• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui

BAB IV DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KRDEIT PADA BANK

C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui

Penyelesaian terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian lembaga hukum, diantaranya :62

2. Melalui badan peradilan.

1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN).

3. Melalui arbitrase atau Badan Alternative Penyelesaian Sengketa.

61

T. Darwini. op.cit., hlm. 23.

62

4. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas, penanganan kredit macet dalam kondisi penyehatan perbankan, yaitu pada saat ini masih ada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Demikian juga halnya dengan penanganan kredit macet yang dimiliki oleh bank dalam penyehatan ditangani langsung oleh lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Penanganan kredit macet oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, diantaranya, melalui penyertaan modal sementara, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yaitu bahwa dalam rangka penyehatan perbankan dan/atau pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit, Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat melakukan penyertaan modal sementara. Penyertaan modal sementara dilakukan secara langsung atau melalui pengonversian tagihan Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi penyertaan modal.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani kredit bank dalam penyehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dilakukan melalui, antara lain, tindakan pemantauan kredit; peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan/atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan; resrukturisasi kredit; penagihan piutang; penyertaan modal pada debitur; memberikan jaminan atau penanggungan; pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan; dan/atau penghapusbukuan piutang.

Adapun tata cara dalam penanganan melalui tindakan seperti di atas begitu pula dengan syarat-syaratnya, terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan persetujuan Menteri Keuangan.63

1. Penyelesaian kredit bermasalah melalui PUPN/BUPN

Kredit bernasalah terutamanya golongan kredit macet pada bank milik Negara merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai piutang negara karena bank milik negara merupakan salah satu badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara dapat diusahakan melalui Panitia Urusan Piutang Negara. Panitia ini merupakan suatu panitia interdepartemental, yang anggotanya terdiri atas wakil Departemen Keuangan; Departemen Hankam; Kejaksaan Agung; dan dari Bank Indonesia. Sedangkan struktur organisasinya terdiri atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang.

Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berpedomanpada ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa PUPN mempunyai tugas :64

63

Ibid., hlm.562.

64

a. Membahas pengurusan piutang Negara, yaitu utang kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah.

b. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang, kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara baik di pusat maupun di daerah.

Pengurusan piutang negara oleh PUPN dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara secara cepat, efektif, dan efesien. Mekanisme penanganan piutang negara oleh PUPN, yaitu apabila piutang negara tersebut telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah atau bank milik negara tersebut.

Piutang yang diserahkan adalah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi yang penanggung utangnya tidak melunasi sebagaimana mestinya. Apabila kita mengacu pada mekanisme penyelesaian pengurusan piutang negara secara khusus, pada dasarnya pengurusan piutang negara dari kredit macet tersebut juga tidak jauh berbeda, yaitu paling tidak melalui tahapan :65

1. Setelah dirundingkan oleh panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah utangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta

biaya-65

biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, oleh ketua panitia dan penanggung utang/penjamin utang dibuat pernyataan bersama yang memuat jumlah dan kewajiban penanggung utang untuk melunasinya.

2. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan, seperti suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum pasti. Dengan demikian, PUPN mempunyai kewenangan

parate executie.

3. Pelaksanaannya dilakukan oleh ketua panitia dengan suatu surat paksa melalui cara penyitaan, pelelangan barang-barang kekayaan penanggung utang/penjamin utang dan penyanderaan terhadap penanggung utang/penjamin utang, dan pernyataan lunas piutang negara.

Dalam hal penyitaan khususnya terhadap kekayaan yang tersimpan di lembaga perbankan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.09/1995, maka PUPN dapat melakukannya tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan.

Adapun hasil dari penyitaan tersebut untuk digunakan pembayaran atau pelunasan utang penanggung utang/penjamin utang. Meskipun PUPN tidak memerlukan izin untuk penyitaan tersebut, PUPN tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

Dalam penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, maka kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur.

Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari ketua PUPN. Pelaksanaan pemberian izin atas permohonan pembukaan kerahasiaan bank menyangkut PUPN telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/82/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank.

Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan secara interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan yang khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.

Adapun tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasianal dari keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. BUPLN

sebagai badan yang dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Direktur Jenderal.

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara menurut Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991, suatu badan yang mempunyai tugas penyelenggaran pengurusan piutang negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas Panitia Urusan Piutang Negara maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tugas pokoknya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 di atas, maka BUPLN mempunyai fungsi sebagai berikut :66

a. Perumusan kebijaksanaan teknis dan pembinaan di bidang pengurusan piutang negara dan lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Perumusan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi, pembukuan, penetapan, penagihan, dan/atau eksekusi terhadap pengurusan piutang negara.

c. Perumusan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta penggalian potensi lelang.

d. Memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan piutang negara berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

66

e. Pengamanan teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan tugas Badan Piutang dan Lelang Negara sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fungsi tersebut di atas tidaklah jauh berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada BUPLN selambat-lambatnya tiga bulan setelah jatuh tempo yang tercantum dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit.

Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena inisiatif BUPLN sendiri, jadi tidak menunggu pelimpahan dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara saja. Pengurusan atas inisiatif sendiri tersebut atas dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang macet adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau kekayaan negara, maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutang tersebut. Setalah pengurusan kredit ditangan BUPLN, bukan lagi pemerintah (Bank atau Badan Usaha Milik Negara) yang menjadi pihak yang berpiutang, melainkan negaralah yang menjadi pihak yang berpiutang. Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, kedudukan

debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum perdata.

Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang tersimpan pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan bank atau pejabat bank yang berwenang dan tindakan dari berita acara dimaksud disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Pemblokiran dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam berita acara.

BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap harus memperhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan kewenangannya diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat BUPLN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari kepala BUPLN.

2. Penyelesaian kredit bermasalah melalui badan peradilan

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan.

Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan.

Penyelesaian melalui gugatan perdata biasa telah sering dilakukan sejak dahulu. Namun, untuk penyelesaian melalui gugatan kepailitan, baru dikembangkan kembali setelah dibentuknya peradilan khusus yang disebut peradilan niaga.

Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan HIR Pasal 195, dan selanjutnya. Atas perintah ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantaraan kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.

Prosedur ini memakan waktu yang relatif lama karena debitur yang dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan memepergunakan upaya banding dan kasasi. Selain itu, jika pengadilan tetap memenangkan gugatan kreditur, terkadang eksekusinya belum tentu membawa hasil yang memuaskan.

Dalam hal gugatan perdata bagi bank milik Negara, selain bias dilakukan dengan personal dari biro hukum bank yang bersangkutan,

juga dimungkinkan melalui penggunaan jasa kejaksaan. Penggunaan jasa ini pada dasarnya terbatas hanya dapat digunakan oleh bank-bank pemerintah, tetapi bank swasta lain yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah juga dapat menggunakan jasa kejaksaan tersebut.

Hal ini tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, terutama Pasal 27. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), mengatur bahwa kejaksaan dapat bertindak dibidang perdata dan tata usaha negara atau pemerintah.Membela kepentingan negara inilah yang merupakan kekuatan dapatnya kejaksaan untuk membela kepentingan perusahaan negara atau perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan negara.

Peran kejaksaan dalam menangani kredit macet dari bank pemerintah ini adalah sebagai konsultan hukum atau pengacara pemerintah dalam hubungan kasus keperdataan. Dalam penggunaan jasa kejaksaan ini, bank tersebut tidak perlu meminta izin siapapun.67

67

Ibid., hlm. 567.

Dari uraian di atas dilihat segi ekonomi maka penyelesaian melalui peradilan ini mengandung suatu kelemahan. Kelemahan tersebut terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakefesienan sistem peradilan yang ada sebab harus mengikuti sistem yang formal dan teknis sekali sehingga penyelesaian tersebut kurang efektif karena memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal.

Penyelesaian seperti itu dipandang dari segi kegiatan usaha yang selalu berpedoman cepat dan berbiaya murah kondisinya bertentangan dengan kedua asas tersebut. Dengan demikian, dikembangkan suatu penyelesaian yang bersifat informal dengan memenuhi kecepatan yang diharapkan serta berbiaya murah. Atas tuntutan seperti itu maka dikembangkanlah penyelesaian melalui arbitrase.

3. Penyelesaian kredit bermasalah melalui arbitrase

Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah mempunyai landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase, sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dijalankan apabila dalam perjanjian kredit sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit bermasalah) telah dimuat klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut.

Cara penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Penggunaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdagangan termasuk dalam menyelesaikan sengketa perkreditan didasarkan pada beberapa keuntungan tertentu yang tidak diperoleh dari penyelesaian selain arbitrase.

Diantara keuntungan tersebut, yaitu penyelesaiannya relatif tidak memerlukan waktu yang lama dan dengan sifatnya yang tertutup (ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) maka diharapkan nama baik para pihak terjaga.

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan beberapa kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; para pihak dapat menetukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; serta putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Namun, penyelesaian melalui arbitrase ini pun ada kelemahannya, yaitu tidak adanya kemungkinan untuk meminta sita jaminan konservatoir, seperti halnya pada gugatan perdata biasa.

Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diantaranya :68

a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak (Pasal 34).

b. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 36).

c. Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (1) ). d. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu

paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis abitrase terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak (Pasal 48).

e. Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “; nama singkat sengketa; uraian singkat sengketa; pendirian para pihak; nama lengkap dan alamat

68

arbiter; pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; amar putusan; tempat dan tanggal putusan; dan tanda tangan arbitrase atau majelis arbitrase (Pasal 54 ayat (1) ). f. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut

harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (4) ).

g. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling lama tiga puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57). h. Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah putusan

diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan/atau menambah dan/atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58).

Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut sehingga dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

4. Penyelesaian kredit bermasalah melalui BPPN69

69

Penyelesaian melalui BPPN hanya berlangsung saat lembaga tersebut masih ada, yaitu sampai tahun 2004. kini perjalanannya merupakan bagian sejarah perbankan Indonesia.

Penanganan piutang negara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan perbankan. Hal demikian karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu sendiri sebagai lembaga yang bersifat sementara didirikan untuk penyehatan perbankan. Dengan demikian, piutang negara yang ditanganinya hanya menyangkut piutang negara yang berasal dari kredit yang ada pada bank dalam penyehatan.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani piutang negara dapat melakukan penagihan piutang yang sudah pasti berasal dari bank dalam penyehatan. Yang dimaksud piutang bank dalam penyehatan termasuk juga piutang yang sudah dialihkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Pelaksanaan penagihan melalui cara-cara sebagai berikut :70

Penerbitan surat paksa dilakukan apabila debitur melalaikan kewajiban membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan a. Penerbitan surat paksa

Penerbitan surat paksa secara formal sekurang-kurangnya harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dengan memenuhi formalitas yang ada, maka surat paksa tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

70

dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya, dan/atau dokumen lainnya; dan kepada debitur dan/atau penanggung utang telah disampaikan surat pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk membayar atau dokumen lain yang dipersamakn dengan itu oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

b. Penyitaan

Dalam waktu satu hari setelah diterimanya surat paksa, Badan Penyehatan Perbankan Nasional berwenang melakukan eksekusi atas kekayan milik debitur. Penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh kekayaan milik debitur termasuk kekayaan milik debitur yang berada dalam penguasaan pihak ketiga dan dikecualikan kekayaan milik debitur yang berupa barang-barang bergerak yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya.

Surat penyitaan harus memenuhi ketentuan formal yang ditentukan pada Pasal 58 ayat (3) dan dilakukan oleh juru sita dengan dibantu dua orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh juru sita dan dua orang saksi tersebut.

Berita Acara Penyitaan tersebut harus didaftarkan pada kantor pendaftaran untuk dicatat oleh pejabat kantor pendaftaran yang berwenang pada buku pendaftaran yang terkait tentang adanya penyitaan tersebut.

Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui pelelangan. Pembagian hasil penjualan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dahulu yang berlaku atas piutang negara, sesuai prundang-undangan yang berlaku.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional mempunyai kewenangan yang besar karena upaya hukum apapun yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak mencegah atau menunda pelaksanaan tindakan hukum yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat menerbitkan surat pencabutan sita atas barang yang dilakukan penyitaan, dalam hal utang debitur telah dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat tanda lunas yang dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau dalam hal telah tercapai kesepakatan lain dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Selanjutnya, kantor pendaftaran mencatat pencabutan blokir dan/atau pengangkatan sita eksekusi atas permintaan debitur yang disertai dengan surat pencabutan sitanya.

Kewenangan yang dimiliki oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional seperti dalam penanganan kredit bermasalah ini merupakan sesuatu yang bersifat lex specialis derogat lex generalis terhadap peraturan perundang-undangan lainya, maka

penerapannya perlu dilandasi dengan kehati-hatian serta menjunjung asas keterbukaan. Pemberian kewenangan khusus demikian karena besarnya jumlah uang negara yang harus dipulhkan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Yang menyebabkan terjadinya hubungan antara pihak bank dengan nasabah ialah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini bank dan nasabah mempunyai hak dan kewajiban. Dengan demikian akibat dari suatu perjanjian tersebut ialah mengikat bagi para pihak yang membuatnya, yang dalam hal ini terkandung asas kebebasan berkontrak dimana semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kredit dengan jaminan deposito ialah suatu bentuk pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dalam hal ini wanprestasi itu terjadi ketika pihak debitur melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi memenuhi perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi. Berkenaan dengan itu perbedaannya terletak terhadap apa yang menjadi objek dari jaminan yang diberikan pada perjanjian kredit, dalam hal ini ialah simpanan deposito.

3. Dalam hal penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur hukum dilalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan

Dokumen terkait