• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYELESAIAN NUMERIS SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL

A. Penyelesaian Numeris Sistem Persamaan Diferensial Lotka-Volterra

B. Pembahasan Hasil Simulasi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

5 BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN TURUNAN NUMERIK

Pada bab ini akan dibahas landasan teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Landasan teori tersebut meliputi: turunan, persamaan diferensial, fungsi bebas linear dan bergantung linear, Wronskian, determinan matriks, nilai eigen, turunan numerik, metode Euler dan metode Heun.

A. Turunan

Pada subbab ini akan dibahas mengenai definisi turunan dan aturan rantai.

Definisi 2.1.1

Misalkan suatu fungsi ๐‘“ terdefinisi pada interval terbuka yang memuat titik ๐‘Ž, maka turunan fungsi ๐‘“ di titik ๐‘Ž yang dinotasikan ๐‘“โ€ฒ(๐‘Ž) adalah

๐‘“โ€ฒ(๐‘Ž) = lim โ„Žโ†’0

๐‘“(๐‘Ž+โ„Ž)โˆ’๐‘“(๐‘Ž)

โ„Ž (2.1)

dengan ketentuan limit tersebut ada.

Contoh

Tentukan turunan di titik ๐‘ฅ = 3 dengan fungsi ๐‘“(๐‘ฅ) =1 ๐‘ฅ+ 2. Penyelesaian: ๐‘“โ€ฒ(3) = lim โ„Žโ†’0 ๐‘“(3 + โ„Ž) โˆ’ ๐‘“(๐‘Ž) โ„Ž = lim โ„Žโ†’0 (3 + โ„Ž + 2) โˆ’1 73 โ„Ž = lim โ„Žโ†’0 3 โˆ’ (3 + โ„Ž) 3(3 + โ„Ž) โ„Ž = lim โ„Žโ†’0 โˆ’โ„Ž 3โ„Ž(3 + โ„Ž)

= lim โ„Žโ†’0 โˆ’1 3(3 + โ„Ž) = โˆ’1 9

Jadi, nilai turunan fungsi ๐‘“(๐‘ฅ) =1

๐‘ฅ+ 2 di titik ๐‘ฅ = 3 adalah โˆ’1 9.

Aturan Rantai

Misalkan ๐‘ฆ = ๐‘“(๐‘ข), ๐‘ข = ๐‘”(๐‘ฅ), dan turunan ๐‘“โ€ฒ(๐‘ข) dan ๐‘”โ€ฒ(๐‘ฅ) ada, maka fungsi komposisi yang didefinisikan dengan ๐‘ฆ = ๐‘“(๐‘”(๐‘ฅ)) mempunyai turunan yang diberikan dengan ๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ฅ) = ๐‘“โ€ฒ(๐‘ข)๐‘”โ€ฒ(๐‘ฅ), atau ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ฅ .

Pembuktian aturan rantai dapat dibaca pada (Swokowski, 1980:115).

Contoh

Jika ๐‘ฆ = ๐‘ข2dan ๐‘ข = ๐‘ฅ + 1, maka cari ๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ฅ). Penyelesaian:

Diketahui ๐‘ฆ = ๐‘ข2dan ๐‘ข = ๐‘ฅ + 1,

๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ข) = 2๐‘ข, ๐‘ขโ€ฒ(๐‘ฅ) = 1.

Sehingga menurut aturan rantai di atas ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ฅ = (2๐‘ข)( 1) = 2๐‘ข = 2(๐‘ฅ + 1) Jadi, ๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ฅ) = 2(๐‘ฅ + 1).

B. Persamaan Diferensial

Pada subbab ini akan dibahas definisi dari persamaan diferensial dan klasifikasi persamaan diferensial.

1. Definisi Persamaan Diferensial

Pada bagian ini akan dibahas terlebih dahulu definisi dari persamaan diferensial dan contohnya.

Definisi 2.1.2

Persamaan diferensial adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara suatu fungsi dengan turunan-turunannya.

Contoh persamaan diferensial ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅโˆ’ 18๐‘ฅ = 6 (2.2) ๐‘‘3๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก3 +๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก โˆ’ 3๐‘ฆ = 0 (2.3) ๐œ•2๐‘ข ๐œ•๐‘ฅ2 โˆ’๐œ•๐‘ข ๐œ•๐‘ก = 0 (2.4) ๐œ•2๐‘ข ๐œ•๐‘ฅ2+๐œ• 2๐‘ข ๐œ•๐‘ฆ2 =๐œ•๐‘ข ๐œ•๐‘ก (2.5)

2. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial dapat diklasifikasikan berdasarkan banyaknya variabel bebas dan orde persamaan diferensial.

Definisi 2.1.3

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang memuat turunan biasa dan hanya memuat satu variabel bebas.

Contoh

Persamaan (2.2) adalah persamaan diferensial biasa dengan variabel bebasnya adalah ๐‘ฅ dan variabel terikatnya adalah ๐‘ฆ. Persamaan (2.3) juga merupakan persamaan diferensial biasa.

Definisi 2.1.4

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial parsial yang memuat turunan parsial dan terdapat lebih dari satu variabel bebas.

Contoh

Persamaan (2.4) adalah persamaan diferensial parsial dengan ๐‘ข adalah variabel terikat, sedangkan ๐‘ฅ dan ๐‘ก adalah variabel bebas. Persamaan (2.5) juga merupakan persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.1.5

Klasifikasi persamaan diferensial berdasarkan orde:

Orde dari suatu persamaan diferensial adalah orde turunan tertinggi yang terdapat pada persamaan diferensial. Berdasarkan Roger (1982:76) suatu persamaan diferensial orde ke-๐‘› dapat ditulis ke dalam bentuk

๐‘‘๐‘›๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘› = ๐‘“ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ,๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ, โ€ฆ , ๐‘‘๐‘›โˆ’1๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘›โˆ’1). (2.6) Contoh

Persamaan (2.2) adalah persamaan diferensial biasa orde satu karena turunan tertinggi yang terdapat pada persamaan di atas adalah turunan pertama. Persamaan (2.3) adalah persamaan diferensial biasa (PDB) orde tiga, persamaan (2.4) dan (2.5) adalah persamaan diferensial parsial (PDP) orde dua.

Persamaan diferensial biasa juga dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan linearitasnya.

Definisi 2.1.6

Persamaan diferensial biasa orde ๐‘›, dengan variabel bebas ๐‘ฅ dan variable terikat ๐‘ฆ dikatakan linear jika dapat ditulis ke dalam bentuk

๐‘Ž0(๐‘ฅ)๐‘‘ ๐‘›๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘›+ ๐‘Ž1(๐‘ฅ)๐‘‘ ๐‘›โˆ’1๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘›โˆ’1+ โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘›โˆ’1(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ+ ๐‘Ž๐‘›(๐‘ฅ)๐‘ฆ = ๐‘Ÿ(๐‘ฅ), (2.7)

dengan ๐‘Ž0 tidak sama dengan 0.

Contoh

Persamaan (2.2) dan (2.3) adalah persamaan diferensial biasa linear. Dapat diamati bahwa pada kedua persamaan tersebut variabel terikat dan turunan-turunannya berpangkat satu, tidak ada perkalian antara variabel terikat dengan turunan-turunannya, serta tidak ada bentuk nonlinear dari variable terikat maupun bentuk nonlinear dari turunan-turunannya.

Definisi 2.1.7

Suatu persamaan diferensial biasa dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut tidak linear.

Contoh

Berikut ini adalah persamaan diferensial biasa yang nonlinear: 3๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅโˆ’ 18๐‘ฆ 2 = 0 (2.8) ๐‘‘3๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก3 + (๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก) 2 โˆ’ 3๐‘ฆ = 0 (2.9) ๐‘‘3๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก3 + (๐‘‘ 2๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก2) (๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก) โˆ’ 3๐‘ฆ = 0 (2.10)

Persamaan (2.8) adalah persamaan nonlinear karena variable terikat ๐‘ฆ yang terdapat dalam persamaan tersebut berpangkat dua dengan bentuk 18๐‘ฆ2. Persamaan (2.9) adalah persamaan nonlinear karena terdapat bentuk (๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก)2, yang mana memuat pangkat dua dari turunan pertamanya. Persamaan (2.10) juga nonlinear karena bentuk (๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก2) (๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก), yang mana memuat perkalian antara turunan kedua dan turunan pertama.

C. Fungsi Bebas Linear dan Bergantung Linear

Pada subbab ini akan dibahas definisi dari fungsi yang bebas linear dan bergantung linear.

Definisi 2.1.8

Fungsi ๐‘ฆ1(๐‘ก), ๐‘ฆ2(๐‘ก), โ€ฆ , ๐‘ฆ๐‘›(๐‘ก) dikatakan bergantung linear pada interval I, jika ada konstanta ๐‘1, ๐‘2, โ€ฆ , ๐‘๐‘› yang tidak semuanya nol atau dengan kata lain ada ๐‘๐‘– โ‰  0 untuk suatu atau beberapa ๐‘– dengan ๐‘– = 1,2, โ€ฆ , ๐‘›, sehingga menyebabkan

๐‘1๐‘ฆ1(๐‘ก) + ๐‘2๐‘ฆ2(๐‘ก) + โ‹ฏ + ๐‘๐‘›๐‘ฆ๐‘›(๐‘ก) = 0 (2.11)

untuk semua t pada interval I.

Definisi 2.1.9

Fungsi ๐‘ฆ1(๐‘ก), ๐‘ฆ2(๐‘ก), โ€ฆ , ๐‘ฆ๐‘›(๐‘ก) dikatakan bebas linear pada interval ๐ผ, jika

๐‘1๐‘ฆ1(๐‘ก) + ๐‘2๐‘ฆ2(๐‘ก) + โ‹ฏ + ๐‘๐‘›๐‘ฆ๐‘›(๐‘ก) = 0 (2.12)

untuk semua ๐‘ก pada interval ๐ผ yang berakibat ๐‘1 = ๐‘2 = โ‹ฏ ๐‘๐‘› = 0.

D. Wronskian

Pada subbab ini akan dibahas definisi dari Wronskian dan teorema yang berhubungan dengan Wronskian.

Definisi 2.1.10

๐‘Š[๐‘“1, โ€ฆ , ๐‘“๐‘›](๐‘ฅ) โ‰” || ๐‘“1(๐‘ฅ) ๐‘“2(๐‘ฅ) โ‹ฏ ๐‘“๐‘›(๐‘ฅ) ๐‘“1โ€ฒ(๐‘ฅ) ๐‘“2โ€ฒ(๐‘ฅ) โ‹ฏ ๐‘“๐‘›โ€ฒ(๐‘ฅ) โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฏ โ‹ฎ ๐‘“1(๐‘›โˆ’1)(๐‘ฅ) ๐‘“2(๐‘›โˆ’1)(๐‘ฅ) โ‹ฏ ๐‘“๐‘›(๐‘›โˆ’1)(๐‘ฅ) || (2.13)

disebut Wronskian dari ๐‘“1, โ€ฆ , ๐‘“๐‘›.

Contoh

Misalkan diketahui ๐‘“1 = sin(๐‘ฅ) , ๐‘“2 = cos (๐‘ฅ) dan ๐‘“3 = โˆ’sin (๐‘ฅ) yang terdiferensial dua kali. Tentukan Wronskian dari ๐‘“1, ๐‘“2, ๐‘“3.

Penyelesaian:

Diketahui ๐‘“1 = sin(๐‘ฅ) , ๐‘“2 = cos (๐‘ฅ) dan ๐‘“3 = โˆ’sin (๐‘ฅ), sehingga menurut definisi 2.3.5 Wronskian dari ๐‘“1, ๐‘“2, ๐‘“3 adalah

๐‘Š[ ๐‘“1, ๐‘“2, ๐‘“3] = |

sin (๐‘ฅ) cos (๐‘ฅ) โˆ’sin (๐‘ฅ)

cos (๐‘ฅ) โˆ’sin (๐‘ฅ) โˆ’cos (๐‘ฅ)

โˆ’sin (๐‘ฅ) โˆ’cos (๐‘ฅ) sin (๐‘ฅ)

| (2.14)

Teorema 2.1.11

Misalkan {๐‘“1, โ€ฆ , ๐‘“๐‘›} menjadi suatu himpunan fungsi-fungsi yang terdiferensial ๐‘› โˆ’ 1 kali. Himpunan fungsi-fungsi {๐‘“1, โ€ฆ , ๐‘“๐‘›} tersebut adalah bebas linear jika dan hanya jika ๐‘Š[๐‘“1, โ€ฆ , ๐‘“๐‘›](๐‘ฅ) โ‰  0. Jika himpunan fungsi-fungsi tersebut tidak bebas linear, maka himpunan fungsi-fungsi tersebut dikatakan bergantung linear.

Contoh

Tentukan apakah kedua himpunan berikut ini bebas linear atau bergantung linear dengan menggunakan Wronskian.

a). {๐‘’โˆ’๐‘ก, ๐‘’โˆ’2๐‘ก} b.) {๐‘ฅ + 2, ๐‘ฅ โˆ’ 3, ๐‘ฅ + 1}

Penyelesaian:

a.) Wronskian adalah sebagai berikut:

๐‘Š(๐‘ก) = | ๐‘’โˆ’๐‘ก ๐‘’โˆ’2๐‘ก

= ๐‘’โˆ’๐‘ก(โˆ’2๐‘’โˆ’2๐‘ก) โˆ’ ๐‘’โˆ’2๐‘ก(โˆ’๐‘’โˆ’๐‘ก)

= โˆ’2๐‘’โˆ’3๐‘ก+ ๐‘’โˆ’3๐‘ก

= โˆ’๐‘’โˆ’3๐‘ก

Hasil dari Wronskiannya adalah โˆ’๐‘’โˆ’3๐‘ก , sehingga menurut Teorema 2.1.11 himpunan fungsi pada nomor a) adalah bebas linear.

b.) Wronskiannya adalah sebagai berikut:

๐‘Š(๐‘ก) = | ๐‘ฅ + 2 ๐‘ฅ โˆ’ 3 ๐‘ฅ + 1 2 โˆ’3 1 0 0 0 | = (๐‘ฅ + 2)(โˆ’3)(0) + (๐‘ฅ โˆ’ 3)(1)(0) + (๐‘ฅ + 1)(2)(0) โˆ’ (๐‘ฅ โˆ’ 3)(2)(0) โˆ’ (๐‘ฅ + 2)(1)(0) โˆ’ (๐‘ฅ + 1)(โˆ’3)(0) = 0

Hasil dari Wronskiannya adalah 0, sehingga menurut Teorema 2.1.11 himpunan fungsi pada nomor b adalah bergantung linear.

E. Determinan Matriks

Pada subbab ini akan dibahas definisi determinan dan cara mencari determinan 2 ร— 2 dan ๐‘› ร— ๐‘›.

1. Determinan Matriks ๐Ÿ ร— ๐Ÿ Diketahui matriks berukuran 2 ร— 2

๐ด = [๐‘Ž ๐‘

๐‘ ๐‘‘],

nilai ๐‘Ž๐‘‘ โˆ’ ๐‘๐‘ disebut determinan matriks ๐ด dan ditulis sebagai berikut

det(A) = det [๐‘Ž๐‘ ๐‘๐‘‘] = ๐‘Ž๐‘‘ โˆ’ ๐‘๐‘,

Contoh

Diketahui suatu matriks 2 ร— 2 yaitu

๐ด = [2 4

5 2]. Tentukanlah determinan dari matriks ๐ด.

Penyelesaian:

det(A) = det [2 45 2] = (2 ร— 2) โˆ’ (4 ร— 5) = 4 โˆ’ 20 = โˆ’16.

Jadi, determinan dari matriks ๐ด adalah โˆ’16.

2. Determinan Matriks ๐’ ร— ๐’

Pada bagian ini cara mencari atau menghitung determinan matriks ๐‘› ร— ๐‘› akan menggunakan minor dan kofaktor dengan ๐‘› โ‰ฅ 3.

Definisi 2.1.12

Diketahui matriks ๐ด berukuran ๐‘› ร— ๐‘›. Minor ๐‘€๐‘–๐‘— adalah determinan dari matriks berukuran (๐‘› โˆ’ 1) ร— (๐‘› โˆ’ 1) yang diperoleh dari matriks ๐ด dengan menghapus baris ke-๐‘– dan kolom ke-๐‘—. Sedangkan kofaktor ๐ด๐‘–๐‘— = (โˆ’1)๐‘–+๐‘—๐‘€๐‘–๐‘— (Budhi, 1995:89).

Teorema 2.1.13

Diketahui matriks berukuran ๐‘› ร— ๐‘›. Nilai determinan matriks ๐ด dapat dihitung dengan cara perluasan baris ke-๐‘–

det(A) = ๐‘Ž๐‘–1๐ด๐‘–1+ ๐‘Ž๐‘–2๐ด๐‘–2+ โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘–๐‘›๐ด๐‘–๐‘›

= (โˆ’1)๐‘–+1๐‘Ž๐‘–1๐‘€๐‘–1+ (โˆ’1)๐‘–+2๐‘Ž๐‘–2๐‘€๐‘–2+ โ‹ฏ + (โˆ’1)๐‘–+๐‘›๐‘Ž๐‘–๐‘›๐‘€๐‘–๐‘›,

sedangkan perluasan untuk kolom ke-๐‘— adalah det(A) = ๐‘Ž1๐‘—๐ด1๐‘—+ ๐‘Ž2๐‘—๐ด2๐‘—+ โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘›๐‘—๐ด๐‘›๐‘—

= (โˆ’1)1+๐‘—๐‘Ž1๐‘—๐‘€1๐‘— + (โˆ’1)2+๐‘—๐‘Ž2๐‘—๐‘€2๐‘— + โ‹ฏ + (โˆ’1)๐‘›+๐‘—๐‘Ž๐‘›๐‘—๐‘€๐‘›๐‘—.

Contoh

Hitunglah nilai determinan dari matriks berikut ini

๐ต = [ 1 0 0 โˆ’2 0 โˆ’1 0 0 3 4 5 7 1 2 4 โˆ’1 ]. Penyelesaian: det(๐ต) = det [ 1 0 0 โˆ’2 0 โˆ’1 0 0 3 4 5 7 1 2 4 โˆ’1 ],

perhitungan determinan matriks ๐ต akan menggunakan perluasan baris ke-2. Sehingga determinan matriks ๐ต dapat ditulis

det(B) = (โˆ’1)2+2๐‘Ž22๐‘€22 = (โˆ’1)(โˆ’1) det [ 1 0 โˆ’2 3 5 7 1 4 โˆ’1 ] = โˆ’det [ 1 0 โˆ’2 3 5 7 1 4 โˆ’1 ]

Selanjutnya akan dihitung determinan matriks 3 ร— 3 yang dihasilkan di atas dengan menggunakan perluasan baris juga

โˆ’det [ 1 0 โˆ’2 3 5 7 1 4 โˆ’1 ] = โˆ’ ((โˆ’1)1+11 det [54 โˆ’17 ] + (โˆ’1)1+3(โˆ’2) det [3 5 1 4]) = โˆ’((โˆ’5 โˆ’ 28) + (โˆ’2)(12 โˆ’ 5)) = 47 Jadi, det(B) = 47. F. Nilai Eigen

Bilangan real ๐œ† merupakan nilai eigen dari matriks ๐ด jika dan hanya jika ๐œ† memenuhi persamaan karakteristik

|๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ| = 0,

Pembuktian pernyataan ini dapat dilihat pada (Budhi, 1995:269).

Contoh

๐ด = [3 5 6 2].

Penyelesaian:

Langkah pertama bentuk matriks

๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ = [3 โˆ’ ๐œ† 7

6 2 โˆ’ ๐œ†],

sehingga determinan dari matriks ๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ adalah 0 = ๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ

= (3 โˆ’ ๐œ†)(2 โˆ’ ๐œ†) โˆ’ (6)(7)

= ๐œ†2โˆ’ 5๐œ† + 6 โˆ’ 42 = ๐œ†2โˆ’ 5๐œ† โˆ’ 36

= (๐œ† + 4)(๐œ† โˆ’ 9).

Jadi, matriks ๐ด mempunyai dua nilai eigen yaitu ๐œ†1 = โˆ’4 dan ๐œ†2 = 9.

G. Turunan Numerik

Sebelum membahas turunan numerik akan terlebih dahulu dibahas ekspansi deret Taylor.

Teorema 2.1.14

Misalkan ๐‘“ adalah sebuah fungsi yang turunan ke ๐‘› + 1, yaitu ๐‘“(๐‘›+1), ada pada interval [๐‘Ž, ๐‘], dan ๐‘ฅ0 ๐œ– [๐‘Ž, ๐‘]. Untuk setiap ๐‘ฅ ๐œ– [๐‘Ž, ๐‘] ada ๐œ‰(๐‘ฅ) diantara ๐‘ฅ0 dan ๐‘ฅ dengan ๐‘“(๐‘ฅ) = ๐‘ƒ๐‘›(๐‘ฅ) + ๐‘…๐‘›(๐‘ฅ), (2.15) dimana ๐‘ƒ๐‘›(๐‘ฅ) = ๐‘“(๐‘ฅ0) + ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ0)(๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ0) +๐‘“โ€ฒโ€ฒ(๐‘ฅ0) 2! (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ0)2+ โ‹ฏ +๐‘“(๐‘›)(๐‘ฅ0) ๐‘›! (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ0)๐‘› dan ๐‘…๐‘›(๐‘ฅ) =๐‘“ (๐‘›+1)(๐œ‰(๐‘ฅ)) (๐‘› + 1)! (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ0)๐‘›+1.

Persamaan (2.15) secara umum dapat ditulis ke dalam bentuk sebagai berikut: ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) + ๐‘“ โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)(๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ๐‘–) +๐‘“โ€ฒโ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) 2! (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ๐‘–)2+ โ‹ฏ + ๐‘“(๐‘›)(๐‘ฅ๐‘–) ๐‘›! (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ๐‘–)๐‘›+ ๐‘…๐‘›(๐‘ฅ), atau ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) + ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)ฮ”๐‘ฅ +๐‘“โ€ฒโ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) 2! (ฮ”๐‘ฅ)2+ โ‹ฏ +๐‘“(๐‘›)(๐‘ฅ๐‘–) ๐‘›! (ฮ”๐‘ฅ)๐‘›+ ๐‘…๐‘›(๐‘ฅ), (2.16) dimana ฮ”๐‘ฅ = ๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ๐‘–.

1. Pendekatan Turunan Orde Satu Menggunakan Beda Maju

Jika kita memotong deret Taylor setelah turunan orde satu pada persamaan (2.16) maka akan diperoleh

๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) + ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)ฮ”๐‘ฅ + ๐‘…1, (2.17) dimana ๐‘…1 = ๐‘“ โ€ฒโ€ฒ(๐œ‰) 2! ฮ”๐‘ฅ 2 atau ๐‘…1 ฮ”๐‘ฅ = ๐‘“โ€ฒโ€ฒ(๐œ‰) 2 ฮ”๐‘ฅ.

Jika ruas kiri dan kanan persamaan (2.16) kita bagi dengan ฮ”๐‘ฅ akan diperoleh ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) ฮ”๐‘ฅ = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) ฮ”๐‘ฅ + ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)(๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฅ๐‘–) ฮ”๐‘ฅ + ๐‘…1 ฮ”๐‘ฅ atau ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) โ‰ˆ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) ฮ”๐‘ฅ โˆ’ ๐‘…1 ฮ”๐‘ฅ , atau ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) โ‰ˆ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) ฮ”๐‘ฅ + ๐‘‚(ฮ”๐‘ฅ). (2.18)

Persamaan (2.18) adalah pendekatan turunan numerik orde satu dengan menggunakan beda maju. Ilustrasi grafis dari pendekatan numerik beda maju ditunjukkan oleh Gambar 2.1.1.

Gambar 2.1.7 Grafik ilustrasi pendekatan turunan orde satu dengan beda maju.

2. Pendekatan Turunan Orde Satu Menggunakan Beda Mundur

Deret Taylor dapat diekspansi mundur untuk menghitung nilai sebelumnya berdasarkan nilai sekarang. Jika deret Taylor pada persamaan (2.16) diekspansi mundur maka akan diperoleh:

๐‘“(๐‘ฅ๐‘–โˆ’1) = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) โˆ’ ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)ฮ”๐‘ฅ +๐‘“โ€ฒโ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)

2! (ฮ”๐‘ฅ)2โˆ’ โ‹ฏ +๐‘“(๐‘›)(๐‘ฅ๐‘–)

๐‘›! (ฮ”๐‘ฅ)๐‘›+ ๐‘…๐‘›(๐‘ฅ),

(2.19)

Jika kita memotong deret Taylor setelah turunan orde satu pada persamaan (2.20) maka akan diperoleh:

๐‘“(๐‘ฅ๐‘–โˆ’1) = ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) โˆ’ ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–)ฮ”๐‘ฅ + ๐‘…1, (2.21)

dengan melakukan operasi aljabar pada persamaan (2.19) akan peroleh ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) โ‰ˆ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–โˆ’1) ฮ”๐‘ฅ โˆ’ ๐‘…1 ฮ”๐‘ฅ , atau ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) โ‰ˆ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–) โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–โˆ’1) ฮ”๐‘ฅ + ๐‘‚(ฮ”๐‘ฅ). (2.22)

Persamaan (2.22) adalah pendekatan turunan numerik orde satu dengan menggunakan beda mundur. Ilustrasi grafis dari pendekatan numerik beda mundur ditunjukkan oleh Gambar 2.1.2.

๐‘ฅ ๐‘ฅ๐‘–+1 ๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฅ๐‘–โˆ’1 ๐‘“(๐‘ฅ) ฮ”๐‘ฅ

Gambar 2.1.8 Grafik ilustrasi pendekatan turunan orde satu dengan beda mundur.

3. Pendekatan Turunan Orde Satu Menggunakan Beda Tengah

Pendekatan turunan numerik yang ketiga ini atau beda tengah diperoleh dengan cara mengurai ekspansi deret Taylor maju dengan ekspansi deret Taylor mundur. Atau dengan kata lain pendekatan beda tengah diperoleh dengan cara pendekatan rata-rata beda maju dan beda mundur.

Jika persamaan (2.16) dikurang persamaan (2.19) akan diperoleh: ๐‘“โ€ฒ(๐‘ฅ๐‘–) โ‰ˆ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–+1) โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ๐‘–โˆ’1)

2ฮ”๐‘ฅ + ๐‘‚(ฮ”๐‘ฅ

2) (2.23)

Persamaan (2.23) adalah pendekatan turunan numerik orde satu dengan menggunakan beda tengah. Ilustrasi grafis dari pendekatan numerik beda tengah ditunjukkan oleh Gambar 2.1.3.

Gambar 2.1.9 Grafik ilustrasi pendekatan turunan orde satu dengan beda tengah. ๐‘“(๐‘ฅ) ๐‘ฅ ๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฅ๐‘–โˆ’1 ๐‘ฅ๐‘–+1 ฮ”๐‘ฅ ๐‘“(๐‘ฅ) ๐‘ฅ ๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฅ๐‘–โˆ’1 ๐‘ฅ๐‘–+1 2ฮ”๐‘ฅ

H. Metode Euler

Dipandang suatu persamaan diferensial

๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ก) = ๐‘“(๐‘ก, ๐‘ฆ), ๐‘ฆ(๐‘ก0) = ๐‘ฆ0 (2.24)

dan diasumsikan bahwa penyelesaian dari persamaan (2.24) di atas dapat ditulis dalam bentuk deret Taylor, yaitu

๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐‘ฆ(๐‘ก0) + ๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ก0)(๐‘ก โˆ’ ๐‘ก0) +๐‘ฆ

โ€ฒโ€ฒ(๐‘ก0)(๐‘ก โˆ’ ๐‘ก0)2

2 + โ‹ฏ.

(2.25)

Ketika ๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ก0) = ๐‘“(๐‘ก0, ๐‘ฆ(๐‘ก0)) dan ฮ”๐‘ก = ๐‘ก1โˆ’ ๐‘ก0 disubstitusikan ke persamaan (2.25) akan menghasilkan bentuk ๐‘ฆ(๐‘ก1) sebagai berikut

๐‘ฆ(๐‘ก1) = ๐‘ฆ(๐‘ก0) + ฮ”๐‘ก ๐‘“(๐‘ก0, ๐‘ฆ(๐‘ก0)) +๐‘ฆ

โ€ฒโ€ฒ(๐‘ก0)(ฮ”๐‘ก)2

2 + โ‹ฏ.

(2.26)

Jika kita memilih ฮ”๐‘ก yang cukup kecil, maka kita bisa mengabaikan suku yang memuat (ฮ”๐‘ก)2 beserta suku-suku yang ordenya lebih tinggi dan akan diperoleh

๐‘ฆ(๐‘ก1) = ๐‘ฆ(๐‘ก0) + ฮ”๐‘ก ๐‘“(๐‘ก0, ๐‘ฆ(๐‘ก0)), (2.27)

yang mana merupakan aproksimasi Euler. Sehingga secara umum langkah untuk metode Euler adalah

๐‘ก๐‘˜+1 = ๐‘ก๐‘˜+ ฮ”๐‘ก, ๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜ + ฮ”๐‘ก ๐‘“(๐‘ก๐‘˜, ๐‘ฆ๐‘˜), (2.28) dengan ๐‘˜ = 0, 1, โ€ฆ , ๐‘› โˆ’ 1, untuk mendapatkan ๐‘ฆ1, ๐‘ฆ2, ๐‘ฆ3, โ€ฆ , ๐‘ฆ๐‘›.

Contoh

Gunakanlah metode Euler untuk menyelesaikan aproksimasi masalah nilai awal dari persamaan ๐‘ฆโ€ฒ = ๐‘…๐‘ฆ pada interval [0,1] dengan ๐‘ฆ(0) = ๐‘ฆ0 dan ๐‘… adalah konstanta.

Penyelesaian:

Dipilih selisih jaraknya adalah ฮ”๐‘ก dan berdasarkan persamaan (2.28) akan diperoleh persamaan beda untuk masalah nilai awal tersebut adalah

๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐‘ฆ๐‘˜+ ฮ”๐‘ก(๐‘…๐‘ฆ๐‘˜)

๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…).

Jika kita mengurutkan nilai-nilai dari penyelesain tersebut secara rekursif, akan diperoleh ๐‘ฆ1 = ๐‘ฆ0(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…) ๐‘ฆ2 = ๐‘ฆ1(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…) = ๐‘ฆ0(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…)2 ๐‘ฆ3 = ๐‘ฆ2(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…) = ๐‘ฆ0(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…)3 โ‹ฎ ๐‘ฆ๐‘› = ๐‘ฆ๐‘›โˆ’1(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…) = ๐‘ฆ0(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…)๐‘›

atau secara umum skema Euler untuk masalah nilai awal tersebut menghasilkan nilai

๐‘ฆ๐‘˜ = ๐‘ฆ0(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…)๐‘˜,

untuk ๐‘˜ = 0, 1, โ€ฆ , ๐‘›.

I. Metode Heun

Penyelesaian numerik dari suatu persamaan diferensial dengan masalah nilai awal dapat diselesaikan dengan metode Euler. Selain dengan menggunakan metode Euler dapat juga menggunakan metode Heun yang mana merupakan peningkatan dari metode Euler. Misalnya diketahui

๐‘ฆโ€ฒ(๐‘ก) = ๐‘“(๐‘ก, ๐‘ฆ), ๐‘ฆ(๐‘ก0) = ๐‘ฆ0, (2.29)

dengan menggunakan metode Heun langkah pertama yang dihitung adalah nilai dari ๐‘ฆฬƒ๐‘˜+1 dan yang terakhir adalah menghitung pendekatan dari ๐‘ฆ๐‘˜+1. Secara umum langkah untuk metode Heun adalah

๐‘ฆฬƒ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜+ ฮ”๐‘ก ๐‘“(๐‘ก๐‘˜, ๐‘ฆ๐‘˜)

(2.30) ๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐‘ฆ๐‘˜+ฮ”๐‘ก

2 [๐‘“(๐‘ก๐‘˜, ๐‘ฆ๐‘˜) + ๐‘“(๐‘ก๐‘˜+1, ๐‘ฆฬƒ๐‘˜+1)], dimana ฮ”๐‘ก adalah selisih jarak dan ๐‘ก๐‘˜+1 = ๐‘ก๐‘˜+ ฮ”๐‘ก.

Contoh

Gunakanlah metode Heun untuk menyelesaikan aproksimasi masalah nilai awal dari persamaan ๐‘ฆโ€ฒ = ๐‘…๐‘ฆ pada interval [0,1] dengan ๐‘ฆ(0) = ๐‘ฆ0 dan ๐‘… adalah konstanta.

Penyelesaian:

Dipilih selisih jarak ฮ”๐‘ก dan berdasarkan persamaan (2.30) akan diperoleh persamaan beda untuk masalah nilai awal tersebut adalah

๐‘ฆฬƒ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜+ ฮ”๐‘ก ๐‘…๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜+ฮ”๐‘ก 2 [๐‘…๐‘ฆ๐‘˜+ (๐‘ฆ๐‘˜+ ฮ”๐‘ก ๐‘…๐‘ฆ๐‘˜)], atau ๐‘ฆฬƒ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜(1 + ฮ”๐‘ก๐‘…), ๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘ฆ๐‘˜(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]).

Sehingga persamaan beda untuk persamaan (2.30) bisa ditulis dalam satu bentuk saja, yaitu

๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐‘ฆ๐‘˜(1 +ฮ”๐‘ก

2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]).

Jika kita mengurutkan nilai-nilai dari penyelesaian tersebut secara rekursif, akan diperoleh ๐‘ฆ1 = ๐‘ฆ0(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) , ๐‘ฆ2 = ๐‘ฆ1(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) = ๐‘ฆ0(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) 2 โ‹ฎ ๐‘ฆ๐‘› = ๐‘ฆ๐‘›โˆ’1(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) = ๐‘ฆ0(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) ๐‘›

atau secara umum skema Heun untuk masalah nilai awal tersebut menghasilkan nilai

๐‘ฆ๐‘˜ = ๐‘ฆ0(1 +ฮ”๐‘ก 2 [๐‘… + 1 + ฮ”๐‘ก๐‘…]) ๐‘˜ . untuk ๐‘˜ = 0, 1, โ€ฆ , ๐‘›. J. Metode Biseksi Teorema 2.1.15

Jika terdapat fungsi ๐‘“ yang kontinu pada interval tertutup [๐‘Ž, ๐‘] dan ๐‘“(๐‘Ž). ๐‘“(๐‘) < 0, maka ada ๐‘ โˆˆ (๐‘Ž, ๐‘) sehingga berlaku ๐‘“(๐‘) = 0.

Bukti:

Diketahui bahwa ๐‘“(๐‘Ž). ๐‘“(๐‘) < 0 hal ini terjadi ketika ๐‘“(๐‘Ž) < 0 dan ๐‘“(๐‘) > 0. Didefinisikan suatu himpunan

๐ธ = {๐‘ฅ โˆˆ [๐‘Ž, ๐‘] โˆถ ๐‘“(๐‘ฅ) < 0}.

dan himpunan tersebut tidak kosong karena ๐‘Ž โˆˆ ๐ธ dan ๐ธ mempunyai batas atas ๐‘. Misalkan ๐‘“(๐‘) โ‰  0 karena ๐‘“ kontiniu pada ๐‘ terdapat ๐›ฟ > 0 sedemikian sehingga |๐‘ฅ โˆ’ ๐‘| < ๐›ฟ dan ๐‘ฅ โˆˆ [๐‘Ž, ๐‘] sehingga mengakibatkan

|๐‘“(๐‘ฅ) โˆ’ ๐‘“(๐‘)| < 1

2|๐‘“(๐‘)|. Jika ๐‘“(๐‘) < 0, maka ๐‘ โ‰  ๐‘ dan

๐‘“(๐‘ฅ) = ๐‘“(๐‘) + ๐‘“(๐‘ฅ) โˆ’ ๐‘“(๐‘) < ๐‘“(๐‘) โˆ’1 2๐‘“(๐‘),

Untuk semua ๐‘ฅ โˆˆ [๐‘Ž, ๐‘] sehinga |๐‘ฅ โˆ’ ๐‘| < ๐›ฟ. Jadi ๐‘“(๐‘ฅ) <1

2๐‘“(๐‘) < 0. Karena ada ๐‘ฅ โˆˆ ๐ธ dengan ๐‘ฅ > ๐‘, yang mana kontradiksi dengan fakta bahwa ๐‘ adalah batas atas dari ๐ธ.

Jika ๐‘“(๐‘) > 0, maka ๐‘ โ‰  ๐‘Ž dan

๐‘“(๐‘ฅ) = ๐‘“(๐‘) + ๐‘“(๐‘ฅ) โˆ’ ๐‘“(๐‘) > ๐‘“(๐‘) โˆ’1 2๐‘“(๐‘), untuk semua ๐‘ฅ โˆˆ [๐‘Ž, ๐‘], sehingga |๐‘ฅ โˆ’ ๐‘| < ๐›ฟ. Jadi, ๐‘“(๐‘ฅ) > 1

2๐‘“(๐‘) > 0. Ada ๐›ฝ > 0 sehingga ๐‘ โˆ’ ๐›ฝ โ‰ฅ ๐‘Ž dan ๐‘“(๐‘ฅ) > 0 untuk ๐‘ โˆ’ ๐›ฝ โ‰ค ๐‘ฅ โ‰ค ๐‘.

Pada kasus ini, ๐‘ โˆ’ ๐›ฝ < ๐‘ adalah batas atas dari ๐ธ. Karena ๐‘ adalah batas atas dan ๐‘“(๐‘ฅ) > 0 untuk ๐‘ โˆ’ ๐›ฝ โ‰ค ๐‘ฅ โ‰ค ๐‘, yang mana kontradiksi bahwa ๐‘ merupakan batas paling atas. Karena ๐‘ โ‰  ๐‘Ž, ๐‘ maka terbukti bahwa ๐‘“(๐‘) = 0.

Diberikan suatu fungsi ๐‘“ yang kontinu pada interval [๐‘Ž, ๐‘] dan ๐‘ โˆˆ (๐‘Ž, ๐‘) merupakan akar karakteristik dari fungsi ๐‘“.

Langkah pertama dalam metode biseksi yaitu menentukan nilai tengah, yaitu

๐‘ =๐‘Ž + ๐‘

2 ,

selanjutnya menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul: 1. Jika ๐‘“(๐‘Ž). ๐‘“(๐‘) < 0, maka akar dari fungsi f terletak diantara ๐‘Ž dan ๐‘, 2. Jika ๐‘“(๐‘Ž). ๐‘“(๐‘) > 0, maka akar dari fungsi f terletak diantara ๐‘ dan ๐‘, 3. Jika ๐‘“(๐‘Ž). ๐‘“(๐‘) = 0, maka ๐‘Ž atau ๐‘ adalah akar real dari fungsi ๐‘“.

24 BAB III

SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL LOTKA-VOLTERRA TERMODIFIKASI DAN METODE BEDA HINGGA EKSAK

Pada bab ini akan dibahas sistem persamaan diferensial Lotka-Volterra termodifikasi dan metode beda hingga eksak yang akan digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial Lotka-Volterra termodifikasi.

A. Sistem Persamaan Lotka-Volterra Termodifikasi

Dalam subbab ini akan dibahas model dari persamaan diferensial Lotka-Volterra khususnya untuk model kompetisi dan juga akan dipaparkan hasil modifikasi dari persamaan diferensial Lotka-Volterra.

1. Persamaan Diferensial Lotka-Volterra

Misalkan ๐‘ฅ menggambarkan jumlah populasi rusa pada waktu ๐‘ก dan ๐‘ฆ menggambarkan jumlah populasi zebra pada waktu ๐‘ก. Rusa merupakan hewan herbivora yang bertahan hidup dengan mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan. Kita dapat mengasumsikan laju pertumbuhan rusa per kapita (tanpa adanya zebra) memiliki nilai konstan ๐‘Ÿ1, dengan ๐‘Ÿ1 > 0, tetapi dengan adanya zebra akan mengurangi laju pertumbuhan rusa per kapita. Jika kita mengasumsikan bahwa laju pertumbuhan rusa berkurang sejumlah ๐‘Ž12๐‘ฆ yang sebanding dengan jumlah zebra, dengan ๐‘Ž12 > 0, maka laju pertumbuhan rusa per kapita yang dihasilkan adalah ๐‘Ÿ1โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฆ. Persamaan pertumbuhan rusa adalah

๐‘‘๐‘ฅ

๐‘‘๐‘ก = (๐‘Ÿ1โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฆ)๐‘ฅ.

(3.1)

Misalkan zebra bergantung sepenuhnya pada tumbuh-tumbuhan sebagai satu-satunya sumber makanan. Tanpa adanya rusa, kita mengasumsikan laju pertumbuhan zebra per kapita memiliki nilai konstan ๐‘Ÿ2, dengan ๐‘Ÿ2 > 0, tetapi adanya rusa akan menurunkan laju pertumbuhan zebra per kapita sejumlah ๐‘Ž21๐‘ฅ yang sebanding dengan jumlah rusa, dengan ๐‘Ž21 > 0. Laju pertumbuhan zebra per

kapita yang dihasilkan adalah ๐‘Ÿ2โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ, sehingga persamaan pertumbuhan zebra adalah

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = (๐‘Ÿ2โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ)๐‘ฆ.

(3.2)

Persamaan (3.1) dan persamaan (3.2) menghasilkan model kompetisi sebagai berikut: { ๐‘‘๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ก = (๐‘Ÿ1โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฆ)๐‘ฅ, ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก = (๐‘Ÿ2โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ)๐‘ฆ. (3.3)

Jika kita mengasumsikan bahwa sumber makanan rusa dan zebra yang awalnya tidak terbatas menjadi terbatas maka laju pertumbuhan per kapita rusa (tanpa adanya zebra dan tanpa adanya kompetisi antar rusa dalam memperoleh makanan) memiliki nilai konstan ๐‘Ÿ1, dengan ๐‘Ÿ1 > 0. Dengan adanya zebra dan kompetisi antar rusa dalam perebutan makanan (tumbuhan) akan mengurangi laju pertumbuhan per kapita rusa. Jika kita mengasumsikan bahwa laju pertumbuhan rusa berkurang sejumlah ๐‘Ž12๐‘ฆ yang sebanding dengan jumlah zebra, dengan ๐‘Ž12 > 0 dan sejumlah ๐‘Ž11๐‘ฅ yang sebanding dengan jumlah rusa, dengan ๐‘Ž11 > 0, maka laju pertumbuhan rusa per kapita yang dihasilkan adalah ๐‘Ÿ1โˆ’ ๐‘Ž11๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฆ. Model pertumbuhan rusa menjadi

๐‘‘๐‘ฅ

๐‘‘๐‘ก = ๐‘Ÿ1๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž11๐‘ฅ

2โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฅ๐‘ฆ, (3.4)

Hal yang sama juga terjadi pada zebra. Jika diasumsikan sumber makan menjadi terbatas maka laju pertumbuhan zebra per kapita (tanpa adanya rusa dan kompetisi antara zebra dalam memperoleh makanan) memiliki nilai konstan ๐‘Ÿ2, dengan ๐‘Ÿ2 > 0. Dengan adanya rusa akan menurunkan laju pertumbuhan zebra per kapita sejumlah ๐‘Ž21๐‘ฅ, dengan ๐‘Ž21 > 0 yang sebanding dengan jumlah rusa. Akan tetapi, dengan adanya kompetisi antara zebra dalam memperoleh makanan akan mengakibatkan laju pertumbuhan zebra per kapita menurun sejumah ๐‘Ž22๐‘ฆ, dengan ๐‘Ž22 > 0 yang sebanding dengan jumlah zebra. Laju pertumbuhan zebra per kapita yang dihasilkan adalah ๐‘Ÿ2โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž22๐‘ฆ, sehingga persamaan pertumbuhan zebra adalah

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = ๐‘Ÿ2๐‘ฆ โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐‘Ž22๐‘ฆ

2. (3.5)

Berdasarkan persamaan (3.4) dan persamaan (3.5) diperoleh persamaan diferensial Lotka-Volterra untuk masalah kompetisi yang didefinisikan dengan bentuk ๐‘‘๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ก = ๐‘Ÿ1๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž11๐‘ฅ 2โˆ’ ๐‘Ž12๐‘ฅ๐‘ฆ, (3.6a) ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก = ๐‘Ÿ2๐‘ฆ โˆ’ ๐‘Ž21๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐‘Ž22๐‘ฆ 2, (3.6b) ๐‘ฅ(0) = ๐‘ฅ0> 0, ๐‘ฆ(0) = ๐‘ฆ0 > 0,

dimana ๐‘Ÿ1, ๐‘Ÿ2, ๐‘Ž11, ๐‘Ž22, ๐‘Ž12, ๐‘Ž21 adalah parameter konstan positif untuk kasus dinamika rusa-zebra ini dan ๐‘ฅ(๐‘ก) dan ๐‘ฆ(๐‘ก) adalah variabel terikat. Pada umumnya nilai dari parameter yang diberikan bisa bernilai positif, nol atau negatif bergantung pada kasus yang dihadapi. Kita menganggap ๐‘ฅ(๐‘ก) dan ๐‘ฆ(๐‘ก) menggambarkan besarnya masing-masing populasi.

2. Persamaan Diferensial Lotka-Volterra Termodifikasi

Kita telah mengetahui bahwa persamaan (3.6) merupakan persamaan diferensial Lotka-Volterra khususnya untuk masalah kompetisi. Persamaan diferensial Lotka-Volterra tersebut akan dimodifikasi dengan mengganti x dan y masing-masing dengan โˆš๐‘ฅ dan โˆš๐‘ฆ, sehingga kita akan memperoleh persamaan diferensial Lotka-Volterra termodifikasi sebagai berikut

๐‘‘๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ก = ๐‘Ÿ1โˆš๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž11๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž12โˆš๐‘ฅโˆš๐‘ฆ, (3.7a) ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก = โˆ’๐‘Ÿ2โˆš๐‘ฆ + ๐‘Ž21โˆš๐‘ฅโˆš๐‘ฆ โˆ’ ๐‘Ž22๐‘ฆ, (3.7b)

bisa dilihat bahwa persamaan (3.6) dan (3.7) memiliki koefisien yang sama yaitu ๐‘Ÿ1, ๐‘Ÿ2, ๐‘Ž11, ๐‘Ž12, ๐‘Ž21, ๐‘Ž22. Penggantian ๐‘ฅ menjadi โˆš๐‘ฅ dan ๐‘ฆ dan menjadi โˆš๐‘ฆ diajukan oleh Mickens (2018) untuk dijadikan sebagai model kasus uji keefektifan metode beda hingga eksak.

B. Metode Beda Hingga Eksak

Sebelum membahas metode beda hingga eksak, akan dibahas terlebih dahulu model diskret dari persamaan diferensial biasa

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = ๐‘“(๐‘ฆ, ๐œ†),

(3.8)

dimana ๐œ† adalah suatu parameter. Model beda hingga paling umum untuk persamaan (3.8) merupakan turunan diskret orde pertama yang ditunjukkan dalam bentuk sebagai berikut:

๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜

๐œ™(ฮ”๐‘ก, ๐œ†) = ๐น(๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ฆ๐‘˜+1, ๐œ†, ฮ”๐‘ก), (3.9)

turunan diskret pada sisi kiri adalah generalisasi dari bentuk ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก โ†’

๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜

ฮ”๐‘ก .

(3.10)

Berdasarkan persamaan (3.9), kita peroleh dimana fungsi penyebut ๐œ™(ฮ”๐‘ก, ๐œ†) mempunyai sifat

๐œ™(ฮ”๐‘ก, ๐œ†) = ฮ”๐‘ก + ๐‘‚(ฮ”๐‘ก2), ๐œ† = tetap, ฮ”๐‘ก โ†’ 0.

(3.11)

Bentuk persamaan (3.9) di atas merupakan turunan diskret yang didasarkan pada definisi turunan (2.1) yang mana dapat digeneralisasi sebagai berikut

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก = limฮ”๐‘กโ†’0 ๐‘ฆ[๐‘ก + ๐œ“1(ฮ”๐‘ก)] โˆ’ ๐‘ฆ(๐‘ก) ๐œ“2(ฮ”๐‘ก) , (3.12) dimana ๐œ“๐‘–(ฮ”๐‘ก) = ฮ”๐‘ก + ๐‘‚(ฮ”๐‘ก2), ฮ”๐‘ก โ†’ 0; ๐‘– = 1,2.

Contoh dari fungsi ๐œ“(ฮ”๐‘ก) yang memenuhi kondisi ini adalah

๐œ“(ฮ”๐‘ก) = { ฮ”๐‘ก, sin(ฮ”๐‘ก) , ๐‘’ฮ”๐‘กโˆ’ 1, 1 โˆ’ ๐‘’โˆ’ฮ”๐‘ก, 1โˆ’๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก ๐œ† , dan lainnya.

Perlu diperhatikan dalam pengambilan limit ฮ”๐‘ก โ†’ 0 untuk memperoleh turunan, penggunaan salah satu dari ๐œ“(ฮ”๐‘ก) akan mengarah pada hasil biasa dari suatu turunan pertama

๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ก = limฮ”๐‘กโ†’0 ๐‘ฆ[๐‘ก + ๐œ“1(ฮ”๐‘ก)] โˆ’ ๐‘ฆ(๐‘ก) ๐œ“2(ฮ”๐‘ก) = limฮ”๐‘กโ†’0 ๐‘ฆ(๐‘ก + ฮ”๐‘ก) โˆ’ ๐‘ฆ(๐‘ก) ฮ”๐‘ก . (3.13)

1. Skema Beda Hingga Eksak

Dipandang bentuk umum persamaan diferensial orde satu ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = ๐‘“(๐‘ฆ, ๐‘ก, ๐œ†), ๐‘ฆ(๐‘ก0) = ๐‘ฆ0, (3.14)

dimana ๐‘“(๐‘ฆ, ๐‘ก, ๐œ†) sedemiakan sehingga persamaan (3.14) memiliki penyelesaian tunggal pada interval, 0 โ‰ค ๐‘ก < ๐‘‡ dan ๐œ† adalah parameter pada interval ๐œ†1 โ‰ค ๐œ† โ‰ค ๐œ†2 dengan ๐œ†1 dan ๐œ†2 adalah konstanta. Penyelesaiannya dapat ditulis sebagai berikut:

๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ0, ๐‘ก0, ๐‘ก) (3.15)

dimana

๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ0, ๐‘ก0, ๐‘ก0) = ๐‘ฆ0.

Dipandang model diskret dari persamaan (3.14)

๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘”(๐œ†, ฮ”๐‘ก, ๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ก๐‘˜), (3.16)

dimana ๐‘ก๐‘˜ = ๐‘˜. ฮ”๐‘ก, ๐‘ฆ๐‘˜ โ‰ˆ ๐‘ฆ(๐‘ก๐‘˜).

Penyelesaian dari persamaan (3.16) dapat ditulis dalam bentuk

๐‘ฆ๐‘˜ = ๐œ“(๐œ†, ฮ”๐‘ก, ๐‘ฆ0, ๐‘ก0, ๐‘ก๐‘˜), (3.17)

dimana

๐œ“(๐œ†, ฮ”๐‘ก, ๐‘ฆ0, ๐‘ก0, ๐‘ก0) = ๐‘ฆ0.

Definisi 3.1.1

Persamaan (3.14) dan (3.16) dikatakan memiliki penyelesaian umum yang sama jika dan hanya jika

๐‘ฆ๐‘˜ = ๐‘ฆ(๐‘ก๐‘˜),

untuk sebarang ฮ”๐‘ก > 0 dan untuk semua ๐‘˜.

Definisi 3.1.2

Suatu skema beda hingga eksak adalah suatu skema yang menghasilkan penyelesaian beda tertentu yang mana penyelesaian umum dari persamaan beda hingga tersebut sama dengan penyelesaian diferensial terkait.

Teorema 3.1.3 Persamaan diferensial

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = ๐‘“(๐‘ฆ, ๐‘ก, ๐œ†), ๐‘ฆ(๐‘ก0) = ๐‘ฆ0, (3.18)

mempunyai skema beda hingga eksak yang diekspresikan dengan bentuk sebagai berikut

๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ก๐‘˜, ๐‘ก๐‘˜+1), (3.19)

dimana fungsi ๐œ™ sama dengan fungsi pada persamaan (3.15). Bukti:

Diasumsikan penyelesaian umum untuk persamaan (3.18) didefinisikan sebagai berikut

๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ0, ๐‘ก0, ๐‘ก)

dimana ๐‘ฆ0 adalah nilai dari ๐‘ฅ(๐‘ก) saat ๐‘ก = ๐‘ก0. Nemytski and Stepanov (1969) mengatakan

๐‘“(๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ก1), ๐‘ก2) = ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ก1+ ๐‘ก2), (3.20)

sehingga berdasarkan persamaan (3.20) di atas dapat kita tulis

๐‘“(๐‘“(๐‘ฆ, ๐‘ก, ๐œ†), ฮ”๐‘ก, ๐œ†) = ๐‘“(๐‘ฆ, ๐‘ก + ฮ”๐‘ก, ๐œ†), (3.21)

dengan nilai awalnya adalah ๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐‘ฆ๐‘ก.

Berdasarkan pembahasan di atas diperoleh penyelesaian untuk persamaan (3.21) adalah

๐‘ฆ(๐‘ก + ฮ”๐‘ก) = ๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ(๐‘ก), ๐‘ก, ๐‘ก + ฮ”๐‘ก). Jika kita mensubstitusi

๐‘ก โ†’ ๐‘ก๐‘˜, ๐‘ฆ(๐‘ก) โ†’ ๐‘ฆ๐‘˜,

maka penyelesaian untuk persamaan (3.21) akan menjadi

๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐œ™(๐œ†, ๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ก๐‘˜, ๐‘ก๐‘˜+1). (3.22)

Persamaan (3.22) merupakan persamaan beda biasa yang dibutuhkan yang mana persamaan (3.22) memiliki penyelesaian umum yang dengan persamaan (3.18).

2. Contoh Skema Beda Hingga Eksak

Diberikan suatu himpunan fungsi-fungsi yang bebas linear

{๐‘ฆ(๐‘–)(๐‘ก)} ; ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘, (3.23)

dimana fungsi-fungsi tersebut selalu mungkin membangun persamaan beda linear orde ๐‘, yang memiliki fungsi diskret yang sesuai sebagai penyelesaian. Diberikan

๐‘ฆ๐‘˜(๐‘–) โ‰ก ๐‘ฆ(๐‘–)(๐‘ก๐‘˜), ๐‘ก๐‘˜ = (ฮ”๐‘ก)๐‘˜; (3.24)

sehingga determinan berikut ini memberikan persamaan yang diperlukan

|| ๐‘ฆ๐‘˜ ๐‘ฆ๐‘˜1 ๐‘ฆ๐‘˜+12 โ‹ฏ ๐‘ฆ๐‘˜๐‘› ๐‘ฆ๐‘˜+1 ๐‘ฆ๐‘˜+11 ๐‘ฆ๐‘˜+12 โ‹ฏ ๐‘ฆ๐‘˜+1๐‘› โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฎ ๐‘ฆ๐‘˜+๐‘› ๐‘ฆ๐‘˜+๐‘›1 ๐‘ฆ๐‘˜+๐‘›2 โ‹ฏ ๐‘ฆ๐‘˜+๐‘›๐‘› || = 0.

Bukti dan penjelasan tentang hal tersebut diberikan oleh Mickens (1990).

Contoh 1

Dipandang suatu fungsi

๐‘ฆ(1)(๐‘ก) = ๐‘’โˆ’๐œ†๐‘ก, (3.25)

dimana fungsi tersebut merupakan suatu penyelesaian untuk persamaan diferensial orde satu

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = โˆ’๐œ†๐‘ฆ.

(3.26)

det | ๐‘ฆ๐‘˜ ๐‘ฆ๐‘˜ (1) ๐‘ฆ๐‘˜+1 ๐‘ฆ๐‘˜+1(1)| = | ๐‘ฆ๐‘˜ ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘˜ ๐‘ฆ๐‘˜+1 ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1)| = ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘˜| ๐‘ฆ๐‘˜ 1 ๐‘ฆ๐‘˜+1 ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก| = ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘˜[๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1] = 0

atau dapat ditulis

๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜. (3.27)

Persamaan (3.27) di atas adalah persamaan beda hingga eksak atau skema beda hingga eksak yang sesuai untuk persamaan (3.26). Bentuk dari skema eksak di atas dapat ditulis ke dalam bentuk yang lebih konstruktif dengan melakukan operasi aljabar pada persamaan (3.27) sebagai berikut:

๐‘ฆ๐‘˜+1= ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜ atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+ ๐‘ฆ๐‘˜ = ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜ atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ = ๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ = ๐œ† ๐œ†(๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜) atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ = โˆ’๐œ† (โˆ’๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก๐‘ฆ๐‘˜+๐‘ฆ๐‘˜ ๐œ† ) atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ = โˆ’๐œ† (โˆ’๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก+1 ๐œ† ) ๐‘ฆ๐‘˜ atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ = โˆ’๐œ† (1โˆ’๐‘’โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก ๐œ† ) ๐‘ฆ๐‘˜ atau ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ ( 1 โˆ’ ๐‘’๐œ†โˆ’๐œ†ฮ”๐‘ก) = โˆ’๐œ†๐‘ฆ๐‘˜. (3.28)

Setelah melakukan operasi aljabar pada persamaan (3.27) diperoleh persamaan (3.28). Sebagai catatan metode Euler standar untuk persamaan (3.26) adalah

๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜

ฮ”๐‘ก = โˆ’๐œ†๐‘ฆ๐‘˜.

(3.29)

Contoh 2

Dipandang persamaan diferensial osilator harmonik ๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก2 + ๐‘ฆ = 0. (3.30)

Persamaan diferensial di atas memiliki dua penyelesaian yang bebas linear yaitu ๐‘ฆ(1)(๐‘ก) = cos(๐‘ก), ๐‘ฆ(2)(๐‘ก) = sin(๐‘ก),

atau dalam bentuk kompleks ditulis

๐‘ฆฬ…(1)(๐‘ก) = ๐‘’๐‘–๐‘ก, ๐‘ฆฬ…(2)(๐‘ก) = ๐‘’โˆ’๐‘–๐‘ก.

Untuk memperoleh persamaan beda yang sesuai kita terapkan cara yang sama seperti pada contoh 1

det [

๐‘ฆ๐‘˜ ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก๐‘˜ ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก๐‘˜ ๐‘ฆ๐‘˜+1 ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1) ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1) ๐‘ฆ๐‘˜+2 ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2) ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)

] = 0

Menggunakan aturan minor dan kofaktor diperoleh

๐‘ฆ๐‘˜(๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1)๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)โˆ’ ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1)๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)) โˆ’ ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก๐‘˜(๐‘ฆ๐‘˜+1๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)โˆ’ ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+1)๐‘ฆ๐‘˜+2) + ๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘ก๐‘˜(๐‘ฆ๐‘˜+1๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)โˆ’ ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก(๐‘˜+2)๐‘ฆ๐‘˜+2) = 0

atau

๐‘ฆ๐‘˜(๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘กโˆ’ ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก) โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1(๐‘’โˆ’2๐‘–ฮ”๐‘กโˆ’ ๐‘’2๐‘–ฮ”๐‘ก) + ๐‘ฆ๐‘˜+2(๐‘’โˆ’๐‘–ฮ”๐‘กโˆ’ ๐‘’๐‘–ฮ”๐‘ก) = 0

atau

๐‘ฆ๐‘˜((cos(ฮ”๐‘ก) โˆ’ ๐‘– sin(ฮ”๐‘ก)) โˆ’ (๐‘๐‘œ๐‘ (ฮ”๐‘ก) + ๐‘– sin(ฮ”๐‘ก))) โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1((cos(2ฮ”๐‘ก) โˆ’ ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›(2ฮ”๐‘ก)) โˆ’ ((cos(2ฮ”๐‘ก) + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›(2ฮ”๐‘ก))) + ๐‘ฆ๐‘˜+2((cos(ฮ”๐‘ก) โˆ’ ๐‘– sin(ฮ”๐‘ก)) โˆ’ ((cos(ฮ”๐‘ก) + ๐‘– sin(ฮ”๐‘ก))) = 0

๐‘ฆ๐‘˜(โˆ’2๐‘– sin(ฮ”๐‘ก)) โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1(โˆ’2๐‘– sin(2ฮ”๐‘ก)) + ๐‘ฆ๐‘˜+2(โˆ’2๐‘– sin(ฮ”๐‘ก)) = 0

atau

sin(ฮ”๐‘ก)๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ sin(2ฮ”๐‘ก) ๐‘ฆ๐‘˜+1+ sin(ฮ”๐‘ก) ๐‘ฆ๐‘˜+2 = 0

atau

sin(ฮ”๐‘ก)๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ 2sin(ฮ”๐‘ก) cos(ฮ”๐‘ก) ๐‘ฆ๐‘˜+1+ sin(ฮ”๐‘ก) ๐‘ฆ๐‘˜+2 = 0

atau

๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ 2 cos(ฮ”๐‘ก) ๐‘ฆ๐‘˜+1+ ๐‘ฆ๐‘˜+2= 0. (3.31)

Persamaan cos(2ฮ”๐‘ก) = 1 โˆ’ 2sin2ฮ”๐‘ก yang mengakibatkan cos ฮ”๐‘ก = 1 โˆ’ 2sin2(ฮ”๐‘ก 2) sehingga diperoleh

๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ 2(1 โˆ’ 2sin2(ฮ”๐‘ก

2))๐‘ฆ๐‘˜+1+ ๐‘ฆ๐‘˜+2= 0.

(3.32)

Pada persamaan (3.32) kita menggeser indeks k satu satuan ke bawah dan akan kita peroleh

๐‘ฆ๐‘˜โˆ’1โˆ’ 2(1 โˆ’ 2sin2(ฮ”๐‘ก

2))๐‘ฆ๐‘˜+ ๐‘ฆ๐‘˜+1= 0,

(3.33)

atau dapat ditulis

๐‘ฆ๐‘˜+1 = 2 (1 โˆ’ 2sin2(ฮ”๐‘ก

2)) ๐‘ฆ๐‘˜ โˆ’๐‘ฆ๐‘˜โˆ’1.

(3.34)

Persamaan (3.34) di atas adalah persamaan beda hingga eksak atau skema beda hingga eksak yang sesuai untuk persamaan (3.30). Persamaan (3.34) juga dapat ditulis ke dalam bentuk yang lebih konstruktif. Jadi, dengan cara yang sama pada contoh 1 akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

๐‘ฆ๐‘˜โˆ’1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ 2๐‘ฆ๐‘˜ 4sin2(ฮ”๐‘ก2 )

= โˆ’๐‘ฆ๐‘˜ (3.35)

Setelah melakukan operasi aljabar pada persamaan (3.34) diperoleh persamaan (3.35). Sebagai catatan bahwa metode beda hingga standar untuk persamaan (3.30) adalah

๐‘ฆ๐‘˜โˆ’1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ 2๐‘ฆ๐‘˜

Persamaan (3.35a) akan menjadi pembanding metode beda hingga eksak untuk menyelesaikan persamaan (3.30).

Cara yang digunakan untuk meperoleh atau mengkonstruksi skema beda eksak pada contoh 1 dan contoh 2 tidak dapat digunakan untuk mengkonstruksi skema beda eksak untuk persamaan diferensial yang nonlinear. Berikut ini adalah langkah-langkah yang akan diterapkan untuk mengkonstruksi skema beda eksak untuk persamaan diferensial nonlinear:

1. Dipandang suatu sistem dari ๐‘ pasang persamaan diferensial biasa orde satu ๐‘‘๐‘Œ

๐‘‘๐‘ก = ๐น(๐‘Œ, ๐‘ก, ๐œ†), ๐‘Œ(๐‘ก0) = ๐‘Œ0, (3.36)

dimana ๐‘Œ, ๐น adalah vektor kolom berdimensi ๐‘ yang komponen ke-๐‘– adalah (๐‘Œ)๐‘– = ๐‘ฆ(๐‘–)(๐‘ก),

(๐น)๐‘– = ๐‘“(๐‘–)[๐‘ฆ(1), ๐‘ฆ(2), โ€ฆ , ๐‘ฆ(๐‘); ๐‘ก, ๐œ†].

2. Penyelesaian umum untuk persamaan (3.36) dinyatakan dengan ๐‘Œ(๐‘ก) = ฮฆ(ฮป, ๐‘Œ0, ๐‘ก0, ๐‘ก)

dimana

๐‘ฆ(๐‘–)(๐‘ก) = ๐œ™(๐‘–)[ฮป, ๐‘ฆ0(1), ๐‘ฆ0(2), โ€ฆ , ๐‘ฆ0(๐‘), ๐‘ก0, ๐‘ก].

3. Persamaan beda eksak yang sesuai dengan persamaan diferensial diperoleh dengan membuat substitusi berikut

{ ๐‘Œ(๐‘ก) โ†’ ๐‘Œ๐‘˜+1, ๐‘Œ0 = ๐‘Œ(๐‘ก0) โ†’ ๐‘Œ๐‘˜, ๐‘ก0 โ†’ ๐‘ก๐‘˜, ๐‘ก โ†’ ๐‘ก๐‘˜+1. Contoh 3

Dipandang persamaan diferensial logistik umum dengan suatu nilai awal ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ก = ๐œ†1๐‘ฆ โˆ’ ๐œ†2๐‘ฆ

2, ๐‘ฆ(๐‘ก0) = ๐‘ฆ0 (3.37)

Penyelesaian untuk masalah nilai awal dari persamaan (3.37) di atas adalah

๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐œ†1๐‘ฆ0

(๐œ†1โˆ’ ๐‘ฆ0๐œ†2)๐‘’โˆ’๐œ†1(๐‘กโˆ’๐‘ก0)+ ๐œ†2๐‘ฆ0 .

(3.38)

Berdasarkan langkah nomor 3 di atas kita akan mensubstitusikan ๐‘ก0 โ†’ ๐‘ก๐‘˜, ๐‘ก โ†’ ๐‘ก๐‘˜+1, ๐‘ฆ0 โ†’ ๐‘ฆ๐‘˜, ๐‘ฆ(๐‘ก) โ†’ ๐‘ฆ๐‘˜+1,

ke persamaan (3.38) sehingga diperoleh

๐‘ฆ๐‘˜+1 = ๐œ†1๐‘ฆ๐‘˜

(๐œ†1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜๐œ†2)๐‘’โˆ’๐œ†1ฮ”๐‘ก + ๐œ†2๐‘ฆ๐‘˜ ,

(3.39)

Persamaan (3.39) di atas adalah persamaan beda hingga eksak atau skema beda hingga eksak yang sesuai untuk persamaan (3.37). Persamaan (3.39) dapat ditulis ke dalam bentuk yang lebih konstruktif. Dengan melakukan operasi aljabar pada persamaan (3.39) akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜ (๐‘’๐œ†1ฮ”๐‘ก๐œ† โˆ’ 1 1 )

= ๐œ†1๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ ๐œ†2๐‘ฆ๐‘˜+1๐‘ฆ๐‘˜. (3.40)

Sebagai catatan bahwa metode Euler maju untuk persamaan (3.37) adalah ๐‘ฆ๐‘˜+1โˆ’ ๐‘ฆ๐‘˜

ฮ”๐‘ก = ๐œ†1๐‘ฆ๐‘˜โˆ’ ๐œ†2๐‘ฆ๐‘˜๐‘ฆ๐‘˜.

(3.40a)

Persamaan (3.40a) akan menjadi pembanding metode beda hingga eksak untuk menyelesaikan persamaan (3.37)

Selanjutnya akan dibahas skema beda hingga eksak untuk sistem dari dua pasang persamaan diferensial biasa linear.

Dipandang sistem persamaan diferensial ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ก = ๐›ผ๐‘ข + ๐›ฝ๐‘ค, (3.41a) ๐‘‘๐‘ค ๐‘‘๐‘ก = ๐›พ๐‘ข + ๐›ฟ๐‘ค, (3.41b)

dengan kondisi nilai awal

๐‘ข0= ๐‘ข(๐‘ก0), ๐‘ค0 = ๐‘ค(๐‘ก0),

๐›ผ๐›ฟ โˆ’ ๐›ฝ๐›พ โ‰  0.

Sebelum membahas skema beda eksak dari persamaan (3.41) di atas akan terlebih dahulu dibahas penyelesaian umum dari persamaan (3.41) yang diperoleh secara analitik. Misalkan: ๐‘ข = ๐ด๐‘’๐œ†๐‘ก, ๐‘ฃ = ๐ต๐‘’๐œ†๐‘ก, (3.42) ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ก = ๐ด๐œ†๐‘’ ๐œ†๐‘ก, ๐‘‘๐‘ฃ ๐‘‘๐‘ก = ๐ต๐œ†๐‘’ ๐œ†๐‘ก.

Jika persamaan (3.42) disubstitusikan ke persamaan (3.41) maka persamaan (3.41) akan menjadi ๐ด๐œ†๐‘’๐œ†๐‘ก = ๐›ผ๐ด๐‘’๐œ†๐‘ก+ ๐›ฝ๐ต๐‘’๐œ†๐‘ก, (3.43) ๐ต๐œ†๐‘’๐œ†๐‘ก = ๐›พ๐ด๐‘’๐œ†๐‘ก+ ๐›ฟ๐ต๐‘’๐œ†๐‘ก, atau ๐ด๐œ† = ๐›ผ๐ด + ๐›ฝ๐ต, (3.44) ๐ต๐œ† = ๐›พ๐ด + ๐›ฟ๐ต, atau (๐œ† โˆ’ ๐›ผ)๐ด + ๐›ฝ๐ต = 0, (3.45) ๐›พ๐ด + (๐œ† โˆ’ ๐›ฟ)๐ต = 0.

Selanjutnya akan dicari nilai eigen dari persamaan (3.45) diatas sehingga berdasarkan persamaan (3.45) dapat membentuk matriks yang determinannya sama dengan 0 yaitu

det [๐œ† โˆ’ ๐›ผ ๐›ฝ

๐›พ ๐œ† โˆ’ ๐›ฟ] = 0. (3.46)

Persamaan (3.46) dapat diperluas menjadi suatu persamaan kuadrat, yaitu ๐œ†2โˆ’ (๐›ผ + ๐›ฟ)๐œ† + (๐›ผ๐›ฟ โˆ’ ๐›ฝ๐›พ) = 0,

dengan menggunakan rumus kuadratik dapat diperoleh nilai akar-akar dari persamaan (3.47)

๐œ†1,2 =(๐›ผ + ๐›ฟ) ยฑ โˆš(๐›ผ + ๐›ฟ)2โˆ’ 4(๐›ผ๐›ฟ โˆ’ ๐›ฝ๐›พ)

2 ,

2๐œ†1,2 = (๐›ผ + ๐›ฟ) ยฑ โˆš(๐›ผ + ๐›ฟ)2โˆ’ 4(๐›ผ๐›ฟ โˆ’ ๐›ฝ๐›พ). (3.47) Apabila nilai dari ๐œ†1dan ๐œ†2 disubstitusi ke persamaan (3.45) maka akan di peroleh

๐ด1 = ๐›ฝ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2, ๐ต1 = ๐œ†1โˆ’ ๐›ผ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2, (3.48) ๐ด2 = ๐›ฝ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2, ๐ต2 = ๐œ†2โˆ’ ๐›ผ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2.

Menurut Ross (1984:303) penyelesaian umum dari persamaan (3.41) dapat ditulis ke dalam bentuk

๐‘ข(๐‘ก) = ๐‘1๐ด1๐‘’๐œ†1๐‘ก+ ๐‘2๐ด2๐‘’๐œ†2๐‘ก, (3.49)

๐‘ค(๐‘ก) = ๐‘1๐ต1๐‘’๐œ†1๐‘ก+ ๐‘2๐ต2๐‘’๐œ†2๐‘ก.

Apabila persamaan (3.48) disubstitusi ke persamaan (3.49) maka akan diperoleh

๐‘ข(๐‘ก) = ๐‘1( ๐›ฝ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2) ๐‘’ ๐œ†1๐‘ก+ ๐‘2( ๐›ฝ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2) ๐‘’ ๐œ†2๐‘ก, (3.50) ๐‘ค(๐‘ก) = ๐‘1(๐œ†1โˆ’ ๐›ผ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2) ๐‘’ ๐œ†1๐‘ก+ ๐‘2(๐œ†2โˆ’ ๐›ผ ๐œ†1โˆ’ ๐œ†2) ๐‘’ ๐œ†2๐‘ก.

Diketahui bahwa kondisi nilai awal dari persamaan (3.41) adalah ๐‘ข0= ๐‘ข(๐‘ก0), ๐‘ค0 = ๐‘ค(๐‘ก0),

dengan menggunakan kondisi nilai awal tersebut dapat dicari nilai dari ๐‘1dan ๐‘2, sehingga dengan melakukan operasi aljabar akan diperoleh masing-masing

๐‘1 = โˆ’๐‘ข0๐‘’ โˆ’๐œ†1๐‘ก0(๐œ†2โˆ’ ๐›ผ) ๐›ฝ + ๐‘ค0 dan ๐‘2 = ( ๐‘ข0(๐œ†1โˆ’ ๐›ผ) ๐›ฝ โˆ’ ๐‘ค0) ๐‘’ โˆ’๐œ†2๐‘ก0.

Hasil dari substitusi nilai ๐‘1 dan ๐‘2 yang telah diperoleh ke persamaan (3.50) adalah

Dokumen terkait