luar Rata-rata 203±213 6,1±6,7 Cairan Infus Rata-rata 69±123 1,0±4,4 Total 1565±±710 50,3±±26,0

Konsumsi Energi dan Protein Diet Hati

Konsumsi energi Diet Hati contoh per hari antara 518 sampai 1947 Kkal dengan rata-rata 1293±374 Kkal. Energi harus dikonsumsi dalam jumlah yang cukup agar sintesis protein dapat berlangsung dan penggunaan asam amino untuk memenuhi kebutuhan energi dapat dicegah (Nelson et al. 1994).

Konsumsi protein Diet Hati per hari yaitu antara 22,5 sampai 65,2 gram dengan rata-rata 43,2±14,9 gram. Konsumsi protein yang cukup diperlukan untuk memperbaiki kondisi malnutrisi yang ditemukan pada sebagian besar penderita penyakit hati serta mencegah terjadinya Koma Hepatik pada pasien yang mengalami intoleransi protein (Nelson et al. 1994).

Konsumsi Energi dan Protein Makanan Luar

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi makanan luar Total Konsumsi Makanan Selain dari Rumah Sakit

n %

Ya 17 85

Tidak 3 15

Total 20 100

Sebagian besar contoh (85%) mengkonsumsi makanan selain yang disediakan rumah sakit (makanan luar). Rata-rata konsumsi energi makanan luar 203±213 Kkal dan rata-rata konsumsi protein makanan luar 6,1±6,7 gram. Contoh mengkonsumsi makanan luar dengan alasan :

• ingin makan makanan tertentu,

• sudah merasa lapar tetapi makanan belum datang,

• masih merasa lapar meskipun sudah menghabiskan makanan dari rumah sakit, • meneruskan kebiasaan makan makanan tertentu seperti saat tinggal di rumah,

atau

• mengikuti saran dokter/salah satu anggota keluarga untuk mengkonsumsi

makanan tertentu.

Sebanyak 15% contoh tidak mengkonsumsi makanan luar karena merasa cukup dengan porsi makanan yang disediakan rumah sakit atau takut makanan luar mempengaruhi penyakit yang dideritanya.

Makanan luar yang dikonsumsi contoh sangat bervariasi, dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, buah, susu, sampai bermacam-macam makanan

jajanan. Makanan tersebut yaitu nasi, arem-arem, bubur ayam, bubur sum-sum, ayam goreng, hati ayam, tempe, telur ayam kampung, telur ayam ras, pisang emas, pisang ambon, jus melon, apel merah, jeruk medan, jeruk mandarin, kelengkeng, anggur, pir, semangka, Hepatosol, susu tinggi kalsium, susu full

cream, susu non fat, susu kental manis, bubur kacang hijau, roti tawar, roti keju,

roti coklat, roti nanas, roti isi kelapa, biskuit, malkist, wafer, kue mangkok, putu ayu, talam, kelepon, dan agar-agar.

Konsumsi Energi dan Protein Cairan Infus

Macam cairan infus yang diberikan pada contoh selama penelitian yaitu asering (larutan elektrolit), dextrose 5% (larutan infus karbohidrat), KAEN 3B (larutan rumatan), NaCl 0,9% (larutan elektrolit), albumin 20% (larutan protein), serta Triofusin 500 dan Triofusin E 1000 (larutan infus karbohidrat). Sebanyak 65% contoh mendapatkan infus selama diteliti. Hanya 35% contoh yang tidak memakai infus. Rata-rata konsumsi energi dari cairan infus per hari sebesar 69±123 Kkal dan rata-rata konsumsi protein dari cairan infus per hari sebesar 1,0±4,4 gram. Menurut Wattlers et al.(1995) diacu dalam Karsono (2000), cairan infus dapat menggantikan kehilangan cairan tubuh akut (resusitasi), memelihara keseimbangan cairan tubuh dan zat gizi (rumatan), serta menjaga akses ke vena untuk pemberian obat.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan jenis infus

Total Jenis Infus n % Asering 1 5 Dextrose 5 % 1 5 KAEN 3B 1 5 NaCl 0.9 % 3 15 NaCl 0.9 % + Dextrose 5 % 4 20 NaCl 0.9 % + Albumin 20% 1 5 NaCl 0.9 % + Triofusin 500 1 5

NaCl 0.9 % + Dextrose 5 % +KAEN3B+Triofusin E 1000 1 5

Tidak pakai infus 7 35

Total 20 100

Perbandingan Antara Kebutuhan, Ketersediaan, dan Konsumsi Energi-Protein

Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein terhadap Kebutuhan Energi dan Protein

Tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein contoh rata-ratanya masing-masing sebesar 78±12% dan 81±18%. Nilai

maksimum tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein contoh masing-masing sebesar 105% (normal) dan 131% (di atas kebutuhan) sedangkan nilai minimumnya masing-masing sebesar 60% (defisit) dan 57% (defisit).

Tabel 19 Rata-rata tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein

Tingkat Ketersediaan terhadap Kebutuhan (% angka kebutuhan)

Rata-rata Nilai Maksimum Nilai Minimum

Energi 78±12 105 60

Protein 81±18 131 57

Makanan yang disediakan rumah sakit belum bisa memenuhi kebutuhan contoh secara maksimum meskipun ragam makanannya dirasa sudah sesuai dengan alokasi biaya makanan rumah sakit. Hal ini terlihat dari sebagian besar contoh yang tergolong defisit pada tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan energi (85%) dan tingkat ketersediaan protein terhadap kebutuhan protein (75%). Kondisi tersebut mungkin terjadi karena penyediaan makanan contoh tidak didasarkan pada perhitungan kebutuhan gizi perorangan. Penyediaan makanan hanya didasarkan pada jenis dietnya saja dengan merujuk pada kondisi kesehatan contoh. Masing-masing jenis Diet Hati mempunyai standar pembagian bahan makanan dan nilai gizi tertentu.

Pemorsian makanan yang tidak sesuai dengan standar juga memungkinkan terjadinya penyediaan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan contoh. Standar pemorsian makanan disusun dalam satuan gram sedangkan pemorsian makanan dilakukan menggunakan ukuran rumah tangga. Oleh karena itu, sulit didapatkan pemorsian yang sesuai dengan standar.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein

Energi Protein Tingkat Ketersediaan terhadap Kebutuhan

n % n %

Defisit 17 85 15 75

Normal 3 15 4 20

Di Atas Kebutuhan 0 0 1 5

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein terhadap Ketersediaan Energi dan Protein

Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein contoh masing-masing sebesar 71±17% dan 72±19%. Tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan energi berkisar antara 29% sampai 98% sedangkan tingkat konsumsi protein terhadap ketersediaan protein berkisar antara 35% sampai 99%.

Tabel 21 Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein

Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan (% angka ketersediaan)

Rata-rata Nilai Maksimum Nilai Minimum

Energi 71±17 98 29

Protein 72±19 99 35

Tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein sebagian besar contoh yaitu 85% untuk energi dan 80% untuk protein tergolong defisit tingkat berat, sedang, dan ringan. Bahkan 50% contoh tergolong defisit tingkat berat (Tabel 22). Contoh tidak mampu menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit dengan alasan perutnya terasa begah setelah makan beberapa suap, mual, sedang tidak selera makan, atau tidak cocok dengan rasa makanannya. Menurut Noer (2003), keadaan anoreksia, mual, atau pembesaran abdomen yang mengganggu dalam mengkonsumsi makanan dapat diatasi dengan memberikan makanan lebih sering dalam jumlah yang kecil. Misalnya 4 sampai 6 kali pemberian makanan dalam sehari. Apabila cara di atas dirasa belum cukup maka bisa dibantu dengan makanan tambahan yang dapat berupa larutan yang mengandung 1-1,5 kkal/ml.

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein

Energi Protein Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan

n % n %

Derfisit Tingkat Berat 10 50 10 50

Defisit Tingkat Sedang 4 20 1 5

Defisit Tingkat Ringan 3 15 5 25

Normal 3 15 4 20

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein terhadap Kebutuhan Energi dan Protein

Rata-rata tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan energi contoh sebesar 67±22% dengan nilai maksimum 118% (normal) dan nilai minimum 29% (defisit tingkat berat). Rata-rata tingkat konsumsi protein terhadap kebutuhan protein contoh sebesar 66±22% dengan nilai maksimum 107% (normal) dan nilai minimum 32% (defisit tingkat berat).

Tabel 23 Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein

Tingkat Konsumsi terhadap Kebutuhan (% angka kebutuhan)

Rata-rata Nilai Maksimum Nilai Minimum

Dokumen terkait