• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA GADAI ( RAHN )

C. Penyelesaian Sengketa Gadai ( Rahn )

Pegadaian Syariah harus sesuai dengan Syariah Islam, dimana dalam memutuskan suatu penyelesaian sengketa harus dilatar-belakangi dari Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut Ahmad Rofiq, penyelesaian dengan cara berdamai, sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa Bin Khattab Ra menasehatkan agar diantara pihak yang mempunyai urusan dapat memilih cara damai. Umar Ra berkata : “boleh mengadakan perdamaian diantara kaum muslimin, kecuali menggadakan perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Lebih tegas lagi umar memerintahkan :“kembalikanlah penyelesaian perkara diantara sanak saudara sehingga mereka dapat menggadakan

93 Wawancara dengan Martius, Manager Usaha Rahn Pegadaian Syariah Cabang

perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak”.94

Begitu juga dalam fiqh Islam, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dalam perdamaian. Adapun dikemukakan beberapa alternatif penyelesaian sengketa bagi para pihak yang menggadakan perjanjian, apabila terjadi suatu perselisihan, yaitu :

1. SULH(Perdamaian)

Sulh adalah akad untuk menyelesaikan suatu masalah atau perselisihan sehingga menjadi perdamaian. Umpamanya dalam bidang perbankan, Nasabah (mengalami interpretasi) atau tidak mampu membayar angsuran (kewajiban), maka pihak dan nasabah melakukan sulh tanpa menyelesaikan melalui jalur hukum.95

Perdamaian dalam Islam sangat dianjurkan, sebab adanya perdamaian diantara pihak yang bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran hubungan silaturahmi diantara para pihak, dan sekaligus permusuhan diantara para pihak akan diakhiri.

94Ahmad Rofiq,Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,Gama Media, Yogyakarta, tahun

2000, hal. 15.

95Hasballah Thaib,Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqh Islam dan Praktek Di Bank Sistem

Syariah,Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana Unirversitas Sumatera Utara Medan, tahun 2005, hal.146.

Adapun dasar hukum anjuran perdamaian diantara para pihak yang bersengketa ini dapat dilihat dalam ketentuan Al-Quran, Sunnah dan Ijma, yakni:96

a). Dalam Al-Quran, Surah Al-Hujurat ayat 9 menyatakan, yang artinya sebagai berikut : “Dan golongan orang beriman bertengkar, damaikanlah mereka. Tapi jika salah satu dari kedua (golongan) berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah orang yang aniaya, sampai kembali kepada perintah Allah. Tapi jika ia telah kembali, damaikanlah keduannya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cintakan orang yang berlaku adil”.

b).Dari Abu Daud, At Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amar bin Auf, bahwa Rasullah SAW bersabda, yang artinya berbunyi sebagai berikut : “ Perjanjian diantara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalal yang atau mengharamkan yang halal”.

Dan Umar Ra (salah seorang Khulafarrasyiddin) di dalam suatu peristiwa pernah mengunggkapkan : “Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka (pihak yang bersengketa).

c). Ijma’, para ahli hukum telah sepakat (Ijma) bahwa penyelesaian pertikaian diantara para pihak yang bersengketa adalah disyariatkan dalam Agama Islam.

96Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, S.H.,Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar

2. IBRA

Ibra adalah melepaskan atau mengikhlaskan atau atau menghapuskan utang seseorang oleh pemberi utang. Menurut Jumhur Ulama, Ibra diterima dalam keadaan sebagai berikut :97

i. ApabilaIbra’ tersebut diberlakukan dalam masalah pengalihan utang.

ii. Apabila orang yang berutang meminta uangya digugurkan, lalu dikabulkan oleh pemberi utang.

3. Arbitrase

Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Jadi arbitrase ini sebanarnya merupakan lembaga peradilan oleh hakim partikulir/swasta.98

Beberapa pengertian arbitrase menurut sarjana dan peraturan perundang- undangan di Indonesia, antara lain :99

a. R. Soebekti : arbitrase adalah suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan, artinya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak tunduk pada putusan yang diberikan oleh para arbiter yang mereka pilih tersebut.

97Hasballah Thaib,Ibid, hal.147.

98

Hasballah Thaib,Op.cit., hal.149.

99Syahputra-Prifatama & Associates Law Firm & Consulting,Training tentang Penyelesaian

b. Abdulkadir Muhammad : Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Penyelesaian di luar pengadilan negara yang merupakan kehendak bebas yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.

c. Pasal 1 ayat I Undang-undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak.

Kaum Muslimin telah mengenai dan melaksanakan arbitrase (lembaga hakam) sebagai pranata sosial semenjak awal kehadiran Islam. Arbitrase Syariah kini diaktualisasikan dalam sebuah lembaga hakam yang bernama Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), semula bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).100

Adapun dasar hukum anjuran diadakanya Arbitrase Syariah dalam penyelesaian sengketa diantara para pihak yang bersengketa ini dapat dilihat dalam ketentuan Al-Qur'an, Ijma', yakni :101

a. Dalam Al Qur'an yakni:

- Surat A1 Hujurat ayat 9, yang artinya sebagai berikut : " Dan jika dua golongan orang beriman bertengkar, damaikanlah mereka. Tapi jika salah

100Badan Arbitrase Syariah Nasional,Profil dan Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional,

Cetakan III, tahun 2008, hal. 1.

satu dari kedua (golongan) berlaku aniaya terhadap yang lain, maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah Allah. Tapi jika ia telah kembali, damaikanlah keduanya dengan adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cintakan orang yang berlaku adil''.

- Surat An-Nisa ayat 35, yang artinya sebagai berikut : "Jika kamu khawatir terjadi sengketa diantara keduanya (suami-isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki ssorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

b. Ijma'

Banyak riwayat menunjukkan bahwa para ulama dan sahabat Rasulullah sepakat (Ijma) rnembenarkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Misalnya diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda. Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu patah. Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak. Umar berkata : “baiklah tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda berkata : "Aku rela Abu Syureih untuk menjadi hakam".

Maka dengan menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu Syureih, Abu syurieh (hakam) yang dipilih itu memutuskan bahwa umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih berkata kepada Umar bin Khattab :"

Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat’’. Umar menerima baik putusan itu. Pada riwayat lain Umar bin Khattab bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab tentang sebidang tanah dan bersepakat menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai hakam. Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir bin Muth'im.

Di Indonesia, untuk penyelesaian sengketa-sengketa keperdataan selain melalui lembaga peradilan resmi milik negara seperti pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama (untuk ekonomi syariah) dibenarkan juga secara hukum penyelesaian sengketa melalui peradilan swasta/partikelir yakni melalui sistem arbitrase sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor, 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pengadilan Negeri adalah suatu badan peradilan negara dengan kewenangan menyelesaikan (memeriksa mengadili memutus) sengketa keperdataan umum dan memeriksa/mengadili dan memutus perkara-perkara pidana. Sedangkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kelarasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah" wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Ada beberapa Badan/Lembaga Arbitrase yang bersifat perrnanen, seperti misalnya :102

1. Badan Arbitrase Nasional lndonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977;

2. Badan Arbitrase Mu'amalah Indonesia(BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993. Atas dasar rekomendasi Rakernas MUI tahun 2002, kemudian MUI mengubah nama dan status badan tersebut menjadi Badan Arbitrase Syari'ah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan satu-satunya Badan Hakam milik MUI/perangkat organisasi MUI yang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai badan hakam bersifat independen dan otonom.

3. BASYARNAS, bertugas memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam Sengketa-sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan jasa dan lain-lain (Pedoman Dasar pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan MUI No.Kep-09/UI/XII/l2003 tanggal 24 Desember 2003.

Adapun yang menjadi latar belakang didirikannya BASYARNAS (yang dulunya bernama (BAMUI), diantaranya adalah :103

a. Pada saat tokoh-tokoh umat Islam sepakat uatuk mendirikan Bank Islam (Bank yang menjalankan operasionalnya secara Islami) dan kemudian melahirkan Bank Muamalat Indonesia, maka timbullah. pertanyaan, jika

102Sjahputra-Ftifatama & Associates Law Firm & Consulting,Op.Cit, hal.4. 103Sjahputra-Ftifatama & Associates Law Firm & Consulting,Op.Cit, hal. 5.

nantinya terjadi sengketa, bagaimana penyelesaiannya agar juga tetap konsisten menggunakan syari'at Islam? Ketika itu tahun 1991, Badan-badan Peradilan Negara tidak memungkinkan karena Pengadilan Negeri tidak berlaku syari'at Islam sedangkan Pengadilan Agama (sebagaimana Undang- Undang No. 7 tahun 1989) tidak memiliki kompetensi memeriksa/memutus sengketa keperdataan umum perbankan/ekonomi syariah.

b. Untuk menyelesaikan sengketa keperdataan baik perbankan maupun lainnya agar dapat menggunakan syari'at Islam maka sepakatlah bahwa penyelesaiannya dengan menggunakan sistem arbitrase. Dengan sistem arbitrase inilah terbuka kesempatan adanya pilihan hukum yakni para yang sengketa dan penyelesaiannya dengan sistem arbitrase diperbolehkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakannya. Pilihan hukum biasa dilakukan dengan terang-terangan dan bisa dengan secara diam-diam.

c. Tentang adanya pilihan hukum dalam sistem arbitrase ini kemudian tetap dipertahankan menjadi ciri dalam UU No. 30 tahun 1999, pasal 56 ayat (2) dengan kalimat "Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak". Arbitrase sebagai suatu sistem memiliki kelebihan dan kelemahan dan diantara kelemahan tersebut adalah104

a. Apabila pihak yang kalah tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan hal ini berarti harus diajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Negeri setempat.

b. Apabila isi putusan arbitrase kurang sempurna maka putusan akan sulit dilaksanakan. Hal ini sangat terkait dengan sempurna tidaknya isi permohonan (gugatan) beserta dukungan alat bukti yang diajukan oleh Pemohon.

c. Kemungkinan diajukannya permohonan putusan arbitrase (sebagaimana diatur dalam pasal 70 UU No.30 tahun 1999) :

- Jika ternyata dokumen yang diajukannya dikemudian hari diketahui palsu/dinyatakan palsu ;

- Setelah perkara diputus ternyata ditemukan dokumen yang bersifat menentukan disembunyikan oleh lawan;

- Ternyata putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perkara;

Adapun kelebihan sistem arbitrase adalah ;

a. Semua proses persidangan dilakukan secara tertutup untuk umum. Dengan demikian kelemahan dan aib-aib para pihak tidak diketahui umum. Hal ini sangat sesuai dengan tuntunan Islam agar tidak membuka aib di muka umum bahkan sangat dianjurkan untuk menutupinya. Prinsip ini berbeda dengan di Pengadilan Negeri Pengadilan Agama yang justru prinsip persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum.

b. Proses persidangan dilaksanakan secara sederhana, tidak terlalu formalitas dan penuh dengan rasa kekeluargaan untuk memotivasi adanya perdamaian. Hal ini berbeda dengan di Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama yang harus mengutamakan pendekatan formal-prosedural.

c. Putusan arbitrase harus sudah selesai paling lama 180 hari sejak penunjukkan arbiter/arbiter majelis, sehingga akan lebih ekonomis.

d. Dalam sistem arbitrase pemeriksaan/penyelesaian perkaranya sangat dimungkinkan ditangani oleh para arbiter yang memang ahli dalam bidang yang disengketakan (baik arbiter tetap maupun mungkin dengan arbiter tidak tetap). Sedangkan dalam persidangan, hakim majelisnya hanya ahli hukum/syariah, meskipun para pihak dimungkinkankan mengajukan saksi ahli. Tentunya kedudukan hakim ahli dengan saksi ahli akan sangat berbeda dampaknya dalam kesempurnaan memberikan putusan selain faktor penambahan biaya.

e. Putusan arbitrase (putusan BASYARNAS) bersifat final (putusan akhir) dan mengikat. Hal ini sangat berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang masih terbuka adanya upaya-upaya hukum melalui banding, kasasi, bahkan dengan peninjauan kembali.

f. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan isi putusan, maka pihak yang menang hanya tinggal mohon eksekusi saja ke Pengadilan Negeri. Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap agar dapat dieksekusi masih harus berproses melalui beberapa langkah-langkah upaya hukum.

Dengan diubahnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 menjadi Undang- Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama merupakan satu prestasi

yang mengggembirakan. Jika sebelumnya Pengadilan Agama hanya mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa/mengadili perkara-perkara perkawinan, waris, wakaf, wasiat, hibah dan sedekah maka kini ditambah satu lagi masalah sengketa ekonomi syariah sebagaimana di atur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006.

Dan hal ini memberikan kesempatan bagi pelaku bisnis ekonomi syariah untuk menentukan cara penyelesaian jika ada sengketa diantara mereka, yakni dapat memilih Pengadilan Agama atau BASYARNAS. Penggunaan sistem arbitrase ini dapat dilaksanakan jika ada perjanjian atau klausula arbitrase secara tertulis yang dibuat oleh para pihak dengan kata lain tanpa adanya perjanjian/klausula arbitrase secara tertulis berarti tidak ada arbitrase. Hal ini sangat berbeda dengan berperkara melalui Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Agama yang tidak memerlukan adanya kesepakatan atau perjanjian para pihak.

Apabila penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka hal yang perlu diperhatikan adalah adanya musyawarah yang memerlukan wasit sebagai penegah untuk menyelesaikan perkara. Penunjukan wasit dalam arbitrase berfungsi agar setiap pihak mau berkompromi tanpa meninggalkan dendam dan ganjalan. Esensinya tidak meutuskan tali silaturahmi di antara para pihak yang bersengketa.

Menurut Yahya Harahapdalam makalahnya Achmad Djauhari, dalam tradisi Islam arbitrase (tahkim) bersifatAd-Hoc, ciri-cirinya yaitu :

b). Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih yang dianggap, mampu, jujur, idependen.

c). Bertindak sebagai mahkamah arbitrase.

d). Tugasnya sejak ditunjuk tidak dapat dicabut kembali (sampai selesai).

e). Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan putusan yang putusannya bersifat final dan mengikat.105

Berdasarkan uraian yang disebutkan diatas jelaslah bahwa arbitrase itu merupakan suatu sistem penyelesaian sengketa keperdataan atas dasar kesepakatan/perjanjian secara tertulis oleh pihak yang bersengketa dan putusannya bersifat final dan banding.

Alasan memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu:106 a). Kepercayaan dan keamanan, adanya kebebasan dan otonomi. b).Keahlian(expertise)

c). Cepat dan hemat biaya d). Bersifat rahasia e). Bersifat non preseden f). Kepekaan arbiter

g).Putusan arbitrase lebih mudah dilaksanakan daripada keputusan pengadilan.107

105

Http://Eei.Fe.Umy.Ac.Id/Index.Php?=Page&Id=148&Item=325, diakses pada tanggal 27 Juli 2012.

106Rachmadi Usman,Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung:PT. Citra Aditya

Bakti), 2002, hal. 105.

107

Op.Cit, http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?=page&id=148&item=325, di akses pada tanggal 27 juli 2012.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentangRahndalam ketentuan umum dalam ketentuan penutup yang berbunyi :

1. “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesempatan melalui musyawarah.”

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

Ketentuan-ketentuan di atas menjadi rujukan dari pegadaian Syariah dalam menentukan cara penyelesaian sengketa, jika terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan akad. Sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Martius Manager UsahaRahn pada pegadaian Syariah cabang Lhokseumawe, bahwa tidak pernah terjadi sengketa/perselisihan. Selama Pegadaian Syariah beroperasi sejak tahun 2003, yang telah dikonversikan dari pegadaian sistem konvensional menjadi sistem syariah, yang telah dijalankan sampai sekarang yang menerapkan prinsip Rahn. Pegadaian lebih mengutamakan musyawarah mufakat, untuk menyelesaikan perselisihan/sengketa diantara para pihak. Bila tidak tercapai dengan musyawarah mufakat, maka

penyelesaian sengketa tersebut sepakat untuk menyelesaikannya melalui BASYARNAS.108

Sehubungan dengan hal diatas, Indah nasabah (rahin)) mengunggkapkan bahwa banyak kelonggaran waktu yang diberikan pihak pegadaian syariah dalam hal nasabah (rahin) belum mampu membayar seluruh pinjaman, sehingga ia merasa pegadaian menolongnya saat masa sulit keuangan, dan juga ia tidak khawatir barang yang digadaikannya akan dilelang, karena pihak pegadaian syariah selalu memperingati nasabah bila telah jatuh tempo walaupun rahin telah mengetahui dari Surat BuktiRahn.109

Sehingga bisa dikatakan bahwa Pegadaian Syariah Lhokseumawe telah meminimalkan sengketa dengan cara memberikan sedikit pengunduran waktu dan memusyawarahkannya kepada nasabah (rahin), sehingga tidak menimbulkan sengketa.

108Wawancara Wawancara dengan Martius, Manager UsahaRahnPegadaian Syariah Cabang

Lhokseumawe, tanggal 12 Juni 2012.

109 Wawancara dengan Nasabah Pegadaiaan, Indah, Lhokseumawe, Tanggal 19 Desember

Dokumen terkait