BAB III
PROSEDUR PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
A. Prosedur Pemberian Kredit
Prosedur pemberian dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara
umum antarbank yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Yang menjadi
perbedaan mungkin hanya terletak dari prosedur dan persyaratan yang
ditetapkannya dengan pertimbangan masing-masing.
Prosedur pemberian kredit secara umum dapat dibedakan antara pinjaman
perseorangan dengan pinjaman oleh suatu badan hukum, kemudian dapat pula
ditinjau dari segi tujuannya apakah untuk konsumtif atau produktif.
Secara umum akan dijelaskan prosedur pemberian kredit oleh badan
hukum sebagai berikut :
1. Pengajuan berkas-berkas
Dalam hal ini pemohon kredit mengajukan permohonan kredit yang dituangkan
dalam suatu proposal. Kemudian dilampiri dengan berkas-berkas lainnya yang
dibutuhkan. Pengajuan Proposal kredit hendaknya yang berisi antara lain
sebagai berikut.
a. Latar belakang perusahaan seperti riwayat hidup singkat perusahaan, jenis
bidang usaha, identitas perusahaan, nama pengurus berikut pengetahuan
dan pendidikannya, perkembangan perusahaan serta relasinya dengan
b. Maksud dan tujuan
Apakah untuk memperbesar omset penjualan atau meningkatkan kapasitas
produksi atau mendirikan pabrik baru (perluasan) serta tujuan lainnya.
c. Besarnya kredit dan jangka waktu
Dalam hal ini pemohon menentukan besarnya jumlah kredit yang ingin
diperoleh dan jangka waktu kreditnya. Penilaian kelayakan besarnya kredit
dan jangka waktunya dapat kita lihat dari cash flow serta laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) tiga tahun terakhir. Jika dari hasil analisis
tidak sesuai dengan permohonan, maka pihak bank tetap berpedoman
terhadap hasil analisis mereka dalam memutuskan jumlah kredit dan jangka
waktu kredit yang layak diberikan kepada si pemohon.
d. Cara pemohon mengembalikan kredit, dijelaskan secara rinci cara-cara
nasabah dalam mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan atau
cara lainnya.
e. Jaminan Kredit
Hal ini merupakan jaminan untuk menutupi segala risiko terhadap
kemungkinan macetnya suatu kredit baik yang ada unsur kesengajaan atau
tidak. Penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi
sengketa, palsu dan sebagainya. Biasanya jaminan diikat dengan suatu
asuransi tertentu. Selanjutnya proposal ini dilampiri dengan berkas-berkas
yang telah dipersyaratkan seperti :
f. Akte Notaris
g. Dipergunakan untuk perusahaan yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas)
h. TDP (Tanda Daftar Perusahaan)
Merupakan tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan dan biasanya berlaku lima tahun, jika habis
dapat diperpanjang kembali.
i. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Nomor pokok wajib pajak, di mana sekarang ini setiap pemberian kredit
terus dipantau oleh bank Indonesia adalah NPWP-nya.
j. Neraca dan laporan rugi laba tiga tahun terakhir
k. Bukti diri dari pimpinan perusahaan
l. Foto kopi sertifikat jaminan.
2. Penyelidikan berkas pinjaman
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah
lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak perbankan
belum lengkap atau cukup, maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya
dan apabila sampai batas tertentu nasabah tidak sanggup melengkapi
kekurangan tersebut, maka sebaiknya permohonan kredit dibatalkan saja.
3. Wawancara I
Merupakan penyidikan kepada calon peminjam dengan langsung berhadapan
dengan calon peminjam, untuk meyakinkan apakah berkas-berkas tersebut
sudah sesuai dan lengkap seperti dengan yang bank inginkan. Wawancara ini
juga untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang sebenarnya.
Hendaknya dalam wawancara ini dibuat serileks mungkin sehingga diharapkan
4. On the Spot
Merupakan kegiatan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai objek
yang akan dijadikan usaha atau jaminan. Kemudian hasil on the spot
dicocokkan dengan hasil wawancara I. Pada saat hendak melakukan on the spothendaknya jangan diberitahu kepada nasabah. Sehingga apa yang kita lihat di lapangan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
5. Wawancara II
Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada
kekurangan-kekurangan pada saat setelah dilakukan on the spot di lapangan. Catatan yang ada pada permohonan dan pada saat wawancara I dicocokkan dengan pada saat
on the spot apakah ada kesesuaian dan mengandung suatu kebenaran. 6. Keputusan kredit
Keputusan kredit dalam hal ini adalah menentukan apakah kredit akan
diberikan atau ditolak, jika diterima, maka dipersiapkan administrasinya,
biasanya keputusan kredit yang akan mencakup :
a. Jumlah uang yang diterima
b. Jangka waktu kredit
c. Dan biaya-biaya yang harus dibayar
Keputusan kredit biasanya merupakan keputusan team. Begitu pula bagi kredit
yang ditolak, maka hendaknya dikirim suatu penolakan sesuai dengan
alasannya masing-masing.
7. Penandatanganan akad kredit/ perjanjian lainnya
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum
mengikat jaminan dengan hipotek dan surat perjanjian atau pernyataan yang
dianggap perlu. Penandatanganan dilaksanakan :
a. Antara bank dengan debitur secara langsung atau
b. Dengan melalui notaris
8. Realisasi Kredit
Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan
dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan.
9. Penyaluran/ penarikan dana
Adalah pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari
pemberian kredit dan dapat diambil sesuai dengan ketentuan dan tujuan kredit
yaitu :
a. Sekaligus atau
b. Secara bertahap42
Dalam memutuskan pemberian kredit atau melakukan pencairan dana
melalui kredit maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan baik oleh kreditur
atau juga debitur secara umum dan itu sudah menjadi penilaian umum, yaitu yang
biasa dikenal dengan lima C (5C). Prinsip 5C yaitu ,
1. Character (Karakteristik)
Ini menyangkut dengan sisi psikologis calon penerima kredit itu sendiri, yaitu
karakteristik atau sifat yang dimilikinya, seperti latar belakang keluarganya,
hobi, cara hidup yang dijalani, serta kebiasaan-kebiasaanya. Secara umum
tujuan memahami karakteristik ini adalah juga menyangkut dengan persoalan
42
seperti kejujuran seorang nasabah dalam urusannya untuk berusaha memenuhi
kewajibannya atau dengan istilah lainnya adalah “willingness to pay”.
2. Capacity (kemampuan)
Capacity adalah menyangkut dengan “business record”, atau kemampuan seorang pebisnis mengelola usahanya, terutama pada masa-masa sulit
sehingga nanti akan terlihat “ability to pay” atau keampuan membayar.
Kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang adalah berbeda-beda. Setiap
orang memiliki bakatnya masing-masing atau keahliannya yang berbeda
dengan orang lain dan itu pada dasarnya telah menjadi keunggulannya yang
lebih dibandingkan dengan orang lain.
3. Capital (Modal)
Ini menyangkut dengan kemampuan modal yang dimiliki oleh seseorang pada
saat ia melaksanakan bisnisnya tersebut. Capital ini secara umum dapat dilihat pada balancesheet, income statement, capital structure, return on equity, return on investment dan lain sebagainya. Maka akan lebih baik jika ia melakukan peminjaman kepada pihak perbankan atau leasing maka angka
pengajuan kreditnya tersebut adalah melebihi dari kepemilikan modal yang
dimilikinya. Karena jika ia melakukan peminjaman dana adalah melebihi dari
kepemilikan modal yang dipunyainya maka jelas ini akan menimbulkan risiko
di kemudian hari (future risk) apa lagi jika terjadinya persoalan kemacetan dalam cash flow atau aliran kas yang dimilikinya. Banyak konsultan keuangan memberi advise kepada para pebisnis agar dalam tindakan keputusan berutang tersebut haruslah bisa menyeimbangkan asset dan jumlah utang yang akan
4. Collateral (Jaminan)
Collateral atau jaminan adalah barang atau sesuatu yang dapat dijadikan jaminan pada saat seseorang akan melakukan peminjaman dana dalam bentuk
kredit ke sebuah perbankan atau leasing. Untuk jenis barang ini dapat berupa
mulai dari land (tanah), building (bangunan), otomotive (mobil, motor) atau juga pesawat, helikopter juga bisa dijadikan jaminan, dan juga barang lainnya
yang kira-kira dapat disetujui oleh pihak analisis kredit.
5. Condition of Economy (Kondisi Perekonomian)
Kondisi perekonomian yang tengah berlangsung di suatu negara seperti
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tengah terjadi, angka inflasi, jumlah
penganguran, purchasing power parity (daya beli), penerapan kebijakan moneter sekarang dan yang akan datang, dan iklim dunia usaha yaitu regulasi
pemerintah, serta situasi ekonomi internasional yang tengah berkembang
adalah bagian penting untuk dianalisa dan dijadikan bahan pertimbangan.
Kajian 5C ini secara umum dapat dijadikan patokan penilaian untuk
merealisasikan pemberian atau pencairan kredit tersebut.43 Kemudian penilaian
kredit dengan metode analisis 7P adalah sebagai berikut :
1. Personality
Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya
sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah.
43
2. Party
Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau
golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga
nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapat fasilitas
yang berbeda dari bank.
3.Purpose
Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk
jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat
bermacam-macam. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja atau investasi,
konsumtif atau produktif.
4. Prospect
Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang menguntungkan
atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya . hal ini
penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai
prospek, bukan hanya bank yang rugi, tetapi juga nasabah.
5. Payment
Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah
diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin
banyak sumber penghasilan debitur, akan semakin baik. Dengan demikian jika
salah satu usahanya merugi, dapat ditutupi oleh sektor lainnya.
6. Profitability
Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan
semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.
7. Protection
Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan
perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang tau orang atau
jaminan asuransi.44
B. Jaminan Kredit
1. Pengertian dan Sifat Jaminan
Keputusan untuk menetapkan jaminan (secure) pada setiap debitur yang mengajukan pinjaman ke pada lembaga pemberi pinjaman adalah dengan tujuan
untuk melindungi terhadap keberadaan dana yang telah diberikan tersebut.
Kebijakan perbankan untuk menaikkan receiveable turnover-nya akan turut mempengaruhi tingginya profit yang akan diperolehnya namun bukan tidak
mungkin bisa menimbulkan naiknya bad debt (piutang tak tertagih) yang semakin tinggi pula pada saat sikap ketidakhati-hatian dalam menilai kelayakan pemberian
kredit yang akan dicairkannya. Maka guna meng-hedging dari dana yang sudah disalurkannya tersebut, perbankan, leasing, dan sejenisnya harus memperhatikan
sekali berapa platform pengajuan kredit yang diajukan dengan jumlah jaminan yang tertera pada proposal. Bila platform-nya adalah seharga dari angka pinjaman yang diajukan jelas pihak kreditur akan menolaknya apa lagi jika jaminan tersebut
adalah nilainya lebih rendah dari angka pinjaman yang diajukan. Mungkin bank
akan menganggap beik atau cepat melakukan proses pencairan kredit jika
44
jaminannya adalah berharga dua kali lipat dari jumlah angka kredit yang diajukan
atau kredit dicairkan dengan 50% dari nilai jaminan. Kedudukan jaminan dalam
kredit adalah bertujuan memperkecil risiko yang akan diterima di kemudian hari
(future risk).
Kredit berdasarkan jaminan ini ada dua yaitu kredit dengan jaminan (secured loans), dan kredit tanpa jaminan (insecured loans).
1. Kredit dengan jaminan (secured loans)
Kredit dengan jaminan ini merupakan kredit yang kepemilikan dananya
berasal dari bank dan debitur bertugas untuk menjamin risiko yang akan timbul ke
depan nantinya. Kredit ini terdiri atas :
a. Jaminan kebendaan yang bersifat tangible
Jaminan ini terdiri dari benda-benda bergerak seperti mesin, kendaraan
bermotor, dan benda yang tidak bergerak seperti tanah (land),danbangunan (building).
b. Jaminan perseorangan (borgtoght)
Yaitu kredit yang jaminannya dijamin oleh seseorang atau badan dimana
ia bertindak sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin bahwa kredit
tersebut akan mampu untuk dilunasi tepat pada waktunya.
c. Jaminan berbentuk commercial paper (surat berharga) seperti stock (saham),
2. Kredit tanpa jaminan (insecure loans)
Kredit ini sering disebut dengan kredit blanko. Kredit ini diberikan kepada
debitur adalah tanpa adanya jaminan tapi atas dasar kepercayaan saja karena
debitur dianggap mampu untuk mengembalikan pinjaman tersebut.45
2. Jenis-Jenis Jaminan
Dalam perjanjian kredit yang dapat dijadikan jaminan kredit oleh calon
debitur adalah sebagai berikut :
a. Jaminan dengan barang-barang sebagai seperti :
- Tanah;
- bangunan;
- Kendaraan bermotor;
- mesin-mesin/peralatan;
- barang dagangan;
- tanaman/kebun;
- dan barang-barang berharga lainnya.
b. Jaminan surat berharga seperti :
- sertifikat saham;
- sertifikat obligasi;
- sertifikat tanah;
- sertifikat deposito;
45
- promes;
- wesel
- dan surat berharga lainnya.
c. Jaminan orang atau perusahaan
Yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang atau perusahaan kepada bank
terhadap fasilitas kredit yang diberikan. Apabila kredit tersebut macet, orang atau
perusahaan yang memberikan jaminan itulah yang diminta
pertanggungjawabannya atau menanggung risikonya.
d. Jaminan Asuransi
Yaitu bank menjaminkan kredit tersebut kepada pihak asuransi, terutama
terhadap fisik objek kredit, seperti kendaraan, gedung, dan lainnya. Jadi, apabila
terjadi kehilangan atau kebakaran, maka pihak asuransilah yang akan
menanggung kerugian tersebut.46
3. Fungsi dan Kedudukan Jaminan dalam Perjanjian Kredit
Dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang
Undang-Undang pokok Perbankan ditegaskan bahwa “Bank umum tidak
memberikan kredit tanpa jaminan kepada siapa pun”. Hal ini berarti bahwa dalam
setiap pemberian fasilitas kredit, debitur wajib menyerahkan suatu barang
jaminan.
Pada hakikatnya persyaratan adanya jaminan yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang di atas adalah sebagai “jaminan pembayaran” bagi bank apabila
46
nantinya atau sewaktu-waktu debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian Kredit. Secara yuridis
yang dimaksud dengan jaminan tersebut mempunyai arti yang sangat luas karena
bisa mencakup jaminan materiil dan jaminan immateriil. Jaminan materiil adalah
jaminan atas barang yang dapat dinilai dengan uang, yang bisa terdiri dari barang
bergerak ataupun barang yang tidak bergerak. Jaminan immateriil adalah jaminan
yang tidak dinilai dengan uang, seperti bonafiditas dan prestasi seseorang.
Adanya bentuk-bentuk barang jaminan itu membawa konsekuensi bahwa
pengikatan barang jaminannya pun berbeda satu sama lain tergantung pada bentuk
barang jaminannya itu sendiri. Untuk barang-barang bergerak, seperti alat-alat
rumah tangga, kendaraan bermotor, dan sediaan barang dagangan pengikatannya
dilakukan secara gadai. Untuk barang tidak bergerak, seperti rumah, gedung
kantor, tanah dan sawah, pabrik, kapal dengan ukuran 20 m3 ke atas, serta
mesin-mesin yang melekat pada tanah pengikatannya dilakukan secara hipotek atau
credietverband. Sedangkan jaminan perseorangan, seperti personal guarantee dan
company guarantee pengikatannya dilakukan secara borgtocht.47
Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan atas pasal 1131 KUH
Perdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus (yang bersifat
kebendaan), oleh hukum diberikan hak preferens. Artinya, krediturnya diberikan kedudukan lebih tinggi (didahulukan) pembayaran hutangnya yang diambil dari
hasil penjualan benda jaminan hutang, baru dibagi-bagikan kepada kreditur yang
47
lainnya. Dalam jaminan umum berdasarkan atas pasal 1131 KUH Perdata,
kedudukan preferens dari kreditur tersebut tidak ada.
Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka pihak kreditur cenderung
untuk meminta jaminan hutang yang khusus dari pihak debitur agar pembayaran
hutangnya menjadi aman. Jaminan khusus (yang bersifat kebendaan) tersebut
misalnya berupa hipotik, fidusia, hak tanggungan, atau gadai.48
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam menjalankan suatu usaha
apa pun tentu mengandung suatu tingkat kerugian. Risiko ini dapat saja terjadi
akibat suatu musibah yang tidak dapat dielakkan seperti terkena bencana alam,
tetapi risiko yang paling fatal adalah akibat nasabah yang mampu, tetapi tidak
mau membayar kewajibannya. Adanya risiko kerugian di mana nasabah tidak
sanggup lagi untuk membayar semua kewajibannya baik untuk sementara waktu
atau selamanya harus segera diantisipasi oleh dunia perbankan. Kalau tidak, sudah
dapat dipastikan kredit tersebut macet atau tidak terbayar lagi.
Ketidakmampuan nasabah dalam melunasi kreditny, dapat ditutupi dengan
suatu jaminan kredit. Fungsi jaminan kredit adalah untuk melindungi bank dari
kerugian. Dengan adanya jaminan kredit di mana nilai jaminan biasanya melebihi
nilai kredit, maka bank akan aman. Bank dapat mempergunakan atau menjual
jaminan kredit untuk menutupi kredit apabila kredit yang diberikan macet.
Jaminan kredit juga akan melindungi bank dari nasabah yang nakal. Hal ini
disebabkan tidak sedikit nasabah yang mampu, tetapi tidak mau membayar
kreditnya. Yang paling penting dalam jaminan kredit adalah mengikat nasabah
48
untuk segera melunasi utang-utangnya nasabah akan segera terikat dengan bank
mengingat jaminan kredit akan disita oleh bank apabila nasabah tidak mampu
membayar. Untuk masalah-masalah khusus kredit dapat pula diberikan tanpa
jaminan. Hal ini tentu dengan berbagai pertimbangan yang matang misalnya
untuk jumlah yang kecil atau kredit sosial.
Dalam hukum mengenai pengikatan jaminan penggolongan atas benda
bergerak dan tidak bergerak mempunyai arti yang penting sekali. Adanya
perbedaan penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis lembaga
jaminan/pengikatan jaminan mana yang dibebankan atas benda jaminan yang
diberikan untuk menjamin pelunasan. Sifat perjanjian jaminan adalah accessoir
yaitu tergantung pada perjanjian pokoknya.
Pemberian jaminan dari debitur kepada kreditur menimbulkan 2(dua) sifat
hak jaminan yang dikenal secara umum, yaitu :
1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur , tanpa memberikan hak saling mendahului (konkuren) antara
kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur, dengan memberikan hak mendahului dari kreditur lainnya,
sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur privillege (prefeternt).
Pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur semata-mata hanya
sebagai jaminan dalam pengembalian fasilitas kredit yang telah dinikmati oleh
debitur apabila debitur wanprestasi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
pemberian jaminan oleh debitur adalah bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Namun
untuk mengantisipasi praktek perbankan dalam UU Perbankan no.7 tahun 1992
tanggal 25 maret 1992 (“UU Perbankan) pasal 12A disebutkan bahwa Bank dapat
membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau
berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal
debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan
yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
Menurut pasal 4 Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tanggal 9 april 1996
tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah (“UUHT”) tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah :
1. Tanah hak milik
2. Tanah hak guna usaha (“HGU”)
3. Tanah Hak guna bangunan (“HGB”)
4. Tanah hak pakai atas tanah negara
Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut diatas adalah dengan akta
pembebanan hak tanggungan (“APHT”) yang meliputi pula seluruh bangunan dan
tanaman yang berada di atasnya dan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak
tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan yaitu dalam hal pemberi hak
tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT dapat dipergunakan surat kuasa
membebankan hak tanggungan (“SKMHT”) yang harus diberikan langsung oleh
dipergunakan dalam hal hak atas tanah belum bersertifikat serta khusus untuk
pemberian kredit program.49
Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga bank
dituntut kemampuan dan efektivitasnya dalam mengelola resiko kredit dan
meminimalkan potensi kerugian sehingga bank wajib memerhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat, diantaranya adalah :
1. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa surat perjanjian tertulis;
2. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit pada usaha yang sejak semula
telah diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian;
3. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan
modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham ; atau
4. Memberikan kredit melampaui batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit). 50
Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu
kepastian atau pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh
debitur atau atau oleh perjanjian debitur. Keberadaan jaminan merupakan suatu
persyaratan untuk memperkecil risiko bank dalam menyalurkan kredit. Bank
memprioritaskan dari kelayakan usaha yang dibiayainya sebagai jaminan utama
bagi pengembalian kredit sesuai dengan jadwal yang disepakati bersama. Sebagai
49
Sebagaimana yang dimuat dalam https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/jaminan-dan-pengikatan-jaminan/
50
langkah antisipatif dan menarik kembali dana yang telah disalurkan oleh kreditur
kepada debitur, jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor yaitu :
1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan, jika di
kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan
yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.
2. marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau dituangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur, dengan
mempertimbangkan dua faktor di atas, jaminan yang telah diperoleh oleh pihak
bank dapat meminimalisir risiko dalampenyaluran kredit sesuai dengan prinsip
kehati-hatian (Prudential Banking). Secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. 51
Pasal 1131, Pasal 1132 KUH Perdata merumuskan bahwa, “segala
kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan. “ pasal 1132KUH Perdata menyatakan
bahwa “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua benda
yang mengutangkan padanya, pendapatan benda-benda itu dibagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecil piutang masing-masing, kecuali diantara
para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”52
51
Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial Dan Konsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Perspektif Hukum Dan Ekonomi, Bandung, Mandar maju ; 2004, halaman 71.
52
Jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk
diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran hutang
debitur berdasarkan perjanjian yang dibuat.53 Kredit yang diberikan selalu
diamankan dengan jaminan dengan tujuan menghindarkan risiko debitur tidak
mampu melunasi utangnya. Jadi fungsi jaminan adalah untuk :54
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut bila debitur wanprestasi
yaitu tidak melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan;
2. Menjamin agar nasabah/debitur berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga mencegah kemungkinan meninggalkan usaha
atau proyeknya dengan merugikan diri atau proyeknya dengan merugikan diri
atau perusahannya.
3. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian kredit.
Dengan demikian, jaminan memiliki kedudukan yang penting dalam
pemberian kredit karena dengan adanya jaminan bank/kreditur memiliki rasa
aman dan kepastian dilunasinya kredit yang ia berikan.
4. Sertifikat Pemakaian Tempat Usaha Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
Pengertian jaminan dalam kehidupan sehari-hari dapat diartikan sebagai
sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan guna memberikan
kepercayaan kepada kreditur dalam memberikan pinjaman uang kepada debitur.
53
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003; hal 142
54
Thomas Suyatno, dkk., Dasar-Dasar Perkreditan, Edisi ke 4, PT Gramedia, Jakarta, 1995,
Berdasarkan pengertian jaminan di atas, setiap utang dari debitur guna
kepastian pemenuhan utangnya tersebut, maka debitur memberikan jaminan atas
utangnya kepada kreditur. Di Indonesia dikenal beberapa lembaga penjaminan,
beberapa diantaranya hak tanggungan, fidusia, hipotek, dan gadai. Lembaga hak
tanggungan menurut pasal 1 angka 1 UU nomor 4 tahun 1996 adalah sebagai
berikut :
“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam undnag-undnag nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Objek hak tanggungan menurut pasal 4 Undang-Undang nomor 4 tahun
1996 adalah :
1. Hak milik ;
2. Hak guna usaha;
3. Hak guna bangunan;
4. Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani
5. Hak tanggungan pada hak pakai atas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
6. Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu
kesatuan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak
tanggungan yang bersangkutan; dan
7. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang tidak dimiliki pemegang hak atas
tanah, pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat
dilakukan dengan penandatanganan serta pada akta pemberian hak tanggungan
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya
dengan akta otentik.
Selanjutnya, jaminan berupa fidusia menurut pasal 1 angka 1
undang-indang nomor 42 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.”
Defenisi fidusia di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan berupa fidusia
dapat diberikan pada jaminan fidusia apabila benda yang dijaminkan tersebut
merupakan hak milik dari pihak yang menjaminkan. Selain hak tanggungan dan
fidusia dikenal jaminan dengan hipotek. Hipotek itu sendiri menurut pasal 1162
Suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil
pergantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Namun sejak
diundangkannya undnag-undnag nomor 4 tahun 1996, kelembagaan hipotek hanya
diberlakukan hanya untuk objek kapal. Adapun jaminan gadai, berdasarkan pasal
1150 KUH Perdata :
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu benda
bergerak, yang diserahkan kepadanya atau oleh orang lain atau atas namanya dan
memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari benda
tersebut secara didahulukan daripada kreditur lainnya, dengan kekecualian untuk
mendahulukan biaya lelang, biaya penyelamatan benda setelah digadaikan”.
Dalam Praktik Bank yang terjadi untuk memberikan jaminan kios pasar
biasanya mengacu pada regulasi daerah setempat terkait penggunaan kios pasar.
Apabila pada regulasi setempat menyatakan bahwa kios pasar tersebut dapat
dialihkan, maka bank dapat menerima kios pasar sebagai jaminan. Kemudian,
sehubungan dengan peminjaman yang dilakukan bank biasanya akan menerapkan
beberapa hal, diantaranya :
1. Surat Izin Pemakaian Tempat Dalam Pasar Yang Masih Berlaku;
2. Surat keterangan/rekomendasi dari dinas pasar;
3. Kemudian bank melakukan peninjauan langsung ke pasar dengan membuat
berita acara peninjauan;
5. Kemudian dilakukan perjanjian kredit bawah tangan diikuti dengan
pembuatan akta pengakuan utang dan pemberian jaminan dihadapan notaris
yang oleh bank diminta dibuatkan Grosse Aktanya.
Selanjutnya, apabila ternyata debitur atau orang yang berutang lalai
untuk memenuhi perjanjian dengan bank maka dengan akta pengakuan yang
sudah dibuatkan grosse aktanya, maka utang dapat dilunasi dengan melunasi
eksekusi jaminan berupa kios pasar tersebut.55
C. Kedudukan Debitur dan Kreditur dalam Perjanjian Kredit
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan menyebutkan : “Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”56
Selanjutnya fungsi utama perbankan di Indonesia adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat.57 Fungsi perbankan ini dikenal
sebagai fungsi financial intermediary. Fungsi bank sebagai perantara keuangan dapat dipersamakan dengan fungsi bank dalam melakukan transformasi asset.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sistem perbankan penting
peranannya dalam perekonomian suatu negara, bukan saja karena fungsinya
sebagai perantara keuangan dan sebagai pelaku dalam sistem pembayaran, tetapi
55
Sebagaimana yang dimuat dalam http://m.hukumonline.com/klinik/detail/It50f0fb89f1e18/kios-pasar-sebagai--jaminan-utang.
56
Undang-Undnag nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
57
juga karena fungsi perbankan sebagai sarana untuk pelaksanaan/ transmisi
kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah/bank sentral. 58
Selanjutnya yang disebut nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa
bank, sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
perjanjian bank dengan yang bersangkutan. 59
Dari pengertian bank dan nasabah debitur tersebut di atas muncul
pertanyaan lalu hubungan hukum apa yang timbul diantara keduanya. Jawabannya
adalah hubungan hukum keperdataan, karena hubungan hukum mereka timbul
akibat adanya perjanjian kredit yang dibuat diantara mereka. Disini, keberadaan
perjanjian kredit sangat penting mengatur kehendak para pihak sesuai dengan
yang disepakati.
Dalam pandangan C.H Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai
beberapa fungsi yaitu :
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak
dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
58
Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi versus kepentingan umum, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003, hal.17.
59
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.60
Dalam konteks perjanjian kredit, bentuk hubungan hukum antara bank
dengan debitur dapat dimasukkan dalam konstruksi hukum pinjam-meminjam.
Hal ini disebut juga perjanjian pinjam – mengganti (verbruiklening) sebagaimana diatur dalam pasal 1754 KUH Perdata. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam,
pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik barang yang dipinjam, dan jika
barang itu musnah maka kemusnahan itu adalah atas tanggungannya. Dilihat dari
sisi jumlahnya, utang yang terjadi karena peminjaman uang hanyalah terdiri atas
jumlah yang disebutkan dalam perjanjian.
Hubungan antara bank dan nasabah baik itu nasabah penyimpanan maupun
nasabah debitur, bukan sekedar bersifat hubungan kontraktual biasa, tetapi juga
bersifat fiduciary relation, confidential relation dan Prudential Relation. Dengan demikian, hubungan hukum antara bank dan nasabah tidak saja hanya
membebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana tertera dalam perjanjian antara
bank dengan nasabah, tetapi juga kewajiban-kewajiban khusus atau Superadded Obligation kepada masing-masing pihak.
Hubungan hukum tersebut pada prinsipnya didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak dan bersifat kontraktual sebagaimana diatur dalam pasal
1338 KUH Perdata, namun implementasi asas kebebasan berkontrak yang tidak
luput dari berbagai kelemahan. Asas kebebasan berkontrak yang tidak terbatas
bahkan dapat menciptakan ketidakadilan apabila kedua belah pihak mempunyai
kedudukan yang tidak seimbang. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian
60
yang dihasilkan akan berat sebelah dan sering mengandung klausul-klausul yang
secara tidak wajar memberatkan bagi salah satu pihak. Hal seperti ini dapat kita
temui dalam hampir semua perjanjian kredit bank.
Selain ketentuan pasal 1338 KUHPerdata, hubungan hukum antara bank
dengan nasabah debitur juga terlihat dari ketentuan pasal 1339 KUHPerdata yaitu
: “ semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum,
yang dimuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.” Dari isi pasal ini, terlihat bahwa
dasar utama dari penerapan pasal ini adalah asas kebebasan berkontrak
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata.61
Prinsip kenalilah debitur (know your customer) oleh kreditur juga merupakan salah satu prinsip yang dianut dalam hukum perkreditan dan
pembiayaan. Prinsip ini juga mengharuskan sampai batas-batas tertentu kreditur
mengharuskan penggunaan dana oleh debitur. Batas-batas tertentu tersebut
didasari kepada beberapa teori hukum tentang tanggung jawab kreditur sebagai
berikut :
1. Teori Instrumentalis
2. Teori Keagenan
3. Teori Kemitraan De Facto
4. Teori Perbuatan Melawan Hukum
5. Teori Itikad Baik
61
Berikut ini adalah penjelasan tentang masing-masing teori tentang
tanggung jawab kreditur tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Instrumentalis
Menurut teori ini, pihak kreditur mesti dimintakan tanggung jawabnya
secara yuridis jika ada kerugian manakala kreditur ikut campur ke
dalamperusahaan debitur sebegitu jauh sehingga debitur hanyalah seperti alat
(instrumen) saja bagi kreditur.
2. Teori Keagenan
Menurut teori ini, pihak kreditur mesti dimintakan tanggung jawabnya secara
yuridis jika ada kerugian manakala kreditur mempunyai kekuasaan pengontrol
yang cukup besar terhadap debitur, sehingga debitur hanyalah seperti “agen”
saja dari kreditur.
3. Teori Kemitraan De Facto
Menurut teori ini, pihak kreditur mesti dimintakan tanggung jawabnya secara
yuridis (bersama dengan debitur) jika ada kerugian manakala kreditur ikut
campur ke dalam bisnis debitur sedemikian rupa sehingga terjadi kemitraan
antara kreditur dengan debitur, meskipun kemitraan tersebut tidak pernah
diungkapkan secara eksplisit, jadi terjadinya kemitraan hanya secara de facto
4. Teori Perbuatan Melawan Hukum
Menurut teori ini, pihak kreditur mesti dimintakan tanggung jawabnya
secara yuridis jika ada kerugian manakala kreditur melakukan tindakan tidak
dengan itikad baik. 62
Walaupun Undang-Undang Perbankan menentukan bahwa pemberian
kredit harus diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam namun tidak ada ketentuan lanjut mengenai bagaimana bentuk dari
perjanjian kredit tersebut. Dalam prakteknya, perjanjian kredit seringkali
merupakan perjanjian baku.63
Bank biasanya mempunyai form tersendiri yang semua syarat dan kondisinya (terms and conditions) sudah bersifat baku. Dalam hal ini, debitur hanya dalam posisi menerima atau tidak perjanjian kredit tersebut. Apabila
menerima semua syarat dan ketentuan dalam perjanjian kredit, maka debitur harus
menandatanganinya. Sebaliknya, apabila debitur menolak, maka debitur tidak
perlu menandatangani perjanjian kredit tersebut.
Ketidakseimbangan kedudukan antara bank dan nasabah Debitur tersebut
seperti sedikit bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
keabsahan perjanjian tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat adanya
kebutuhan masyarakat khusunya nasabah sendiri terhadap kondisi tersebut. Hal ini
juga disebabkan oleh peranan bank itu sendiri yang tidak saja mengemban
kepentingan masyarakat, melainkan juga selaku bagian dari sistem moneter
perbankan dan nasional. Pertimbangannya, bank harus menjaga kepentingan atau
62
Munir Fuady Op.Cit. halaman 113
63
eksistensinya dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang moneter.
Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan bank tidak dapat dianggap sebagai
bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan karena bank dalam hal ini
sedang mempertahankan eksistensinya. Subyek dalam perjanjian kredit tidaklah
selalu perseorangan. Berdasarkan status hukum debiturnya, kredit bank umum
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam golongan, yaitu kredit yang diberikan
kepada debitur berstatus badan hukum (kredit korporasi) dan kredit yang
diberikan kepada debitur perorangan. Dalam hal yang pertama, debitur merupakan
badan usaha yang membutuhkan dana untuk modal kerja, pengadaan fasilitas
baru, penggantian atau renovasi fasilitas produksi yang ada ataupun untuk hal
yang lain. Dalam hal kredit perorangan, kredit yang diberikan umumnya untuk
membiayai kebutuhan barang dan jasa konsumtif, antara lain kredit perumahan,
atau kartu kredit. Manusia adalah orang (persoon) dalam arti hukum, demikian menurut Paul Scholten.64
d. Hak dan kewajiban debitur dan kreditur dalam perjanjian kredit
Perjanjian kredit (credit/loan agreement) merupakan salah satu perjanjian yang dilakukan antara bank dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah
nasabahnya. Perjanjian kredit sebenarnya dapat dipersamakan dengan perjanjian
utang-piutang. Perbedaannya, istilah perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank
sebagai kreditur, sedangkan perjanjian utang-piutang umumnya dipakai oleh
masyarakat dan tidak terkait dengan bank. 65
64
ChidirAli , Badan Hukum, Cet.ii, Alumni, Bandung, 1999, halaman 6.
65
Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan,66 Kredit diartikan diartikan
sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian ini,
perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank
sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pemberian istilah “perjanjian kredit” memang tidak tegas dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan surat Bank Indonesia
No .03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970 yang ditujukan kepada
segenap Bank Devisa saat itu, pemberian kredit diinstruksikan harus dibuat
dengan surat perjanjian kredit sehingga perjanjian pemberian kredit tersebut
sampai saat ini disebut perjanjian kredit.67
UU Perbankan memberikan ketentuan-ketentuan pokok terhadap bank
yang memberikan kredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan pokok ini
merupakan pedoman perkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank
dalam pemberian kredit, yaitu :
1. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
66
UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, LN tahun 1992 nomor 31, TLN Nomor 3472, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan, LN Tahun 1998, nomor 182, TLN nomor 2790.
67
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur.
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit.
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur
dan persyaratan kredit.
5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda
kepadaa nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.
6. Penyelesaian sengketa.
Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya
memberikan pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para
nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.68
Asas kebebasan berkontrak yang berlaku dalam Hukum Perjanjian
mengisyaratkan para pihak untuk dapat memperjanjikan hal-hal apa saja yang
menurut mereka diperlukan sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan pasal
1339 KUH Perdata. Alasan inilah yang membuat materi perjanjian kredit tidak
memiliki formulasi yang standar. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah
tentu mengandung risiko. Risiko yang dimaksud di sini merupakan kewajiban
memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian di luar kesalahan salah
satu pihak. Terkait dengan pemberian kredit oleh bank, risiko yang dimaksud
68
adalah ketidakmampuan debitur untuk membayar angsuran atau melunasi
kreditnya karena sesuatu hal yang tidak dikehendaki. 69
Oleh karena pemberian kredit mengandung risiko, maka bank diwajibkan
untuk mempunyai keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya.70
Isi dari perjanjian kredit sangat bervariasi, namun lazimnya terdapat
klausula-klausula yang dianggap penting untuk sebuah perjanjian kredit.
Klausula-klausula yang dianggap penting dalam suatu perjanjian kredit, antara
lain :71
a. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause) yang menyangkut pembayaran provisi, premi asuransi kredit dengan tujuan untuk
memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur dan
asuransi barang jaminan, penyerahan barang jaminan beserta dokumennya.
b. Kalusula mengenai maksimum kredit (amount clause) yang merupakan objek dari perjanjian kredit dan menjadi batas kewajiban kreditur dalam
menyediakan dana selama tenggang waktu perjanjian. Klausula ini juga terkait
dengan penetapan nilai agunan yang diserahkan berikut dengan besarnya
provisi atau commitment fee.
c. Kalusula mengenai jangka waktu kredit yang merupakan tenggang waktu
antara pemberian atau pencairan kredit oleh bank dengan pelunasan kredit
oleh debitur. Lazimnya, pelunasan kredit dilakukan dengan cara angsuran
69
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi, cetakan ke-6, Kencana, Jakarta ; 2011, halaman 60
70
Fuady, Op.Cit., halaman 23
71
sesuai kemampuan debitur. Berdasarkan jangka waktu ini pula, bank memiliki
hak tagih dan dapat melakukan teguran-teguran kepada debitur dalam hal
debitur tidak memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya.
d. Klausula mengenai bunga pinjaman (interest clause) yang merupakan penghasilan bank yang baik secara langsung maupun tidak langsung
diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut.
Berdasarkan pasal 1765 dan 1767 KUH Perdata, penetapan bunga di atas 6%
pertahun dapat dilakukan asalkan diperjanjikan secara tertulis.
e. Klausula mengenai barang agunan kredit yang mengatur bahwa debitur tidak
dapat melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak,
tetapi harus berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam perjanjian kredit,
jaminan utang dapat berupa : Hak Tanggungan atas Tanah, hipotik, fidusia,
gadai, corporate garansi, personal garansi, dan pengalihan tagihan (receiveable assignment) .
f. Klausula asuransi (insurance clause) yang bertujuan untuk mengalihkan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri.
Pada hakekatnya, penutupan asuransi ini bertujuan untuk menjaga kepentingan
bank dalam hal debitur tidak dapat membayar kembali utangnya atau disebut
kredit macet. Namun, ketika terjadi sesuatu atas barang agunan atau kreditnya,
bank bukan sebagai pihak dalam perjanjian asuransi tersebut sehingga bank
tidak memiliki kedudukan yang kuat. Untuk mencegah hal tersebut, biasanya
bank melakukan 2 (dua) cara. Pertama , dengan menambahkan klausula
pemberian kuasa dari nasabah debitur kepada bank untuk menagih dan
dianggap tidak terpisahkan dengan perjanjian kredit dengan
mengesampingkan sebab-sebab berakhirnya pemberian kuasa menurut pasal
1813 KUH Perdata. Walaupun demikian, klausula ini dianggap memiliki
kelemahan karena pemberian kuasa tersebut tidak akan menghilangkan hak
debitur untuk menagih sendiri ganti rugi dari maskapai asuransi. Cara kedua
disebut sebagai banker’s clause yang dicantumkan pada perjanjian asuransi
(polis asuransi) bahwa debitur tersebut mengadakan perjanjian untuk
kepentingan bank sesuai yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata. Dengan
demikian, debitur tersebut tidak dapat menuntut haknya ketika bank telah
menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak tersebut.
g. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause) yang pada utamanya bertujuan untuk melindungi kepentingan bank, baik secara
yuridis maupun secara ekonomis, antara lain larangan untuk meminta kredit
dari pihak lain tanpa seizin bank.
h. Trigger Clause (Opeisbaar clause) berupa klausula yang mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu
perjanjian kredit belum berakhir.
i. Klausula mengenai denda (penalty clause) yang dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pemungutan, baik mengenai
besarnya maupun mengenai kondisinya.
j. Expense Clause yang mengatur mengenai beban biaya atau ongkos-ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit dan biasanya dibebankan kepada
nasabah debitur, meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan
k. Klausula mengenai ketaatan pada ketentuan bank untuk menjaga
kemungkinan adanya hal-hal yang belum diperjanjikan secara khusus, akan
tetapi masih dipandang perlu sehingga dianggap telah diperjanjikan secara
umum , misalnya tempat dan waktu pencairan serta penyetoran kredit.
l. Dispute Settlement (alternative dispute resolution) yang merupakan klausula mengenai metode penyelesaian sengketa yang timbul antara kredit dan debitur
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI IMPLEMENTASI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT PEMAKAIAN TEMPAT
USAHA ANTARA DEBITUR DAN KREDITUR
A. Penyelesaian Apabila Terjadi Wanprestasi Dari Debitur Atas Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Berupa Sertifikat Pemakaian Usaha
Dalam pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa pinjam-meminjam
ialah persetujuan antara dua pihak yang satu memberi kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang terakhir itu akan mengembalikan sejumlah barang yang sama
dan keadaan yang sama pula.
Dari isi pasal 1754 KUH Perdata di atas jelas bahwa seorang debitur wajib
mengembalikan fasilitas kredit yang telah diperjanjikan dalam perjanjian
kreditnya. Di lain pihak, bank pun sangat berkepentingan agar debitur dapat
melunasi kewajibannya tepat pada waktunya sehingga dana tersebut dapat
dioperasikan lebih lanjut. Namun, tidak jarang debitur tidak dapat menyelesaikan
kewajibannya tepat pada waktunya, dengan perkataan lain kredit tersebut
mengalami kemacetan. Macetnya kredit itu dapat disebabkan, baik karena debitur
memang tidak sanggup lagi membayar kewajibannya kepada bank berhubung
usahanya mengalami kemunduran maupun karena debitur memang tidak ada
kemauan (beritikad buruk) untuk melunasi utang-utangnya. Dengan demikian,
berbeda satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada sebab-sebab kemacetan,
status debiturnya, faktor-faktor setempat, adat kebiasaan, dan sebagainya. Adanya
kredit macet di atas tentunya merupakan beban pikiran, tenaga, waktu, biaya,
psikologis, dan dana bagi bank. Untuk itu, bank akan selalu berusaha semaksimal
mungkin menarik kembali kredit macet tersebut.
Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa pemberian fasilitas kredit
merupakan suatu lembaga hukum pinjam meminjam yang sesuai dengan sifat
lembaga hukum tersebut peminjam (debitur) wajib mengembalikan fasilitas kredit
yang telah diterimanya. Masalah kewajiban debitur ini juga diatur dalam pasal
1131 KUH Perdata yang secara garis besar menentukan bahwa segala kekayaan si
berutang menjadi tanggungan untuk segala utang-utang yang dibuatnya.
Selanjutnya dalam pasal 1132 KUH Perdata ditentukan bahwa kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
kepadanya pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-begi menurut
keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para piutang itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.
Jadi, kalau dikaitkan dengan kredit macet sebenarnya hasil penjualan barang
jaminan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi bank. Oleh karena itu, bank
dalam memberikan kredit sejak awal selalu memperhatikan nilai jaminannya dan
juga nilai pasarnya (marketable), kalau sampai dilakukan penjualan.
Perlu juga diperhatikan bahwa pasal 1132 KUH Perdata menentukan
bahwa pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
didahulukan. Hal ini berarti hasil penjualan barang jaminan tersebut akan dibagi
oleh para debitur secara merata, kecuali diantara para debitur tersebut ada debitur
yang mempunyai hak yang lebih didahulukan yang disebut juga debitur preferen.
Hak yang didahulukan tersebut antara lain hak hipotek, hak gadai, hak sewa dan
biaya perkara.
Dalam praktik, bank selalu berusaha untuk menjadi kreditur preferen
sehingga bisa memperoleh kepastian akan mendapatkan pembayaran terlebih
dahulu atas harta kekayaan seorang debitur yang diterima sebagai jaminan kredit,
yaitu dengan cara melakukan pengikatan atas barang jaminan kredit sesempurna
mungkin.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh bank untuk melakukan penagihan
kredit macet adalah sebagai berikut :
1. Somasi (Peringatan)
Sebelum melakukan tindakan hukum lebih lanjut, seyogianya terhadap debitur
diberikan peringatan (somaasi), baik melalui pengadilan maupun dilakukan sendiri oleh bank, karena sesuai dengan pasal 1238 KUH Perdata, somasi ini penting untuk mengukuhkan bahwa debitur benar-benar telah melakukan
cedera janji (wanprestasi) terhadap bank.
2. Mendesak debitur untuk melakukan sendiri penjualan barang jaminan
Dalam melakukan pekerjaan ini bank dapat membantu debitur dengan cara
mencarikan calon pembeli. Namun, bank perlu untuk bertindak secara
hati-hati dan jangan sekali-kali ikut menangani transaksi diantara debitur dan calon
dengan alasan bahwa penjualan barang jaminan barang tersebut di bawah
harga. Untuk kiranya dapat diterapkan prinsip “bank tidak menjamah transaksi
dan debitur tidak menjamah uang”, artinya bahwa dalam transaksi jual beli
barang jaminan tersebut bank tidak dilibatkan sebagai salah satu pihak, tetapi
di lain pihak juga diatur sedemikian rupa agar uang hasil penjualan barang
jaminan tersebut tidak jatuh ke tangan debitur (khususnya debitur yang
beritikad buruk), tetapi disetorkan kepada bank untuk diperhitungkan dengan
pinjaman debitur.
3. Melakukan penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa untuk menjual
Di dalam menerima suatu jaminan ada kalanya bank diberi kuasa oleh pemilik
jaminan untuk melakukan penjualan atas barang jaminan apabila fasilitas
kredit yang dilindungi jaminan tersebut mengalami kemacetan. Dari segi
yuridis, pemberian kuasa seperti itu dimungkinkan. Namun dalam praktik, hal
itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Selain kesulitan dalan proses balik nama
juga seringkali pemilik jaminan mengajukan gugatan kepada bank dengan
alasan bank telah melakukan penjualan di bawah standar yang umum. Untuk
itu, apabila bank hendak menggunakan kuasa itu, bank perlu berhati-hati
karena sifat kuasa yang dimiliki oleh bank hanyalah untuk menjual barang saja
dan jangan sekali-kali berangapan seperti menjual barang milik bank sendiri.
4. Melakukan penjualan barang jaminan di muka umum berdasarkan beding van eignmatge verkoop pada hipotek dan parate eksekusi pada gadai
(1) KUH Perdata, kreditur dapat meminta bantuan Kantor Lelang Negara
untuk melakukan penjualan atas barang-barang jaminan yang dihipotekkan
atau digadaikan, hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut akan
diperhitungkan dengan pinjaman debitur. Namun dalam praktiknya Kantor
Lelang Negara biasanya akan menolak melakukan penjualan barang-barang
jaminan berdasarkan beding van eigenmatige verkoop dan parate eksekusi ini
tanpa terlebih dahulu ada “flat eksekusi” dari peradilan negeri.
Dengan adanya sikap dari Kantor Lelang ini, klausula/beding van eigenmatige verkoop dalam akta hipotek dan maksud dari parate eksekusi pada gadai sementara ini tidak mempunyai arti bagi bank. Bahkan, Mahkamah Agung RI
dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 berpendapat
bahwa seharusnya pelaksanaan beeding van eigenmatige verkoop adalah dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Peradilan Negeri.
5. Meminta eksekusi hipotek atau surat pengakuan utang berdasarkan pasal 224
HIR
Dalam praktik perbankan pada umumnya bank-bank menggunakan ketentuan
ini yang diatur dalam 224 HIR karena ketentuan ini yang dirasa paling efektif
untuk menarik kembali kredit yang mengalami kemacetan. Pasal 224 HIR
tersebut menentukan bahwa :
Surat Grosse dari akta hipotek dan Surat Utang yang diperbuat di hadapan
Notaris di Indonesia dan yang kepalnya memakai perkataan “Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan putusan
Hakim.
Surat Grosse (turunan pertama dari suatu akta notaris) yang dimaksud
adalah Grosse Akta Hipotek atau Grosse Surat Utang. Kedua Grosse tersebut dibuat dihadapan notaris di Indonesia
Memakai Kepala Demi Keadilan yang Berdasarkan KeTuhanan Yang
Maha Esa
Berkekuatan sama dengan putusan hakim, artinya mempunyai kekuatan
title eksekutorial sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan Negeri.
Jadi suatu grosse akta hipotek atau grosse surat pengakuan utang yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 224 HIR
tersebut di atas dapat langsung dimintakan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Dalam perkembangannya, grosse akta yang dapat dimintakan eksekusi sesuai dengan Pasal 224 HIR tersebut di dan Undang-Undang No.16 tahun 1985
tentang rumah susun. Dari pasal 7 ayat (2) PMA No. 15 Tahun 1961 dan
Undang-Undang No.16 Tahun 1985 dapat disimpulkan bahwa yang
mempunyai kekuatan eksekusi bukan Grosse Akta Hipotek, melainkan pada sertifikat hipoteknya.
6. Melakukan Penagihan terhadap Pihak Ketiga yang Bertindak Sebagai
Penanggung Utang (Borg)
Dalam suatu pemberian kredit selain adanya jaminan kebendaan, sering juga
kita jumpai adanya jaminan lain yang berupa jaminan perseorangan yang
pengikatannya dilakukan secara borgtocht. Menurut pasal 1820 Kuh Perdata,
kewajibannya. Jadi, apabila debitur tidak bersedia memenuhi kewajibannya
secara sukarela, bank dapat menuntut penanggung melalui Pengadilan Negeri
sekaligus memohon agar terhadap harta kekayaan si penanggung diletakkan
sita jaminan (Consevatoir Beslag). Dalam hal ini Bank lah yang harus secara
aktif mencari harta kekayaan si penanggung yang sekiranya dianggap cukup
untuk memenuhi kewajiban debitur.
7. Menarik kembali secara fisik barang-barang yang diikat secara FEO
Secara Yuridis, hak milik atas barang-barang jaminan kredit yang telah diikat
dengan FEO telah diserahkan secara kepercayaan oleh pemiliknya kepada
kreditur (Bank), sehingga berdasarkan hal ini bank dapat meminta pemegang
barang jaminan tersebut untuk menyerahkannya secara fisik kepada Bank
yang untuk selanjutnya akan menjual barang-barang tersebut secara lelang dan
hasil penjualannya akan diperhitungkan dengan kewajiban debiturnya.
Apabila debitur tidak bersedia atau tidak mampu menyerahkan barang-barang
jaminan tersebut, Bank dapat meminta bantuan pihak yang berwajib dan jika
perlu melakukan penuntutan pidana atas dasar penggelapan (pasal 378
KUHP). Namun, dengan berlakunya KUHAP (nomor 8 tahun 1981) Bank
perlu berhati-hati apabila hendak meminta bantuan pihak yang berwajib,
karena apabila terjadi penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan,
atau penghentian penuntutan yang tidak sah, tersangka dan keluarganya atau
kuasanya dapat menuntut praperadilan. (pasal 1 ayat 10 KUHAP).
8. Menyerahkan Tagihan Kredit Macet Pada BUPN
Ketentuan untuk menyerahkan tagihan kredit macet BUPN sebagaimana yang
Bank-Bank Pemerintah. Pasal 12 Undang-Undang nomor 49 tahun1960 menentukan
bahwa instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang
dimaksudkan dalam pasal 8 peraturan ini diwajibkan menyerahkan
piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi
penanggung utangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada
panitia urusan piutang negara”. Jadi, khusus untuk bank-bank pemerintah ada
kewajiban untuk menyerahkan piutangnya yang macet kepada BUPN. Dalam
Undang-Undang tersebut juga ditentukan bahwa BUPN dapat mengeluarkan
pernyataan bersama yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti satu
putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti.72Penyelesaian
kredit macet ada dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan jalur non hukum.
Salah satu upaya penyelesaian kredit macet melalui jalur non hukum adalah
restrukturisasi. Dasar hukum restrukturisasi adalah Surat Direksi Bank
Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit. Restrukturisasi kredit merupakan upaya yang
dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan
kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perbuatan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang
2. Perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan bunga
3. Perpanjangan jangk waktu pelunasan hutang pokok dan tunggakan angsuran
72
kredit sesuai dengan dana yang mengalir
4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok dan atau tunggakan
angsuran,tunggakan angsuran, tunggakan bunga, serta perubahan jumlah
angsuran
5. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok, tunggakan angsuran
dan tunggakan bunga kredit sesuai dengan dana yang mengalir
6. Perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang pokok dan tunggakan bunga
kredit sesuai aliran dana yang mengalir
7. Pergeseran atau perpanjangan grace perioddan pergeseran rencana pelunasan
8. Pergeseran grace perioddan perpanjangan jangka waktu kredit
Kombinasi bentuk-bentuk reschedulingdi atas Tindakan rescheduling
dapat diberikan kepada debitur yang masih menunjukkan itikad bak untuk
melunasi kewajibannya. Faktor-faktor yang mendukung diberikannya tindakan
rescheduling. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan
secara tertulis dari nasabah. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk
nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:73
a.Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran
b.Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban
setelah restrukturisasi.
Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan kualitas
kurang lancar, diragukan dan macet. Restrukturisasi kredit wajib didukung
73
dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Di Indonesia, dikenal beberapa eksekusi agunan, yaitu:
a.Eksekusi hak tanggungan
b.Eksekusi fidusia
c.Eksekusi hipotek
d.Eksekusi gadai
e.Eksekusi perorangan
Terdapat 2 (dua) cara yang dapat dilakukan dalam eksekusi hak tangungan
ini yaitu melalui penjualan di bawah tangan dan melalui proses lelang.
a.Penjualan di bawah tangan Penjualan dibawah tangan memiliki arti bahwa
penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebanidengan hak
tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang lainatau pihak lain
yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan. Namun ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, karena ditakutkan
merugikan pihak-pihak yang tidak terlibat. Oleh karena itu ada baiknya harus
didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan
dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan
berada.74
Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan,
serta tidak ada sanggahan dari pihak mana pun. Apabila tidak dilakukan,
penjualan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20
UUHT, yaitu:
74