• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap pekerjaan timbal-balik selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum, yang masing-masing subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban secara bertimbal balik dalam melaksanakan perjanjian yang mereka perbuat.

Perjanjian franchise OMI merupakan suatu perjanjian timbal balik, kedua subjek hukumnya, yaitu pihak pertama (franchisor) dan pihak kedua (franchisee) tentu memiliki hak dan kewajiban secara bertimbal-balik sebagaimana yang diuraikan oleh penulis sebelumnya.

Di dalam suatu perjanjian, tidak terkecuali perjanjian franchise OMI ada kemungkinan salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi.

Apabila salah satu pihak dalam perjanjian waralaba (franchise agreement) OMI melakukan wanprestasi maka pihak yang melakukan wanprestasi maka pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi membayar kerugian yang diderita oleh pihak lainnya. Misalnya dalam hal ini pihak franchisee melakukan wanprestasi tidak membayar fee kepada franchisor sesuai dengan jadwal yang dijanjikan, maka pihak franchisor dapat menuntut pihak franchisee untuk membayar kerugian atas wanprestasi franchisee tersebut, termasuk membayar semua biaya yang terlambat dibayar maupun hasil lainnya seperti denda maupun bunga atas keterlambatan pembayaran.

Dalam dunia bisnis, seringkali ditemukan adanya sengketa yang dilakukan oleh para usahawan, sengketa dalam bisnis ini bagaimanapun juga harus

diselesaikan dengan segera, agar bisnis yang dijalankan tidak mengalami kerugian besar. Dalam suatu transaksi bisnis, kontrak yang telah disepakati bersama / telah ditandatangani para pihak biasanya selalu disebutkan dalam suatu pasal tersendiri yang menyatakan cara bagaimana melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang timbul.

Permasalahan dalam kontrak waralaba sering terjadi ketika waralaba itu sudah berjalan. Hal ini memerlukan perhatian khusus, karena dasar sebuah waralaba adalah memberikan keuntungan bagi para pihak. Jika terjadi permasalahan maka yang menjadi rujukan pertama adalah isi dari klausul kontrak yang telah ditanda tangani oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba. Dari berbagai permasalahan yang timbul harus dicari jalan keluar yang terbaik agar didapatkan penyelesaian yang saling menguntungkan.

Sengketa ini terjadi jika masing-masing pihak melakukan pelanggaran atau menyimpang dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam perjanjian waralaba (franchise agreement). Seperti halnya yang terjadi pada pelaksanaan perjanjian waralaba Toko OMI KPRI IAIN-SU, sengketa antara para pihak diselesaikan secara musyawarah dan mufakat berdasarkan prinsip-prinsip win-win solution dan apabila jalan musyawarah tidak tercapai, maka akan diselesaikan lewat jalur Pengadilan di Pengadilan Negeri setempat. Dalam perjanjian OMI para pihak sepakat menunjuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) guna penyelesaian hukum selanjutnya.124

Salah satu kasus yang pernah terjadi di Toko OMI KPRI IAIN-SU yaitu pihak pertama (franchisor) terkadang dalam hal pengiriman barang tidak sesuai

124

Rajin Sitepu, Ketua dan kuasa dari para pengurus franchise Toko OMI KPRI IAIN-SU, Wawancara, Medan, 11 Mei 2017.

dengan waktu yang sudah disepakati bersama. Seharusnya, pihak pertama (franchisor) mengirim barang dagangan sesuai dengan jadwal pengiriman barang yang sudah ditentukan sebelumnya. Kasus lainnya, pihak kedua (franchisee) terkadang juga melakukan wanprestasi seperti telat membayar royalty atau pun pembayaran untuk pengiriman barang, seperti yang sudah ditentukan di dalam perjanjian waralaba (franchise agreement) OMI bahwa pembayaran untuk pengiriman barang dagangan selanjutnya wajib telah dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah tanggal pengiriman. Kasus-kasus tersebut diselesaikan oeh kedua belah pihak dengan cara musyawarah dan mufakat saja. Saat ini pihak kedua (franchisee) juga merasakan tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pertama (franchisor) seperti dalam hal pembayaran royalty, namun mereka masih melakukan musyawarah akan hal tersebut agar dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya pihak yang dirugikan.125

Hasil wawancara di atas menjelaskan bahwa para pihak yang menyepakati perjanjian waralaba (franchise agreement) tersebut menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka dengan cara menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat. Penyelesaian musyawarah dan mufakat ini diambil oleh para pihak dengan berupaya menghindari perselisihan yang panjang dan memakan biaya yang mahal.

Dalam praktek di lapangan para pihak yang terlibat dalam sengketa cenderung mengenyampingkan hukum kontrak (formal) dan doktrin kontrak dengan alasan bahwa pengusaha saling tergantung, hidup dan bekerja dalam

125

Rajin Sitepu, Ketua dan kuasa dari para pengurus franchise Toko OMI KPRI IAIN-SU, Wawancara, Medan, 30 Mei 2017

jaringan hubungan yang berkesinambungan bukan sebagai kompetitor melainkan sebagai usaha yang saling memberikan manfaat dan keuntungan.

Selain itu penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat memberikan efek yang baik antara para pihak yang berselisih dimana hasil musyawarah tersebut adalah merupakan jalan yang terbaik dalam penyelesaian suatu sengketa.

Perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah melalui aturan-aturan hukum yang dibuatnya, sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum (rule of law). Dalam konteks penegakan hukum terhadap bisnis waralaba ini, tentunya sangat ditentukan oleh peran para subyek hukum dalam mendukung berlakunya hukum melalui pemenuhan isis perjanjian, baik itu oleh franchisor maupun franchisee. Bagaimanapun tegaknya dan terealisasinya isi perjanjian yang disepakati merupakan landasan hukum yang harus dijaga dalam memberikan pelayanan dan kenyamanan bagi kelangsungan bisnisnya.

Dapat dikatakan pula bahwa penegakan hukum tidak selalu berhasil, seringkali gangguan terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan perilaku. Penegakan hukum bukanlah semata – mata berarti pelaksanaan masing – masing atau pelaksanaan keputusan–keputusan hakim meskipun kecenderungannya adalah demikian, ada sisi yang mesti diperhatikan yakni menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dan keadilan.

Hal ini sesuai pendapat dari Satjipto Rahadjo yang mengatakan ada interaksi diantara keputusan-keputusan hukum dan masyarakat tempat keputusan itu dijalankan nantinya. Oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan penyesuaian sosial yang demikian itulah maka sesuatu norma hukum bisa saja

berubah-ubah isinya, tanpa terjadinya perubahan pada peraturan itu sendiri secara formal.

BAB V

Dokumen terkait