• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Upaya Penanggulangan Kejahatan

B. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.100

Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum ++perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunanaan instrument dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata.101

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dalam beberapa pasal sebagai berikut:

Pasal 84 menetapkan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan;

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa;

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.102

1. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan

100 Pasal 1 Butir 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

101 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 207.

102 Pasal 84 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bagi pikiran awam, istilah “penyelesaian sengketa”, sering dikaitkan dengan berperkara di forum yang ditunjuk pemerintah, misalnya pengadilan.

Padahal sebenarnya istilah penyelesaian sengketa tidak hanya berhubungan atau diselesaikan melalui pengadilan, tetapi juga bisa di luar pengadilan. Berbagai upaya dilakukan dalam menyelesaikan sengketa dari luar pengadilan, dengan cara melibatkan keluarga, atau pihak lain yang dianggap netral dan dapat diterima dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Dalam menangani konflik lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain dengan beberapa pendekatan antara lain dengan cara pencegahan konflik (prevention), pengelolaan konflik (management), resolusi konflik, penyelesaian konflik (settlement) dan pilihan penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution).103

Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan, didapati di dalam pasal 84 UUPPLH 2009. Jika kita menganalisis Pasal 84, maka dapat dijumpai beberapa alternative untuk menyelesaikan kasus lingkungan hidup. Pasal 84 menyebutkan bahwa:

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(2) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup bersifat sukarela dan lebih menekankan penyelesaian di luar

103 Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 162.

pengadilan, artinya para pihak yang bersengketa dapat memilih forum penyelesaian sengketa lingkungan hidup apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan dan proses penyelesaian sengketa di dalam pengadilan hanya dapat dilakukan jika proses penyelesaian di luar pengadilan (mediasi dan arbitrase) tidak tercapai.

Tujuan dilakukannya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan adalah untuk mencapai kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) UUPPLH yaitu sebagai berikut:

a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. Tindakan pemulihan untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran;

c. Tindakan pemulihan akibat dan/atau perusakan, pencemaran dan/atau perusakan;

d. Tindakan dampak untuk negatif mencegah terhadap timbulnya lingkungan hidup.

Upaya yang ditempuh melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan cara meminta bantuan pihak lain untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, misalnya dapat menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter baik melalui lembaga yang bersifat independen atau melalui lembaga yang disedikan oleh Negara misalnya BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).

Sementara itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu gugatan perdata, gugatan tata usaha

Negara (PTUN) dan tuntutan pidana di pengadilan umum, dimana pemilihan ketiga jalur penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut ditentukan berdasarkan unsur-unsur perbuatan melanggar hokum ayng terkandung dalam sengketa lingkungan hidup tersebut.

Munculnya konsep penyelesaian sengketa secara alternative (Alternative Dispute Resolution, ADR) dilatarbelakangi oleh factor ketidakpuasan terhadap system penyelesaian litigasi, yang selalu bersifat formal.

Sebenarnya diterapkannya konsep berpekara di luar pengadilan (ADR), tidak hanya karena ketidakpuasan (dissatisfied) terhadap lembaga, tetapi dikaitkan dengan budaya masyarakat atau etnologis yang cenderung mencari solusi damai atas konflik. Oleh karena itulah maka diupayakan suatu pola penyelesaian yang melibatkan tua-tua kampong/ lingkungan masyarakat, agar konflik itu selesai dengan cara perdamaian (reconciliation settlement). Berakar dari pola budaya tersebut, hal pertam yang diupayakan hakim di persidangan yaitu supaya para pihak melakukan upaya perdamaian (hanya dalam perkara perdata) melakukan upaya perdamaian.

Materi dan substansi yang diajukan dalam penyelesaian sengketa lingkungan ditetapkan dalam pasal 85 sebagai berikut:

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :

a. Bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. Tindakan pemulihan untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran;

c. Tindakan pemulihan akibat dan/atau perusakan, pencemaran dan/atau perusakan;

d. Tindakan dampak untuk negatif mencegah terhadap timbulnya lingkungan hidup.

e. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

f. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengekta lingkungan hidup.104

Mekanisme penyelesaian sengketa alternative mulai dicoba dilembagakan di negara kitra, melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini memang merupakan tuntutan zaman yang patut didayagunakan, mengingat bahwa mekanisme yang lebih praktis, efektif, efisien, dan fleksibel selalu saja merupakan tuntutan dari ciri masyarakat yang bergerak dinamis.

Berikut ini beberapa system penyelesaian sengketa alternative seperti yang terlembaga dalam UUPLH 1997 dalam beberapa bentuk fungsionalnya.

Berbagai negara mengenal bentuk-bentuk bervariasi. Model berbagai negara, terutama Amerika, Jepang, dan Australia dapat disebutkan di bawah ini:

a. Model Amerika Serikat 1) Arbitrase

Di AS sistem ini terdiri dari 2 jenis, yaitu Arbitrase Institusional dan Compulsory Arbitration System. Polanya sedikit kurang formal, relative singkat dan biaya relative murah. Sistem Compulsory Arbitration mengkombinasikan antara pengadilan dan arbitrase dimana putusan yang diambil tidak mutalk mengikat para pihak.

2) Mediasi

104 Pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ada dua pihak yang bersengketa dalam sistem mediasi, yang disebut tergugat dan termohon. Pertama ditempuh penyataan kesediaan untuk menyerahkan penyelesaiannya secara mediasi. Setelah itu pemohon menguraikan sengketa secara singkat tapi jelas. Mediator berfungsi sebagai penolong (helper frole), membawa dan mengajak para pihak mencari dan menemukan solusi yang dapat diterima secara consensus. Hasil mediasi dapat dirumuskan dalam bentuk kompromis, dimana kedua belah pihak tidak ada yang menang dan kalah, tetapi sama-sama menang (win-win position).

3) Konsiliasi (conciliation)

Konsiliasi merupakan tahap awal dari mediasi. Apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi, dan tutntutannya diterima oleh respondent, maka telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan pembicaraan karena respondent bersedia menerima apa yang dikemukakan claimant.

4) Minitrial

Jenis ini dipandang sebagai pilihan yang efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa. Tahap pertama, persetujuan minitrial bisa secara lisan atau tulisan; tahap kedua dengan persiapan kasus dengan mengumpulkan dokumen-dokumen perlu; tahap ketiga yaitu mendengar keterangan dan sifatnya konfidensial; tahap keempat dimana advisor memberikan pendapat; tahap kelima, mendiskusikan penyelsaian. Pada tahap ini pertemuan tanpa dihadiri advisor.

5) Summary Jury Trial

Bentuk ini mirip dengan minitrial, dengan mengumpulkan beberapa orang yang betindak sebagai juri. Pengacara kedua pihak menyampaikan kasus sengketa

dalam bentuk kapsul. Lalu kedua pihak melalui pengacara menginstruksikan kepada juri untuk mengambil putusan.

6) Settlement Conference

Sistem ini mirip dengan model perdamaian hakim yang ditawarkan pada permulaan siding sesuai Pasal 131 HIR. Jadi upaya hakim yang mendamaikan dikaitkan dengan proses peradilan. Hakim hadir dalam proses ini tapi bukan dalam kapasitas hakim, dan fungsinya hanya mendorong pihak-pihak mencari penyelesaian sendiri atau bila disetujui pihak-pihak, sang hakim itu bertindak sebagai mediator.

b. Model Jepang 1) Mediation

Mekanisme ini cukup popular dan dilakukan dengan prosedur sederhana berdasarkan atas inisiatif para pihak. Mediator menyampaikan pesan-pesan dan keinginan para pihak dan dilaksanakan secara komunikatif.

Conciliation

Konsiliasi atau disebut dengan chotei, dilakukan bila melalui cara mediasi gagal. Para pihak lebih langsung bernegosiasi dalam sengketa disbanding dengan cara mediasi.

2) Arbitrase

Di Jepang model arbitrase disebut dengan chusai, khususnya dalam perdagangan, cukup banyak dipraktekkan yang bergabung dalam suatu asosiasi.

c. Australia 1) Arbitrase

Semula dianggap alternative yang paling baik, namun banyak ditinggalkan karena sifatnya mengarah ke bentuk litigasi, biayanya mahal dan prosesnya lambat.

2) Assisted Negotiation

Model ini menunjuk pihak ketiga bertindak sebagai coache.

3) Court Annexed to Arbitration

Kedudukan arbitarse bersifat pre-trial settlement, karena itu putusannya hanya bersifat mandatory dan tidak mengikat.

4) Conciliation

Konsiliasi ini lebih berfungsi sebagai administrasi atau tata usaha Negara.

5) Direct Negotiation

Perundingannya tanpa aturan formali dimana ditekankan dalam perundingan ini pendekatan kultur atau pribadi.105

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Sebagaimana penjelasan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur di luar pengadilan di atas, maka upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan atau jalur litigasi dapat dilakukan oleh tiga cara yaitu:

a. Melalui Jalur Gugatan Perdata

Mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui gugatan perdata di pengadilan negeri jika perbuatan melanggar hokum tersebut

105 Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 320-326.

menimbulkan kerugian pada orang lain atau kerugian lingkungan hidup atau perbuatan melanggar hokum sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1365 KUH.

Perdata.

Pasal 1365 KUH. Perdata menetapkan bahwa:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Di dalam KUH. Perdata tidak ada penjelasan atas pengertian perbuatan melanggar hukum, tetapi dipergunakan dengan penafsiran dengan melihat beberapa keputusan Hoge Raad sebelum tahun 1919 dan sesudah tahun 1919, sehingga perbuatan melanggar hukum apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum.

2) Terdapatnya kesalahan para pelaku.

3) Timbulnya kerugian.

4) Terdapatnya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.

Sesuai dengan unsur-unsur tersebut, jelaslah bahwa seseorang baru dinyatakan bertanggungjawab jika keempat unsur di atas dipenuhi. Namun melihat unsur-unsur ini, terutama unsur kedua, yaitu kesalahan sering menjadi beban pada pihak yang diwajibkan membuktikannya. Dalam system hukum perdata, pembuktian dibebankan pada pihak penderita (yang dirugikan), sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1865 KUH. Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang yang mengendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Sedangkan alat bukti menurut Pasal 1866 KUH. Perdata adalah:

1) Bukti tulisan

2) Bukti dengan saksi-saksi 3) Persangkaan

4) Pengakuan, dan 5) Sumpah.

Dalam undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri tidak memberikan definisi secara pasti tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum karena berdasarkan pasal 87 ayat (1) UUPPLH disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum bisa dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum jika kegiatan usahanya tersebut menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau lingkungan hidup.106

Dalam penyelesaian masalah sengketa lingkungan hidup melalui jalur perdata mengakibatkan timbulnya ganti rugi. Ganti rugi adalah suatu hak bagi pihak yang merasakan dirugikan untuk menuntut haknya kembali dari orang yang bertanggung jawab atas timbulnya kerugian. Dengan perkembangan

106 Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

yurisprudensi, fungsi gantu rugi dalam KUH. Perdata semakin berkembang dengan tujuan:

1) Mengembalikan rasa tidak puas sebagai akibat adanya kerugian yang diderita seseorang akibat perbuatan orang lain.

2) Masalah sanksi umum yang bertujuan untuk menegakkan dan atau mengembalikan ketertiban hukum dalam masyarakat sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum.

Perihal bentuk atau wujud ganti rugi tidak ditegaskan dalam KUH.

Perdata, tetapi dari beberapa pendapat sarjana mengatakan ganti rugi dapat juga berupa:

1) Ganti rugi dalam bentuk uang.

2) Ganti rugi dalam bentuk materi atau pengembalian keadaan semula.

3) Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan melanggar hukum.

4) Larangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Selanjutnya dalam beberapa kasus pencemaran lingkungan hidup sangat sulit menentukan besarnya gantu rugi mengingat:

1) Adalah tidak mungkin untuk membuat suatu perhitungan kerugian yang tepat sekali.

2) Masalah pembuktian yang sulit untuk dilakukan.

Selain itu masalah pencemaran timbul kerugian mulai dari akibat langsung, sampai berjangka panjang sehingga garus diperinci secara teliti

akibat-akibatnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam kasus pencemaran lingkungan hidup menimbulkan kerugian langsung dan kerugian tidak langsung.

Yang dimaksud dengan kerugian langsung adalah kerugian yang terjadi pada saat atau beberapa saat setelah pencemaran terjadi. Misalnya, adanya sawah yang rusak, ikan dikolam yang mati, bebek yang mati pada waktu sedang mencari makan dikolam atau di sungai. Termasuk juga adalah penurunan hasil produksi padi dan ikan, udang dari yang seharusnya/biasanya. Kemudian juga masalah terganggunya kesehatan yang langsung, beberapa saat setelah pencemaran air sungai terjadi, msialnya timbul penyakit muntaber, penyakit kulit dan sebagainya.

Untuk melakukan penentuan besarnya jumlah kerugian yang diderita, maka kerugian langsung ini biasanya denga mudah dapat dihitung. Hal ini disebabkan kerugiannya jelas tampak kelihatan dengan mudah dapat dibuktikan.107

b. Melalui Jalur Gugatan Tata Usaha Negara (PTUN)

Hukum administrasi pada pengelolaan lingkungan, penting peranannya, karena melalui system administrasi yang baiklah maka lalu lintas pengelolaan lingkungan hidup dapat dikendalikan. Hukum administrasi lingkungan, dapat menata manajemen lingkungan hidup kea rah yang lebih baik, dank arena itu pula kehadiran hukum administrasi memiliki instrument preventif bagi lingkungan hidup.

107 Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 192-193.

Membicarakan hukum administrasi, berarti terutama harus diingat ialah mengenai prinsip-prinsip kewenangan. Kewenangan-kewenangan itu, terutama menyangkut tiga hal pokok:108

1) Perbuatan (tindakan) hukum public yang dilakukan oleh badan-badan administrasi Negara (beschikking);

2) Mengenai hal pejabat administrasi Negara/tata usaha Negara mana yang berwenang, misalnya apakah menteri/ departemen sektoral, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Pmerintah Pusata ataukah Pemerintah Daerah;

3) Hal mengenai kewenangan apa, misalnya kewenangan menerbitkan perizinan, kewenangan melakukan pengawasan atau kewenangan menjatuhkan sanksi.

Sanksi-sanksi hukum administrasi berupa paksaan pemerintahan, denda, pembuktian izin dan pencabutan izin dilakukan oleh pejabat tata usaha Negara terhadap para pelanggar hukum administrasi tanpa mampu melalui proses peradilan. Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran hukum lingkungan administrasi, tetapi pejabat tata usaha Negara yang berwenang tidak menjalankan kewenangannya, yaitu menjatuhkan sanksi adminstrasi kepada si pelanggar.

Dengan kata lain, pejabat tata usaha Negara yang berwenang mendiamkan saja terjadinya pelanggaran hukm administrasi atau bahkan secara diam-diam merestui kegiatan yang melanggar hukum lingkungan administrasi. Misalkan sebuah rencana kegiatan usaha menurut ketentuan hukum lingkungan administrasi wajib

108 N. H. T. Siahaan, Op. Cit., hlm. 260-261.

melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tetapi ternyata kegiatan itu telah berdiri tau beroperasi tanpa melalui proses Amdal atau Pejabat yang berwenang ternyata tetap mengeluarkan izin usaha lagi kegiatan tersebut.

Dalam situasi seperti itu, siapakah yang harus bertindak untuk menegakkan hukum lingkungan administrasi.

Di Indonesia, gugatan terhadap pejabat tata usaha Negara dilakukan melalui prosedur gugatan tata usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 35).109

Gugatan administrative diatur dalam pasal 93 dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menetapkan sebagai berikut:110

1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila;

2) Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dokumen amdal;

3) Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau

4) Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

5) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Di Indonesia pada umumnya Gugatan Tata Usaha Negara yang diperkirakan tidak sejalan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti dalam

109 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 219.

110 Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 210.

kasus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) lawan Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan nomor putusan 600/6115/SJT/1995. Gugatan ini diajukan pada masa berlakunya UULH 1982. Pada masa ini, Komisi Penilai Amdal berada pada masing-masing kementrian sectoral. WALHI mengguggat Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi yang dinilai telah mengesampingkan saran-saran WALHI tentang Amdal PT. Freeport ketika menerbitkan keputusan persetujuan Amdal PT. Freeport. Penyampaian saran itu merupakan wujud dari peran serta masyarakat dan dalam kedudukan WALHI sebagai anggota tidak tetap Komisi Penilai Amdal PT. Freeport. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah menolak gugatan WALHI dengan pertimbangan bahwa Komisi Penilai Amdal tidak terikat dengan saran WALHI dalam membuat keputusan persetujuan Amdal.

Selain itu, gugatan tata usaha negara dapat pula dilihat dari perspektif kepentingan pelaku usaha. Pelaku usaha juga dapat mengajukan gugatan tata usaha negara untuk melawan Keputusan Tata Usaha Negara di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dianggapnya merugikan kepentingan usahanya. Contoh kasus adalah perkara tata usaha negara antara Tjondro Indria Liemonta, Direktur Utama PT. Bakti Bangun Era Mulia, dan kawan-kawan melawan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan nomor putusan 109/K/TUN/2009. Dalam perkara ini penggugat Tjondro Indira Liemonta dkk. Menggugat Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 Tentang Ketidaklayakan Rencana

Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Keputusan ini diterbitkan atas dasar kajian Amdal rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta.111

c. Melalui Jalur Tuntutan Pidana di Pengadilan Umum.

UUPLH memuat sistem penegakan pidana yang relative lebih canggih, yakni mengkombinasikan dengan system common law. Dalam hal-hal tertentu , terdapat misalnya pidana strict liability, yakni pertanggungjawaban pidana tanpa mendasarkan aspek “kesalahan”. Demikian pula, system pemidanaan tidak semata-mata hanya berdasar kepada sifat kausalitas, yakni dengan lebih dulu mebuktikan ada tidaknya hubungan sebab akibat dari peristiwa itu, yang disebut delik materil, tetapi juga dengan mendasarkan kepada perbuatan formal yang melanggar pasal yang ditentukan, ini yang disebut delik formal. Perkembangan lain, yakni dikenal delik korporasi, yakni system penegakan hukum pidana atas perbuatan perusahaan sebagai badan hukum, yang disamakan dengan orang perorangan (individu). Tipologi dari delik ini akan dipaparkan di bawah nanti.112

Sebagaimana disinggung lebih awal, hukum pidana lingkungan telah mengalami perkembangan pesat, yang di dalamnya mengakomodasikan berbagai kemajuan system pidana di Negara lain, termasuk Negara common law. Guna menjelaskan berbagai system penegakan pidana, disini dipaparkan beberapa prinsip pemidanaan yang dikenal di dalam UUPLH 1997. Prinsip-prinsip hukum

111 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 220-221.

112 N. H. T. Siahaan, Op. Cit., hlm. 356.

yang terkandung dalam hukum lingkungan, sebagaimana menurut UUPLH 1997 adalah sebagai berikut:113

1) Prinsip pemidanaan secara delik formal dan delik materil;

2) Prinsip pemidanaan terhadap individu;

3) Prinsip pemidanaan terhadap korporasi (delik korporasi);

4) Prinsip pembedaan atas perbuatan kesengajaan dengan kelalaian;

5) Prinsip penyidikan dengan tenaga khusus di bidang lingkungan;

6) Prinisip pengenaan sanksi pidana secara khusus.

Pola penegakan hukum pidana lingkungan meliputi beberapa proses, dan setiap proses akan tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum, baik yang diatur dengan hukum pidana formil (hukum acara pidana) maupun hukum pidana material. Seperti diketahui penegeakan hukum lingkungan, dapat dibagi kedalam 3 tahapan pokok, yakni tindakan pre-emtive, tindakan preventif dan tindakan represif.

Tindakan pre-emtive, yakni tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara lebih awal berbagai factor korelasi kriminogen, yakni faktor-faktor yang memungkinkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan deteksi atas factor kriminogen ini dapat dilakukan pencegahan dan tidak terjadi ancaman factual terhadap lingkungan. Tindakan preventif adalah serangkaian tindakan nyata yang bertujuan mencegah perusakan atau pencemaran lingkungan, misalnya pengawasan yang kontinu terhadap pabrik-pabrik, pengawas-pengawas hukum lingkungan bersifat responsive terhadap pengaduan masyarakat, para polisi

113 Ibid, hlm. 357.

kehutanan mengawasi pencurian kayu dan penebangan liar, atau pejabat instansi sektoral lingkungan menegur dan memberi peringatan kepada pihak-pihak yang melakukan gejala tidak baik bagi system lingkungan. Sedangkan tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas hukum melalui proses

kehutanan mengawasi pencurian kayu dan penebangan liar, atau pejabat instansi sektoral lingkungan menegur dan memberi peringatan kepada pihak-pihak yang melakukan gejala tidak baik bagi system lingkungan. Sedangkan tindakan represif adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas hukum melalui proses