• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pemanfaatan Ruang

Dalam dokumen KATA PENGANTAR LAPORAN KEGIATAN BKPRN (Halaman 26-50)

Pemanfaatan Ruang

Dalam melaksanakan fungsi koordinasi di bidang penataan ruang, BKPRN menjadi forum pemberian rekomendasi upaya penyelesaian untuk berbagai konflik pemanfaatan ruang, baik antarsektor, antardaerah, maupun antara sektor dan daerah. Sejak tahun 2009, BKPRN telah membahas berbagai konflik pemanfaatan ruang di daerah dan beberapa diantaranya telah menghasilkan rekomendasi penyelesaian kepada Pemerintah Daerah sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Penggunaan Kawasan untuk Peace Keeping Centre dan Standby Force di

Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

Pada tahun 2010, Kementerian Pertahanan menyampaikan permohonan rekomendasi penggunan kawasan Peace Keeping Centre (PKC)/Pusat Misi Pemelihara Perdamaian TNI (PMPP TNI) dan Standby Force di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor (Surat Menteri Pertahanan No.B/247/M/II/2010). Lahan seluas 260 Ha yang diusulkan sebagai lokasi PKC tersebut berada pada Zona B3, yang dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur diarahkan pemanfaatannya untuk kawasan rumah hunian rendah yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, serta merupakan kawasan resapan air dengan batasan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) mencapai 50%.

BKPRN telah merekomendasikan bahwa rencana kegiatan PKC masih sesuai dengan kriteria dan arahan pemanfaatan ruang dengan penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sebesar 5% (Surat Menteri PU selaku Ketua

Tim Pelaksana BKPRN No.TR.04 04-Mn/365 tertanggal 12 Juli 2010). Namun demikian dalam perkembangannya, sesuai arahan Presiden bahwa kawasan PKC akan dikembangkan menjadi kawasan seven in one, Menteri Pertahanan mengajukan perubahan atas rekomendasi sebelumnya dengan peningkatan KDB menjadi 20% (Surat No. B/171/M/II/2012 tertanggal 9 Februari 2012).

BKPRN kemudian menanggapi bahwa kawasan PKC dapat dibangun dengan KDB 5-8% (Surat Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Tim Pelaksana BKPRN No.TR.04 04-Mn/212 tertanggal 13 April 2012). Terhadap rencana perubahan penggunaan PKC tersebut, BKPRN merekomendasikan revisi penetapan lokasi oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan revisi AMDAL, serta perlu untuk dilakukan sosialisasi kegiatan IPSC kepada masyarakat dalam proses pembebasan lahan yang berjalan oleh Kementerian Pertahanan. Ketentuan tersebut lebih lanjut perlu diintegrasikan kedalam RDTR Kabupaten Bogor.

Pembangunan Gedung Disaster Reduction Center (DRC) dan Arsip Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Kabupaten

Cianjur, Provinsi Jawa Barat

Pada September 2010, PPATK membangun gedung DRC dan arsip PPATK, yang berlokasi di Desa Ciloto, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur dan telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) berlaku tahun 2003-2033. Pembangunan dilakukan tanpa adanya Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Permohonan IMB yang kemudian diajukan PPATK ditolak oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur karena dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang

Gambar 14 Lambang Peacekeeping

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

mendirikan bangunan, kecuali bangunan yang dimaksudkan bagi upaya peningkatan fungsi lindung. Disamping itu, dalam Perda Kab. Cianjur No. 17 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur lokasi tersebut berada pada kawasan resapan air dengan syarat KDB <10%.

BKPRN menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan Gedung DRC dan Arsip PPATK tidak sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang dalam Perpres No. 54 Tahun 2008 dan Perda Kabupaten Cianjur No. 7 Tahun 1997 sehingga perlu ditertibkan (Surat Menko Perekonomian S-83/M.EKON/05/2011 tertanggal 23 Mei 2011).

Proses Penyusunan RTRW Provinsi Aceh

Dalam rangka penyusunan RTRW, pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Aceh mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan terutama untuk penambahan luasan hutan lindung seluas 800.000 Ha. Usulan tersebut tidak disepakati oleh 7 (tujuh) Kabupaten/Kota yaitu Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subulussalam karena penambahan luasan hutan lindung tersebut akan mengurangi luasan kawasan budidaya.

BKPRN telah melakukan mediasi antara Pemerintah Provinsi Aceh dengan ketujuh Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut dan disepakati solusi mengacu pada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Sebagai tindak lanjut, direkomendasikan agar proses Tim Terpadu Kehutanan segera diselesaikan agar Perda RTRW Aceh dapat segera ditetapkan.

Pemanfaatan Kawasan Karst di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi D.I

Yogyakarta

Latar belakang terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Kabupaten Gunungkidul adalah ditetapkannya 9 (Sembilan) Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP) yang berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2030 sebagian lokasinya berada pada Kawasan Karst. Hal tersebut tidak sejalan dengan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN yang menetapkan Kawasan Karst sebagai kawasan lindung.

Selain itu, penetapan tersebut juga tidak sejalan dengan Keputusan Gubernur D.I Yogyakarta No. 88/KEP/2011 tentang Evaluasi Raperda RTRW Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010-2030 dan Keputusan Menteri ESDM No. 1659 K/40/MEM/2004 tentang Penetapan Kawasan Karst Gunung Sewu dan Pacitan Timur, yang menyatakan terdapat 5 (lima) wilayah yang diperbolehkan sebagai Kawasan Peruntukan Pertambangan (KPP).

BKPRN merekomendasikan Kementerian ESDM untuk melakukan kajian ulang terhadap cara pengklasifikasian Kawasan Karst sehingga tidak seluruh Kawasan Karst ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten

Batang, Provinsi Jawa Tengah

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang terhambat dikarenakan lokasi tapak PLTU tersebut berbatasan dengan Taman Wisata Alam Laut Daerah (TWALD) Pantai Ujungnegoro-Roban, yang dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN ditetapkan sebagai kawasan lindung nasional. Oleh karena itu, kepada BKPRN Bupati Kabupaten Batang meminta penjelasan dan penegasan delineasi kawasan agar tidak terjadi tumpang tindih.

Setelah dilakukan kajian dan mempertimbangkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.29/MEN/2012 tentang Penetapan Kawasan Konservasi dan Pulau-Pulau Kecil Ujungnegoro-Roban Kabupaten

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

rencana pembangunan PLTU Batang terletak di wilayah daratan sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang (PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, Perda No. 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah, dan Perda No. 7 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Batang) dan tidak berada pada kawasan konservasi. Rencana pembangunan PLTU yang memanfaatkan wilayah laut perlu memperhatikan Kawasan Taman Wisata Alam Laut Daerah dan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Sebagai tindak lanjut, BKPRN merekomendasikan perlu dilakukan AMDAL dan Izin Lingkungan serta mengintegrasikan rencana pembangunan PLTU Batang kedalam RDTR dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).

Pembangunan Bali International Park (BIP) di Kabupaten Badung,

Provinsi Bali

Pembangunan Kawasan Terpadu Bali International Park yang berlokasi di Kawasan Perkotaan Jimbaran belum mendapatkan izin lokasi dari Bupati Badung karena berdasarkan Rancangan RTRW Kabupaten Badung (yang sudah memperoleh persetujuan substansi Menteri PU pada tanggal 15 Maret 2011), lokasi peruntukannya bukan untuk kawasan pariwisata.

Di sisi lain, menurut Pasal 15 Ayat (2) butir b Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, kegiatan di Kawasan Perkotaan Jimbaran Kabupaten Badung salahsatunya adalah sebagai pusat kegiatan pariwisata. Berdasarkan pasal tersebut, Bupati Badung kemudian mengusulkan Pemerintah Pusat mengeluarkan surat untuk memerintahkan Bupati Badung agar memproses izin prinsip sesuai dengan ketentuan Perpres No. 45 Tahun 2011.

BKPRN menyimpulkan bahwa izin prinsip pembangunan Kawasan Terpadu BIP dapat diterbitkan, dengan mengacu pada ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang termuat di dalam Perpres No. 45 Tahun 2011 (Surat Menteri PU No.TR.03 03-Mn/658 tertanggal 28 Desember 2011). Disamping itu, direkomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Badung segera mempercepat proses penetapan Perda RTRW Kabupaten Badung, agar tersedia acuan spasial pelaksanaan pembangunan, termasuk dasar untuk pemberian izin pemanfaatan ruang.

Pembangunan Kawasan Industri di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa

Tengah

Konflik yang muncul dalam rencana pembangunan Kawasan Industri di Wonogiri diawali oleh adanya Surat Keputusan Bupati Wonogiri No. 6097 Tahun 2011, tanggal 5 Oktober 2011 mengenai Izin Lokasi Penggunaan Kawasan Hutan Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan/BKPH Pulosari (Alas Kethu) Kabupaten Wonogiri. Dengan terbitnya izin tersebut, Direktur PT Kawasan Industri mengajukan Permohonan Rekomendasi Izin Penggunaan Kawasan Hutan kepada Gubernur Jawa Tengah (Surat No. 012/ IV/ KIW/ 2012, tanggal 10 April 2012).

Gubernur Jawa Tengah kemudian memberikan tanggapan agar lokasi penggunaan Kawasan Hutan BKPH Pulosari Alas Kethu tidak dialihfungsikan menjadi Kawasan Industri karena adanya

ketidaksesuaian antara izin pembangunan kawasan industri baik dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah, RTRW Kabupaten Wonogiri, maupun Surat No. S.933/Menhut-VII/2009 tanggal 11 Desember 2009 perihal Persetujuan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (Surat Gubernur Jawa Tengah kepada Bupati Wonogiri No. 660/08085 tanggal 11 Mei 2012 dan Surat Gubernur Jawa Tengah kepada Direktur PT. Kawasan Industri No. 660/08002 tanggal 10 Mei 2012).

Gambar 16 Lokasi Kawasan Alas Kethu dalam RTRW Kab. Wonogiri

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

Berdasarkan pembahasan BKPRN, apabila pembangunan Kawasan Industri akan tetap dilaksanakan, maka persyaratan yang perlu dipenuhi:

1. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan/atau Kabupaten Wonogiri mengajukan perubahan alih fungsi lahan Kawasan Hutan Alas Kethu menjadi Kawasan Industri kepada Menteri Kehutanan.

2. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan/atau Kabupaten Wonogiri melakukan revisi terhadap Perda RTRW Provinsi Jawa Tengah No. 9 Tahun 2011 dan Perda RTRW Kabupaten Wonogiri No. 9 Tahun 2011.

Usulan Reklamasi di Wilayah Perairan Teluk Benoa, Provinsi Bali

Pada tahun 2013, konflik pemanfaatan ruang di Kawasan Teluk Benoa muncul terkait adanya usulan investasi kegiatan pariwisata di Kawasan Teluk Benoa, dengan melaksanakan reklamasi di kawasan tersebut. Sementara itu, berdasarkan Pasal 43 dan Pasal 55 Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang RTR KSN Sarbagita, lokasi Teluk Benoa berada pada Zona Lindung (L3).

Sebagai upaya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang tersebut, dalam Sidang Menteri BKPRN pada awal tahun 2014 yang dipimpin oleh Menko Perekonomian selaku Ketua BKPRN disepakati perlu dilakukan kajian teknis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait perubahan peruntukan Kawasan Teluk Benoa. Pada Juni 2014, terbit Perpres No. 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita.

Rencana Investasi Pabrik Kelapa Sawit di Kota Dumai, Provinsi

Kepulauan Riau

Walikota Dumai menyampaikan permohonan arahan kepada BKPRN terkait rencana investasi pabrik kelapa sawit PT. Aekloba Sawita Jaya Mandiri pada kawasan yang dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Dumai termasuk ke dalam Kawasan Pengembangan Dumai Baru (Surat Walikota Dumai No. 503/BPTPM/06 tertanggal 15 Januari 2014).

Dalam Pasal 89 huruf f Rancangan Perda RTRW Kota Dumai disebutkan bahwa pengembangan yang diperbolehkan dalam Kawasan Pengembangan Dumai Baru adalah permukiman terencana; perdagangan dan jasa; peternakan; serta perkantoran pemerintah terpadu. Sedangkan pengembangan kegiatan industri sama sekali tidak diperbolehkan.

Hasil pembahasan forum BKPRN berkesimpulan bahwa pada prinsipnya, izin rencana investasi pengembangan pabrik kelapa sawit PT Aekloba Sawita Jaya Mandiri dapat diberikan, dengan mengacu pada Perda RTRW Kota Dumai No. 11 Tahun 2002 berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 188.34/1055/IV/Bangda tanggal 5 Februari 2013 tentang Percepatan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.

Pembangunan Pabrik Baja di Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur

Konflik pemanfaatan ruang di Kabupaten Mojokerto muncul berkenaan adanya rencana pembangunan pabrik baja di Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Berdasarkan Perda No. 9 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Mojokerto, lokasi

Gambar 17 Pola Ruang Kawasan Teluk Benoa dalam Perpres No. 45 Th 2011

Gambar 18 Pola Ruang Rancangan Perda RTRW Kota Dumai

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

pembangunan pabrik baja diperuntukan sebagai kawasan industri menengah. Sementara itu, Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan telah menerbitkan Surat Keputusan No. 260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional.

Berdasarkan pembahasan BKPRN, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pemerintah Kabupaten Mojokerto segera menyusun Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) guna memastikan pemanfaatan ruang bagi kepentingan konservasi maupun budidaya sesuai dengan ketentuan pada RTRW Kabupaten Mojokerto.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera menyusun sistem zonasi pada kawasan cagar budaya sebagai tindak lanjut Kepmendikbud No. 260/M/2013 sesuai ketentuan peraturan perundangan.

Kementerian Perindustrian menyusun kriteria klasifikasi industri menengah dan besar.

Alternatif kegiatan budidaya yang sejalan dengan RTRW Kabupaten Mojokerto dan tidak melanggar prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya setempat.

Pembangunan Bandara Karawang dan Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten

Karawang, Provinsi Jawa Barat

Mengemukanya konflik pemanfaatan ruang di Kabupaten Karawang dilatarbelakangi adanya rencana peningkatan pelayanan transportasi di wilayah Greater Jakarta Metropolitan Area, meliputi pembangunan Bandara Karawang serta Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang.

Rencana pembangunan Bandara Karawang telah diakomodir dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.PM 69 Tahun 2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. Namun demikian, rencana tersebut tidak sejalan dengan arahan peruntukan ruang dalam RTRWN, RTR Pulau Jawa-Bali, RTRW Provinsi Jawa Barat, maupun RTRW Kabupaten Karawang. Selain itu, diperkirakan akan muncul tumpang tindih pelayanan dengan Bandara Kertajati di Kabupaten Majalengka yang direncanakan mulai beroperasi Tahun 2018. Dalam pembangunan Bandara Karawang masih terdapat beberapa

hal yang perlu dilakukan sebagai pertimbangan kelanjutan rencana pembangunan, antara lain: a) Kajian bentuk kebijakan RTRWN dalam mengendalikan pemanfaatan ruang disekitar bandara maupun akses menuju bandara; b) Kajian teknis terhadap upaya meminimalisir peralihan fungsi lahan pertanian; c) Kompensasi penggantian lahan hutan; serta d) Kajian mengenai titik jenuh pelayanan bandara dan kebutuhan pengembangan bandara di masa yang akan datang.

Sementara itu, rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya telah sesuai dengan arahan peruntukan ruang dalam RTR Jawa-Bali, RTRW Provinsi Jawa Barat, serta RTRW Kabupaten Karawang. Namun pembangunan akses dari dan menuju pelabuhan tersebut masih terkendala adanya rencana jaringan jalan yang melewati lahan pertanian pangan. Padahal Kabupaten Karawang merupakan lumbung padi kedua di Indonesia.

Di sisi lain, juga terdapat tumpang tindih pembangunan Pelabuhan Cilamaya dengan fasilitas eksisting migas milik PT. Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONJW), yang juga memasok gas untuk listrik PLN wilayah DKI

Gambar 19 Posisi Situs Trowulan dalam RTRW Kab. Mojokerto

Gambar 20 Pola Ruang dalam RTRW Kab. Karawang

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

BKPRN merekomendasikan agar pemerintah Kabupaten Karawang segera menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mengakomodasi titik koordinat jalur akses pelabuhan, alokasi kawasan terkait Back Up Area, serta penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Rencana Reklamasi Pantai Utara Kabupaten Tangerang

BKPRD Tangerang menyampaikan permohonan rekomendasi Rencana Reklamasi di Pantai Utara Kacamatan Kronjo dan Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang (Surat BKPRD No. 050.34/XII/BKPRD/2013). Pada prinsipnya BKPRD telah memberikan rekomendasi peruntukan ruang sebesar 1.650 Ha, dengan beberapa catatan, diantaranya pihak pengembang harus mempersiapkan Master Plan Kawasan Reklamasi, memanfaatkan sedimentasi di sekitar lokasi, mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan di wilayah utara, terpadu dengan pelestarian lingkungan, serta memiliki dokumen perijinan. Pembahasan dalam forum BKPRN menghasilkan pokok rekomendasi bahwa pelaksanaan reklamasi pantai utara Kabupaten Tangerang dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan menteri KKP, tanpa harus menyusun Peraturan Zonasi karena substansi mengenai reklamasi sudah termuat dalam RTRW Kabupaten Tangerang.

Berdasarkan pembahasan BKPRN, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Rencana penyelenggaraan reklamasi laut di Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Mekar Baru dapat dilaksanakan melalui rekayasa teknis dengan memperhatikan upaya untuk mencegah abrasi, retensi dan intrusi air laut, konservasi hutan bakau, dan memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan yang rendah.

Penyelenggaraan reklamasi laut dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketentuan Koefisien Zona Bangunan (KZB) paling tinggi 45% dan jarak dari titik surut terendah sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dan harus mempertimbangkan karakteristik lingkungan sebagai penyangga fungsi zona B6 (perumahan hunian rendah dengan KZB maksimum 50%) dan zona B7 (perumahan hunian rendah dengan KZB maksimum 40%), sebagaimana diatur dalam Perpres 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.

Rencana penyelenggaraan reklamasi laut di Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang harus didahului dengan kajian komprehensif yang dapat berupa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan/atau AMDAL untuk Development Plan (rencana pengembangan).

Rencana penyelenggaraan reklamasi laut di Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Mekar Baru harus diintegrasikan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Tangerang.

Rencana Pembangunan Runway-III Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Rencana pengembangan runway-III Bandara Soekarno Hatta merupakan rencana pembangunan yang sudah dibuat oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota Tangerang bersama dengan PT. Angkasa Pura II. Berdasarkan citra satelit, lokasi pembangunan runway-III Bandara memiliki karakteristik berupa permukiman dan persawahan irigasi. Dalam Perpres 54 Tahun 2008 tentang RTR Kawasan Jabodetabekpunjur, lokasi perluasan bandara memiliki arahan zona B5 yaitu sebagai pertanian lahan basah (irigasi teknis) dan zona B2 (perumahan hunian sedang, pertanian/ladang, dan industri berorientasi tenaga kerja). Sedangkan pada Perda No.13 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Tangerang dimana disebutkan bahwa lokasi tersebut ditetapkan sebagai cadangan perluasan Bandara, sementara disisi lain juga memiliki arahan sebagai pertanian dan kawasan permukiman kepadatan sedang.

Gambar 21 Pola Ruang dalam RTRW Kab. Tangerang

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

Berdasarkan pembahasan BKPRN disepakati beberapa kesimpulan, yaitu:

Rencana perluasan Bandara Internasional Soekarno Hatta khususnya penambahan runway-III di sisi utara Bandara pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Perda No. 13 Tahun 2011 dimana lokasi rencana penambahan

runway-III diperuntukan sebagai wilayah cadangan perluasan bandara.

Rencana pembangunan runway-III Bandara Soekarno-Hatta harus diakomodasi dan diintegrasikan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai bentuk operasional dari RTRW Kabupaten Tangerang.

Untuk memberikan kepastian terhadap lokasi pembangunan runway-III Bandara Soekarno Hatta, maka Pemerintah Kabupaten Tangerang diharapkan dapat menyiapkan RDTR Kabupaten Tangerang secepatnya.

Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pemanfaatan Ruang Lainnya

Selain konflik-konflik pemanfaatan ruang yang telah disebutkan di atas, selama periode tahun 2009-2014 BKPRN telah memberikan rekomendasi terhadap beberapa konflik sebagai berikut.

Tabel 4 Rekomendasi Penanganan Konflik Pemanfaatan Ruang Tahun 2009-2014

No Lokasi Permasalahan Rekomendasi

1 Desa Kohod, Kec.

Pakuhaji Pembangunan kawasan perumahan dan komersial Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan Koefisien Zona Terbangun (KZB) paling tinggi 50% dan tetap berfungsi sebagai penyangga Zona N1 Perlu dilakukan AMDAL dan Rencana Pengembangan

(Development Plan)

Perlu diintegrasikan ke dalam RDTR

2 Desa Tajur, Kec.Citereup, Kab.Bogor

Pembangunan perumahan non dinas

prajurit TNI AD Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan intensitas Koefisien Dasar Bangunan (KDB) tidak lebih dari 20%

Lokasi pembangunan tidak bersinggungan dengan kawasan hutan dan pertanian irigasi teknis

Perlu diintegrasikan ke dalam RDTR

3 Desa Hambalang, Kec. Citeureup, Kab. Bogor

Rencana pembangunan Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (STKKP) Indonesia Cerdas Unggul

Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan intensitas lahan terbangun pada lokasi mengikuti ketentuan KDB antara 5-8%

Wajib dilakukan AMDAL dan kajian geologi teknik terkait desain struktur bangunan dan infrastruktur jalan yang tahan longsor/tidak memicu gerakan tanah Perlu diintegrasikan ke dalam RDTR

4 Desa Tobat, Kec. Balaraja, Kab. Tangerang

Rencana pembangunan Kawasan Industri pada Zona B2 (zona perumahan sedang, pertanian/ladang, dan industri berorientasi tenaga kerja)

Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan mengikuti Perda No. 13 Tahun 2011 tentang RTRW Kab. Tangerang dan kondisi penggunaan lahan

5 Desa Sukawali, Kec. Paku Haji, Kab. Tangerang

Rencana pembangunan perumahan terpadu pada Zona B2 (zona perumahan sedang, pertanian/ladang, dan industri berorientasi tenaga kerja)

Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui rekayasa teknis dan KZB paling tinggi 50%

Perlu diintegrasikan ke dalam RDTR dan peraturan zonasi

Perlu dilakukan kajian lingkungan komprehensif sesuai dengan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

6 Desa Benda, Kec. Sukamulya, Kab. Tangerang

Rencana pembangunan penggemukan sapi dan Rumah Potong Hewan di Zona B5 (pertanian lahan basah/irigasi teknis)

Pembangunan dapat dilakukan dengan ketentuan kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis dilarang dialihfungsikan

Perlu memperhatikan ketentuan terkait kawasan pertanian di Kab. Tangerang dan kondisi penggunaan

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

No Lokasi Permasalahan Rekomendasi

Perlu diintegrasikan ke dalam RDTR

7 Kabupaten Demak Tidak tercantumnya rencana pembangunan Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) pada Perda RTRW Kab. Demak

Rencana pembangunan SUTET akan dicantumkan ke dalam Rancangan Perpres Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kedung Sepur

8 Kota Surabaya Rencana Pembangunan Jalan Tol Tengah Surabaya

Perubahan Pembangunan Jalan Tol Tengah Surabaya menjadi akses jalan bebas hambatan lingkar kota Surabaya (telah keluar Persutujuan Substansi PU No. HK.01 03-Dr/199)

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1: Struktur & Tugas Tim Pelaksana BKPRN dan Kelompok Kerja BKPRN LAMPIRAN 2: Agenda Kerja BKPRN Tahun 2012-2013

LAMPIRAN 3: Agenda Kerja BKPRN Tahun 2014-2015 LAMPIRAN 4: Pelaksanaan Agenda Kerja BKPRN 2009-2014 LAMPIRAN 5: Status Penetapan BKPRD Provinsi

LAPORAN KEGIATAN BKPRN 2009-2014

LAMPIRAN 1: Struktur & Tugas Tim Pelaksana BKPRN dan Kelompok

Kerja BKPRN

1. Struktur Organisasi dan Tugas Tim Pelaksana BKPRN

Berdasarkan Peraturan Menko Bidang Perekonomian No. PER-02/M.EKON/10/2009, Tim Pelaksana mempunyai tugas membantu BKPRN dalam melaksanakan tugas dalam bidang teknis penyelenggaraan penatan ruang dengan struktur organisasi sebagai berikut:

Ketua merangkap anggota: Menteri Pekerjaan Umum

Wakil Ketua I merangkap anggota: Deputi Bidang Koordinasi Infrastuktur dan Pengembangan Wilayah, Kemenko Perekonomian.

Wakil Ketua II merangkap anggota: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, kementerian PPN/Bappenas.

Wakil Ketua III merangkap anggota: Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Sekretaris merangkap anggota: Direktur Jenderal penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

Anggota: Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri; Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan; Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian; Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian; Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan; Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan; Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan; Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan; Direktur Jenderal Hukum dan

Dalam dokumen KATA PENGANTAR LAPORAN KEGIATAN BKPRN (Halaman 26-50)

Dokumen terkait