• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Prinsip Protokol Kyoto Dalam Hubungannya Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Beberapa Prinsip Protokol Kyoto Dalam Hubungannya Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

BEBERAPA PRINSIP PROTOKOL KYOTO DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

SKRIPSI

OLEH :

FAJAR KHAIFI RIZKY

070200197

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

BEBERAPA PRINSIP PROTOKOL KYOTO DALAM

HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32

TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FAJAR KHAIFI RIZKY

NIM : 070200197

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

(Arif, SH. MH.)

NIP. 19640330 199303 1 002

Pembimbing I

Pembimbing II

(Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH)

(Arif, SH. MH.)

NIP. 19620713 198803 1 003

NIP. 19640330 199303 1 002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan rahmat Allah SWT, penulis telah dapat menyusun skripsi yang sederhana ini guna melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka disusunlah skripsi ini yang berjudul

“BEBERAPA PRINSIP PROTOKOL KYOTO DALAM HUBUNGANNYA

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Utara.

2. Bapak Prof. Syamsul Arifin SH., MH., yang merupakan Ayah kandung dari penulis yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.

(4)

4. Bapak Arif SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik. 6. Bapak Mulhadi SH. M.Hum., selaku Dosen Wali.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa persembahan penulis untuk Ayahanda Prof. H. Syamsul Arifin SH., MH., dan Ibunda Hj. Meryanti yang merupakan orang tua dari penulis serta abang penulis, Nisfusa Faisal SH. M.Si., Agus Syah Melaz S.Sos., Yanata Pasca Satria, dan adik penulis, Nurhayati Manja Annisa yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis dari awal sampai akhir.

9. Rekan-rekan stambuk 2007 yang telah memberikan dukungan moril khususnya Muhsin Fahreza Sembiring SH., Rawan Jati Rawa Angun, Tri Kurniawan, Jefrizal Sadli K., Riza Handana Sitepu dan rekan-rekan lainnya sesama jurusan hukum internasional yang tidak ada habis-habis untuk disebut satu per satu.

(5)

Akhir kata penulis ingin memohon maaf apabila ada kesalahan ataupun kesilapan yang pernah dibuat penulis dahulu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Februari 2011 Penulis,

FAJAR KHAIFI RIZKY

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………....……...…..…... i

DAFTAR ISI ………..……... iv

DAFTAR TABEL ... vi

ABSTRAKSI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PROTOKOL KYOTO.. 16

A. Latar Belakang Lahirnya Protokol Kyoto ... 16

B. Ruang Lingkup Protokol Kyoto ... 23

(7)

BAB III :RUANG LINGKUP UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ... 46

A.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 46

B. Asas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .... 52

BAB IV :HUBUNGAN PRINSIP PROTOKOL KYOTO DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ... 63

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(9)

BEBERAPA PRINSIP PROTOKOL KYOTO DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN

DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

*) Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.

Dewasa ini, pemanasan global atau perubahan iklim sangatlah mengancam dan pengaruhnya dapat merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Dimana pemanasan global atau perubahan iklim itu disebabkan panasnya bumi karena daya dukung bumi sudah tidak sesuai lagi kemampuannya untuk memenuhi kehidupan makhluk hidup serta manusia, karena ulah manusia yang telah melakukan perubahan alam dengan pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi. Dalam penulisan skripsi ini penulis memfokuskan prinsip Protokol Kyoto dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai upaya mencegah terjadinya pemanasan global atau perubahan iklim.

Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum lingkungan, hukum internasional, dan hukum, peraturan perundang-undangan, dan hasil tulisan ilmiah lainnya.

Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Berhubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia juga telah menetapkan suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam rangka turut serta dan mencegah terjadinya perubahan iklim yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, Negara Indonesia dan Negara-negara lainnya berkewajiban menurunkan emisi GRK dan mengatasi dampak perubahan iklim.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan iklim sudah hampir menjadi kosakata umum dalam percakapan sehari-hari. Namun demikian, fenomena ini masih belum dipahami secara tepat oleh masyarakat karena prosesnya memang cukup rumit. Sehingga tidak jarang terjadi kesalahpahaman atau kesulitan dalam membedakan antara perubahan iklim dengan variasi iklim yang kadang-kadang terjadi dengan gejala yang agak ekstrim dan membawa dampak seketika yang cukup signifikan.

Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfir. Diantara gas-gas tersebut adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O). Gas- gas

(11)

(GRK) dan pengaruh yang ditimbulkannya dikenal dengan nama efek rumah kaca yang selanjutnya menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim.1

Tidak semua negara industri penyebab masalah ini siap mengatasinya karena upaya mitigasi yang menangani penyebabnya memerlukan biaya yang tinggi. Pada saat yang bersamaan hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan di sini dan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu GRK penting yaitu CO2 di atmosfir baru 290 ppmv (part per million by volume),

saat ini (150 tahun kemudian) telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv

atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4,5 ºC dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya. Menurutnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman, dan manusia adalah diantara dampak sosial ekonomi yang dapat ditimbulkan.

2

1 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang, (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 1-2.

(12)

Dalam rangka untuk menghadapi perubahan iklim masyarakat Internasional yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan beberapa Konferensi mengenai perubahan iklim antara lain Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim di New York pada tahun 1992 yang mendasari terciptanya Protokol Kyoto, pada tahun 1997 dan Bali Roadman pada tahun 2007.

Perhatian masyarakat dunia tersebut terhadap lingkungan hidup memberikan gambaran kepada kita bahwa persoalan lingkungan hidup bukan persoalan yang mudah. Karena masyarakat dunia sudah mulai cemas terhadap keberadaan lingkungan hidup sehingga mereka mengadakan beberapa pertemuan untuk membahas dan melindungi lingkungan hidup dari dampak yang dilakukan oleh manusia akan perubahan iklim. Daniel Murdiyarso mendefenisikan “Perubahan Iklim” sebagai perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang panjang (50 tahun s.d 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).3

Menurut Mattias Finger, krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal; teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak; rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan; tindakan dan tingkah laku menyimpang dari aktor-aktor negara yang ‘tersesat’, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs; merebaknya pola kebudayaan

Perjanjian Protokol Kyoto muncul karena timbul kekhawatiran para pakar kehutanan dan klimatologi terhadap terjadinya pemanasan global akhir-akhir ini.

3 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negoisasi Konvensi Perubahan Iklim,

(13)

seperti konsumerisme dan individualisme; serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik. Beranjak dari hal tersebut, maka pada umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik; teknologi baru dan berbeda; penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-lingkungan (green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor ‘sesat’; serta merubah pola kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap-tiap individu.4

4 Pan Mohamad Faiz, Perubahan Iklim dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu

Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi, Disampaikan sebagai paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta, 2009, hal. 2.

Pemerintahan Indonesia dalam rangka turut serta dan mencegah perubahan iklim telah menetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dinyatakan di dalam konsiderans bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(14)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan Protokol Kyoto yang kaitannya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

2. Sejauh mana hubungan prinsip Protokol Kyoto dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

3. Bagaimanakah penerapan Protokol Kyoto dalam sistem hukum lingkungan Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan yang akan dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui ketentuan Protokol Kyoto yang kaitannya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Untuk mengetahui hubungan prinsip Protokol Kyoto dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(15)

2. Manfaat Penulisan

Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

a. Manfaat Teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam penegakan dan penjabaran substansi pengelolaan lingkungan hidup.

b. Manfaat Praktis, hasil penulisan ini memberikan kontribusi terhadap pemerintah dalam upaya menerapkan substansi yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Oleh karena itu, penulisan skripsi dapat dikatakan masih orisinil sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Prinsip

Berpangkal pada titik tolak, bahwa ekuivalen untuk kata “asas” dalam bahasa Inggris adalah “principle”, maka kami membuka buku Dictionary of

(16)

of Harper and Ron Publishers, N. York etc. 1982, untuk mencari kata “ principle”.5

Istilah-istilah prinsip sebagai berikut:6

a) Kata “principle erat hubungannya dengan istilah “ principium” (kata latin).

Principium = 1 permulaan; awal;mula sumber; asal; pangkal; pokok;

dasar; sebab.

b) Kata “principle” dalam bahasa Inggris berarti 1. sumber atau asal sesuatu. 2. penyebab yang jauh dari sesuatu. 3. kewenangan atau kecakapan asli. Dalam tiga arti ini, kata “principle” difahamkan sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal. 4. aturan atau dasar bagi tindakan seseorang. 5. suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran) yang dipergunakan sebagai dasar-dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa. "Principle” atau asas adalah sesuatu, yang dapat kita jadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak kita jelaskan.

2. Pengertian Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah instrument hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim Bumi. Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25,

5 Mahadi, Falsafah Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 118.

(17)

Protokol Kyoto secara efektif akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Pihak Konvensi, termasuk negara-negara maju dengan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990 dari kelompok-kelompok negara industri.7

Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, seorang ahli ilmu lingkungan (ekologi)

terkemuka mendefinisikannya sebagai berikut: Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Prof. Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH, ahli hukum lingkungan terkemuka dan Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran 3. Pengertian Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.

Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan

environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan milieu atau dalam bahasa

Perancis disebut dengan I’environment.

Dalam kamus lingkungan hidup yang disusun Michael Allaby, lingkungan hidup itu diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition

surrounding and organism.

S.J. McNaughton dan Larry L. Wolf mengartikannya dengan semua faktor

eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan perkembangan dan reproduksi organisme.

(18)

mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. 8

Berdasarkan Bab I Pasal 1 butir 1 dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan defnisi tentang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.9

Dari definisi-definisi diatas, maka pengertian lingkungan hidup itu dapat dirangkum dalam suatu rangkaian unsur-unsur sebagai berikut :10

5. Ruang, yaitu wadah berbagai komponen berada;

1. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah air, udara, rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang disebutkan ini digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuan-satuannya disebutkan sebagai komponen;

2. Daya, disebut juga dengan energi;

3. Keadaan, disebut juga kondisi atau situasi; 4. Perilaku atau tabiat;

8

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembagunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 4.

9 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

(19)

6. Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut dengan jaringan kehidupan.

4. Pengertian Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab I Pasal 1 butir 2 mendefinisikan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.11

Di dalam batasan pengertian tersebut terdapat dua peristiwa yang menyebabkan terjadinya berubahnya fungsi kelestarian hidup yaitu pencemaran lingkungan hidup dan perusakan lingkungan hidup. Didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH pada Pasal 1 butir 14 menejelaskan pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang Selanjutnya dalam Bab I Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi pencemaran, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

(20)

telah ditetapkan. Kemudian juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH telah menetapkan batasan perusakan lingkungan hidup didalam Pasal 1 butir 16, bahwa perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.12

Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup apabila tidak dicegah akan menimbulkan persoalan-persoalan terhadap lingkungan hidup yang juga menimbulkan kehancuran bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya. Kenyataan ini juga telah membawa pengaruh terhadap efek rumah kaca yang selanjutnya menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH telah mengatur mengenai perubahan iklim sebagaimana ditegaskan di dalam konsiderans dari undang-undang itu dan juga dijabarkan dalam Pasal 1 butir 19 bahwa perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.13

12

Loc.cit.

(21)

F. Metode Penulisan

Dalam hal ini, apa yang penulis kemukakan dalam tulisan ini merupakan pangambilan bahan tidak terlepas dari media elektronik mengingat tulisan ini kerap diaktualisasikan melalui media elektronik.

Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

1). Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis.14

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hal. 33.

2). Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

(22)

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

3). Teknik Pengumpulan Data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Reseach).

Penulis menggunakan suatu penelitian kepustakaan (library reseach). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan denga cara penelitian kepustakaan atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.

Metode library reseach adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum lingkungan, hukum Internasional dan hukum yang sudah mempunyai nama besar di bidangnya.

4). Analisis Data

(23)

merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisa data dilakukan dengan:15

1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

3. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin.

4. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam bab perbab yang saling berangkaian satu sama lain..

Adapun yang merupakan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Berisikan Pendahuluan yang menggambarkan hal-hal yang

bersifat umum dalam Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

15

(24)

BAB II : Di dalam bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang Lahirnya Protokol Kyoto, Ruang Lingkup Protokol Kyoto,

dan Aspek Yuridis Perubahan Iklim.

BAB III : Di dalam bab ini menguraikan tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Asas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Tujuan dan Sasaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB IV : Di dalam bab ini membahas mengenai Hubungan Prinsip Protokol Kyoto dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PROTOKOL KYOTO

A. Latar Belakang Lahirnya Protokol Kyoto

Sejak di deklarasikan Stockholm 1972 oleh masyarakat Internasional dimana persoalan lingkungan hidup menjadi pusat perhatian masyarakat Internasional sebagaimana tercantum di dalam prinsip 22 dari deklarasi tersebut menetapkan bahwa:

“State shall co-operate to develop further the international law

regarding liability and compensation for the victims of pollution and

other environmental damage caused by activities within the jurisdiction

or control of such States to areas beyond their jurisdiction.”

Konperensi Stockholm 1972 tersebut ternyata tidak mampu untuk mencegah rusaknya lingkungan hidup sehingga rusaknya lingkungan menjadi semakin parah. Satu dasawarsa setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masyarakat Internasional berusaha untuk mengurangi rusaknya lingkungan.

Untuk itu Komisi Sedunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World

Commission on Environment and Development) menyelesaikan tugasnya pada

tahun 1987 dan mengumumkan laporannya, dikenal dengan nama Laporan Brundtland, yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future). Laporan tersebut bertemakan tentang Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

(26)

Pembangunan berkelanjutan tersebut dimaksudkan sebagai pembangunan yang berwawasan jangka panjang yang meliputi jangka waktu antar generasi yang tidak bersifat serakah untuk kepentingan diri sendiri, melainkan memperhatikan juga kepentingan anak cucu dengan berusaha meninggalkan sumber daya yang cukup dan lingkungan yang sehat serta mendukung kehidupan umat manusia dengan sejahtera.16

Dalam waktu tidak kurang dari dua puluh tahun setelah dilaksanakannya Konperensi Stockholm 1972, pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, diadakan Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and

Development), dikenal juga dengan nama KTT Bumi (Konperensi Tingkat Tinggi

Bumi) membicarakan masalah keselamatan bumi. KTT Bumi yang dihadiri oleh lebih kurang 100 kepala negara dan kepala pemerintahan telah menghasilkan: (1) Deklarasi Rio; (2)Agenda 21; (3) Konvensi tentang Perubahan Iklim; (4) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan (5) Prinsip-prinsip tentang Hutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan dalam hubungannya dengan lingkungan hidup tidaklah menyebabkan semakin bertambah baiknya kualitas lingkungan di dunia, sehingga masyarakat Internasional membutuhkan komitmen baru untuk mengelola lingkungan dengan lebih baik lagi.

17

16 Anto Ismu Budianto, Hukum dan Lingkungan Hidup Di Indonesia, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional, 2001), hal. 191.

(27)

Salah satu yang dihasilkan dalam konperensi tingkat tinggi bumi (KTT bumi) adalah konvensi tentang perubahan iklim, adapun yang melatar belakangi lahirnya konvensi tersebut sebagaimana diuraikan dibawah ini.

Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994. Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.18

Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfir agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara

Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh Para Pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama penyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Perties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama.

18 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The

United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim), Kementrian Lingkungan

(28)

industri sebesar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean

Development Mechanism).19

Protokol Kyoto terdiri atas 28 Pasal dan 2 Annex:20

• Annex A: Gas Rumah Kaca dan kategori sektor/sumber.

• Annex B: Kewajiban penurunan emisi yang ditentukan untuk Para

Pihak.

Materi pokok yang terkandung dalam Protokol Kyoto, antara lain hal-hal berikut.

a. Defenisi

Protokol Kyoto mendefinisikan beberapa kelembagaan Konvensi dan Protokol, di antaranya Conference of the Parties (COP) dan Intergovernmental

Panel on Climate Change (IPCC) beserta fungsinya dalam pelaksanaan Konvensi

dan Protokol. Ditetapkan juga bahwa Para Pihak pada Annex I Konvensi (negara industri, termasuk Rusia dan negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju pasar bebas) wajib menurunkan emisi sesuai dengan Annex B.21

19 Ibid, hal. 8-9.

20

Ibid, hal. 10.

(29)

b.Kebijakan dan Tata Cara

Pasal 2 Protokol Kyoto mengatur kebijakan dan tata cara dalam mencapai komitmen pembatasan dan penurunan emisi oleh negara pada Annex I serta kewajiban untuk mencapai batas waktu komitmen tersebut. Di samping itu, Protokol juga mewajibkan negara industri untuk melaksanakan kebijakan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan dampak yang merugikan dari perubahan iklim terhadap pihak lain, khususnya negara berkembang.22

Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi GRK secara bersama-sama. Jumlah emisi GRK yang harus diturunkan tersebut dapat meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.

c.Target Penurunan Emisi

Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission

Limitation and Reduction Objectives (QELROs) yang dijelaskan dalam pasal 3

dan 4 Protokol Kyoto adalah ketentuan poko dalam Protokol Kyoto. Emisi GRK menurut Annex A Protokol Kyoto meliputi: Carbon Dioxide (CO2), Methane

(CH4), Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC),

dan Sulfurhexafluoride (SF6). Target penurunan emisi GRK bagi negara pada Annex I Konvensi diatur dalam Annex B Protokol Kyoto. Ketentuan ini merupakan pasal yang mengikat bagi negara pada Annex I.

23

22

Ibid, hal. 11.

(30)

d. Implementasi Bersama

Implementasi Bersama adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam pasal 6 Protokol Kyoto. Implementasi Bersama itu mengutamakan cara-cara yang paling murah atau yang paling menguntungkan. Kegiatan Implementasi Bersama tersebut akan menghasilkan unit penurunan emisi atau Emission Reduction Units (ERU).24

Kewajiban bersama antara negara industri yang termasuk pada Annex I dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Hal ini di jabarkan dalam Pasal 10 merupakan penekanan kembali kewajiban tersebut tanpa komitmen baru bagi Para Pihak, baik negara industri maupun negara berkembang seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Konvensi Perubahan Iklim. Pasal 11 menekankan kewajiban negara industri yang menjadi Pihak dalam Protokol Kyoto serta termasuk pada Annex II Konvensi untuk menyediakan dana baru dan dana tambahan, termasuk alih teknologi untuk melaksanakan komitmen Pasal 10 Protokol Kyoto.

e. Tanggung Jawab Bersama yang Dibedakan

25

Mekanisme Pembangunan Bersih yang diuraikan dalam Pasal 12 Protokol Kyoto merupakan prosedur penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, f. Mekanisme Pembangunan Bersih

24 Ibid, hal. 12.

(31)

negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama Konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan penurunan emisi melalui MPB harus disertifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk oleh Conference of the Perties

serving as the Meeting of the Parties (COP/MOP).26

Lembaga-lembaga yang berfungsi melaksanakan Protokol Kyoto adalah COP/MOP sebagai lembaga tertinggi pengambil keputusan Protokol (Pasal 13); Sekretariat Protokol juga berfungsi sebagai Sekretariat Konvensi melakukan tugas-tugas administrasi Protokol (Pasal 14); dan Subsidiary Body for Scientific

and Technological Advice (SBSTA), sebagai Badan Pendukung yang memberi

masukan ilmiah kepada COP/MOP untuk membuat keputusan (Pasal 15). g. Kelembagaan

27

Perdagangan Emisi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 merupakan mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.

h. Perdagangan Emisi

28

26 Ibid, hal 12-13.

27

Ibid, hal. 13.

(32)

i. Prosedur Penataan dan Penyelesaian Sengketa

Ketidaktaatan (non compliance) atas kewajiban yang ditentukan dalam Protokol diselesaikan sesuai dengan prosedur dan mekanisme penataan yang ada dalam ketentuan Pasal 18 Protokol Kyoto. Sesuai dengan Pasal 19 Protokol Kyoto, apabila terjadi perselisihan di antara Para Pihak, proses penyelesaian sengketa (dispute settlement) mengacu Pasal 14 Konvensi.29

Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxida, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 6% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. Target penurunan emisi dikenal dengan nama quantified emission

limitation and reducation commitment (QELROs) merupakan pokok permasalahan dalam seluruh urusan Protokol Kyoto dengan memiliki implikasi serta mengikat secara hukum, adanya periode komitmen, digunakannya rosot

B. Ruang Lingkup Protokol Kyoto

(33)

(sink) untuk mencapai target, adanya jatah emisi setiap pihak di Annex I, dan dimasukannya enam jenis gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan

SF6 (basket of gases) dan disertakan dengan CO2. Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau yang dikenal

sebagai UNFCCC. UNFCCC ini diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Jenerio

pada 1992. Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.30

Protokol kyoto terdiri dari 28 pasal dengan dua lampiran sebagai berikut:31

1. Definisi

2. Kebijakan dan Tindakan

3. Komitmen Pembatasan dan Pengurangan Emisi 4. Pemenuhan Bersama atas Komitmen

5. Isu-isu Metodologi

6. Pengalihan dan Perolehan Unit Pengurangan Emisi (implementasi bersama)

7. Komunikasi Informasi 8. Peninjauan Informasi

30

Kyoto”, terakhir diakses pada tanggal 25 November 2010.

(34)

9. Peninjauan Protokol

10.Kelanjutan untuk mempercepat implementasi komitmen 11.Mekanisme Keuangan

12.Mekanisme Pembangunan Bersih

13.Konferensi Para Pihak yang merupakan Pertemuan Para Pihak Protokol 14.Sekretariat

15.Badan-badan Pembantu 16.Proses Konsultasi Miltilateral 17.Perdagangan Emisi

18.Ketidakpatuhan 19.Penyelesaian Sengketa 20.Amandemen

21.Adopsi dan Amandemen Lmpiran 22.Hak Suara

23.Depositori

24.Tandatangan dan Ratifikasi, Penerimaan, Persetujuan atau Aksesi 25.Efektivitas

26.Reservasi

27.Pengunduran Diri 28.Naskah Asli

Annex A : Gas-gas rumahkaca dan sektor-sektor dalam kategori sumber.

(35)

Substansi penting yang berkaitan dengan implementasi Protokol Kyoto terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :32

1. Isu utama dan yang bersifat mengikat adalah komitmen atau target penurunan emisi negara-negara maju (Pasal 3 dan 4).

2. Untuk mencapai komitmen tersebut disediakan berbagai mekanisme yang ditentukan dalam pasal-pasal 6, 12, dan 17.

3. Pasal-pasal 5, 7, dan 8 diuraikan untuk menggambarkan bagaimana integritas Protokol Kyoto dipertaruhkan.

4. Pasal 18 akan menjadi pasal yang secara hukum mengikat. Dengan pasal ini mekanisme penataan terhadap pencapaian target penurunan emisi akan diatur dengan segala konsekuensi terhadap ketidaktaatannya.

Setelah Protokol Kyoto diadopsi di CoP3 pembicaraan mengenai implementasi instrumen hukum ini telah melalui jalan yang cukup berliku mulai dari Buenos Aires tahun 1998 (CoP4), Bonn tahun 1999 (CoP5), Den Haag tahun 2000 (CoP6), Bonn awal tahun 2001 (CoP6-Bagian II), Marrakesh, Maroko, akhir tahun 2001 (CoP7), dan New Delhi (CoP8) akhir tahun 2002. Semangat perundingan pun mengalami pasang-surut dan mencapai titik terendahnya pada awal tahun 2001 ketika Amerika Serikat (AS) menentang dan menolak perjanjian internasional ini tiga bulan setelah CoP6 bulan November 2000 di Den Haag. Namun, pada CoP7 di Marrakesh, bulan November 2001 Para Pihak yang telah terpolarisasi dalam kelompok negara maju dan negara berkembang telah saling

(36)

memberi dan menerima dan tidak mempertahankan posisi masing-masing yang dipegang teguh pada CoP-CoP sebelumnya. Kesepakatan yang dicapai pada CoP7 tidak terlepas dari peranan CoP6-Bagian II yang diadakan 6 bulan sebelumnya di Bonn. CoP6-Bagian II inilah yang telah melapangkan jalan bagi Para Pihak terutama negara-negara industri untuk meratifikasi Protokol. Semangat multilaterisme telah didemonstrasikan di Bonn dan Maroko. Harapan banyak pihak adalah bahwa Protokol akan segera efektif dan operasional. Tanda-tanda ke arah itu sudah ditunjukkan dalam CoP7 dimana banyak pimpinan delegasi menyatakan bahwa negaranya telah memulai upaya ratifikasi seawal mungkin.33

Target penurunan emisi yang dikenal dengan nama quantified emission

limitation and reducation commitments (QELROs) adalah inti dari seluruh urusan

Protokol Kyoto. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 3, Target Kyoto memiliki beberapa implikasi sebagai berikut :34

• Dimasukkannya enam jenis GRK (basket of gases) dan disetarakan dengan CO2.

• Mengikat secara hukum (legally binding)

• Adanya periode komitmen (commitment period)

• Digunakannya rosot (sink) untuk mencapai target

• Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap Pihak Annex I

33

Ibid, hal. 7.

(37)

Sifat yang mengikat mengenai kewajiban atau target penurunan emisi adalah aspek penting dari Protokol Kyoto (Pasal 3.1). Jika Para Pihak yang termasuk dalam Annex I tidak memiliki ikatan, maka mereka dapat dengan mudah mengubah tindakan-tindakannya sehingga tujuan Protokol tidak tercapai. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3.2 mengamanatkan agar negara-negara Annex I dapat mendemonstrasikan penurunan emisi menjelang tahun 2005. Tahun 2005 menjadi penting untuk membuktikan komitmen negara-negara maju karena sejak awal banyak Pihak (AOSIS, EU, dan ornop) telah mengusulkan agar kesungguhan itu dapat didemonstrasikan kemajuannya sejak tahun awal 1990. Manurut Pasal 3.5 dan 3.6 dan sesuai dengan keputusan CoP2 (Decision 9/CP.2) untuk CEIT tahun awalnya dapat ditentukan secara luwes.35

Konsep mengenai periode komitmen (untuk yang pertama tahun 2008-2012) adalah usulan AS yang memungkinkan Para Pihak melakukan penyesuaian pencapaian targetnya dalam jangka suatu jangka waktu atau periode tertentu. Alasannya adalah, pertama, jika karena sesuatu dan lain hal target suatu tahun tidak tercapai, maka pada tahun-tahun berikutnya (dalam periode yang sama) Pihak tersebut dapat mengejar ketinggalannya. Sebaliknya jika penurunan emisinya melampaui target, maka kelebihannya dapat digunakan pada tahun-tahun berikutnya asalkan dalam periode yang sama. Diterimanya prinsip ini tidak membatalkan ketentuan yang lain bahwa pada tahun 2005 kemajuan sudah harus dapat ditunjukkan. Kedua, terdapat keluwesan dalam hal waktu pencapaian target. Ketiga, dengan periode yang relatif panjang akan memberikan waktu kepada

(38)

setiap Pihak yang termasuk dalam Annex I untuk mengakumulasikan perdagangan emisi. Dengan konsep ini kemudian muncul masalah penyesuaian target penurunan emisi sebelum penataannya dimonitor dan diverifikasi, sebab untuk periode komitmen pertama (2008-2012) besar kemungkinan penilaiannya akan dilakukan pada tahun 2014. Pergeseran dan penyesuaian ini akan menimbulkan kerumitan negosiasi dalam periode komitmen berikutnya. 36

Aktivitas alih-guna lahan dan kehutanan melalui aforestasi, reforestasi dan deforestasi yang menyebabkan meningkatnya penyerapan GRK oleh rosot dapat digunakan oleh Para Pihak yang termasuk dalam Annex I untuk mencapai target emisinya (Pasal 3.3). Tetapi, jika pada tahun 1990 kegiatan tersebut sebagai sumber emisi, maka besarnya emisi harus diperhitungkan dalam penentuan garis awal (baseline) sesuai dengan Pasal 3.7. Selanjutnya Pasal 3.4 menentukan bahwa kegiatan tambahan di lahan pertanian dan kehutanan oleh Para Pihak yang termasuk dalam Annex I juga dapat diperhitungkan sebagai emisi dari sumber atau penyerapan oleh rosot. Perhitungan untuk kegiatan tambahan tersebut menurut ketentuan Pasal 3.4 berlaku pada periode komitmen kedua dan selajutnya. Jika suatu Pihak dapat memperhitungkannya dalam periode komitmen pertama dengan catatan kegiatan tersebut telah berlangsung sejak 1990.37

Pasal 3.7 menekankan besarnya jatah emisi yang artinya emisi yang boleh dilakukan oleh Para Pihak yang termasuk dalam Annex I agar tetap mencapai

36

Ibid, hal. 37-38.

(39)

target pengurangan. Target tersebut dibedakan untuk setiap Pihak yang bervariasi dari kewajiban menurunkan emisi sebesar 8 persen (EU) sampai izin meningkatkan emisi hingga 10 persen (Islandia).38

Secara rata-rata kewajiban seluruh Annex B akan menurunkan emisi paling sedikit sebesar 5 persen (Pasal 3.1). Dalam periode komitmen pertama besarnya jatah ini akan sama dengan QELROs. Setiap periode pelaporan, jatah tersebut dapat naik atau turun tergantung tingakat prestasi atau kegagalan Pihak tersebut dalam mencapai targetnya. Perhitungan jatah emisi suatu Pihak dalam Annex B dalam suatu periode komitmen dilakukan dengan menghitung jatah emisi satu tahun dikalikan lima. Contoh, emisi seluruh GRK Jepang pada tahun 1990 adalah 1.173 juta ton setara CO2, maka dengan jatah emisi sesuai dengan

Annex B sebesar 94 persen (supaya dapat mengurangi emisi sebesar 6 persen), Jepang memiliki jatah emisi tahunan dalam suatu periode komitmen pertama sebesar 1.102 juta ton setara CO2, sehingga jatah emisi dalam periode komitmen

tersebut adalah 5.513 juta ton atau 5,5 giga ton setara CO2 bukan 5,9 giga ton

kalau tanpa Target Kyoto.39

Penurunan emisi GRK yang ditargetkan meliputi CO2, CH4, N O, HFC,

PFC, dan SF . Pendekatan ini dikenal dengan nama basket approach. Meskipun sulit karena ketidakpastian mengenai sumber dan rosot gas-gas tersebut, namun dipastikan pendekatan ini merupakan target tunggal untuk enam macam gas

38 Ibid.

(40)

sekaligus. Besarnya penurunan emisi untuk gas-gas tersebut dinyatakan dalam nilai yang setara CO2. Tahun awal perhitungan untuk tiga gas pertama adalah

1990, sedang untuk tiga gas terakhir adalah 1995 (Pasal 3.8). Dengan cara ini Para Pihak akan mendapat kebebasan berdasarkan kesiapannya untuk menurunkan emisi gas yang harus diprioritaskan. Tiga gas yang terkahir, yang tidak diusulkan EU, tetapi diusulkan AS dan Kanada, meskipun jumlahnya sedikit kemampuannya memanaskan atmosfir lebih-lebih besar dari tiga gas pertama dan pertumbuhannya sangat cepat khususnya di AS dan Jepang.40

Bumi yang hanya satu ini terbungkus oleh gas yang secara keseluruhan disebut “atmosfir”. Apabila dibandingkan dengan bumi, lapisan atmosfir sangatlah tipis, karena tebalnya hanya sekitar 90 km, sedangkan jari-jari bumi sekitar 6400 km. Atmosfir ini terdiri dari berbagai macam gas, antara lain nitrogen, oksigen, karbon dioksida, uap air, dan lain sebagainya sebagaimana tersebut di bawah ini:

C. Aspek Yuridis Perubahan Iklim

41

Tabel 1 : Komposisi Kimia Atmosfir.42

Nama Unsur

Anto Ismu Budianto, op.cit., hal. 193.

(41)

Xenon Sumber: Moh. Soerjani, Rofiq Ahmad, Rozy Munir.

Keterangan:

% = persen volume

Ppmv = Perts per million by volume Pphmv = Perts per hundred by volume

(42)

Ditinjau dari suhunya, atmosfir tersusun dari lapisan-lapisan yang disebut troposfir, stratosfir, mesosofir, dan termosfir, sebagaimana tersebut di bawah ini.

Tabel 2 : Susunan lapisan atmosfir berdasarkan profil suhu.43

Nama Unsur Tinggi (km) Suhu (ºC)

Troposfir ± 0 s/d 11 15 s/d -60

Stratosfir ± 11 s/d 49 -60 s/d -10

Mesosfir ± 49 s/d 80 -10 s/d -90

Termosfir ± 80 s/d diatas 110 -90 s/d diatas -30 Sumber: Moh. Soerjani, Rofiq Ahmad, Rozy Munir.

Pada dasarnya perubahan iklim dapat terjadi karena alam dan karena campur tangan manusia, serta dapat berlangsung dalam skala luas maupun kecil.

Perubahan iklim alami adalah perubahan iklim yang ditimbulkan oleh adanya proses-proses alam yang tidak karena campur tangan manusia. Perubahan iklim alami umumnya terjadi dalam skala besar, sedangkan campur tangan manusia umumnya menyebabkan perubahan iklim dalam skala kecil, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan iklim dalam skala besar.44

Perubahan iklim global adalah peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK) yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfir yang menyerap sinar panas, yaitu sinar infra merah, yang dipancarkan oleh bumi. Gas yang ada dalam atmosfir disebut gas rumah kaca (GRK). Penyerapan sinar infra merah itu menyebabkan sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu permukaan bumi. Apabila tidak ada gas rumah kaca dan karena itu tidak ada pula efek rumah kaca, suhu permukaan bumi rata-rata hanya -18°C. Keadaan tersebut masih terlalu

43

Ibid, hal. 195.

(43)

dingin bagi kehidupan makhluk hidup. Dengan adanya efek rumah kaca, maka suhu bumi rata-rata adalah 15°C, seperti yang ada pada saat ini.45

Naiknya volume air laut maka permukaan laut akan naik. Dengan laju kenaikan kadar gas rumah kaca seperti sekarang maka diperkirakan pada sekitar tahun 2030 suhu kan naik dengan kisaran 1,5-4,5°C, dan akan meyebabkan naiknya permukaan laut sebesar 25 sampai dengan 140 cm. Dampak naiknya permukaan laut adalah tergenangnya daerah pantai yang rendah, seperti daerah pantai Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Masalah peresapan air laut di sungai dan di bawah tanah akan semakin berat. Kenaikan permukaan laut juga akan menyebabkan naiknya laju erosi pantai. Untuk setiap kenaikan permukaan laut maka 1 cm garis pantai akan mundur 1 m, sehingga kenaikan permukaan laut 25 cm sampai dengan 140 cm akan menyebabnkan mundurnya garis pantai sejauh 25 sampai dengan 140 m.46

Dalam persoalan pemanasan global, manusia harus bertindak sebelum ada bukti, karena pada saat manusia memiliki bukti kuat tentang pengaruh pemanasan global maka sudah terlambat untuk menghentikannya. Ada beberapa hal yang sudah diketahui bahwa atmosfir bumi, seperti halnya kaca pada rumah kaca, membiarkan sinar dan kehangatan matahari masuk tetapi mencegah panas keluar, karena tanpa atmosfir maka bumi akan sedingin Bulan. Selain itu gas-gas tertentu, seperi karbondioksida, uap air, dan klorofluorokarbon (CFC) buatan manusia membuat atmosfir bekerja seperti rumah kaca. Disadari pula bahwa manusia telah

45 Ibid, hal. 195-196.

(44)

meningkatkan emisi rumah gas rumah kaca selama beberapa dasawarsa, sehingga konsentrasi gas tersebut akan meningkatkan suhu bumi. Seberapa besar peningkatannya, seberapa cepat, dan apa akibatnya bagi manusia merupakan persoalan-persoalan yang mengemuka pada akhir-akhir ini. 47

Dampak dari perubahan iklim global diperkirakan akan memunculkan ancaman baru. Diperkirakan pada abad ini jutaan orang diberbagai belahan bumi akan menderita kelaparan sebgai akibat langsung dari perubahan iklim. Produksi pertanian akan menurun cukup tajam di Asia. Kemudian persediaan air di Australia dan Selandia Baru diperkirakan akan menyusut. Di Eropa risiko banjir diperkirakan pula akan meningkat. Sementara itu didaerah pesisir timur Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami gelombang badai besar dan erosi di wilayah pantai dan pesisir. Selanjutnya di Afrika diperkirakan semakin meluasnya padang pasir gersang. Ancaman lingkungan di masa depan tersebut merupakan hasil kesimpulan dari sekitar 700 saintis yang tergabung dalam IPPC (Intergovernmental Panel on Climate Change), yang diminta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meneliti perubahan iklim yang akan terjadi di masa depan.48

Dalam laporan IPPC tentang perubhan iklim disebutkan bahwa pemanasan Bumi akan berlangsung lebih cepat daripada yang pernah diprediksi sebelumnya. Temperatur secara umum pada abad ini akan meningkat antara 1,4 sampai dengan 5,8 derajat Celcius. Akibatnya tingkat permukaan laut diperkirakan naik sampai 10 cm, yang tentu saja akan mengkhawatirkan bagi penduduk yang tinggal di

47

Ibid, hal. 196-197.

(45)

kawasan yantg rendah, terutama di pesisir pantai. Beberapa perubahan fisik yang sudah terjadi pada saat ini diantaranya adalah lautan es di Kutub Utara akan menyusut sampai 10-15% yang disebabkan mencairnya kutub es tersebut. Sementara itu laut es Antartika mundur kesebelah selatan sebesar 2,8 derajat lintang pada tahun 1950-an sampai awal tahun 1970-an. Perubahan tersebut terjadi hingga sekarang. Lebih jauh IPPC menyatakan akan terjadi kerusakan di hampir seluruh bagian Bumi sebagaimana disebutkan pada tabel 3 di bawah ini.49

Tabel 3 : Perkiraan Kerusakan Menurut Draft Geneva IPCC 2001.50

WILAYAH DAMPAK KERUSAKKAN

Afrika • Hasil tanaman pangan diperkirakan akan menurun :

• Ketersediaan air bersih berkurang

• Pembentukan padang pasir atau desertifikasi diperburuk oleh kurangnya rata-rata curah hujan tahunan, khususnya dibagian selatan, utara, dan barat Afrika

• Daerah pesisir pantai di Negeria, Senegal, Zambia, Mesir dan sejumlah wilayah pesisir di bagian timur Afrika Selatan akan mengaklami peningkatan permukaan air laut dan erosi pesisir pantai;

Asia • Temperatur meningkat, musim kering panjang, banjir dan degradasi lapisan tanah mengakibatkan berkurangnya Asia;

• Kawasan utara Asia, produktivitasnya mungkin meningkat. Namun terjadi peningkatan permukaan air laut dan badai tropis lebih sering terjadi;

• Penduduk di kawasan pesisir yang rendah dengan suhu tropis Asia perlu dipindahkan, jumlahnya diperkirakan mencapai 10 juta orang;

Eropa • Eropa bagian selatan cenderung mudah terkena musim kering dan di wilayah lain serangan banjir akan meningkat;

• Sebagian dari sungai atau gletser Alpina akan

49

Ibid.

(46)

menghilang pada akhir abad ke 21

• Gelombang panas mungkin akan mengubah tujuan Turis yang akan menikmati salju musim dingin;

• Produksi hasil pertanian akan meningkat di wilayah utara Eropa namun akan menurun di daerah Selatan Eropa.

Amerika Latin • Banjir dan musim kering panjang akan lebih sering terjadi;

• Hasil panen tanaman penting akan menurun di berapa bagian Amerika Latin;

• Penghidupan para petani di bagian timur laut Brasil akan terpengaruh pada perubahan iklim;

• Terjadi peningkatan penyakit, seperti malaria dan kolera.

Amerika Utara • Produksi pangan dapat menguntungkan dari pemanasan yang rendah, namun akan terjadi efek regional yang cukup besar, seperti penurunan di Padang rumput Canada dan Great Plains Amerika Serikat;

• Peningkatan permukaan air laut akan meningkatkan erosi di wilayah pesisir; Banjir dan serangan badai akan lebih banyak dialami di daerah Florida dan pesisir Atlantik;

• Penyakit demam berdarah dan malaria akan meluas di wilayah Amerika Utara dan akan meningkatkan angka kematian pada kawasan tersebut.

Daerah Kutub • Perubahan iklim di kawasan kutub diperkirakan akan berpengaruh paling besar dibandingkan kawasan lainnya di muka bumi ini;

• Saat ini sudah terjadi penyusutan dan pengurangan ketebalan kutub es di Kutub Utara;

• Distribusi dan limpahan spesies akan terpengaruh;

• Stabilisasi gas rumah kaca akan berpengaruh pada sirkulasi global dan tingkat permukaan air laut.

Pulau-pulau Kecil • Diperkirakan permukaan air laut akan meningkat sekitar dua persepuluh inchi per tahunnya selama 100 tahun ke depan, yang akan mengakibatkan erosi pesisir pantai, kerusakan ekosistem; tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan dislokasi penduduk;

• Terumbu karang akan rusak yang berpengaruh pada kehidupan ikan di laut.

(47)

Perkiraan kerusakan sebagaimana yang dibuat oleh IPPC tersebut di atas diperkuat dengan bukti-bukti yang didapatkan melalui penelitian yang dilakukan para peneliti dari Imperial College, London, Inggris dengan membandingkan data-data satelit ADEOS milik Jepang dan satelit Nimbus 4 milik NASA. Salah satu kesimpulan yang didapatkan adalah adanya peningkatan karbon dioksida (CO2)

sebagai akibat dari aktivitas manusia dari angka satuan 280 ppm menjadi 360 ppm.51

Upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir dimulai oleh masyarakat internasional sejak tahun 1985 dengan dihasilkannya Konvensi Wina tentang Perlindungan Lapisan Ozon. Selanjutnya pada tahun 1987 dihasilkan pula Protokol Montreal tentang Bahan-Bahan Yang Dapat Merusak Lapisan Ozon, yang kemudian diamandemen pada tanggal 29 Juni 1990. Selanjutnya pada tanggal 5 Juni 1992 ditandatangani United Nations Framework

Convention on Climate Change (untuk selanjutnya disebut Konvensi PBB tentang

Perubahan Iklim 1992) oleh sejumlah Negara besar, termasuk Indonesia.52

Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim 1992 terdiri atas batang tubuh, yang berisi pembukaan dan 26 pasal mengenai : pengertian; tujuan; prinsip-prinsip; komitmen; penelitian dan pengamatan sistematik; pendidikan, pelatihan, dan kesadaran masyarakat; konperensi para pihak; sekretariat; badan pendukung pelaksana; mekanisme pembiayaan; komunikasi informasi mengenai pelaksanaan; penyelesaian masalah-masalah pelaksanaan; penyelesaian sengketa;

51 Ibid, hal. 199-200.

(48)

perubahan terhadap konvensi; persetujuan dan perubahan lampiran-lampiran pada konvensi; protokol; hak suara; depositari; penandatanganan; pengaturan sementara; ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi; hal berlakunya; keberatan-keberatan (reservasi); penarikan diri, dan teks asli. Selanjutnya dicantumkan lampiran I tentang daftar negara maju dan negara ekonomi transisi dan lampiran II tentang daftar negara industri maju yang berkewajiban menyediakan pendanaan.53

Beberapa hal penting dalam konvensi dapat dijelaskan berikut ini, misalnya yang dimaksud dengan perubahan iklim sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 (2), yaitu :54

Hal yang menarik dari pengertian tersebut diatas adalah tidak dimasukkannya unsure alam sebagai salah satu faktor berubahnya iklim. Selanjutnya Pasal 2 menyebutkan tentang tujuan dari konvensi, yaitu :

“… a change of climate which is attributed directly or indirectly to human

activity that alters the composition of the global atmosphere and which is in

addition to natural climate variability observed over comparable time periods”

55

“….. tercapainya kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah perbuatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Tingkat yang demikian itu harus dicapai dalam jangka waktu yang cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan untuk menjamin

53 Ibid.

54

Ibid, hal. 200-201.

(49)

agar produksi pangan tidak terancam serta memungkinkan pembangunan ekonomi dapat berlanjut terus”

Adapun prinsip-prinsip yang ditentukan untuk mencapai tujuan konvensi disebutkan pada Pasal 3, yakni :56

1. Prinsip melindungi sistem iklim untuk kepentingan kehidupan generasi kini dan mendatang atas dasar kesamarataan dan tanggung jawab bersama yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing;

2. Prinsip kebutuhan dan keadaan khusus negara berkembang, terutama negara-negara yang rawan terhadap akibat yang merugikan dari perubahan iklim, dan yang harus memikul beban yang tidak sepadan atau diluar jangkauan;

3. Prinsip tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah, atau mengurangi penyebab perubahan iklim dan meringankan akibat yang merugikan;

4. Prinsip mempunyai hak dan harus memprakarsai pembangunan yang berkelanjutan;

5. Prinsip harus bekerja sama untuk mengembangkan suatu sistem ekonomi internasional yang bersifat menunjang dan terbuka menuju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan pada semua pihak, khususnya negara berkembang yang memungkinkan untuk menghadapi persoalan perubahan iklim.

56

(50)

Pasal 7 konvensi menyebutkan bahwa konperensi para pihak (Conference

of the Parties atau selanjutnya disebut CoP) ditentukan sebagai badan tertinggi

yang bertugas mengawasi dan memajukan pelaksanaan dari konvensi dan perangkat-perangkat hukum terkait lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 17 dikatakan bahwa CoP boleh menyetujui dibuatnya protokol pada konvensi yang harus disampaikan kepada para pihak.57

Protokol Kyoto meminta komitmen dari negara industri maju untuk menurunkan tingkat emisinya secara keseluruhan sebesar 5% dari tingkatnya pada tahun 1990. Diharapkan tujuan itu tercapai pada tahun 2008-2012. Negara-negara Uni Eropa misalnya diminta menurunkan emisinya sebanyak 8% (delapan persen), sedangkan Jepang 6% (enam persen), dan Amerika Serikat 7% (tujuh

Penjabaran lebih lanjut dari CoP menghasilkan Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol Kyoto merupakan perjanjian internasional yang mengatur pembatasan emisi gas-gas penyebab efek rumah kaca. Gas-gas itu antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan

klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas ini terkonsentrasi di atmosfir, semakin lama semakin menumpuk, lalu membentuk apa yang disebut efek rumah kaca, dimana panas matahari masuk ke atmosfir tetapi tidak dapat keluar kembali, ibarat panas yang terkungkung dalam mobil yang tertutup rapat dan diparkir terjemur matahari. Semakin menumpuk gas-gas berbahaya tadi, atmosfir makin sulit melepaskan panas matahari. Bumi akan semakin panas dan perubahan iklim duniapun akan terjadi.

(51)

persen). Amerika Serikat, yang menyumbangkan 25% (dua puluh lima persen) emisi total dunia, menolak Protokol Kyoto. Padahal emisi negara-negara berkembang besar seperti Korea, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil, Argentina, dan Indonesia apabila di jumlah tidaklah melebihi emisi yang dihasilkan Amerika Serikat. Adapun alasan Amerika Serikat menolak Protokol Tokyo ini karena tidak adanya kewajiban yang mengharuskan 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia yang berbeda di negara-negara berkembang untuk mentaati kesepakatan dalam Protokol Kyoto. Selain itu Amerika Serikat juga menyangsikan sempurnanya ilmu pengetahuan mengenai pemanasan Bumi dan solusinya, sehingga dari sebab itu diusulkan untuk mengurangi emisi dengan cara jual beli karbondioksida global.58

Menurut Amerika Serikat, perdagangan karbon adalah pemecahan terbaik untuk mengurangi polusi udara. Prinsipnya, industri di negara maju dapat membuang karbon sebanyak-banyaknya ke udara asalkan membayar kepada negara yang masih punya hutan sebagai penyerap karbon. Jual beli karbon ini diukur per ton karbon dioksida yang dapat diserap oleh sebuah kawasan hutan. Hutan tropis di Asia dapat meyerap 135-250 ton karbon per hektar dengan harga bervariasi dari US$6 hingga US$45 per ton. Tampaknya perdagangan karbon tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah polusi. Satu hal yang jelas, perdagangan karbon diharapkan bisa menurunkan suhu bumi., meskipun tidak berarti bisa menyerap CO2 secara signifikan. Tampaknya kesadaran untuk

mentaati apa yang sudah menjadi komitmen hukum dari masyarakat internasional

(52)

menjadi faktor yang sangat penting untuk mengurangi perubahan iklim global, selain itu penanaman pohon secara besar-besaran merupakan salah satu bentuk partisipasi publik yang bermanfaat untuk menurunkan suhu bumi.59

Secara hukum ratifikasi atau pengsahan suatu Konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan Protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan Konvensi, tetapi menolak Protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis. Berikut ini adalah uraian tentang implikasi politis sehubungan dengan relasi kita dengan negara berkembang lainnya, implikasi hukum nasional dan lokal sehubungan dengan tatanan peraturan secara sektoral, dan keberadaan pemerintah di daerah.60

Sebagai bagian dari negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G77+Cina, sangatlah penting bagi Indonesia untuk menjaga solidaritas sejauh tidak mengorbankan kepentingan nasional. Sebab, dalam negoisasi, dukungan dan kekompakan tidak hanya diperlukan dalam satu hal saja (misalnya soal perubahan iklim), tetapi juga hal-hal lain yang mungkin lebih kompleks dan rumit, sehingga menjaga kesatuan dan kebersamaan politis adalah penting. Hingga saat ini, sebagian besar negara yang telah menegesahkan Protokol Kyoto adalah negara berkembang. Bahkan sebagian besar di antara mereka adalah negara-negara

59

Ibid, hal. 202-203.

(53)

kepulauan yang tergabung di dalam AOSIS yang secara geografis memiliki kondisi dan tantangan yang sama dengan Indonesia.

Sebagian Negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga telah mengesahkan Protokol Kyoto dengan alasan dan pertimbangan masing-masing. Solidaritas kepada sesama anggota ASEAN juga perlu ditunjukkan, meskipun isu perubahan iklim tidak pernah dibicarakan secara formal dalam forum ASEAN. Adalah sangat strategis dan wajar bagi Indonesia yang telah mengesahkan Konvensi Perubahan Iklim, sekali lagi menunjukkan kepeduliannya akan masalah global tanpa harus mengorbankan kepentingan nasionalnya, melalui pengesahan Protokol Kyoto. Secara umum langkah ini diperkirakan akan membawa konsekuensi politik dalam hubungan internasional yang menguntungkan bagi Indonesia.61

Seperti dicantumkan di dalam Annex A Protokol Kyoto, sektor diartikan sebagai kategori sumber emisi yang terdiri dari energi (untuk industri, konstruksi, dan transportasi), proses industri (mineral, kimia, logam, produksi, dan konsumsi halokarbon dan SF6), pertanian (fermentasi hewan ruminansia, pengelolaan limbah ternak, penanaman padi, pembakaran residu dan penglolaan tanah), limbah (penimbunan dan pembakaran limbah padat dan penanganan limbah cair). Didalam Komunikasi Nasional, penggunaan lahan, alih-guna lahan dan kegiatan kehutanan (land-use, land-use change and forestry, LULUCF) juga dianggap sebagai sektor penting. Dengan demikian, sektor-sektor tersebut juga berhubungan dengan sektor-sektor pembangunan kita. Kita memang wajib lapor

(54)

(lihat Bab 9) tentang emisi kita di sektor-sektor tersebut, tetapi sekaligus juga memiliki peluang untuk melakukan mitigasi bersama negara maju melalui mekanisme Kyoto (lihat Bab 5). Dalam perspektif nasional, sektor energi sangat terkait dengan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK. Sektor energi merupakan sektor yang strategis untuk ditangani karena proyek-proyek energi diperkirakan akan memiliki integritas lingkungan yang tinggi, kepastian yang lebih baik dan risiko yang lebih kecil. Di dalam keputusan CoP7 secara eksplisit dinyatakan bahwa energi terbarukan dan efisiensi energi mendapat prioritas yang tinggi. Bahkan proyek energi terbarukan dengan kapasitas tidak lebih dari 15 MW, efisiensi energi yang tidak lebih dari 15 GWh/tahun dan proyek-proyek energi yang mengemisikan kurang dari 15 kt CO2/tahun akan

mendapat perlakuan khusus untuk di implementasikan dengan segera melalui prosedur yang sederhana dan jalur yang cepat (fast track). Proyek-proyek skala kecil tersebut tentu akan mendorong pengembangan kelistrikan di luar sistem

grid, misalnya daerah pegunungan (untuk microhydro power), daerah pedesaan

(untuk solar home system dan hybrid) dan daerah pantai (solar home system,

hybrid dan wind power).62

(55)

BAB III

RUANG LINGKUP UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

HIDUP

A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tiga puluh tujuh tahun setelah berlangsungnya konferensi Lingkungan Hidup sedunia ( UNCHE, United Nations Conference on the Human

Environment, 1972, Stockholm). Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan

tiga buah Undang-undang dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup. Tahun 1982 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian di ganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya pada tahun 2009 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

(56)

perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Dan pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karenanya agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan menggantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini terdiri atas 17 Bab dan 127 Pasal yang materinya meliputi:63

1. BAB I, Ketentuan Umum

2. BAB II, Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup 3. BAB III, Perencanaan

4. BAB IV, Pemanfaatan 5. BAB V, Pengendalian 6. BAB VI, Pemeliharaan

7. BAB VII, Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Serta Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Gambar

Tabel 1 : Komposisi Kimia Atmosfir.42
Tabel 3 : Perkiraan Kerusakan Menurut Draft Geneva IPCC 2001.50

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi adalah positif yang artinya yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kewirausahaan terhadap

Teori – kemiskinan membawa kepada kesihatan yang kurang baik.. Konsep – kemiskinan, kesihatan yang kurang

Dalam contoh ini akan ditunjukan contoh penerapan cara perhitungan hidrograf satuan sintetis dengan cara ITB utuk suatu DAS kecil memiliki Luas DAS = 1.2 km 2 , L=1575 m,

[r]

Dalam perijinan terkait pembukaan usaha Greeny Satay, Greeny Satay akan melakukan perijinan ke pemilik dari tempat yang akan disewa yang nantinya sebagian dari tempat

Hal ini artinya bahwa Corporate Social Responbility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan sektor pertambangan dan sektor industri dasar dan kimia pada

Variabel pada penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan daerah tempat tinggal pada karakteristik

Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan maka tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi