• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA DAN

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi

Keadilan adalah tonggak utama masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi keberadaan dan kelangsungan hidup masyarakat manapun. Sebagai aturan main bagi relasi sosial manusia, keadilan adalah prasyarat yang harus ada bagi adanya masyarakat. Keadilan adalah tonggak utama yang menunjang seluruh bangunan masyarakat. Jika tonggak ini disingkirkan, bangunan masyarakat yang megah dan raksasa pasti akan hancur berantakan. Karena itu masyarakat tidak dapat bertahan diantara mereka yang setiap saat siap untuk saling melukai dan merugikan satu sama lain.

Sebelum mengenal hukum tertulis, cara yang ditempuh adalah berdasarkan kebisaaaan yang bersifat informal (hukum adat setempat), kemudian berkembang ke cara formal melalui lembaga peradilan berdasarkan hukum tertulis. Cara penyelesaian sengketa melalui peradilan kemudian berkembang pesat karena lebih memberikan keadilan dan kepastian hukum. Demikian pula di Indonesia, hampir semua sengketa diselesaikan di pengadilan.

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang dihadapi. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh dua belah pihak secara kooperatif atau dibantu oleh pihak ketiga yang bersifat netral dapat pula diselesaikan melalui jalur lembaga peradilan.

Peradilan merupakan jalur penyelesaian konvensional untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa seperti karena ingkar janji, keluhan konsumen, tuntutan pertanggung jawban produk, dan lain sebagainya. Apabila

seseorang merasa dirugikan atau dirampas haknya, maka dia dapat membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri.

Azas sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan azas dalam hukum acara perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim40

“Hukum acara perdata adalah serangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.”

. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan :

41

Dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata, maka digunakan hukum acara perdata. Hukum perdata yang berlaku saat ini adalah HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement = Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ) untuk Jawa dan Madura dan RBg (Rechtsrehlement Buitengewesten = Reglement Darah Seberang). Disamping itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan berbagai sumber hukum lainnya yang mengatur tentang acara perdata.

Dengan adanya penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini dapat mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) sehingga tidak menimbulkan keresahan atau tercipta keamanan dan ketentraman yang ada dimasyarakat.

40

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm.2. 41

Wirjono prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1984), hlm.13.

Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk efisiensi dan mencegah munculnya birokrasi dan regulasi yang tidak perlu. Namun, lembaga peradilam sering sekali dikritik karena tidak berhasil dalam menerapkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut42

Berbagai usaha dan pemikiran yang bertujuan mendesain peradilan yang lebih efektif dan efisien belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, kritikan global yang ditujukan atas kinerja dan keberadaan peradilan. Dapat dikemukakan beberapa kritikan tajam yang dialamatkan kepada peradilan terutama setelah era 1980, antara lain

.

Dalam kenyataannya pengadilan di Indonesia tidak mampu mewujudkan hal yang demikian. Tidak efektifnya pihak pengadilan dalam penyelesaian sengketa disebabkan karena waktu dan biaya yang dikeluarkan sangat lama dan mahal. Selain itu terjadinya penumpukan perkara di Pengadilan menyebabkan suatu sengketa perdata dapat menjadi semakin berlarut-larut.

Pada umumnya sengketa yang terjadi, bila diselesaikan di pengadilan memerlukan waktu yang sulit diperhitungkan. Sementara itu para pihak yang bersengketa menghendaki penyelesaian yang cepat, murah, dapat diandalkan dan ditangani oleh hakim yang menguasai bidangnya.

43

1. Penyelesaian sengketa melalui litigasi sangat lambat. :

Penyakit kronis yang diderita dan dijangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan diseluruh dunia:

42

M.Yahya Harahap, op.cit., hlm.153. 43

a. Penyelesaian sangat lambat atau buang waktu

b. Hal ini terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaannya sangat formalistis (very formalistic) dan juga sangat teknis (very technical).

c. Sedangkan pada sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan (overloaded).

Sedangkan yang dikatakan J. David Reitzel there is a long wait for litigants to get trial. Jangankan untuk mendapat keputusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri menunggu. Fakta itu pun dikemukakan Hetger Muller the advent of litigious society and increasing case loads and delays that this generate are already matter of public concern. Sudah menjadi hal yang bisaaa proses penyelesaian tertunda sampai bertahun-tahun. Peter Lovenheim mengatakan a litigated case may be pending for two, three, four, or five years before trial.

Seperti gambaran bagaimana lambatnya penyelesaian perkara mulai dari tingkat pertama sampai kasasi, sering ditemukan data berikut:

a. Amerika Serikat, 5-10 tahun b. Jepang, 15-12 tahun

c. Korea Selatan, 5-7 tahun, dan d. Indonesia, rata-rata 5-12 tahun 2. Biaya berperkara mahal.

Pada dasarnya, biaya berperkara mahal, dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama proses penyelesaian, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Selain itu, biaya pengacara yang juga mahal menambah mahalnya berperkara di pengadilan.

3. Peradilan tidak tanggap (Unresponsive)

Berdasarkan pengamatan, peradilan kurang tanggap dalam bentuk perilaku:

a. Tidak tanggap membela dan melindungi kepentingan umum (public interest). Pengadilan atau hakim sering mengabaikan kepentingan umum. Tidak perduli terhadap kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat luas.

b. Pengadilan sering berlaku tidak adil atau unfair

Pengadilan hanya melayani dan memberi keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya :

1) Tidak tanggap dan tidak perduli kepada rakyat bisaaa dan golongan miskin (ordinary citizen),

2) Kelompok ini, sering diperlakukan tidak wajar (unappropriate), dan bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi (unhumanly). 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

Kritik yang lain, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang dihadapi, putusan pengadilan tidak memberikan penyelesaian yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan kepada yang kalah maupun yang menang. Menang atau

kalah sama keadaannya. Sama-sama tidak puas. Terutama atas besarnya biaya yang dikeluarkan.

Selain itu, kekalahan dan kemenangan tidak mendatangkan kedamaian kalbu dan nurani. Bahkan seperti yang diungkapkan pepatah cina a awsuit bred ten years of hatred. Berperkara di pengadilan menumbuhkan benih kebencian dan dendam bertahun-tahun.

5. Putusan pengadilan membingungkan

Selain putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, juga sering membingungkan atau disebut erratic :

a. Terkadang, tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, pengadilan mengabulkan ganti rugi yang luar bisaaa jumlahnya,

b. Sebaliknya, meskipun dasar alasan hukum dan buktinya kuat, tuntutan ganti rugi ditolak atau yang dikabulkan dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak masuk akal sehat.

6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum

Terutama pada masa belakangan ini, sering ditemukan putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Padahal sesuai doktrin yurisprudensi, dalam kasus yang sama (in similar case) :

a. Harus diberi perlakuan penerapan hukum yang sama, sehingga dapat dibina legal certainty dan penegakan hukum yang predictable,

b. Tetapi yang terjadi, penerapan yang berdisparitas dan fluktuatif dalam kasus yang sama, sehingga terjadi pelanggaran asas diskriminasi, asas

equal treatment, dan asas equality before the law.

7. Kemampuan para hakim bercorak generalis

Kritik selanjutnya yang pahit untuk ditelaah adalah ungkapan yang mengatakan pada umumya kemampuan dan pengetahuan para hakim menghadapi berbagai kasus, hanya bersifat generalis. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu, sangat minim. Mungkin juga tidak memahami sama sekali masalah asuransi, perkapalan dan perdagangan, dan sebagainya.

Memperhatikan para hakim hanya mempunyai kualitas dan kemampuan generalis, sangat diragukan kemampuan dan kecakapan mereka menyelesaikan sengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun dokrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.

Karena adanya kelemahan-kelemahan tersebut,maka para pihak yang bersengketa mencari alternatif lain untuk menyelesaikan masalah atau sengketa mereka. Mereka lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur non litigasi seperti arbitrase, negosiasi, mediasi, dan lain sebagainya.

Dokumen terkait