• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA PENDERITA PENYAKIT HATI RAWAT INAP DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Primadhani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA PENDERITA PENYAKIT HATI RAWAT INAP DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Primadhani"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

Primadhani

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

PRIMADHANI. Konsumsi Energi dan Protein Pada Penderita Penyakit Hati Rawat Inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Di bawah bimbingan YEKTI HARTATI EFFENDI dan IRSAN HASAN.

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati rawat inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tujuan khususnya adalah mempelajari karakteristik dan lama perawatan penderita penyakit hati rawat inap, mempelajari kebutuhan energi dan protein penderita penyakit hati rawat inap, mempelajari ketersediaan Diet Hati penderita penyakit hati rawat inap, mempelajari konsumsi energi dan protein penderita penyakit hati rawat inap, serta mempelajari daya terima penderita penyakit hati rawat inap terhadap Diet Hati.

Penelitian dengan disain cross sectional study ini dilakukan di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo selama empat bulan dari Agustus hingga November 2004. Contoh dimbil secara purposive sampling dengan ketentuan sebagai berikut : penderita penyakit hati di Bagian Penyakit Dalam kelas III (Instalasi Rawat Inap B/IRNA B), berusia 17 tahun ke atas, telah dirawat minimal dua hari, mendapat Diet Hati atau Diet Hati Rendah Garam secara oral, tidak sedang berpuasa, kesadaran baik dan bisa diajak komunikasi, serta bersedia diwawancara. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan 20 pasien dengan data lengkap dan dijadikan sebagai contoh penelitian.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, jenis penyakit hati, status gizi, pendidikan, pekerjaan), lama perawatan, kebutuhan energi-protein contoh, ketersediaan Diet Hati contoh (jenis Diet Hati dan ketersediaan energi-protein Diet Hati), konsumsi energi-protein contoh (konsumsi energi-protein dari Diet Hati, makanan luar, dan cairan infus), dan daya terima contoh terhadap Diet Hati (bentuk, warna, tekstur, bau, rasa, suhu, kebersihan alat makan). Data karakteristik contoh dan daya terima contoh terhadap Diet Hati diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data berat badan dikumpulkan dengan penimbangan menggunakan bath room scale. Data tinggi badan dikumpulkan dengan pengukuran menggunakan microtoise bagi pasien yang bisa berdiri atau menggunakan pengukuran tinggi lutut bagi pasien yang tidak bisa berdiri. Data jenis penyakit hati, kadar serum albumin, dan lama perawatan diperoleh dari rekam medis. Data kebutuhan energi dan protein contoh ditentukan melalui perhitungan menggunakan rumus dengan mengacu pada data karakteristik contoh. Data jenis Diet Hati yang diterima contoh diketahui dari buku makanan IRNA B Bagian Penyakit Dalam kelas III. Data ketersediaan Diet Hati contoh (dalam satuan gram) untuk makan pagi, siang, dan selingan I dikumpulkan dengan penimbangan makanan dari Unit Produksi Makanan (UPM) sebelum dikonsumsi contoh sedangkan untuk makan sore dan selingan II merujuk pada standar porsi bahan makanan UPM karena tidak dilakukan penimbangan makanan. Data konsumsi Diet Hati (dalam satuan gram) untuk makan pagi, siang, dan selingan I dikumpulkan dengan food weighing method sedangkan untuk makan sore, selingan II, dan makanan luar dengan recall method. Data konsumsi infus diambil dari rekam medis. Data ketersediaan Diet Hati serta data konsumsi

(3)

melalui wawancara dengan staf Perjan RSCM dan membaca dokumen/laporan Perjan RSCM serta pengamatan langsung selama penelitian. Semua data yang didapatkan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif menggunakan program komputer Microsoft Excell.

Sebagian besar contoh (85%) berjenis kelamin laki-laki dan mayoritas contoh (55%) berada pada kategori umur dewasa menengah. Sebanyak 60% contoh menderita penyakit sirosis hati. Contoh paling banyak (30%) berpendidikan tamat SMA/sederajat dan bekerja sebagai PNS (20%). Malnutrisi protein (kwashiorkor) dan malnutrisi ringan masing-masing ditemukan pada 40% contoh. Separuh contoh (50%) berada pada lama perawatan 5-10 hari.

Kebutuhan energi contoh per hari berkisar antara 1800-2900 kkal dengan rata-rata 2459±258 kkal pada laki-laki dan 1967±208 kkal pada perempuan. Kebutuhan protein per hari berkisar antara 49,5-98,6 gram dengan rata-rata 80,4±14,9 gram pada laki-laki dan 64,2±12,8 gram pada perempuan.

Diet Hati yang disediakan UPM untuk contoh saat diteliti berupa Diet Hati II Saring, Diet Hati III Lunak, dan Diet Hati III Biasa dalam bentuk rendah garam dan tidak rendah garam. Diet Hati III paling banyak diterima contoh sebelum dan saat diteliti. Diet Hati Rendah Garam hanya diberikan pada sebagian kecil contoh (15%). Rata-rata ketersediaan energi Diet Hati II Saring 1884±164 kkal, Diet Hati III Lunak 1733±143 kkal, dan Diet Hati III Biasa 1901±125 kkal sedangkan rata-rata ketersediaan protein Diet Hati II Saring 54,1±5,4 gram, Diet Hati III Lunak 62,2±7,3 gram, dan Diet Hati III Biasa 65,3±4,4 gram.

Konsumsi energi contoh berasal dari konsumsi Diet Hati, makanan luar, dan cairan infus. Contoh rata-rata mengkonsumsi energi 1565±710 kkal per hari dan protein 50,3±26,0 gram per hari. Sebagian besar contoh mengkonsumsi makanan luar (85%) dan cairan infus (65%). Makanan luar yang dikonsumsi contoh berupa makan pokok, lauk hewani, lauk nabati, buah, susu, dan makanan jajanan. Cairan infus yang diberikan pada contoh yaitu Asering, Dextrose 5%, KAEN 3B, NaCl 0,9%, Albumin 20%, Triofusin 500, dan Triofusin E 1000. Rata-rata konsumsi energi per hari dari Diet Hati 1293±374 kkal, makanan luar 203±213 kkal, dan cairan infus 69±123 kkal sedangkan rata-rata konsumsi protein per hari dari Diet Hati 43,2±14,9 gram, makanan luar 6,1±6,7 gram, dan cairan infus 1,0±4,4 gram.

Sebagian besar contoh tergolong defisit pada tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan energi (85%) dan tingkat ketersediaan protein terhadap kebutuhan protein (75%). Separuh contoh (50%) tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan proteinnya tergolong defisit tingkat berat. Tingkat konsumsi energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein mayoritas contoh (60%) tergolong defisit tingkat berat.

Pada umumnya contoh menyukai semua atribut makanan penentu daya terima terhadap Diet Hati. Rasa yang kurang enak dan suhu makanan yang dingin menyebabkan atribut rasa dan suhu paling kurang disukai contoh. Daya terima dengan kategori tinggi dimiliki sebagian besar contoh (90%) pada waktu makan pagi dan seluruh contoh (100%) pada waktu makan siang.

(4)

PRIMADHANI. Energy and Protein Consumption of Hospitalized Patients with Liver Disease in Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Under Supervision YEKTI HARTATI EFFENDI dan IRSAN HASAN.

The objectives of this research are to study characteristic, treatment duration, energy and protein requirements, availability of Liver Diet, consumption of energy and protein liver disease hospitalized patient, and acceptance of Liver Diet. This research with cross sectional study design was done in Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta from August to November 2004. Samples were taken by purposive sampling. Total samples were 20 patients. Primary data were characteristic, treatment duration, energy and protein requirements, availability of Liver Diet, consumption of energy and protein samples, and acceptance of Liver Diet.

Most of samples (85%) are men. Mayority of samples age were at middle adulthood category (55%), liver cirrhosis suffered (60%), High School graduated (30%), and work as PNS (20%). Protein malnutrition (kwashiorkor) and mild malnutrition recpectively found at 40% samples. Half of sample (50%) were treated 5-10 days.

Energy requirement of samples per day 1800-2900 kkal with mean 2459±258 kkal at men and 1967±208 kkal at woman. Protein requirement of samples per day 49,5-98,6 gram with mean 80,4±14,9 gram at men and 64,2±12,8 gram at woman. Mean of energy availability of Liver Diet per day from Pureed Liver Diet II 1884±164 kkal, Soft Liver Diet III 1733±143 kkal, and General Liver Diet III 1901±125 kkal. Mean of protein avalilability of Liver Diet per day from Pureed Liver Diet II 54,1±5,4 gram, Soft Liver Diet III 62,2±7,3 gram, and General Liver Diet III 65,3±4,4 gram. Mean consumption of energy samples per day 1565±710 kkal and consumption of protein samples per day 50,3±26,0 gram from Liver Diet, home food, and dilution infuse. Most of samples are deficit in level of energy-protein availability to energy-protein requirements, severe deficit in level of energy-protein consumption to energy-protein availability, and severe deficit in level of energy-protein consumption to energy-protein requirements.

Generally, sample accept all of food determinant of acceptance of Liver Diet. Acceptance of Liver Diet with high category included 90% from breakfast and 100% from lunch for all of samples.

(5)

DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Primadhani

A05400018

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(6)
(7)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsumsi Energi dan Protein Pada Pasien Penderita Penyakit Hati Rawat Inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta”. Penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Yekti Hartati Effendi dan dr. Irsan Hasan, Sp.PD-KGEH selaku dosen

pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS

selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Amini Nasoetion, MS selaku dosen pembimbing akademik beserta

seluruh dosen dan staf Departemen GMSK yang telah memberikan ilmu, bimbingan, serta arahannya selama penulis menempuh pendidikan di Departemen GMSK.

4. Direktur Utama Perjan RSCM dr. Merdias Almatsier, Sp.S(K), Kepala Bidang

Penelitian Pelayanan Medik Perjan RSCM dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK(K),

M.Epid, Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam Perjan RSCM Prof. dr. H.A. Aziz Rani, Sp.PD-KGEH, Kepala Divisi Hepatologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Perjan RSCM Prof. Dr. H. Ali Sulaiman,

Ph.D., Sp.PD-KGEH, FACG, Kepala Instalasi Gizi Perjan RSCM S.A. Budi Hartati, SKM, M.Epid, dan Kepala Unit Produksi Makanan Perjan

RSCM Triyani Kresnawan, DCN., M.Kes. yang telah memberikan izin penelitian.

5. Pembimbing lapang dan koordinator gizi di IRNA B lantai (Utih Arupah,

SKM), koordinator gizi di IRNA B lantai 4 (Syahrial, SKM), para petugas gizi IRNA B lantai 5 dan lantai 4, serta para juru masak di bagian masakan diet UPM Perjan RSCM atas bantuan dan kerja samanya.

6. Kepala Ruangan beserta staf dan perawat, dokter, dan dokter coass di IRNA B

lantai 4 dan 5 Perjan RSCM serta Kepala Unit Pelayanan Rekam Medik Perjan RSCM beserta staf atas bantuan yang diberikan selama penelitian.

(8)

penulis dan Bude Sri Kurnianingsih sekeluarga yang telah memberikan perhatian, bantuan, dan dukungannya.

8. Keluarga besar GMSK 37 dan teman-teman di Wisma Melati Bateng, Fauziah

Bateng, dan Wisma Melati Radar atas bantuan dan kebersamaannya sampai saat ini, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006

(9)

Penulis dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli 1982 dari pasangan Bapak Benny Subyarmono dan Ibu Wariyati. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMA Negeri I Purworejo, Kab. Purworejo, Jawa Tengah dan lulus tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi staf Biro Keprofesian dan Kajian Strategis pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode 2001/2002 dan staf Departemen Keuangan dan Usaha pada Keluarga Mahasiswa Purworejo IPB (Gamapuri) tahun 2001/2002. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Gizi Kelompok Khusus pada Program Studi Diploma Manajemen Usaha Boga, Fakultas Pertanian, IPB tahun ajaran 2005/2006.

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Anatomi dan Fisiologi Hati ... 4

Anatomi Hati ... 4 Fisiologi Hati ... 4 Penyakit Hati ... 6 Hepatitis ... 6 Sirosis Hati ... 11 Hepatoma ... 13

Gizi Kurang Pada Penyakit Hati ... 14

Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi... 15

Energi ... 16

Protein ... 17

Daya Terima terhadap Makanan ... 18

Pelayanan Gizi Rumah Sakit ... 21

Diet Pada Penyakit Hati ... 24

Diet Rendah Garam ... 25

Pemberian Dukungan Gizi ... 26

KERANGKA PEMIKIRAN ... 29

METODE ... 31

Disain, Tempat, dan Waktu ... 31

(11)

Definisi Operasional ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

Gambaran Umum Lokasi ... 43

Gambaran Umum Perjan RSCM ... 43

Gambaran Umum IRNA B ... 46

Gambaran Umum UPM ... 46

Karakteristik Contoh ... 51

Umur ... 51

Jenis Kelamin dan Jenis Penyakit Hati ... 52

Tingkat Pendidikan ... 52

Pekerjaan ... 52

Status Malnutrisi ... 53

Lama Perawatan ... 54

Kebutuhan Energi dan Protein Contoh ... 54

Ketersediaan Diet Hati ... 55

Jenis Diet Hati ... 55

Ketersediaan Energi dan Protein Diet Hati ... 56

Konsumsi Energi dan Protein Contoh ... 57

Konsumsi Energi dan Protein Diet Hati ... 58

Konsumsi Energi dan Protein Makanan Luar ... 58

Konsumsi Energi dan Protein Cairan Infus ... 59

Perbandingan Antara Kebutuhan, Ketersediaan, dan Konsumsi Energi-Protein ... 59

Tingkat Ketersediaan Energi dan Protein terhadap Kebutuhan Energi dan Protein ... 59

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein terhadap Ketersediaan Energi dan Protein ... 61

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein terhadap Kebutuhan Energi dan Protein ... 62

(12)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

Kesimpulan ... 65

Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(13)

Halaman

1 Data yang dikumpulkan dan cara memperoleh ... 34

2 Pengkategorian status malnutrisi berdasarkan persentase berat badan aktual terhadap berat badan ideal (%) dan kadar serum albumin (g/l) ... 35

3 Peubah dan kategori peubah ... 39

4 Jenis dan jumlah tenaga kerja di Perjan RSCM ... 46

5 Tingkat pendidikan pegawai UPM Perjan RSCM ... 47

6 Sebaran contoh berdasarkan kelompok umur ... 51

7 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan jenis penyakit hati 52 8 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ... 52

9 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan ... 53

10 Sebaran contoh berdasarkan status malnutrisi ... 53

11 Sebaran contoh berdasarkan lama perawatan ... 54

12 Sebaran contoh berdasarkan jenis diet hati ... 55

13 Sebaran contoh berdasarkan diet hati rendah garam dan asites .... 56

14 Rata-rata ketersediaan energi dan protein contoh per hari berdasarkan jenis diet hati ... 57

15 Kandungan energi dan protein makanan biasa, makanan lunak, dan makanan saring kelas III per hari ... 57

16 Rata-rata konsumsi energi dan protein contoh per hari ... 57

17 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi makanan luar ... 58

18 Sebaran contoh berdasarkan jenis infus ... 59

19 Rata-rata tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein ... 60

20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein ... 60

21 Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein ... 61

22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein terhadap ketersediaan energi dan protein ... 61

23 Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein terhadap kebutuhan energi dan protein ... 62

(14)

25 Sebaran contoh berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan

pada waktu makan pagi ... 63

26 Sebaran contoh berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan

pada waktu makan siang ... 63

27 Sebaran daya terima contoh terhadap diet hati berdasarkan

waktu makan ... 64

(15)

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 30

(16)

Halaman

1 Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan pada makanan

lunak ... 72

2 Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan pada makanan

saring ... 73

3 Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan pada diet

rendah garam ... 74

4 Struktur organisasi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo

Jakarta... 75

5 Struktur organisasi Unit Produksi Makanan Perjan RS Dr.Cipto

Mangunkusumo Jakarta ... 76

6 Menu kelas III masakan diet dan masakan saring Perjan RSCM 77

7 Menu selingan kelas III masakan diet dan masakan saring

Perjan RSCM ... 78

8 Standar makanan cair diet hati Perjan RSCM ... 79

9 Data kebutuhan energi-protein contoh berdasarkan jenis kelamin 80

10 Data ketersediaan dan konsumsi energi-protein contoh dari

diet hati ... 81

11 Data konsumsi energi-protein contoh dari makanan luar... 82

(17)

Latar Belakang

Hati adalah salah satu organ di dalam tubuh manusia. Organ ini merupakan organ tubuh dengan fungsi terbanyak dan merupakan salah satu organ terpenting dalam metabolisme zat gizi (Mahan & Arlin 1992).

Ada beberapa jenis penyakit yang dapat menyerang hati yaitu hepatitis, sirosis hati, dan hepatoma. Di Indonesia, prevalensi hepatitis cukup tinggi yaitu berkisar antara 2-20% (Chairulsjah 2004). Pada Majalah Sehat No. 12 tahun 2004 disebutkan bahwa sirosis hati di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia. Hepatoma berada pada urutan kelima penyakit neoplasma yang paling banyak diderita pasien rawat inap pada tahun 1998 (Dir. Jen. Yan. Medik 2000). Menurut Bagian Rekam Medis Perjan RSCM, pada tahun 2003 penderita penyakit hati rawat inap paling banyak menderita sirosis hati kemudian disusul oleh hepatoma dan hepatitis.

Hati tidak dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal apabila penyakit yang menyerangnya telah mengakibatkan lebih dari 80% sel hati rusak. Pada kondisi tersebut penderitanya mengalami ikterus, asites, dan ensefalopati (Budihusodo 2004). Pada tahun 1992 sebesar 1,8% kematian pada seluruh umur di Indonesia disebabkan oleh penyakit hati (BKKBN 1995, diacu dalam Tjiptoherijanto 1999).

Penderita penyakit hati yang menjalani rawat inap di rumah sakit tidak hanya mendapatkan pelayanan pengobatan dan penyembuhan. Penderita tersebut juga mendapatkan pelayanan gizi. Pelayanan gizi dalam bentuk yang paling umum yaitu penyelenggaraan makan (Moehyi 1986) oleh instalasi gizi rumah sakit (Almatsier 1992).

Keadaan gizi pada penderita penyakit hati perlu mendapat perhatian khusus karena gangguan gizi dapat memperberat morbiditas serta memperburuk prognosis penyakitnya. Pada 10-80% penderita ditemukan dalam keadaan malnutrisi. Oleh karena itu, perubahan kebutuhan dan tolerasi terhadap beberapa komponen gizi selama sakit harus diperhatikan (Noer 2003).

Pasien rawat inap mendapatkan makanan yang berbeda dengan makanan yang biasa dimakan di rumah. Perbedaan tersebut diantaranya dalam hal jenis

(18)

makanan, cara menghidangkan, tempat makan, dan waktu makan. Apabila tidak diperhatikan, maka bisa menjadi beban mental pasien yang pada akhirnya bisa menghambat proses penyembuhan penyakit (Moehyi 1997).

Diet yang tepat untuk penderita penyakit hati disebut Diet Hati. Diet Hati terbagi menjadi Diet Hati I, II, III, dan IV. Penggolongan tersebut berdasarkan kondisi kesehatan pasien. Kandungan energi dan protein pada masing-masing Diet Hati berbeda. Semakin tinggi Diet Hati-nya maka kandungan energi dan proteinnya semakin tinggi pula seiring dengan semakin baiknya kondisi pasien. Pada pasien dengan asites dan pengeluaran urinnya kurang baik maka Diet Hati-nya bisa dikombinasikan dengan Diet Rendah Garam (Bagian Gizi RSCM & Persagi 2002).

Konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati merupakan dua hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Konsumsi energi yang tinggi diperlukan untuk mencegah terjadinya katabolisme protein sedangkan konsumsi protein tinggi agar terjadi anabolisme protein (Yunahar 2004). Meskipun demikian, konsumsi protein harus disesuaikan dengan kondisi penderita. Pada penyakit hati yang berat metabolisme protein terganggu sehingga amonia terakumulasi secara abnormal di dalam darah. Keadaan ini bisa meracuni sistem saraf pusat sehingga terjadi ensefalopati (kerusakan sel-sel otak) yang dapat memicu terjadinya komplikasi serius yang bisa berakhir dengan kematian. Pada pasien dengan kondisi ini protein diperlukan dalam jumlah yang rendah (Eschleman 1996).

Tujuan Tujuan Umum

Mempelajari konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati rawat inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik dan lama perawatan penderita penyakit hati rawat

inap.

2. Mempelajari kebutuhan energi dan protein penderita penyakit hati rawat

inap.

(19)

4. Mempelajari konsumsi energi dan protein penderita penyakit hati rawat

inap.

5. Mempelajari daya terima penderita penyakit hati rawat inap terhadap Diet

Hati.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai konsumsi energi dan protein pada penderita penyakit hati rawat inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan dalam penyelenggaraan Diet Hati bagi pasien rawat inap di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta serta sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya.

(20)

Anatomi dan Fisiologi Hati Anatomi Hati

Menurut Pearce (1997), hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh. Letaknya di bagian teratas di dalam rongga abdomen sebelah kanan, di bawah diafragma. Tulang-tulang iga melindungi hati secara luas.

Hati terdiri dari dua belahan utama yaitu kanan dan kiri. Permukaan atas hati berbentuk cembung sedangkan permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura transversus. Permukaannya dilewati oleh berbagai pembuluh darah yang keluar-masuk hati. Fisura longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah sedangkan ligamen

falsiformis di permukaan atas hati. Secara umum hati dibagi menjadi belahan

kanan, belahan kiri, belahan kaudata, dan belahan kuadrata. Belahan (lobus) terdiri atas lobulus. Lobulus berbentuk polihedral (segibanyak) dan terdiri atas sel hati berbentuk kubus. Cabang-cabang pembuluh darah diikat bersama oleh jaringan hati (Pearce 1997).

Fisiologi Hati

Hati mempunyai banyak fungsi. Menurut Tortora dan Anagnostakos (1992), fungsi hati yaitu :

1. Metabolisme karbohidrat

Pada metabolisme karbohidrat, hati berperanan penting dalam menjaga kenormalan kadar gula darah. Hati akan mengubah glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) saat kadar gula darah tinggi serta mengubah glikogen menjadi glukosa (glikogenolisis) dan mengubah asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis) saat kadar gula darah rendah. Hati juga dapat mengubah fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa serta mengubah glukosa menjadi lemak.

2. Metabolisme lemak

Hati memecah asam lemak menjadi asetil koenzim A (beta oksidasi), mengubah kelebihan asetil koenzim A menjadi keton (ketogenesis);

(21)

mensintesis lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid; memecah kolesterol menjadi garam empedu, dan menyimpan lemak.

3. Metabolisme protein

a. Deaminasi asam amino, yaitu pelepasan gugus amina (NH2) sehingga

asam amino bisa digunakan sebagai sumber energi atau dikonversi menjadi karbohidrat atau lemak.

b. Konversi amonia (NH3) yang bersifat racun menjadi ureum yang

kemudian diekskresikan melalui urine. Amonia dihasilkan dari proses deaminasi dan bakteri yang ada pada saluran pencernaan.

c. Sintesis sebagian besar plasma protein, seperti alfa dan beta globulin,

albumin, protrombin, dan fibrinogen

d. Transaminasi, yaitu pemindahan gugus amina dari suatu asam amino ke

substansi lain (asam keto-á) sehingga menghasilkan satu asam amino baru dan satu asam keto baru.

4. Merubah obat dan hormon

Hati dapat mendetoksifikasi atau mengekskresikan ke dalam empedu berbagai jenis obat seperti penisilin, ampisilin, erithromisin, dan sulfonamid. Hati secara kimia juga dapat merubah atau mengekskresikan hormon steroid seperti estrogen, aldosteron, dan tiroksin.

5. Ekskresi empedu (bilirubin)

Bilirubin yang merupakan turunan hem dari sel darah merah yang sudah tua, diserap hati dari darah, dan diekskresikan ke dalam empedu. Kebanyakan bilirubin pada empedu dimetabolisme di usus oleh bakteri dan dikeluarkan melalui feses.

6. Sintesis garam empedu

Garam empedu digunakan usus halus untuk emulsifikasi dan absorpsi lemak, kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein.

7. Penyimpanan

Hati berfungsi sebagai tempat penyimpanan glikogen, vitamin (A, B12, D, E, dan K), dan mineral (Fe dan Cu). Sel hati mengandung protein yang disebut apoferitin yang bergabung dengan besi membentuk feritin. Feritin merupakan

(22)

bentuk mineral besi yang disimpan di hati dan dapat dilepaskan saat dibutuhkan.

8. Fagositosis

Sel Kupffer hati mengfagositasi sel darah merah dan sel darah putih yang sudah tua serta beberapa bakteri.

9. Aktifasi vitamin D

Hati dan ginjal berpartisipasi dalam mengaktifasi vitamin D.

Penyakit Hati Hepatitis

1. Epidemiologi

a. Hepatitis A

Hepatitis A dahulu disebut hepatitis infeksiosa. Penularannya terutama melalui kontaminasi oral-fekal akibat higiene yang buruk atau makanan yang tercemar. Individu yang tinggal di tempat-tempat padat yang higienenya mungkin tidak baik, seperti panti asuhan, institusi mental, penjara, dan penampungan gelandangan, beresiko mengidap penyakit ini. Virusnya kadang-kadang ditularkan melaui darah (Corwin 2001). Di Indonesia berdasarkan data dari rumah sakit, hepatitis A merupakan bagian terbesar dari kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu sebesar 39,8-68,3% (Akbar et al. 1981, diacu dalam Sulaiman & Julitasari 1995).

b. Hepatitis B

Hepatitis B kadang-kadang disebut hepatitis serum. Virus hepatitis B (HBV) ada dalam semua cairan tubuh individu yang terinfeksi, termasuk darah, semen, ludah, dan kencing. Penularan HBV terutama terjadi dengan jalan parenteral, seksual, atau vertikal (ibu-bayi) sedangkan jalan tinja-oral relatif tidak penting. Penularan biasanya memerlukan inokulasi yang jelas (tranfusi darah, injeksi dengan jarum yang terkontaminasi, atau luka karena ujung jarum yang tidak disengaja) atau kontak personal yang intim (antara mitra seksual atau ibu dan neonatus). Kelompok yang beresiko tinggi terinfeksi HBV yaitu penyalahguna obat intravena yang memakai jarum bersama, homoseksual laki-laki, hubungan seksual yang

(23)

tidak selektif, pekerja kesehatan, penderita yang ditranfusi, dan penderita hemofilia (Shulman et al. 1994).

Di dunia terdapat sekitar 284 juta orang pembawa kuman (carrier) dengan sekitar 200 juta berada di Asia. Prevalensi tertinggi yaitu 8-20% yang terdapat di daerah endemisitas tinggi seperti Afrika dan Asia. Satu per lima atau lebih penduduknya mungkin telah terinfeksi secara kronis yang kebanyakan telah menderita sejak bayi (Sulaiman et al. 1995).

c. Hepatitis C

Hepatitis C dahulu disebut hepatitis non-A non-B. Virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab tersering infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah komersial (Corwin 2001). Virus ini bisa menyebabkan hepatitis akut yang sebagian besar penderitanya berlanjut menjadi hepatitis kronis dan pengidap yang merupakan sumber infeksi. Sekitar 20% dari penderita hepatitis C kronis akan berkembang menjadi sirosis hati yang berpotensi besar berkembang menjadi hepatoma di masa yang akan datang. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk berkembang menjadi sirosis hati yaitu 17 tahun sedangkan untuk menjadi hepatoma sekitar 20 tahun (Dalimartha 2004).

d. Hepatitis D

Virus Hepatitis D (HDV) diduga tersebar luas di seluruh dunia dan pernah endemik di Amerika Selatan. Penularannya sama dengan HBV, kecuali transmisi vertikal. Penyakit ini timbul karena adanya koinfeksi atau superinfeksi dengan HBV. Koinfeksi yaitu infeksi HDV dan HBV yang terjadi secara bersamaan sedangkan superinfeksi yaitu penderita hepatitis B kronis atau pembawa HBsAg terinfeksi oleh HDV. Koinfeksi umumnya menyebabkan hepatitis akut yang diikuti dengan kesembuhan total sedangkan superinfeksi sering berkembang menjadi kronis dengan tingkat penyakit lebih berat yang berakibat fatal (Dalimartha 2004).

e. Hepatitis E

Virus Hepatitis E (HEV) terutama ditularkan melalui ingesti air yang tercemar. Sebagian besar kasus yang dilaporkan ditemukan di negara-negara berkembang. Virus tersebut tidak menimbulkan keadaan pembawa

(24)

(carrier) atau menyebabkan hepatitis kronik. Akan tetapi, bisa menjadi hepatitis fulminan yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan hati dan kematian (Corwin 2001).

2. Etiologi

Hepatitis A, B, C, D, dan E disebabkan oleh virus. Hepatitis A disebabkan oleh virus RNA berukuran 27 nm dan termasuk golongan

picornaviridae. VHB yaitu virus DNA berukuran 42 nm yang termasuk

golongan hepadnaviridae. VHC termasuk golongan flaviviridae dan merupakan virus RNA berantai tunggal dengan ukuran 50-60 nm. VHD bernama antigen delta yang berukuran 35-37 nm dan merupakan virus RNA yang tidak sempurna. VHE merupakan virus RNA yang termasuk golongan

caliciviridae (Dalimartha 2004).

3. Gambaran Klinis

Menurut Corwin (2001), gambaran klinis hepatitis virus dapat berkisar dari asimptomatik sampai penyakit yang mencolok, kegagalan hati, dan kematian. Ada tiga stadium pada semua jenis hepatitis yaitu stadium prodromal, stadium ikterus, dan stadium konvalesensi.

a. Stadium Prodromal

Stadium prodromal disebut periode praikterus karena ikterus belum muncul. Stadium ini dimulai setelah periode masa tunas virus selesai dan pasien mulai memperlihatkan tanda-tanda penyakit. Penderita sangat infeksius pada stadium ini. Antibodi terhadap virus biasanya belum dijumpai. Stadium ini berlangsung selama 1-2 minggu dan ditandai oleh malese umum, rasa lelah, gejala-gejala infeksi salauran napas atas, mialgia, dan enggan terhadap sebagian besar makanan.

b. Stadium Ikterus

Pada sebagian besar orang stadium ini ditandai oleh timbulnya ikterus yang dapat berlangsung selama 2-3 minggu atau lebih. Manifestasi lain yang timbul selain ikterus yaitu memburuknya semua gejala yang ada pada stadium prodromal, pembesaran dan nyeri hati, splenomegali, dan mungkin gatal di kulit.

(25)

c. Stadium Kovalesensi (Pemulihan)

Stadium ini biasanya timbul dalam 4 bulan untuk hepatitis B serta hepatitis C dan 2-3 bulan untuk hepatitis A. Pada stadium ini gejala-gejala mereda (termasuk ikterus) dan nafsu makan pulih

4. Diagnosis

Menurut Sulaiman & Julitasari (1995), diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dibantu hasil pemeriksaan laboratorium.

a. Anamnesis, gejala prodromal, riwayat kontak

b. Pemeriksaan jasmani

• ikterus pada sklera, kulit, dan selaput lendir langit-langit mulut

• pada kasus yang berat (fulminan) mulut berbau spesifik (foetor

hepaticum)

• pada perabaan, hati membengkak 2-3 jari di bawah arkus kosta dengan

konsistensi lemah, tepi tajam, dan sedikit nyeri tekan, perkusi pertama positif

• limpa kadang-kadang teraba lunak

c. Pemeriksaan laboratorium

• tes fungsi hati (bilirubin, SGOT, SGPT, GGT, alkali fosfatase) • tes serologi

5. Penatalaksanaan

Menurut Corwin (2001), pengobatan hepatitis virus terutama bersifat suportif yang mencakup :

a. Istirahat sesuai keperluan

b. Pendidikan agar menghindari penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

c. Pendidikan mengenai cara penularan hepatitis kepada mitra seksual dan

anggota keluarga

d. Pemberian vaksin hepatitis

Obat–obatan yang bisa diberikan pada penderita hepatitis menurut Dalimartha (2004) yaitu :

a. Obat antivirus untuk mencegah terjadinya replikasi virus. Contohnya

(26)

b. Obat imunomodulator. Obat ini dapat memodulasi sistem kekebalan

tubuh. Contohnya kortikosteroid.

c. Biological Response Modifiers yang merupakan obat baru. Contohnya

IFN alfa dan thymosin alfa I.

d. Obat nonspesifik untuk membantu pemulihan kelainan yang timbul baik

klinis maupun laboratoris. Contohnya methicol, litrison, curcil, curcuma, dan urdafalk.

e. Obat simptomatik untuk menghilangkan keluhan dan gejala klinis.

Contohnya paracetamol dan enzyplex.

Menurut Williams (1995), prinsip terapi diet yang sesuai dengan kebutuhan penderita hepatitis yaitu :

a. Tinggi protein

Protein diperlukan untuk membangun sel dan jaringan yang baru. Selain itu, protein juga mencegah kerusakan akibat infiltrasi lemak dalam jaringan hati. Protein yang dibutuhkan sehari berkisar antara 70 sampai 100 g.

b. Tinggi karbohidrat

Penyediaan glukosa ditingkatkan untuk melindungi simpanan glikogen di hati. Ini juga membantu menyediakan energi dan mencegah pemecahan protein untuk energi. Diet seharusnya mengandung 300-400 gram karbohodarat per hari.

c. Lemak sedang

Beberapa lemak menyedapkan makanan sehingga meningkatkan selera makan. Produk susu dan minyak tumbuhan dalam jumlah sedang sangat bermanfaat. Makanan sebaiknya mengandung 100-150 garam lemak per hari.

d. Tinggi energi

Energi yang dibutuhkan per hari berkisar antara 2500-3000 Kal. Peningkatan kebutuhan energi ini untuk mendukung proses penyembuhan, menutupi kehilangan energi akibat demam dan kondisi tubuh yang lemah, serta memperbaharui tenaga untuk sembuh dari penyakit.

(27)

e. Pemberian makan

Makanan yang diberikan pertama kali sebaiknya dalam bentuk cair seperti

milkshake yang tinggi protein dan kalori atau produk formula khusus

untuk penggunaan yang berulang. Apabila selera makan dan toleransi terhadap makanan meningkat maka bentuk makanan diberikan perlu segera diubah. Ini harus dibarengi dengan memperhatikan makanan yang disukai dan tidak disukai pasien untuk meningkatkan intake makanan. Sirosis Hati

1. Epidemiologi

Sirosis hati merupakan penyakit dengan peradangan difus dan menahun pada hati yang diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer et al. 1992). Menurut Dalimartha (2004), sirosis hati di Indonesia lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

2. Etiologi

Menurut Lesmana & Hasan (2001) ada berbagai macam penyebab sirosis hati. Penyebab tersebut yaitu virus hepatitis B, C, dan delta, alkohol, gangguan metabolik, kolestasis, imunologi, zat toksik dan obat, serta kriptogenik.

3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis sirosis hati adalah sebagai berikut :

a. Gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah,

dan diare.

b. Demam, berat badan turun, dan lekas lelah.

c. Asites, hidrotoraks, dan edema.

d. Ikterus dan kadang urin menjadi lebih tua warnanya/kecoklatan.

e. Hepatomegali dan dapat mengecil karena fibrosis bila lebih lanjut.

f. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen

dan toraks, kaput medusa, wasir, dan varises esofagus.

g. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme seperti :

• impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila dan pubis • amenore, hiperpigmentasi areola mamae

(28)

• spider nevi dan eritema • hiperpigmentasi

h. Jari tabuh (Mansjoer et al. 2002).

4. Diagnosis

Menurut Lesmana & Hasan (2001), kriteria diagnosis pada sirosis hati yaitu stigmata penyakit hati kronik, hepatosplenomegali, serta asites dan edema tungkai pada keadaan dekompensasi. Diagnosis bandingnya yaitu hepatitis kronik aktif. Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dilakukan yaitu tes faal hati (albumin, globulin), petanda virus hepatitis B dan C, ultrasonografi abdomen atas, biopsi hati, endoskopi saluran cerna, dan pungsi abdomen.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sirosis hati dibagi menjadi dua yaitu untuk sirosis hati kompensasi dan sirosis hati dekompensasi. Pada sirosis hati kompensasi dilakukan evaluasi tes faal hati secara berkala dan diberikan obat antivirus untuk sirosis yang disebabkan oleh HBV atau HCV yang masih mengalami replikasi. Sirosis hati dekompensasi penderitanya dirawat inap di rumah sakit, diberi Diet Hati, dan roboransia. Pada sirosis hati dekompensasi dengan penyulit (perdarahan varises esofagogastrik dan gastropati hipertensi portal, koma hepatik, Peritonitis Bakterial Spontan, asites masif) maka penyulitnya harus diatasi sedangkan pada sirosis hati dekompensasi tanpa penyulit diberi diuretik (Lesmana & Hasan 2001).

Menurut Williams (1995), prinsip terapi diet yang sesuai dengan kebutuhan penderita sirosis hati yaitu :

a. Protein menurut toleransi

Apabila tidak ada tanda dan gejala koma hepatikum, protein dibutuhkan 80-100 gram per hari untuk memperbaiki malnutrisi berat, memperbaiki jaringan hati, dan memperbaharui plasma protein. Apabila mulai ada tanda-tanda koma, protein harus dibatasi.

b. Rendah natrium

Natrium dibatasi menjadi 500-1000 mg/hari untuk membantu mengurangi retensi cairan (asites).

(29)

c. Makanan bertekstur lunak

Makanan lunak membantu mencegah ruptur dan pendarahan saat varises esofagus berkembang.

d. Nutrisi secara umum yang optimal

Prinsip diet pada hepatitis dilanjutkan untuk sirosis yang penyebabnya sama dengan hepatitis. Energi, karbohidrat, dan vitamin, khususnya vitamin B kompleks termasuk tiamin dan folat, sangat penting. Alkohol tidak boleh dikonsumsi.

Hepatoma 1. Epidemiologi

Menurut Dalimartha (2004), hepatoma disebut juga Karsinoma Hepato Seluler (KHS). Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Hepatoma tersebar di seluruh dunia dengan kasus terbanyak di Sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara. Penyakit ini secara makroskopis dibedakan menjadi tipe masif, nodular, dan difus. Tipe masif umumnya terjadi di lobus kanan, berbatas tegas, dan dapat dikelilingi nodul-nodul kecil. Pada tipe nodular ukuran nodulnya bervariasi dan terjadi di seluruh hati. Tipe difus batas-batasnya sukar ditentukan.

2. Etiologi

Hepatoma bisa disebabkan oleh HBV dan HCV, sirosis hati, aflatoksin, dan infeksi beberapa macam parasit. Selain itu, faktor keturunan dan ras juga bisa memicu timbulnya penyakit ini (Dalimartha 2004).

3. Gambaran Klinis

Menurut Corwin (2001), gambaran klinis pada penderita hepatoma adalah sebagai berikut :

a. Nyeri tumpul dan perasaan penuh pada abdomen

b. Mual dan muntah

c. Ikterus

d. Anoreksia dan enggan mengkonsumsi makanan tertentu

e. Tumor yang menyumbat saluran empedu bisa menyebabkan hipertensi

porta dan asites, ikterus memburuk, dan timbul nyeri kolik.

(30)

4. Diagnosis

Diagnosis hepatoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan tambahan seperti rontgen, USG, CT scan, peritoneoskopi, biopsi hati, dan tes laboratorium. Pada penderitanya ditemukan peningkatan kadar hemoglobin, kalsium, kolesterol, dan alfa fetoprotein darah serta peningkatan kadar SGOT, SGPT, fosfatase alkali, laktat dehidrogenase, dan alfa L-fukosidase (Dalimartha 2004).

5. Penatalaksanaan

Upaya pengobatan dan penyembuhan bisa dilakukan dengan pembedahan dan kemoterapi. Prognosisnya sangat buruk. Angka bertahan hidup setelah 5 tahun hanya sekitar 1% (Corwin 2001).

Gizi Kurang Pada Penyakit Hati

Malnutrisi yang biasanya terjadi pada seseorang yang menderita suatu penyakit yaitu gizi kurang. Faktor resiko terjadinya gizi kurang diantaranya yaitu asupan makanan yang tidak cukup selama lebih dari 7 hari dan kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam waktu singkat (Dir. Jen. Yan. Medik 1999a).

Secara umum prevalensi malnutrisi pada penderita penyakit hati kronis meningkat seiring dengan tingkat penyakit yang semakin berat. Akan tetapi, hubungan antara perubahan status malnutrisi dengan penyebab penyakit tidak jelas (Italian Multicentre Co-operative Project 1994 & Wilkins et al. 1995, diacu dalam Morgan & Heaton 2000).

Menurut McCullough & Tabill (1991) diacu dalam Nelson et al. (1994), beberapa penyebab malnutrisi pada penderita penyakit hati yaitu :

1. Penurunan intake makanan karena menurunnya kualitas dan/atau kuantitas

makanan.

2. Penurunan kemampuan mencerna dan mengabsorpsi makanan.

3. Kebutuhan energi yang meningkat.

4. Sintesis protein yang tidak efisien, pemecahan protein yang semakin cepat,

(31)

Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi

Kebutuhan zat gizi yaitu sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Kebutuhan manusia akan energi dan zat gizi lainnya sangat barvariasi meskipun faktor-faktor seperti ukuran badan, jenis kelamin, macam kegiatan, dan faktor lainnya sudah diperhitungkan. Jumlah zat gizi yang dibutuhkan dapat tergantung pada kualitas makanan karena efisiensi penyerapan dan pendayagunaan zat gizi oleh tubuh dipengaruhi oleh komposisi dan keadaan makanan secara keseluruhan (Suhardjo & Kusharto 1992). Menurut Supariasa et al. (2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan daya serap, tingkat penggunaan, serta perbedaan pengeluaran dan penghancuran zat gizi dalam tubuh.

Manusia mengkonsumsi makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan yang mengandung zat gizi yang bervariasi baik jenis maupun jumlahnya berguna untuk energi dalam melakukan kegiatan fisik sehari-hari, memelihara proses tubuh, serta pertumbuhan dan perkembangan (Suhardjo & Kusharto 1992).

Ada beberapa faktor yang menentukan seseorang dalam memilih makanannya. Faktor-faktor tersebut yaitu kesenangan dan ketidaksenangan, kebiasaan, daya beli dan ketersediaan makanan, kepercayaan dan ketahayulan, aktualisasi diri, faktor agama dan psikologis, serta pertimbangan gizi dan kesehatan (Hartono 2000).

Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat konsumsi seseorang merupakan persen angka konsumsi energi dan zat gizi yang diperoleh dari survei terhadap angka kecukupan yang dianjurkan. (Suhardjo et al. 1988). Menurut Supariasa et al. (2001), survei konsumsi makanan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya metode recall 24 jam dan metode penimbangan makanan (food

weighing method). Prinsip metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah

bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karenanya jumlah makanan yang dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukur

(32)

rumah tangga (URT) seperti sendok, piring, dan lain-lain untuk mendapatkan data kuantitatif. Menurut Suhardjo (1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat makanan yang tersisa setelah makan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi dibanding metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif.

Energi

Energi dalam makanan berbentuk energi kimia yang dapat diubah menjadi energi dalam bentuk yang lain. Bentuk energi yang berkaitan dengan proses-proses biologis adalah energi kimia, energi mekanik, energi panas, dan energi listrik (Budiyanto 2002).

Energi dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktifitas fisik. Energi harus tersedia dalam jumlah yang cukup agar sintesis protein dapat berlangsung dan penggunaan asam amino untuk memenuhi kebutuhan energi dapat dicegah (Nelson et al. 1994). Energi tersebut diperoleh dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak, dan protein yang ada pada makanan serta alkohol. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kal, lemak menghasilkan 9 Kal, dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Metabolisme karbohidrat,protein, lemak, dan alkohol diatur oleh hati (Almatsier 2002). Oleh karena itu, hati dikatakan sebagai sebagai pemegang peran utama dalam menjaga keseimbangan energi (Morgan & Heaton 2000).

Sumber energi tinggi yaitu bahan makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan, dan padi-padian. Setelah itu, bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni (Almatsier 2002).

Kekurangan energi pada orang dewasa bisa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada akhirnya ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronis dan memperpendek harapan hidup (Almatsier 2002).

(33)

Protein

Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno 1997).

Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar fungsi protein yaitu sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, bahan bakar dan pemberi tenaga, menjaga asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al. 1994).

Metabolisme protein yang terganggu bisa menimbulkan komplikasi pada penyakit hati. Komplikasi tersebut dikenal dengan Hepatic Encephalopathy (Koma Hepatik). Beberapa hal yang mendorong terjadinya Koma Hepatik yaitu :

1. Akumulasi bermacam-macam racun yang disebabkan oleh melemahnya fungsi

hati. Amonia merupakan penanda racun yang dihubungkan dengan encephalopathy.

2. Neurotransmiter yang salah. Ini ditandai dengan perubahan komposisi plasma

asam amino dan penurunan rasio asam amino rantai cabang (BCAA) terhadap asam amino aromatik (AAA).

3. Peningkatan substansi penghambat saraf otak dan serum yang ditandai dengan

peningkatan kadar asam gama-aminobutirik (GABA) dan peningkatan densitas reseptor GABA otak (Nelson et al. 1994).

Menurut Almatsier (2002), bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain. Padi-padian dan hasil-hasilnya relatif rendah dalam protein tetapi jika dimakan dalam jumlah besar dapat memberi sumbangan besar terhadap konsumsi protein sehari.

Kekurangan protein menyebabkan kwashiorkor, marasmus, atau gabungan keduanya. Ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu

(34)

sindrom klinis berat yang spesifik. Keadaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh intake makanan. Akan tetapi, juga keadaan lingkungan seperti pemukiman, sanitasi dan higiene, serta infeksi berulang yang ditimbulkannya (Effendi 2002).

Kelebihan protein bisa menyebabkan obesitas karena makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan urea darah, dan demam. Asam amino yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen (Almatsier 2002).

Pembatasan konsumsi protein pada penderita penyakit hati dilakukan apabila pasien mengalami intoleransi protein. Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien dengan Koma Hepatik. Konsumsi sumber protein selain daging, seperti sayuran dan produk susu, sangat dianjurkan. Sayuran dan produk susu mengandung amonia, metionin, dan asam amino aromatik (AAA) yang lebih rendah serta asam amino rantai cabang (BCAA) yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging (Nelson et al. 1994).

Daya Terima terhadap Makanan

Daya terima (tingkat penerimaan) konsumen yang selanjutnya akan berpengaruh pada kemampuan mengkonsumsi makanan berhubungan erat dengan penilaian inderawi terhadap makanan tersebut. Indera yang terlibat yaitu indera penglihat, pembau, pencecap, dan bahkan indera pendengar. Kualitas makanan yang dinilai sangat tergantung pada keadaan makanan itu sendiri yang meliputi faktor rupa (contohnya bentuk dan warna), tekstur, dan citarasa (contohnya bau, rasa, dan suhu). Ketiga faktor tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan sesuatu yang saling berhubungan seperti sebuah lingkaran. Sikap penilai yang terbentuk dari faktor budaya, agama, lingkungan, kondisi psikis dan fisiologis juga mempengaruhi penilaian yang diberikan (Nasoetion 1988). Selain itu, penyajian makan seperti pemilihan alat yang digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, dan penghias hidangan juga mempengaruhinya (Moehyi 1997).

(35)

Berikut adalah beberapa atribut makanan yang dinilai untuk menentukan daya terima terima terhadap makanan :

1. Bentuk

Bentuk makanan sangat ditentukan oleh komposisi serta kandungan komponen-komponen makanan seperti air, protein, karbohidrat, lemak, dan lainnya (Nasoetion 1988). Makanan yang disajikan dalam bentuk tertentu bisa membuat makanan lebih menarik daripada biasanya. Bentuk makanan yang disajikan bisa : (a) sesuai bentuk aslinya, (b) menyerupai bentuk asli tetapi bukan merupakan bahan makanan yang utuh, (c) diperoleh dengan memotong bahan makanan dengan teknik tertentu, atau (d) dibuat sebagai sajian khusus (Moehyi 1992).

2. Warna

Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Penerimaan warna tergantung pada faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 1997). Warna makanan dipengaruhi oleh pigmen di dalam pangan itu sendiri, reaksi antara unsur kimia dalam makanan dengan udara, teknik memasak, serta penambahan zat warna alami atau sintetik (Nasoetion 1988 & Moehyi 1992).

3. Tekstur

Menurut Nasoetion (1988), tekstur menggambarkan keadaan struktur makanan. Beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu jenis bahan makanan, cara mengolah makanan, dan kontak makanan dengan udara.

4. Bau

Bau dari hidangan merupakan salah satu unsur yang turut menentukan kelezatan makanan tersebut. Bau-bauan dapat dikenali bila dalam bentuk uap. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Nasoetion 1988). Bau makanan yang harum disebut aroma (Depdikbud 1995). Menurut Moehyi (1992), aroma makanan disebabkan oleh adanya suatu senyawa yang mudah menguap akibat reaksi yang terjadi dengan atau

(36)

tanpa enzim. Aroma makanan yang timbul bergantung pada jenis makanannya, cara memasak, atau aroma sintetik yang ditambahkan. Aroma makanan yang sangat kuat dan mampu merangsang indera pencium dapat membangkitkan selera.

5. Rasa

Rasa makanan diberikan oleh rempah-rempah sebagai bumbu masakan yang berinteraksi dengan bahan makanan primer. Rasa makanan dapat dipertinggi dengan menambahkan bahan penyedap alami maupun sintetis (Moehyi 1992). Semakin tua usia manusia maka semakin rendah jumlah kuncup perasanya. Oleh karena itu, indera pencecap seringkali dibantu indera pencium, penglihat, serta peraba untuk mengenali rasa (Nasoetion 1988).

6. Suhu

Suhu mampengaruhi kemampuan kuncup cecapan untuk menangkap rangsangan rasa. Sensitivitas terhadap rasa berkurang bila suhu tubuh di bawah 200C atau di atas 300C (Winarno 1997). Makanan yang dapat memancarkan aroma sedap sebaiknya dihidangkan dalam keadaan panas sedangkan makanan yang harus dihidangkan dalam keadaan dingin sebaiknya dihidangkan dalam keadaan dingin (Moehyi 1992). Makanan yang panas akan membakar lidah dan merusak kepekaan kuncup cecapan. Akan tetapi, sel cecapan yang telah rusak akan diganti dengan sel yang baru dalam beberapa hari kemudian. Makanan yang dingin dapat membius kuncup cecapan sehingga tidak peka lagi (Winarno 1997).

7. Kebersihan Alat Makan

Menurut hasil penelitian Faizal (1991) diacu dalam Noras (2000), alat yang digunakan dalam penyajian makanan berpengaruh terhadapa sisa makanan. Apabila alat yang digunakan bersih maka makanan yang diberikan akan habis dimakan. Menurut Yuliati (2001), kebersihan peralatan makan dijaga dengan melakukan pencucian yang baik. Indikasi kebersihan makanan secara fisik dapat diketahui dengan tidak adanya kotoran/noda dan tidak berbau (amis, tengik, atau bau makanan).

Daya terima terhadap makanan dapat diketahui dengan melakukan Uji Penerimaan. Salah satu jenis Uji Penerimaan yaitu Uji Hedonik Skala Verbal.

(37)

Seseorang yang melakukan Uji Hedonik Skala Verbal mengemukakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap sifat sensorik atau kualitas makanan yang dinilai (Soekarto 1984, diacu dalam Hardinsyah et al. 1988).

Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu tempat yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang meliputi kuratif, rehabilitatif, preventif, dan promotif melalui pelayanan medis, rawat inap, dan administratif secara rawat jalan, rawat darurat dan rawat tinggal (Soeprapto 1985). Fungsi utamanya adalah menyediakan dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.983/SK/MENKES/XI/92, rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Djojodibroto 1997).

Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang diberikan rumah sakit bagi penderita yang dirawat dan yang berobat jalan untuk memperoleh makanan yang sesuai guna mencapai syarat gizi yang maksimal. Kegiatan pokoknya yaitu produksi/pengolahan makanan, pelayanan gizi di ruang perawatan; penyuluhan, konsultasi dan rujukan gizi; serta penelitian dan pengembangan gizi terapan (Uripi 1993). Menurut SK Menkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum, kegiatan pelayanan gizi di rumah sakit dilaksanakan oleh unit gizi yang disebut Instalasi Gizi (Almatsier 1992).

Menurut Moehyi (1986), pelayanan gizi di rumah sakit menduduki tempat yang sama penting dengan pelayanan lain seperti pelayanan pengobatan, perawatan medis, dan sebagainya yang diberikan untuk penyembuhan penyakit. Pelayanan dalam bentuk yang paling umum yaitu penyelenggaraan makanan bagi penderita yang dirawat. Pengelolaan penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan supaya penderita yang dirawat memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya sehingga dapat mempercepat penyembuhan penyakit, memperpendek hari perawatan, dan biaya yang disediakan untuk penyelenggaraan

(38)

makan orang sakit dapat digunakan dengan tepat sehingga diperoleh daya guna dan hasil guna yang maksimal.

Aspek pokok dalam pengelolaan penyelenggaraan makanan yaitu aspek teknis dan aspek administratif. Aspek teknis meliputi perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan mekanisme kerja pelayanan makanan. Aspek administratif mencakup perencanaan keuangan, pengelolaan keuangan, barang, serta laporan dan evaluasi (Moehji 1986).

Menurut Moehyi (1997), dalam upaya penyembuhan penyakit makanan dapat berfungsi sebagai :

1. Salah satu bentuk terapi/pengobatan. Misalnya pengaturan diet pada penderita

obesitas yang merupakan upaya primer dalam penyembuhan penyakit tersebut.

2. Penunjang pengobatan. Misalnya pemberian makanan dibarengi dengan

pemberian suntikan insulin pada penderita diabetes melitus agar kadar gula dalam darah penderita tetap dalam batas normal.

3. Penunjang tindakan medis. Misalnya pemberian Makanan Cair bagi penderita

penyakit saluran pencernaan yang baru selesai dioperasi.

Beberapa hal yang dijadikan dasar dalam penentuan diet bagi orang sakit yaitu :

1. Diet yang diberikan sebisa mungkin dapat memenuhi kebutuhan berbagai zat

gizi esensial orang sakit dengan mempertimbangkan aktifitasnya sehari-hari dan latihan yang diberikan kepadanya.

2. Diet Khusus diberikan dengan indikasi yang kuat dan sangat diperlukan serta

harus segera diubah ke Diet Biasa jika tidak diperlukan untuk jangka waktu yang sangat lama. Diet Khusus ini harus berpola pada Makanan Biasa dan fleksibel dengan kondisi pasien.

3. Jenis bahan makanan/makanan yang disajikan harus dapat diterima orang sakit

serta sebaiknya alami, mudah didapat, mudah diolah, dan lazim digunakan.

4. Makanan diberikan lewat mulut sepanjang orang sakit dapat makan melalui

mulut.

5. Penderita dan keluarganya harus mendapat penjelasan tentang tujuan dan

(39)

Menurut Bagian Gizi RSCM & Persagi (2002), standar makanan rumah sakit yaitu Makanan Biasa, Makanan Lunak, Makanan Saring, dan Makanan Cair.

1. Makanan Biasa (MB)

Makanan ini diberikan kepada penderita yang tidak memerlukan makanan khusus yang berhubungan dengan penyakitnya. Makanan tersebut cukup energi, protein, dan zat gizi lainya. Makanan yang merangsang atau yang dapat menimbulkan gangguan pencernaan tidak boleh diberikan. Makanan yang merangsang contohnya makanan yang sangat berlemak, terlalu manis atau berbumbu, serta minuman yang beralkohol.

2. Makanan Lunak (ML)

Makanan ini diberikan pada penderita sesudah operasi tertentu atau penderita penyakit infeksi dengan kenaikan suhu badan tidak terlalu tinggi. Menurut keadaan penyakit, Makanan Lunak merupakan perpindahan dari Makanan Saring ke Makanan Biasa. Makanan tersebut mudah dicerna, rendah serat, dan tidak mengandung bumbu yang merangsang. Kandungan energi, protein, dan zat gizi lainnya cukup. Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan pada Makanan Lunak dapat dilihat pada Lampiran 1.

3. Makanan Saring (MS)

Makanan Saring diberikan kepada penderita sesudah mengalami operasi tertentu, pada infeksi akut, termasuk infeksi saluran pencernaan seperti gastro enteritis, dan pada kesukaran menelan. Menurut keadaan penyakit, makanan ini diberikan langsung kepada penderita atau merupakan perpindahan dari Makanan Cair ke Makanan Lunak. Makanan Saring tidak memenuhi kebutuhan gizi, terutama energi dan thiamin, sehingga jangka waktu pemberiannya pendek. Makanan yang boleh dan tidak boleh diberikan pada Makanan Saring dapat dilihat pada Lampiran 2.

4. Makanan Cair (MC)

Makanan Cair diberikan pada penderita sebelum dan sesudah operasi tertentu, dalam keadaan mual dan muntah, kesadaran menurun, suhu badan sangat tinggi atau infeksi akut. Makanan Cair berupa cairan jernih yang tidak merangsang dan tidak meninggalkan sisa. Makanan yang boleh diberikan yaitu teh, kopi, kaldu jernih, air bubur kacang hijau, sari buah, sirup, dan gula

(40)

pasir. Jangka waktu pemberiannya dibatasi selama 1-2 hari saja karena nilai gizinya sangat rendah.

Diet Pada Penyakit Hati

Tujuan diet pada penyakit hati yaitu untuk memberikan makanan secukupnya guna mempercepat perbaikan faal hati tanpa memberatkan pekerjaan hati. Syarat diet pada penyakit hati yaitu :

1. Energi tinggi, karbohidrat tinggi, lemak sedang, dan protein disesuaikan

dengan keadaan klinik penderita. Diet diberikan secara berangsur disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi penderita terhadap protein.

2. Cukup mineral dan vitamin.

3. Garam rendah bila ada retensi garam atau air.

4. Mudah dicerna dan tidak merangsang.

5. Bahan makanan yang menimbulkan gas dihindarkan.

Bahan makanan yang tidak boleh diberikan yaitu semua makanan dan daging yang banyak mengandung lemak seperti daging kambing dan daging babi. Selain itu, juga bahan makanan yang menimbulkan gas seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian, dan nangka (Bagian Gizi RSCM & Persagi 2002). Semua bahan harus dimasak dengan cara direbus, dikukus, atau dipanggang. Jenis makanan yang digoreng atau bertekstur keras harus dihindari (Uripi 2001).

Berikut adalah macam diet pada Penyakit Hati dan indikasi pemberiannya menurut Bagian Gizi RSCM & Persagi (2002) :

1. Diet Hati I (DH I)

Diet tersebut diberikan kepada penderita sirosis hati berat dan hepatitis infeksiosa akut dalam keadaan prekoma atau segera sesudah penderita dapat makan kembali. Pemberian sumber protein sedapat mungkin dihindarkan. Makanan berupa cairan yang mengandung karbohidrat sederhana seperti sari buah, sirup, dan teh manis. Cairan diperlukan kurang lebih 2 liter sehari bila tidak ada asites. Bila ada asites dan diuresa belum sempurna pemberian cairan maksimum 1 liter sehari. Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, besi, dan thiamin. Pemberiannya tidak lebih dari 3 hari. Infus glukosa dapat diberikan untuk menambah energi.

(41)

2. Diet Hati II (DH II)

Diet ini diberikan bila keadaan akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan penderita sudah mulai mempunyai nafsu makan. Makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak menurut keadaan penderita. Protein dibatasi (30 g sehari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Makanan ini rendah energi, kalsium, besi, dan thiamin. Sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya retensi garam/air, makanan diberikan sebagai Diet Hati II Rendah Garam. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresa belum baik maka diberikan Diet Rendah Garam I (DRG I).

3. Diet Hati III (DH III)

Diet tersebut diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau pada penderita yang nafsu makannya cukup. Makanan diberikan dalam bentuk lunak atau biasa menurut keadaan penderita. Protein diberikan 1 g/kg berat badan dan lemak sedang dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, besi, vitamin A dan C, tetapi kurang kalsium dan thiamin. Menurut beratnya retensi garam/air, makanan diberikan sebagai Diet Hati III Rendah Garam. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresa belum baik maka diberikan Diet Rendah Garam I (DRG I).

4. Diet Hati IV (DH IV)

Diet ini diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati III atau kepada penderita hepatitis infeksiosa dan sirosis hati yang nafsu makannya baik, dapat menerima protein dan tidak menunjukkan gejala sirosis hati aktif. Makanan diberikan dalam bentuk lunak atau biasa menurut kesanggupan penderita. Makanan ini tinggi energi, protein, lemak, karbohidrat, dan cukup vitamin serta mineral. Menurut beratnya retensi garam/air, makanan diberikan sebagai Diet Hati IV Rendah Garam. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresa belum baik maka diberikan Diet Rendah Garam I (DRG I).

Diet Rendah Garam

Menurut Bagian Gizi RSCM & Persagi (2002), Diet Rendah Garam bertujuan membantu menghilangkan retensi garam/air dalam jaringan tubuh serta menurunkan tekanan darah pada hipertensi.

(42)

Syarat dietnya yaitu :

1. Cukup energi, protein, mineral, dan vitamin

2. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit

3. Jumlah natrium yang diperbolehkan disesuaikan dengan berat tidaknya retensi

garam/air dan/atau hipertensi. Diet Rendah Garam terbagi menjadi :

1. Diet Rendah Garam I (DRG I)

Kadar natrium dalam makanan sehari yaitu 200-400 mg. Saat memasak tidak ditambahkan garam dapur dan bahan makanan tinggi natrium dihindarkan. Makanan ini untuk penderita dengan edema, asites dan/atau hipertensi berat.

2. Diet Rendah Garam II (DRG II)

Kadar natrium dalam makanan sehari yaitu 600-800 mg. Saat memasak boleh ditambah ¼ sendok teh garam dapur (1 g) dan bahan makanan tinggi natrium dihindarkan. Makanan ini untuk penderita dengan edema, asites, dan/atau hipertensi tidak terlalu berat.

3. Diet Rendah Garam III (DRG III)

Kadar natrium dalam makanan sehari 1000-1200 mg. Saat memasak boleh ditambah ½ sendok teh garam dapur (2 g). Makanan ini untuk penderita dengan edema dan/atau hipertensi ringan.

Diet Rendah Garam membatasi konsumsi garam dapur dan bahan makanan yang mengandung natrium tinggi. Makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi dapat dilihat pada Lampiran 3. Bumbu-bumbu yang tidak mengandung natrium dapat digunakan untuk mempertinggi rasa makanan. Bumbu-bumbu tersebut seperti gula, cuka, bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, laos, salam, dan sebagainya. Makanan yang dikukus, ditumis, digoreng, atau dipanggang lebih enak daripada yang direbus.

Pemberian Dukungan Gizi

Menurut Dir. Jen. Yan. Medik (1999a), pemberian dukungan gizi bagi pasien rawat inap dapat berupa gizi enteral (melalui gastrointestinal) dan gizi parenteral (melalui vena). Dukungan gizi ini diberikan apabila asupan zat gizi pasien dengan makanan padat tidak dapat memenuhi kebutuhan.

(43)

1. Gizi Enteral

Pemberian gizi enteral bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi keseluruhan (terapetik) pada pasien yang tidak dapat makan sama sekali dan sebagai tambahan (suplementasi) pada pasien yang mampu makan dan minum tetapi tidak mencukupi kebutuhannya. Indikasi pemberiannya yaitu adanya gangguan mekanin (kesadaran terganggu), gangguan menelan, koma, stroke, kekacauan sistem saraf pusat, dan selera makan yang buruk. Gizi enetaral dapat diberikan melalui mulut (oral), pipa (sonde), dan enterostomi (esofagustomi, jejunostomi).

Makanan enteral terdiri dari formula rumah sakit dan formula komersial. Formula rumah sakit dibuat oleh rumah sakit dari berbagai bahan makanan yang dihaluskan. Konsistensi, kandungan zat gizi, dan osmolaritas formula rumah sakit berubah-ubah pada saat pembuatannya. Formula komersial merupakan formula yang sudah siap digunakan dan tersedia di pasaran. Pemilihan formula yang digunakan bergantung pada kebutuhan zat gizi pasien, kebutuhan cairan, fungsi gastrointestinal, restriksi zat gizi (energi, protein, lemak, mineral), dan kebutuhan tambahan (ekstra).

Pemberian gizi enteral memiliki kelebihan dibadingkan dengan gizi parenteral. Keuntungan tersebut yaitu bersifat fisiologis, lebih efektif, komplikasi kurang, energi tinggi mudah dicapai, teknik pemasangannya mudah, dan biayanya murah.

2. Gizi Parenteral

Menurut Hartono (2000), gizi parenteral bisa diberikan melalui vena perifer atau vena sentral kepada pasien yang beresiko malnutrisi tetapi tidak mampu dan/atau tidak boleh mendapatkan zat gizi lewat saluran cerna. Gizi parenteral disebut gizi parenteral total jika seluruh kebutuhan zat gizi pasien diberikan lewat vena dan disebut gizi parenteral parsial jika hanya sebagain kebutuhan zat gizi saja yang diberikan lewat vena.

Pemberian gizi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi gizi primer dan terapi gizi suplemental/suportif. Gizi parenteral sebagai terapi gizi primer diberikan pada pasien yang tidak mampu mempertahankan, mencerna atau menyerap makanan, seperti pada kasus bedah dan interne. Gizi parenteral

(44)

sebagai terapi gizi suplemental/suportif diberikan pada pasien yang bisa makan atau mendapat gizi enteral tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Kondisi ini biasanya ditemui pada pasien prabedah, pascabedah, trauma, penderita kanker, malnutrisi protein atau energi protein, dan penolakan atau ketidakmampuan makan. Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan pada pasien dengan krisis hemodinamik atau kegagalan pernafasan yang membutuhkan bantuan respirator.

(45)

Salah satu bentuk pelayanan gizi rumah sakit bagi penderita penyakit hati rawat inap yaitu pemberian makanan dalam bentuk Diet Hati. Konsumsi Diet Hati dipengaruhi oleh ketersediaan Diet Hati, daya terima terhadap Diet Hati, lama perawatan dan selera makan. Ketersediaan Diet Hati didasarkan pada kebutuhan energi dan protein pasien dengan mempertimbangkan karakteristik pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, jenis penyakit hati). Daya terima terhadap Diet Hati merupakan penilaian pasien terhadap atribut makanan seperti bentuk, warna, tekstur, bau, rasa, suhu, dan kebersihan alat makan.

Konsumsi energi dan protein merupakan dua hal yang mendapat perhatian khusus pada penderita penyakit hati. Konsumsi energi dan protein penderita penyakit hati rawat inap didapatkan dari Diet Hati, makanan luar, dan cairan infus. Pada akhirnya, konsumsi energi dan protein akan mempengaruhi status gizi pasien setelah perawatan. Bagan kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

(46)

Keterangan :

: Variabel yang Diteliti : Variabel yang Tidak Diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan, Tinggi Badan, Jenis Penyakit Hati

Kebutuhan Energi dan Protein Pasien

Ketersediaan Energi dan Protein Diet Hati

Selera Makan

Daya Terima terhadap Diet Hati (bentuk, warna, tekstur, bau, rasa,

suhu, kebersihan alat makan)

Lama Perawatan

Konsumsi Diet Hati

Konsumsi Makanan Luar Konsumsi Energi dan Protein

Cairan Infus

Status Gizi Setelah Perawatan

Status malnutrisi, tingkat pendidikan, pekerjaan

Gambar

Gambar 2   Cara penarikan contoh
Tabel 1 Data yang dikumpulkan dan cara memperoleh  Data  Jenis Data  Cara Pengumpulan  Alat  Karakteristik
Tabel 2 Pengkategorian status malnutrisi berdasarkan persentase berat badan  aktual terhadap berat badan ideal (%) dan kadar serum albumin (g/l)
Tabel 3  Peubah dan kategori peubah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut maka diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jeruk siam di Kecamatan Bangorejo

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan komplit berupa silase limbah tanaman jagung dan sorghum sebagai pakan hijauan

PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF PADA KOMITMEN ORGANISASIONAL YANG DIMEDIASI OLEH PEMBERDAYAAN (Studi pada karyawan Dinas Pekerjaan

Untuk meganti penulisan yang salah digunakan fungsi……... Untuk membatalkan suatu perintah

Untuk menyuguhkan tontonan yang mampu mengulas lebih dalam suatu kebudayaan dan memberikan pengetahuan yang lebih luas, Penulis memilih program dokumenter dalam

“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara

 New Public Service memandang keterlibatan citizen dalam proses administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh semangat

Perencanaan Media Komunikasi Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) dalam Menerapkan Kebijakan Sistem OSS Pada Masyarakat Kota Pekanbaru. Perencanaan