• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Apabila Terjadi Wanprestasi Dari Debitur Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Sertifikat Pemakaian Usaha

USAHA ANTARA DEBITUR DAN KREDITUR

A. Penyelesaian Apabila Terjadi Wanprestasi Dari Debitur Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Sertifikat Pemakaian Usaha

Dalam pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa pinjam-meminjam ialah persetujuan antara dua pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir itu akan mengembalikan sejumlah barang yang sama dan keadaan yang sama pula.

Dari isi pasal 1754 KUH Perdata di atas jelas bahwa seorang debitur wajib mengembalikan fasilitas kredit yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kreditnya. Di lain pihak, bank pun sangat berkepentingan agar debitur dapat melunasi kewajibannya tepat pada waktunya sehingga dana tersebut dapat dioperasikan lebih lanjut. Namun, tidak jarang debitur tidak dapat menyelesaikan kewajibannya tepat pada waktunya, dengan perkataan lain kredit tersebut mengalami kemacetan. Macetnya kredit itu dapat disebabkan, baik karena debitur memang tidak sanggup lagi membayar kewajibannya kepada bank berhubung usahanya mengalami kemunduran maupun karena debitur memang tidak ada kemauan (beritikad buruk) untuk melunasi utang-utangnya. Dengan demikian, setiap kredit macet mempunyai sifat individual, artinya sifat setiap debitur akan

berbeda satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada sebab-sebab kemacetan, status debiturnya, faktor-faktor setempat, adat kebiasaan, dan sebagainya. Adanya kredit macet di atas tentunya merupakan beban pikiran, tenaga, waktu, biaya, psikologis, dan dana bagi bank. Untuk itu, bank akan selalu berusaha semaksimal mungkin menarik kembali kredit macet tersebut.

Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa pemberian fasilitas kredit merupakan suatu lembaga hukum pinjam meminjam yang sesuai dengan sifat lembaga hukum tersebut peminjam (debitur) wajib mengembalikan fasilitas kredit yang telah diterimanya. Masalah kewajiban debitur ini juga diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata yang secara garis besar menentukan bahwa segala kekayaan si berutang menjadi tanggungan untuk segala utang-utang yang dibuatnya.

Selanjutnya dalam pasal 1132 KUH Perdata ditentukan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-begi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan. Jadi, kalau dikaitkan dengan kredit macet sebenarnya hasil penjualan barang jaminan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi bank. Oleh karena itu, bank dalam memberikan kredit sejak awal selalu memperhatikan nilai jaminannya dan juga nilai pasarnya (marketable), kalau sampai dilakukan penjualan.

Perlu juga diperhatikan bahwa pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, kecuali apabila diantara para piutang itu mempunyai alasan yang sah untuk

didahulukan. Hal ini berarti hasil penjualan barang jaminan tersebut akan dibagi oleh para debitur secara merata, kecuali diantara para debitur tersebut ada debitur yang mempunyai hak yang lebih didahulukan yang disebut juga debitur preferen. Hak yang didahulukan tersebut antara lain hak hipotek, hak gadai, hak sewa dan biaya perkara.

Dalam praktik, bank selalu berusaha untuk menjadi kreditur preferen sehingga bisa memperoleh kepastian akan mendapatkan pembayaran terlebih dahulu atas harta kekayaan seorang debitur yang diterima sebagai jaminan kredit, yaitu dengan cara melakukan pengikatan atas barang jaminan kredit sesempurna mungkin.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh bank untuk melakukan penagihan kredit macet adalah sebagai berikut :

1. Somasi (Peringatan)

Sebelum melakukan tindakan hukum lebih lanjut, seyogianya terhadap debitur diberikan peringatan (somaasi), baik melalui pengadilan maupun dilakukan sendiri oleh bank, karena sesuai dengan pasal 1238 KUH Perdata, somasi ini penting untuk mengukuhkan bahwa debitur benar-benar telah melakukan cedera janji (wanprestasi) terhadap bank.

2. Mendesak debitur untuk melakukan sendiri penjualan barang jaminan

Dalam melakukan pekerjaan ini bank dapat membantu debitur dengan cara mencarikan calon pembeli. Namun, bank perlu untuk bertindak secara hati- hati dan jangan sekali-kali ikut menangani transaksi diantara debitur dan calon pembeli. Hal ini penting untuk menghindarkan bank dari tuntutan debitur

dengan alasan bahwa penjualan barang jaminan barang tersebut di bawah

harga. Untuk kiranya dapat diterapkan prinsip “bank tidak menjamah transaksi dan debitur tidak menjamah uang”, artinya bahwa dalam transaksi jual beli barang jaminan tersebut bank tidak dilibatkan sebagai salah satu pihak, tetapi di lain pihak juga diatur sedemikian rupa agar uang hasil penjualan barang jaminan tersebut tidak jatuh ke tangan debitur (khususnya debitur yang beritikad buruk), tetapi disetorkan kepada bank untuk diperhitungkan dengan pinjaman debitur.

3. Melakukan penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa untuk menjual Di dalam menerima suatu jaminan ada kalanya bank diberi kuasa oleh pemilik jaminan untuk melakukan penjualan atas barang jaminan apabila fasilitas kredit yang dilindungi jaminan tersebut mengalami kemacetan. Dari segi yuridis, pemberian kuasa seperti itu dimungkinkan. Namun dalam praktik, hal itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Selain kesulitan dalan proses balik nama juga seringkali pemilik jaminan mengajukan gugatan kepada bank dengan alasan bank telah melakukan penjualan di bawah standar yang umum. Untuk itu, apabila bank hendak menggunakan kuasa itu, bank perlu berhati-hati karena sifat kuasa yang dimiliki oleh bank hanyalah untuk menjual barang saja dan jangan sekali-kali berangapan seperti menjual barang milik bank sendiri. 4. Melakukan penjualan barang jaminan di muka umum berdasarkan beding van

eignmatge verkoop pada hipotek dan parate eksekusi pada gadai

Secara yuridis, berdasarkan beding van eigenmatge verkoop pada hipotek sebagaimana yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata dan parate eksekusi pada gadai sebagaimana yang diatur dalam penjualan pasal 1155 ayat

(1) KUH Perdata, kreditur dapat meminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk melakukan penjualan atas barang-barang jaminan yang dihipotekkan atau digadaikan, hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan pinjaman debitur. Namun dalam praktiknya Kantor Lelang Negara biasanya akan menolak melakukan penjualan barang-barang jaminan berdasarkan beding van eigenmatige verkoop dan parate eksekusi ini

tanpa terlebih dahulu ada “flat eksekusi” dari peradilan negeri.

Dengan adanya sikap dari Kantor Lelang ini, klausula/beding van eigenmatige verkoop dalam akta hipotek dan maksud dari parate eksekusi pada gadai sementara ini tidak mempunyai arti bagi bank. Bahkan, Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 berpendapat bahwa seharusnya pelaksanaan beeding van eigenmatige verkoop adalah dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Peradilan Negeri.

5. Meminta eksekusi hipotek atau surat pengakuan utang berdasarkan pasal 224 HIR

Dalam praktik perbankan pada umumnya bank-bank menggunakan ketentuan ini yang diatur dalam 224 HIR karena ketentuan ini yang dirasa paling efektif untuk menarik kembali kredit yang mengalami kemacetan. Pasal 224 HIR tersebut menentukan bahwa :

Surat Grosse dari akta hipotek dan Surat Utang yang diperbuat di hadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalnya memakai perkataan “Demi Keadilan

Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan putusan

Hakim.

 Surat Grosse (turunan pertama dari suatu akta notaris) yang dimaksud adalah Grosse Akta Hipotek atau Grosse Surat Utang.

 Kedua Grosse tersebut dibuat dihadapan notaris di Indonesia

 Memakai Kepala Demi Keadilan yang Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa

 Berkekuatan sama dengan putusan hakim, artinya mempunyai kekuatan

title eksekutorial sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan Negeri.

Jadi suatu grosse akta hipotek atau grosse surat pengakuan utang yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 224 HIR tersebut di atas dapat langsung dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Dalam perkembangannya, grosse akta yang dapat dimintakan eksekusi sesuai dengan Pasal 224 HIR tersebut di dan Undang-Undang No.16 tahun 1985 tentang rumah susun. Dari pasal 7 ayat (2) PMA No. 15 Tahun 1961 dan Undang-Undang No.16 Tahun 1985 dapat disimpulkan bahwa yang mempunyai kekuatan eksekusi bukan Grosse Akta Hipotek, melainkan pada sertifikat hipoteknya.

6. Melakukan Penagihan terhadap Pihak Ketiga yang Bertindak Sebagai Penanggung Utang (Borg)

Dalam suatu pemberian kredit selain adanya jaminan kebendaan, sering juga kita jumpai adanya jaminan lain yang berupa jaminan perseorangan yang pengikatannya dilakukan secara borgtocht. Menurut pasal 1820 Kuh Perdata,

bortocht (penanggungan) adalah suatu persetujuan dengan pihak ketiga untuk kepentingan si berpiutang (kreditor), mengikatkan diri untuk memenuhi

kewajibannya. Jadi, apabila debitur tidak bersedia memenuhi kewajibannya secara sukarela, bank dapat menuntut penanggung melalui Pengadilan Negeri sekaligus memohon agar terhadap harta kekayaan si penanggung diletakkan sita jaminan (Consevatoir Beslag). Dalam hal ini Bank lah yang harus secara aktif mencari harta kekayaan si penanggung yang sekiranya dianggap cukup untuk memenuhi kewajiban debitur.

7. Menarik kembali secara fisik barang-barang yang diikat secara FEO

Secara Yuridis, hak milik atas barang-barang jaminan kredit yang telah diikat dengan FEO telah diserahkan secara kepercayaan oleh pemiliknya kepada kreditur (Bank), sehingga berdasarkan hal ini bank dapat meminta pemegang barang jaminan tersebut untuk menyerahkannya secara fisik kepada Bank yang untuk selanjutnya akan menjual barang-barang tersebut secara lelang dan hasil penjualannya akan diperhitungkan dengan kewajiban debiturnya. Apabila debitur tidak bersedia atau tidak mampu menyerahkan barang-barang jaminan tersebut, Bank dapat meminta bantuan pihak yang berwajib dan jika perlu melakukan penuntutan pidana atas dasar penggelapan (pasal 378 KUHP). Namun, dengan berlakunya KUHAP (nomor 8 tahun 1981) Bank perlu berhati-hati apabila hendak meminta bantuan pihak yang berwajib, karena apabila terjadi penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak sah, tersangka dan keluarganya atau kuasanya dapat menuntut praperadilan. (pasal 1 ayat 10 KUHAP).

8. Menyerahkan Tagihan Kredit Macet Pada BUPN

Ketentuan untuk menyerahkan tagihan kredit macet BUPN sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 tahun 1960 hanya berlaku bagi Bank-

Bank Pemerintah. Pasal 12 Undang-Undang nomor 49 tahun1960 menentukan bahwa instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksudkan dalam pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang- piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi penanggung utangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada

panitia urusan piutang negara”. Jadi, khusus untuk bank-bank pemerintah ada kewajiban untuk menyerahkan piutangnya yang macet kepada BUPN. Dalam Undang-Undang tersebut juga ditentukan bahwa BUPN dapat mengeluarkan pernyataan bersama yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti satu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti.72Penyelesaian kredit macet ada dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan jalur non hukum. Salah satu upaya penyelesaian kredit macet melalui jalur non hukum adalah restrukturisasi. Dasar hukum restrukturisasi adalah Surat Direksi Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit. Restrukturisasi kredit merupakan upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui:

a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perbuatan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

1. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang

2. Perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan bunga

3. Perpanjangan jangk waktu pelunasan hutang pokok dan tunggakan angsuran

72

kredit sesuai dengan dana yang mengalir

4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok dan atau tunggakan angsuran,tunggakan angsuran, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah angsuran

5. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok, tunggakan angsuran dan tunggakan bunga kredit sesuai dengan dana yang mengalir

6. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok dan tunggakan bunga kredit sesuai aliran dana yang mengalir

7. Pergeseran atau perpanjangan grace perioddan pergeseran rencana pelunasan 8. Pergeseran grace perioddan perpanjangan jangka waktu kredit

Kombinasi bentuk-bentuk reschedulingdi atas Tindakan rescheduling dapat diberikan kepada debitur yang masih menunjukkan itikad bak untuk melunasi kewajibannya. Faktor-faktor yang mendukung diberikannya tindakan rescheduling. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:73

a.Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran

b.Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.

Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Restrukturisasi kredit wajib didukung

73

dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Di Indonesia, dikenal beberapa eksekusi agunan, yaitu:

a.Eksekusi hak tanggungan b.Eksekusi fidusia

c.Eksekusi hipotek d.Eksekusi gadai e.Eksekusi perorangan

Terdapat 2 (dua) cara yang dapat dilakukan dalam eksekusi hak tangungan ini yaitu melalui penjualan di bawah tangan dan melalui proses lelang.

a.Penjualan di bawah tangan Penjualan dibawah tangan memiliki arti bahwa penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebanidengan hak tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang lainatau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, karena ditakutkan merugikan pihak-pihak yang tidak terlibat. Oleh karena itu ada baiknya harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan berada.74

Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan, serta tidak ada sanggahan dari pihak mana pun. Apabila tidak dilakukan, penjualan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT, yaitu:

74

Irma Devita Purnamasari. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung:Mizan Pustaka, 2011), hal. 62

1.Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimandimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturanperundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

2. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak

3. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulansejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan

4. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.

5.Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan ini dapat dilakukan ketika

pemilik tanah yang dibebani hak tanggungan masih kooperatif. Dia bersedia pula untuk hadir guna membuat dan menandatangani akta-akta atau dokumen- dokumen berkaitan dengan penjualan tanah yang dijadikan objek hak tanggungan. Adapun alternatif lainnya adalah:75

a. Pemilik jaminan melaksanakan jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah yang berwenang. Pemilik jaminan tersebut akan langsung berhadapan dengan calon pembeli dan langsung menandatangani akta jual beli atas tanah yang berkenaan. Dalam kondisi demikian, biasanya pemilik jaminan sendiri yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi, sehingga dia masih tetap memperoleh sisa dari harga penjualan jaminan dimaksud setelah sebagian dipotong kreditur untuk membayar atau melunasi utang-utangnya.

b. Pemilik jaminan hadir guna membuat dan menandatangani akta penyerahan jaminan sekaligus akta kuasa menjual kepada orang yang ditunjuk oleh kreditur. Ketika sewaktu-waktu kreditur menemukan pembeli atas jaminan yang berkenaan, dia dapat melaksanakan akta jual beli dengan menggunakan akta kuasa menjual tersebut.

c. Penjualan jaminan melalui proses lelang

Lelang adalah penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.

75

Dasar hukum lelang dapat adalah sebagai berikut:

(1)Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3

(2)Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85)

(3)Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (4)Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat lelang Kelas I (5)Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang

(6)Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat lelang Kelas II (7)Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP-02/PL/2006 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang

(8)Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP- 01/PL/2006 tentang Pedoman Administrasi Perkantoran dan Pelaporan Kantor Pejabat Lelang Kelas II 76.

Dalam penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi oleh debitur atas perjanjian kredit dengan jaminan sertifikat pemakaian tempat usaha pada PT. Bank danamon adalah tergantung pada jaminan yang diberikan. Apabila yang dijaminkan adalah sertifikat hak pemakaian tempat usaha maka yang disita adalah sertifikat hak pemakaian tempat usaha (SHPTU) dari debitur, yaitu hak mengusahai tempat tersebut bukan usahanya. Namun apabila terjadi wanprestasi

76

oleh debitur dalam perjanjian kredit ini, bank akan memberikan keringanan dengan cara pemberitahuan terlebih dahulu dari Bank, diikuti dengan Somasi 1, somasi 2, dan somasi 3. Apabila somasi tersebut tidak juga diindahkan oleh debitur maka akan dilanjutkan dengan teguran langsung dari pengadilan (Amaning). Tenggang waktu yang diberikan untuk amaning adalah delapan (8) samapai empat belas (14) hari. Pada waktu itu pengadilan akan memanggil debitur dan kreditur. Setelah itu akan dikeluarkan penetapan dari pengadilan. Kemudian upaya selanjutnya adalah sita jaminan. Jaminan yang telah disita oleh bank masihbisa ditebus oleh debitur. Apabila jaminan tersebut tidak ditebus maka bank mempunyai hak penuh untuk melelang jaminan tersebut.77

B. Bentuk Perlindungan hukum terhadap debitur dalam hal kredit macet

Dokumen terkait