• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

SYAUQI AZMI SYUZA DAMANIK 140200330

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah SWT.

Karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG- UNDNAG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP” ini merupakan salah satu syarat tugas akhir pada jenjang Strata Satu (S1) Program Sudi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik dalam bentuk sumber hukum, data, saran, kritikan, semangat dan juga doa.

Kemudian melalui kesempatan ini, dengan rasa hormat Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta H. Ramlan Damanik dan ibunda tercinta Hj. Kamisam Purba, yang senantiasa mendoakan segala kebaikan, mendidik Penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang, serta memberikan dorongan semangat pantang menyerah demi kesuksesan Penulis selama menyelesaikan studi. Abang dan Kakak tercinta, Risky Ari Pratama Damanik, Muhammad Angga Praditya Damanik, Nurul Afifah Damanik dan Luthfi Khairi Damanik serta keluarga besar Penulis yang selalu

(4)

menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum, Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa sabar dalam membimbing dan memberikan semangat, saran dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang senantiasa sabar dalam membimbing dan memberikan semangat, saran dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(5)

9. Sahabat seperjuangan “Saudara Jauh” yang paling perhatian, yang selalu menemani kesedihan, penderitaan, dan perjuangan penulis selama di kampus Azhar Ismadi Siregar, Azwar Ibrahim Nasution, Fredi Pranata Tarigan, Ganang Aji Pratama, Mahmud Isyac Kurnia Sandy, Muhammad Rapijai Sinaga, Rizki Harahap, Steven Martin, T.M. Fauzan Z.A, dan Wirya Sakti Lubis.

10. Adik penulis Luthfiya Nazla Marpaung, yang tak henti-hentinya memberi dukungan dalam bentuk apapun, sehingga skripsi ini dapat selesai.

11. Sahabat seperjuangan Himpunan Mahasiswa Islam yang banyak memberikan bantuan berharga disaat yang lain entah kemana Saudara Rizky, Saudara Arisyah Putra, dan Saudara Mahdi Muhammad Lubis, Saudara Mahmud Isyac Kurnia Sandy.

12. Para KOHATI tangguh yang selalu memberi dukungan dan doa Ashri Azhari Baeha, Luthfiya Nazla Marpaung, Ridha Faulika, Yuana Putri Regin Siregar.

13. Kakanda-kakanda sekalian yang selalu tak bosan-bosan menasihati dan mengarahkan ke jalan benar Kakanda Fairus Zain Hasibuan, Kakanda Imam Fuad Harahap, Kakanda Ray Bachtian Rangkuti, Kakanda Aditya Ananda, Kakanda Rafikha Fazal, Kakanda Nanda Yolandaa, Kakanda

(6)

Dina Naasution, Kakanda Juli, dan Kakanda-Kakanda lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

14. Keluarga besar Himpunan Mahasisawa Islam Komisariat Fakultas Hukum USU.

15. Keluarga besar mahasiswa Fakultas Hukum USU.

16. Seluruh pihak dan kawan kawan penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan sumbangsihnya baik moril ataupun materil dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan serupa di masa yang akan datang. Akhir kata, Penulis berharap semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khusunya bagi Penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Aamiin Yaa Rabbal „Alamiin.

Medan, Maret 2019 Penulis

(Syauqi Azmi Syuza Damanik) 140200330

(7)

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAK ...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...7

C. Tujuan ...8

D. Manfaat Penulisan ...9

E. Keaslian Penulisan ...9

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup ...9

2. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ...11

3. Pengertian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan...19

4. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup ...22

G. Metode Penelitian...23

H. Sistematika Penulisan ...25

BAB II PERBUATAN YANG TERMASUK SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Perkembangan Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup ...27

(8)

C. Perbuatan-Perbuatan Yang Termasuk Sebagai Tindak Pidana Menurut Undanh-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ...38

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Subjek Hukum Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana di Indonesia

1. Subjek Hukum Pidana Menurut Hukum Pidana di Indonesia ...40 2. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana di

Indonesia ...43 B. Perumusan Sanksi Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1. Sanksi Administrasi dalam Penegakan Hukum

Lingkungan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ...51

(9)

3. Sanksi Pidana dalam Penegakan Hukum Lingkungan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.. ...57 C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana

Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ...65

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Upaya Penanggulangan Kejahatan

1. Upaya Penal. ...73 2. Upaya Non Penal...80 B. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan ...86 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan ...93

(10)

DAFTAR PUSTAKA ...112

(11)

Dewasa ini permasalahan tentang lingkungan, menjadi salah satu topik yang sering dibahas baik dalam skala nasional maupun internasional. Untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik maka pemerintah mengganti Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UUPPLH, penegakan hukum dapat dilakukan dengan beberapa alternatif penyelesaian. Berdasarkan pokok pemikiran diatas dirumuskan beberapa permasalahan yaitu apa saja perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana menurut UUPPLH, bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPPLH dan bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan UUPPLH.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library research) yang menitikberatkan pada data sekunder yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi serta buku- buku, jurnal, artikel yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Mengenai perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana menurut UUPPLH di atur dalam Pasal 98-115. Pertanggungjawaban pidana baik yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum di atur dalam Pasal 98-120 UUPPLH. Dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di atur dalam Pasal 84 yaitu penyelesaian di dalam pengadilan (litigasi) dan penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi).

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana.

2 Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3 Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada kita tanpa terkecuali. Lingkungan yang sehat dan baik juga salah satu hak mutlak yang dikaruniakan bagi umat manusia untuk dinikmati sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan baik adalah sama bagi seluruh umat manusia bahkan makhluk hidup yang ada di dunia ini. Begitu juga dengan bangsa Indonesia yang merupakan salah satu ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusantara.

Pada dasarnya, lingkungan hidup sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang lingkungan hidup Indonesia yang menyebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehdiupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.4

Mengingat betapa pentingnya arti dan manfaat lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, maka perlu diciptakan dan dipelihara keserasian dan keseimbangannya, agar tidak terjadi masalah-masalah lingkungan seperti merusak

4 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(13)

lingkungan, mencemarkan lingkungan, mengganggu keindahan lingkungan, mengotori lingkungan dan lain sebagainya.

Dewasa ini permasalahan tentang lingkungan, menjadi salah satu topik yang sering dibahas baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam berbagai pertemuan diselenggarakan untuk membahas kondisi lingkungan yang disertai pula dengan berbagai usaha-usaha untuk menjaga kestabilan lingkungan hidup. Hal ini merupakan suatu kewajaran untuk dilakukan, mengingat dari tahun ke tahun laju degradasi lingkungan yang ditandai oleh semakin berkurangnya sumber daya alam serta munculnya berbagai kerusakan lingkungan sudah barang tentu akan bermuara pada ancaman pada kelangsungan peri kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan daya dukung alam, diantaranya kerusakan dari dalam (internal) dan kerusakan dari luar (eksternal).

Kerusakan dari dalam merupakan kerusakan yang dibuat oleh alam itu sendiri.

Kerusakan ini sangat sulit diantisipasi karena merupan proses alami yang sulit diduga, seperti kebakaran hutan karena proses alami pada musim kemarau, gempa bumi yang menyebabkan runtuhnya lapisan-lapisan tanah, dan berbagai macam gejala alam lainnya.

Kerusakan dari luar merupakan kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mengelola alam yang tujuannya untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Kerusakan dari luar ini pada umumnya disebabkan oleh berbagai perusahaan yang mendirikan pabrik-pabrik yang mengeluarkan limbah dari hasil produksi mereka atau juga membuka potensi-potensi sumber daya alam tanpa

(14)

memperhatikan lingkungan hidup. Beberapa contoh kerusakan daya dukung alam dari luar, seperti pencemaran udara yang berasal dari limbah pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air yang berasal dari limbah industri dan pencemaran tanah yang disebabkan oleh limbah padat dan zat kimia. Karena kerusakan faktor luar ini pada umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia, maka manusia juga harus bertanggung jawab dalam menghindari kerusakan ini.5

Setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus dipertanggungjawabkan atas sejumlah kerugian yang diderita pihak lain. Suatu perbuatan, menurut perkembangan pemikiran ilmu hukum, terutama melalui yurisprudensi , tidak saja mencakup perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak dari pihak lain, tetapi juga setiap perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat, baik dalam hubungannya dengan pribadi maupun harta benda orang lain.6

Sebagai respon terhadap berbagai permasalahan lingkungan tersebut, timbul sengketa lingkungan hidup dan masyarakat yang menjadi korban atas hal itu. Masyarakat berupaya untuk melakukan penuntutan penegakan hukum lingkungan sebagai bagian dari upaya untuk menuntut hak-hak mereka.

Pada tanggal 11 Maret 1982 Presiden Soeharto telah mensahkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimuta dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 12, sehingga sejak waktu itu Undang-Undang tersebut telah

5 Djanius Djamin, Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup:

Suatu Analisis Sosial. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta, 2007, hlm. 5

6 N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga : Jakarta, 2004, hlm. 306.

(15)

mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.7 Sebagai tonggak penting bagi pembangunan hukum nasional, lingkungan nasional, Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1982 mempunyai fungsi sebagai “Umbrella Provision”.8

Dalam prakteknya, keampuhan dari peraturan perundang-undangan lingkungan telah diuji dengan munculnya kasus-kasus lingkungan, baik yang diajukan oleh individu, kelompok orang, badan hukum maupun lembaga. Namun masih dirasakan kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kasus secara yuridis, sehingga pelaksanaan dan penegakan hukumnya masih dirasakan belum memenuhi kepentingan guna mendukung pembangunan berwawasan lingkungan berkelanjutan (sustainable development).9

Pada tanggal 19 September 1997, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, di dalam konsiderannya menyebutkan, bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.10

Untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik maka pemerintah

7 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Indonesia, PT. Sofmedia : Medan, 2011, hlm. 3.

8 Ibid, hlm. 4.

9 Ibid, hlm. 5.

10 Ibid, hlm. 6.

(16)

mengganti Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Selanjutnya disingkat UUPPLH), dimana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.11

Terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi, dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi sehingga diperlukan adanya sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum.12 Maka dari itu UUPPLH membuka ruang dan instrumen hukum seluas- luasnya bagi pihak yang ingin menegakkan hukum lingkungan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menyampaikan beberapa pendapat dan memaparkan beberapa data kasus sengketa lingkungan hidup lewat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Siti Nurbaya. Beliau mengatakan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan berkualitas berupa putusan pengadilan yang memenuhi rasa keadilan masyarakan sangat diperlukan. Pengalaman selama ini menunjukkan pertautan antara KLHK

11 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

12 Penjelasan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(17)

dalam penyelesaian perkara di pengadilan banyak berkenaan dengan proses penyusunan pertauran perundang-undangan dan penegakan dilapangan.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah mencatat penegakan hukum yang dilakukan KLHK selama 2015-2018 mencapai 1.995 pengaduan terkait Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditangani; 2.089 izin yang diawasi; 450 sanksi administratif telah dikenakan; 220 gugatan perdata diajukan dengan nilai ganti kerugian sebesar Rp16,9 triliun (16 gugatan melalui pengadilan) dan Rp42,6 miliar (110 kesepakatan di luar pengadilan); 433 kasus pidana dinyatakan P-21; dan 610 operasi pengamanan hutan dilakukan (196 operasi illegal logging, 221 operasi perambahan hutan, 187 operasi kejahatan tumbuhan satwa liar).13

Berdasarkan UUPPLH, penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa alternatif penyelesaian. Baik penggunaan alternatif penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) maupun penyelesaian di luar pengadilan (non litigasi).

Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat dilakukan melalui tiga jalur yaitu dari segi hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana. Pemilihan tiga jalur penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur litigasi ditentukan berdasarkan unsur-unsur perbuatan melanggar hukum yang terkandung dalam sengketa lingkungan tersebut. Gugatan perdata diajukan di pengadilan umum, jika perbuatan melanggar hukum yang terkandung dalam sengketa lingkungan tersebut menimbulkan kerugian pada orang lain atau

13 Bunga Citra Arum Nursyifani, KLHK dan KY Pantau Bersama Kasus Lingkungan dan Kehutanan, diakses dari http://industri.bisnis.com/read/20180523/99/798817/klhk-dan-ky-pantau- bersama-kasus-lingkungan-dan-kehutanan, pada tanggal 29 September 2018 pukul 23.53 WIB.

(18)

kerugian pada lingkungan hidup atau perbuatan melanggar hukum tidak bersifat kejahatan atau perbuatan melanggar hukum tersebut tidak termasuk pada ketentuan Bab XV tentang Ketentuan Pidana UUPPLH.

Sementara untuk penyelesaian sengketa melalui tuntutan pidana di pengadilan umum terjadi jika segi perbuatan masuk dalam kategori tindakan kejahatan sebagaimana termuat dalam Bab XV tentang Ketentuan Pidana UUPPLH.

Jadi, apabila terdapat izin-izin yang berkaitan dengan lingkungan hidup diterbitkan oleh pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan dalam penerbitannya dapat mengajukan permohonan pembatalan izin tersebut melalui gugatan tata usaha negara.

Berdasarkan penjelasan yang di atas, maka kita perlu memahami bagaimana proses penyelesaian masalah yang ditempuh, apakah diselesaikan melalui penyelesaian di luar pengadilan atau litigasi, dan apakah pemasalahannya terkait dengan pidana, perdata atau tata usaha negara. Dengan berbagai landasan di atas, maka diajukan skripsi ini dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah :

(19)

1. Perbuatan apa saja yang termasuk sebagai tindak pidana menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk sebagai tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(20)

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Dimaksudkan sebagai tulisan yang dapat memberi manfaat bagi pembaca berupa karya ilmiah hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan referensi bagi penulis lain yang ingin membahas masalah yang sama mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

D. Keaslian Penulisan

Pada saat penulis menulis skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”, belum pernah ada judul ataupun tema yang sama dengan skripsi ini. Kalaupun ada, menurut pengamatan penulis berbeda dalam substansi pembahasan, pendekatan, dan penulisannya dengan skripsi ini. Apabila dikemudian hari ada ditemukan judul skripsi yang sama maka penulis akan mempertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup

Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa tunduk kepada hukum. Salah satu

(21)

unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.14 Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) sedang hangathangatnya dibicarakan baik dalam kalangan akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di kalangan badan peradilan sendiri. Terkait dengan masalah lingkungan hidup, pihak-pihak yang dirugikan sebagai akibat pencemaran lingkungan dapat mengajukan tuntutan hak.

Penyelesaiannya sendiri dapat dilakukan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan non litigasi (di luar pengadilan). Hal ini telah di atur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Bagian Pertama Umum BAB VII Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Sengketa lingkungan (“environmental disputes”)

14 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 34.

(22)

merupakan “species” dari “genus” sengketa yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the other”

Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam:

“dispute resolution”, “conflict management”, conflict settlement”, “conflict intervention”.15

Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi ”perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya

“tuntutan” (claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih” tanpa mencantumkan “claim” adalah kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu sengketa.

2. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan

15 TM. Lutfi Yazid, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (environmetal Dispute Resolution), Airlangga University Press–Yayasan Adikarya IKAPI–Ford Foundation, Surabaya, 1999, hlm. 9.

(23)

arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaaman pendapat. Dalam bukunya “Pelajaran Hukum Pidana”, Adami Chazawi menerangkan bahwa di Indonesia sendiri dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana.16

Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.Secara letterlijk, kata ”straf” artinya pidana, “baar”

artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Sedangkan dalam bahasa Belanda “feit” berarti “sebagian dari suatu kenyataan” dan “strafbaar” berarti

“dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.

Adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam menerjemahkan strafbaar feit adalah istilah perbuatan pidana, namun Ter Haar

16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo : Malang, 2001, hlm. 67- 68.

(24)

memberi defenisi untuk delik yang tiap-tiap penggangguan keseimbangan dari satu pihak atas kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok orang.17

Menurut Bambang Waluyo, pengertian tindak pidana (delik) adalah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbare feiten). R Abdoel djamali menambahkan bahwa peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan pidana.

Selanjutnya menurut Pompe (Lamintang, 1997;182), perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.18

Tindak pidana (delik) dalam Hukum Pidana yang merupakan salah satu terjemahan dari istilah "straafbaar feit” (Belanda). lstilah straafbaar feit diterjemahkan secara berbeda-beda oleh sarjana hukum pidana antara lain tindak pidana, perbuatan pidana atau pengabaian melawan hukum serta beberapa istilah lain.

Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut ini penulis kemukakan beberapa pandangan beberapa ahli hukum, antara lain :

17 Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, hlm. 86.

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 1997, hlm.182.

(25)

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau menyatakan bahwa, “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut:

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orang), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang ditimbulkan perbuatan tadi ada hubungannya erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu pertama, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana, seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini sering disebut pandangan dualisme juga dianut oleh banyak ahli, misalnya :

Pompe memberi pengertian straafbaar feit itu dari dua (2) segi, yaitu:19

19 Ibid, hlm. 182.

(26)

1) Dari segi teoritis, straafbaar feit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2) Dari segi hukum positif, straafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa perbedaan antara segi teori dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat semu, oleh karena dari segi teori tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu memang benar-benar bersifat melawan hukum dan telah dilakukan dengan kesalahan (schuld), baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Sedangkan dari segi hukum positif, tidak ada suatu kesalahan tanpa adanya suatu ”wederrechtelikheid". Dengan kata lain untuk menjatuhkan suatu hukuman (Pidana) tidaklah cukup apabila hanya perbuatan pidana, melainkan juga harus ada kemampuan bertanggungjawab, atau seseorang yang dapat dipidana apabila straafbaar feit yang telah ia lakukan tidak bersifat "wederrechtelikheid" dan telah dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak dengan disengaja.

Vos merumuskan bahwa suatu stratbaar feit adalah suatu "kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan."

(27)

R. Tresna menyatakan walaupun sangat sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun beliau menarik satu definisi, yang menyatakan bahwa:20

"Peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang- undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakannya tindakan penghukuman."

Dapat dilihat bahwa rumusan itu tidak memasukkan unsur yang berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya R. Tresna (Adami Chazawi, 2002:73) menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat, yaitu :

1) Harus ada suatu perbuatan manusia;

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan umum;

3) Harus terbukti adanya "dosa" pada orang yang, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5) Terhadap perbuatan itu harus tesedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.

Dengan melihat pada syarat-syarat peristiwa pidana itu yang dikatakan R.

Tresna, ternyata terdapat syarat yang telah mengenai diri si pelaku, seperti pada syarat ke-3. Tampak dengan jelas bahwa syarat itu telah dihubungkan dengan adanya orang yang berbuat melanggar larangan (peristiwa pidana) tersebut, yang

20 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 72-73.

(28)

sesungguhnya berupa syarat untuk dipidananya bagi orang yang melakukan perbuatan itu bukan syarat peristiwa pidana.

Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana, ada pandangan lain yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur- unsur mengenai diri orangnya. Ada beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme ini, dalam pendekatan terhadap tindak pidana antara lain:

J.E Jonkers memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian yaitu sebagai berikut:21

1) Definisi pendek strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang diancam pidana oleh undang-undang;

2) Defenisi panjang, strafbaar feit adalah suatu kelakuan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau karena alpa oleh orang yang dapat di pertanggungjawabkan.

Jalan pikiran menurut definisi pendek hakikatnya menyatakan bahwa setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang dan pendapat umum tidak dapat menyalahi ketetapan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Adapun definisi yang panjang menitikberatkan pada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur tersembunyi yang secara diam-diam dianggap ada.

21 Pipin Syarifin, Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Setia : Bandung, 2000, hlm. 53-54.

(29)

Selanjutnya, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Tindak pidana itu adalah "suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.”22

Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, sangat penting artinya jika penulis menguraikan unsur-unsur tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni: dari sudut teoritis; dan dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

b. Pengertian Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibagi menjadi dua unsur, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

1) Unsur subyektif dari suatu tindak pidana adalah : a) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus dan culpa)

b) Maksud dan voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;

22 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 75.

(30)

c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain- lain;

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.

2) Unsur obyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a) Sifat melawan hukum atau wedrrechtelijkheid;

b) Kualitas dari pelaku, misalnya “keadaan sebagai pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan KUHP;

c) Kausalitas, yakni terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP yang hubungan sebab-akibat dari tindak pidana.

3. Pengertian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri

(31)

merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.23

Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems.24

Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usahausaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang

23 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2008, hlm. 2.

24 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1997, hlm.72.

(32)

diterapkan terhadap orang dewasa. Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:25

a. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial.

b. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non penal.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan) sebelum kejahatan terjadi.

Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan refresif pada hakikatnya dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.26

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).27

Berdasarkan pendapat di atas maka upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.

25 Ibid, hlm.75.

26 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung, 1986, hlm. 188.

27 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama:

Semarang, 2011, hlm. 45.

(33)

4. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pengelolaan lingkungan hidup mutlak dilakukan karena lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan Manusia. Kehidupan manusia di muka bumi ini tidak terlepas dari peran serta lingkungan. Sebagaimana manusia merupakan bagian dari lingkungan, bersama-sama dengan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang telah menjadi satu mata rantai yang tidak akan terpisah. Untuk itulah, manusia harus memanfaatkan sumber daya alam secara tepat, agar lingkungan tetap lestari.28

Pengelolaan lingkungan hidup merupakan pengelolaan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemuliaan, dan pengembangan lingkungan hidup. Agar tujuan untuk lingkungan hidup dapat tercapai perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia seutuhnya.

b. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya lingkungan secara bijaksana agar seluruh sumber daya alam digunakan oleh kepentingan orang banyak seproduktif mungkin dan menekan pemborosan seminimal mungkin.

c. Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup, oleh sebab itu pengembangan sumber daya alam senantiasa harus disertai dengan usaha memelihara kelestarian tata lingkungan.

28 Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pengertian, Tujuan, Sasaran Lingkungan Hidup) diakses http://www.biomagz.com/2016/03/pengelolaan-lingkungan-hidup-pengertian.html, pada tanggal 30 September 2018 pukul 21.18

(34)

d. Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

e. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 mengenai Analisis Dampak Lingkungan diantaranya, memberikan kewajiban kepada para pengelola dan pemilik pabrik untuk menyelenggarakan sebuah studi kelayakan teknis dan ekonomis serta analisis dampak lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

f. Melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

F. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang memenuhi kriteria, dibituhkan data-data yang relevan dengan skripsi ini. Upaya pengumpulan data melalui metode pengumpulan data di bawah ini :

1) Jenis penelitian

Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian perundang-undangan yang berlaku dan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.29

Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini yaitu penelitian terhadap peraturan-peraturan hukum dan melihat sejauh mana

29 Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineke Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 56.

(35)

peraturan-peraturan tersebut dalam suatu peristiwa hukum melalui putusan pengadilan.

2) Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini adalah data sekunder. Data dekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang dihadapi, data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literature, artikel, jurnal, serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.30

3) Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan dengan skripsi ini serta dokumen-dokumen seperti putusan pengadilan negeri terdahulu yang berkaitan dengan skripsi ini.

4) Analisis Data

Analisis data yaitu mengelompokan data dengan mempelajari data kemudian memilah data-data yang telah dikumpulkan untuk mencari data-data penting yang harus dipelajari. Menurut Bogdan dan Taylor, analisa data adalah proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide tersebut.

30 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 137.

(36)

Pada tahap ini peneliti menyususn semua data yang telah terkumpul secara sistematis dan terinci sehingga data tersebut mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain secara jelas. Setelah peneliti mendapatkan data yang cukup, peneliti melakukan analisis terhadap data yang telah diperoleh dengan cara membandingkan satu data dengan data lainnya kemudian menelaahnya, membagi dan menemukan makna dari apa yang telah diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri namun masih dalam konteks yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

Bab I ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II ini membahas mengenai perbuatan apa saja yang bisa digolongkan sebagai tindak pidana ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bab III ini menjelaskan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan seseorang ataupun badan usaha terhadap kejahatan tindak pidana pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(37)

Bab IV ini menjelaskan tentang penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan dalam sengketa lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bab V ini merupakan bab penutup yang di dalamnya dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahsan skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa saran untuk memahami cara untuk menyelsaikan sengketa lingkungan hidup.

Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir disertakan daftar kepustakaan.

(38)

BAB II

PERBUATAN YANG TERMASUK SEBAGAI TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Perkembangan Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia

WALHI dalam konferensi nasional lingkungan hidup di Cibubur, 13 Desember 2017, telah menyatakan Indonesia dalam kondisi darurat ekologis.

Secara sederhana bisa didefinisikan sebagai situasi atau keadaan genting akibat kerusakan lingkungan hidup. Ini bersumber dari aktivitas monopoli penguasaan sumber daya alam tidak ramah lingkungan yang berdampak pada hilangnya akses masyarakat terhadap sumber penghidupan. Dalam catatan WALHI, Sekitar 159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65%

wilayah Indonesia (darat dan laut). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia sekitar 191.944.000 hektar dan luas laut mencapai 327.381.000 hektar. Sebaran izin tersebut 59,77% ada di darat dan 13,57% di laut. Penggunaan ruang bisa lebih besar, apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian atau lembaga. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu 99,08 % merupakan bencana ekologis disebabkan meningkatnya frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim.31

Fakta terjadinya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia ini menunjukkan bahwa upaya-upaya perlindungan lingkungan hidup melalui sanksi administratif melalui teguran, penghentian sementara, dan pencabutan izin

31 Ayat S Karokaro Walhi: Kondisi Indonesia Masih Darurat Ekologis, http://www.mongabay. co.id/2018/04/24/walhi-kondisi-indonesia-masih-darurat-ekologis diakses pada tanggal 13 Maret 2019 pukul 20.58 WIB.

(39)

perusahaan kurang efektif dalam mengurangi atau menghentikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. Demikian pula tahapan berikutnya pemberian sanksi perdata berupa ganti rugi lingkungan hidup juga belum optimal mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. Kondisi ini telah menggeser penerapan hukum pidana lingkungan hidup dari ultmimum remedium atau penerapan hukum pidana lingkungan hidup sebagai upaya terakhir dalam mengurangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup menjadi penerapan primum remedium atau penerapan hukum pidana lingkungan hidup sebagai upaya utama dalam mengurangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia. Permasalahan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya masalah nasional Indonesia karena dampak dari perusakan dan pencemaran lingkungan tersebut juga dirasakan oleh negara-negara yang berdekatan dengan sumber terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan hidup tersebut. Pencemaran lingkungan hidup dapat melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut, dan sebagainya.32

Besarnya dampak perusakan dan pencemaran lingkungan hidup ini telah menimbulkan kesadaran bahwa perusakan dan pencemaran lingkungan merupakan kejahatan transnational yang terorganisasi sehingga upaya-upaya penegakan hukum secara primum remedium sangat dibutuhkan untuk mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan yang lebih parah. Oleh karena itu pemerintah telah bekerjasama dengan lembaga internasional untuk menyusun

32 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika : Jakarta, 2008, hlm. 58.

(40)

aturan hukum yang bersifat mengikat negara-negara penandatangannya untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang tegas melalui penerapan pidana hukum lingkungan internasional. Pemerintah Indonesia telah mendorong penegakan hukum kriminalisasi kejahatan lingkungan dan penegakan hukum perlu dilakukan sebagai upaya terhadap konservasi alam dengan mengajukan rancangan resolusi International Cooperation in Preventing and combating illicit international trafficking in forest products, including timber, wildlife, and other forest biological resources yang kemudian ditetapkan dalam resolusi ECOSOC2008/25.

Selanjutnya pemerintah Indonesia juga menyampaikan inisiatif dalam Crime Congress ke 12 Deklarasi Salvador, Brazil tanggal 12-19 April 2010 yang menekankan perlunya perhatian tehadap bentuk kejahatan baru yang berdampak signifikan terhadap lingkungan.

Berikutnya pemerintah Indonesia telah mendorong penegakan hukum dalam program United Nation Office on Drugs and Crime, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Framework (REDD+). Indonesia juga telah meratifikasi Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melalui Kepres No. 43 Tahun 1978. Majelis Umum PBB dalam resolusi 55/25 juga telah menyusun kerangka hukum dan mekanisme kerjasama internasional yang efektif dalam memberantas perdagangan ilegal sumber daya alam, di mana UNODC berperan untuk meningkatkan

(41)

kapasitas negara anggota dalam penyelidikan, penindakan dan peradilan bentuk kejahatan tersebut.33

Penyelesaian perkara lingkungan hidup melalaui sistem peradilan pidana telah diprakarsai oleh program kerja The Comission on Crime Prevention and Criminal Justice 1992-1996. Kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku tanggal 29 April – 8 Mei 1995 di Kairo menindaklanjuti prakarsa tersebut dengan mengagendakan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu prioritas agenda. Di dalam draft resolusi yang diajukan, yang kemudian menjadi resolusi sepanjang menyangkut “perlindungan ligkungan” terdapat beberapa hal sebagai berikut:34 (1) Hak untuk menikmati lingkungan yang memadai dan kewajiban untuk melestarikan lingkungan harus dicantumkan pada semua peraturan perundang-undangan pada level nasional; (2) Suatu bab tentang pelanggaran lingkungan hidup harus tercakup dalam hukum acara pidana; (3) Langkah-langkah yang penting harus diperkenalkan untuk menjamin bahwa kerusakan terhadap lingkungan diperbaiki, baik oleh pelanggar tersebut maupun oleh Negara; (4) Kesepakatan kerjasama harus dilakukan diantara negara-negara, mencakup ketentuan pertukaran pengalaman tentang program pencegahan dan keefektifitasan peraturan perundang-undangan; (5) Subyek perlindungan lingkungan hidup harus tercakup pada semua tingkat pendidikan, dan khususnya dalam kurikulum untuk pendidikan hukum pidana dan sumber daya manusia juga harus dikembangkan terkait dengan permasalahan baru

33Kejahatan Lingkungan (Environmental Crime),

https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Kejahatan-Lingkungan-(Environmental- Crime).aspx, diakses pada tanggal 13 Maret 2019 pada pukul 22.05 WIB.

34 Muladi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center : Jakarta, 2002, hlm. 94.

(42)

ini, dengan sarana pendidikan dasar, pendidikan tingkat lanjut, seminar dan setiap bentuk pelatihan lainnya. (6) Tidak hanya pelanggaran lingkungan harus disusun sebagai bentuk pelanggaran dalam hukum acara pidana, tetapi juga dalam bidang administratif, perusahaanperusahaan yang melanggar harus dijatuhi hukuman ganti rugi. Mengenai sanksi pidana tersebut, prinsip kesalahan subyektif harus digunakan.”

Jauh sebelum diselenggarakannya Kongres ke 9 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku maka pada Tahun 1984 masyarakat dunia telah menyusun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mengkehendaki agar setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 ayat (1).35

Secara implisit yang dimaksud dengan berhak atas tingkat hidup yang memadai juga mencakup hak atas lingkungan hidup yang baik yang diperlukan untuk mempertahankan kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan setiap orang.

Selanjutnya instrumen HAM yang mengatur hak atas lingkungan hidup yang baik dan bersifat mengikat Negara yang meratifikasinya yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang disahkan pada tahun 1966. Selaras dengan Pasal 25 ayat (1) DUHAM maka pada Pasal 11 Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya juga mengamanatkan bahwa Negara Pihak yang meratifikasi Kovenan tersebut

35 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,

https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universalhak-asasi--$R48R63.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2019 pada pukul 22.36 WIB.

(43)

mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya.36

Pengakuan negara terhadap hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak termasuk hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, salah satunya diwujudkan dalam kewajiban dan tanggungjawab negara untuk mengambil langkahlangkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak atas lingkungan hidup yang baik tersebut dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.

Konstitusi Indonesia yaitu pada Pasal 28 H UUD 1945 juga mengatur agar setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan ketentuan tersebut sangat jelas bahwa hak setiap orang mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak dasar bagi setiap orang yang harus dilindungi oleh Negara dalam hal ini Pemerintah. Tingkat kerusakan lingkungan hidup yang semakin mengkhawatirkan dan beresiko terhadap eksistensi manusia dan makhluk hidup yang lain telah diungkapkan oleh penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

36 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, https://www.kontras.org/baru/Kovenan%20 Ekosob.pdf, diakses pada tanggal 14 Maret 2019 pada pukul 00.13 WIB.

(44)

dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan hidup tersebut maka sangat perlu untuk mengimplementasikan apa yang dikehendaki oleh asas-asas lingkungan hidup.

Sebagai contoh dari penjelasan umum tersebut yaitu terdapat pada penjelasan umum UU No. 18 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa perusakan hutan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Namun Sebagian dari UU tersebut mengatur penerapan terlebih dahulu sanksi administratif atau sanksi perdata terhadap pelanggar lingkungan hidup dan apabila sanksi tersebut juga tidak mengubah perilaku atau tindakan pelanggar hukum lingkungan hidup maka ditempuh langkah terakhir yaitu penerapan sanksi pidana.

Dengan demikian sebagian UU yang mengatur lingkungan hidup di Indonesia menerapkan asas ultimum remedium yaitu penerapan terlebih dahulu sanksi administratif atau sanksi perdata terhadap pelaku pelanggar lingkungan hidup sebelum diterapkan sanksi pidana apabila sanksi administrasi atau perdata tersebut tidak mampu untuk mengentikan terjadinya perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketentuan ini sangat berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH disebutkan bahwa dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan

(45)

hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

Ketentuan ini sangat tegas menunjukkan bahwa asas pidana yang digunakan UU PPLH adalah asas Primum Remedium karena lebih mengutamakan penerapan hukum pidana lingkungan hidup terhadap pelanggar ketentuan lingkungan hidup untuk segera mengehentikan perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan menimbulkan efek jera kepada semua orang agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Selanjutnya pada penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerapan asas ultimum remedium hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan.

Dengan demikian semua tindak pidana lingkungan hidup kecuali pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan menerapkan asas pidana primum remedium. Terdapatnya sebagian UU mengenai lingkungan hidup yang menerapkan asas pidana ultimum remedium sedangkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH menerapkan asas pidana primum remedium telah mengakibatkan keraguan bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan asas hukum ligkungan hidup yang paling tepat dan diperbolehkan oleh UU.

B. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dans ehat merupakan hak asasi

(46)

dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.37

Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Indonesia juga mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah.

Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung , dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan

37 Penjelasan Umum Angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(47)

kemanfaatan ekonomi, social, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan , desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaa terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai daerah.38

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan kata lain KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk ebrbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan resiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan

38 Penjelasan Umum Angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian UAT 2 didapatkan hasil presentase 100% bahwa pengguna merasa sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan serta sistem teruji dapat

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sektor-sektor ekonomi apa saja yang paling strategis dan potensial

Besarnya peluang atau kecenderungan perubahan kualitas hidup, perilaku dan pengetahuan bahwa intervensi edukasi palliative care memberikan pengaruh (affect)

Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut

[r]

Hal ini artinya bahwa Corporate Social Responbility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan sektor pertambangan dan sektor industri dasar dan kimia pada

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi