PERAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
OLEH
SISKA SIAGIAN
060200221
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
OLEH
SISKA SIAGIAN
060200221
Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. Muhammad Hayat, S.H. NIP : 196204211988031004 NIP : 195008081980021001
Diketahui oleh:
Ketua Departemen Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus,
atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi
tugas dan syarat untuk meraih gelar sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara
yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang akan menyelesaikan
perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah : “Peran Bank
Indonesia (BI) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah”.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun
skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi
maupun penulisan dari skripsi ini.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M. Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M. Hum, DMF, sebagai Pembantu Umum
4. Bapak Muhammad Husni, SH., M. Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello,S.H., M.S., selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata pada fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai
Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing serta memberikan masukan-masukan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan
skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta
memberikan masukan-masukan dan ilmu pengetahuan bagi penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Berlin Nainggolan, SH., M. Hum., selaku dosen wali Penulis di
Fakultas Hukum Universitas Suimatera Utara yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis.
8. Buat seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
terutama buat Ibu Ayu sebagai pegawai stmbuk yang selalu membantu penulis
dalam pengurusan berkas studi.
9. Buat Bapak Saryo, S.H. selaku karyawan Bank Indonesia yang telah
membantu penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Penghargaan dan rasa hormat penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Sarli
Omega dan Ibu Nurhayati Baringbing, sebagai orang tua penulis yang sangat
ini dengan ketulusan hati dan terimakasih telah mendidik penulis hingga dapat
menjadi seperti sekarang.
11.Buat adikku Lisda Siagian, Risma Siagian dan Alfandri Siagian. Terima Kasih
atas perhatian, kasih, motifasi dan pengertiannya selama ini.
12.Buat R. Daniel Aritonang, S.H. terima kasih buat semua yang sudah diberikan
kepada penulis, baik kesabaran, pengertian dan kasih sayang selama ini.
13.Buat Angga Benhardi Aritonang yang telah mendukung dan memotifasi
penulis selama ini.
14.Buat Witra, Maria, Rentha, Ingrid dan Selamat Teguh yang telah menjadi
teman penulis sejak pertama sekali kuliah, yang telah banyak membantu dan
mendukung penulis.
15.Buat semua civitas GMKI, yang telah banyak membantu dan memberikan
banyak pengalaman kepada penulis selama ini.
16.Buat abang-abang dan kakak-kakak stambuk: Bang Sahala, Kak Anju, Bank
langlang Buana, Kak Kiris,Bang Okber dan yang tidak dapat penulis uraikan
satu persatu yang telah banyak membantu dan membimbing penulis.
17.Buat kawan-kawan stambuk 06 : Devi, Maria Arbina, Pince, Paulina, Randi
Kandera, Corry, Debora, dan. yang tidak dapat penulis uraikan satu persatu
yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama ini.
Medan, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……… i
DAFTAR ISI………... iv
ABSTRAKSI……….. vi
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang……….… 1
B. Perumusan Masalah……….……… 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….……… 8
D. Keaslian Penulisan……….……….. 9
E. Tinjauan Kepustakaan….………. 10
F. Metode Penelitian……….……… 14
G. Sistematika Penulisan………….……….. 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH………. . 19
A. Pengertian Bank dan Nasabah………..……… 19
B. Sahnya Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah………. 28
C. Perlindungan Nasabah Selaku Konsumen………..….. 33
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA DAN SENGKETA PERBANKAN……….………….…... 46
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi ………..…... 50
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi ………... 56
BAB IV PERANAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH DAN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN DARI MEDIASI PERBANKAN……….... 69
A. Sejarah Bank Indonesia (BI)...……….. 69
B. Peran Bank Indonesia (BI) dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah Menurut PBI No.7/7/PBI/2005 Mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah……………….. 76
C. Peran Bank Indonesia (BI) dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah Menurut PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No. 10/1/PBI/2008 Mengenai Mediasi Perbankan……… 80
D. Kekuatan Hukum Kekuatan Hukum Putusan Perdamaian Melalui Mediasi Perbankan ……….……… 90
BAB V PENUTUP………..…………..…….. 94
E. Kesimpulan……….. 94
F. Saran……….… 97
ABSTRAKSI
Semakin pesatnya perkembangan di dunia perbankan, maka semakin membuka kemungkinan terjadinya sengketa yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Penyelesaian sengketa perbankan biasanya diselesaikan melalui jalur litigasi. Namun dalam perkembangannya, penyelesaian secara litigasi dianggap terlalu lamban dan tidak dapat menyelesaikan sengketa. Oleh sebab itu, para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang disertai dengan riset ke Bank Indonesia Medan. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Di tahap selanjutnya penulis melakukan riset ke Bank Indonesia Medan untuk memperoleh data yang diperlukan, hal ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan Bapak Saryo, S.H. selaku Pengawas Bank Muda.
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang bertugas sebagai pengatur dan pengawas bank memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan dibidang perbankan. Dengan kewenangan itu, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia yang berorientasi kepada perlindungan terhadap nasabah seperti PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah diharapkan keaktifan dari suatu bank untuk menyelesaikan sengketanya dengan nasabah secara mekanisme internal dan memberikan laporan per triwulan kepada Bank Indonesia. Sedangkan dalam PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, Sengketa perbankan yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme pengaduan nasabah, dapat diselesaikan dengan mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia sebagai mediator. Setelah mencapai kesepakatan dalam mediasi perbankan,maka hasilnya dituangkan dalam suatu akta.
1. Peran Bank Indonesia (BI) Kata kuncinya :
ABSTRAKSI
Semakin pesatnya perkembangan di dunia perbankan, maka semakin membuka kemungkinan terjadinya sengketa yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Penyelesaian sengketa perbankan biasanya diselesaikan melalui jalur litigasi. Namun dalam perkembangannya, penyelesaian secara litigasi dianggap terlalu lamban dan tidak dapat menyelesaikan sengketa. Oleh sebab itu, para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang disertai dengan riset ke Bank Indonesia Medan. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Di tahap selanjutnya penulis melakukan riset ke Bank Indonesia Medan untuk memperoleh data yang diperlukan, hal ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan Bapak Saryo, S.H. selaku Pengawas Bank Muda.
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang bertugas sebagai pengatur dan pengawas bank memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan dibidang perbankan. Dengan kewenangan itu, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia yang berorientasi kepada perlindungan terhadap nasabah seperti PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah diharapkan keaktifan dari suatu bank untuk menyelesaikan sengketanya dengan nasabah secara mekanisme internal dan memberikan laporan per triwulan kepada Bank Indonesia. Sedangkan dalam PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, Sengketa perbankan yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme pengaduan nasabah, dapat diselesaikan dengan mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia sebagai mediator. Setelah mencapai kesepakatan dalam mediasi perbankan,maka hasilnya dituangkan dalam suatu akta.
1. Peran Bank Indonesia (BI) Kata kuncinya :
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perbankan menjadi salah satu pilar yang penting dalam pembangunan
ekonomi Indonesia pada saat ini. Undang-Undang perbankan mulai disahkan
sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diubah lagi dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut UUP, dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
selanjutnya disebut UUPS.
Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen
pembangunan (agent of development), karena bank merupakan lembaga keuangan
yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial
intermediary institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Di samping itu
perbankan juga merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat adanya
salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary
principle).
Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah didasarkan pada
dihindarkan adanya sengketa (dispute) di antara mereka. Perselisihan dan
sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja
terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila
salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik
ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya.
Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya konflik tersebut terutama
disebabkan oleh empat hal yaitu1
i. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa
yang ditawarkan bank, :
ii. pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan
yang masih kurang,
iii. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi
nasabah peminjam dana, dan
iv. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal
friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah
sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam rasa tidak puas
atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah
sengkata bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas
1
atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai
penyebab kerugian atau kepada pihak lain2
Sengketa Perbankan bisaaanya berawal dari terjadinya komplain yang
diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya
yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon .
Secara umum berbagai pihak menilai bahwa masih belum terdapat
kesetaraan kedudukan antara Bank dan Nasabah sebagai pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu hubungan hukum yang timbul dari transaksi keuangan yang
ditawarkan bank. Pada umumnya nasabah sebagai pihak pengguna jasa berada
pada posisi yang lemah dan lebih rendah dibandingkan dengan pihak bank sebagai
penyedia jasa. Hal ini terutama dapat dilihat apabila terdapat perbedaan pendapat
atau perselisihan antara nasabh dengan bank mengenai pencatatan, perhitungan
dan atau fakta yang terkait dengan transaksi keuangan.Apabila pihak nasabah
mengajukan keberatan (complaint) atas perbedaan tersebut, pada umumnya pihak
nasabah hanya bersikap pasif terhadap penyelesaian yang diberikan oleh pihak
bank. Apabila pihak nasabah merasa tidak puas dengan respon dan atau
penyelesaian yang diupayakan oleh bank nasabah bisaaanya hanya pasrah atau
mengungkapkan rasa ketidakpuasannya melalui media masa. Melalui sarana
media masa, nasabah yang merasa dirugikan oleh bank pada umumnya
menghimbau kepada nasabah lain untuk lebih berhati-hati dalam melakukan
transaksi dengan suatu bank. Publikasi negatif tersebut pada gilirannya dapat
menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi bank.
2
pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada
surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank.
Sebagai contoh seperti yang termuat dalam sebuah surat harian Kompas
6/2/2006, terdapat keluhan nasabah Bank Mandiri yang bernama Herri Okstarizal
bertempat tinggal di Jalan Jambu Gang Rambe No 45, Pematangsiantar, Sumatera
Utara. Secara singkat, masalah yang dihadapi oleh nasabah tersebut adalah
berkurangnya saldo tabungan, padahal nasabah tidak pernah mengambil uang dari
tabungannya, baik melalui buku tabungan maupun melalui Anjungan Tunai
Mandiri (ATM). Sampai ditulisnya artikel ini, belum ada publikasi jawaban yang
disampaikan oleh Bank Mandiri ke Harian Kompas. Pada hari yang berbeda
Kompas (9/2/2006) menampilkan sebuah jawaban yang disampaikan oleh Bank
Central Asia (BCA) terhadap keluhan nasabahnya tentang adanya penggandaan
kartu sebagai berikut: “Sehubungan dengan surat di Kompas (1/12/2005)
Penggandaan Kartu Kredit BCA atas nama Bapak Agus Syahabuddin perlu
diinformasikan, BCA Card Center telah berupaya menjelaskan dan menyelesaikan
permasalahan Bapak Agus Syahabuddin sebagaimana surat penyelesaian kepada
Bapak Agus Syahabuddin Nomor 9591/DKK-ULN/06 tertanggal 5 Januari 2006”.
Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan
nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk
menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana telah diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI No.
7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah pada praktiknya tidak
selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh
tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya maupun sebagian
mengingat lembaga Pengaduan Nasabah berada pada internal bank yang
bersangkutan sehingga penyelesaiannya merupakan kebijakan bank tempat
nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah menerima
putusan yang diberikan oleh bank tersebut maka permasalahan selesai. Akan
tetapi terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi
seperti yang diinginkannya sehingga pada gilirannya berbagai cara akan ditempuh
antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen, Lembaga Ombudsman,
mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang
melaporkan bank kepada polisi.
Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi pada umumnya “lambat”,
buang waktu lama, diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik
dan juga sangat teknis sekali. Selain itu, arus perkara semakin deras, sehingga
peradilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak3
Walaupun telah menempuh jalur litigasi, namun kadang kala nasabah
masih belum mendapatkan solusi yang diinginkannya. Proses litigasi
menghasilkan kesepakatan yang bersifat permusuhan (adversarial) yang belum
mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, .
3
lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif,
dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa4
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 bahwa tujuan utama Bank
Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Kestabilan nilai
rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian prasyarat bagi tercapainya
pertumbuhan perekonomian yang berkesinambungan
.
Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank
Indonesia. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk
menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank
serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dasar hukum tentang keberadaan, tugas, dan kewenangan Bank
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 6
tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.
5
4
Ibid. 5
Frianto Pandia, Elly Santi, Achmad Abror, Lembaga Keuangan , (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 21.
. Sebagai realisasi untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain mengatur
dan mengawasi bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, dan transparan dan harus mempertimbangkan kebijaksanaan umum
Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan peraturan, memberikan atau
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan supervisi tersebut
dapat diwujudkan antara lain berupa pemberian pengaturan terkait dengan
penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan. Hal ini sejalan dengan salah
satu pilar yang terdapat dalam Aristektur Perbankan Indonesia, yaitu Perlindungan
Konsumen berupa nasabah bank.
Untuk mengatasi sengketa-sengketa perbankan yang semakin merebah,
maka pada tahun 2005, Bank Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan, yaitu
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
10/10/PBI/2008. Namun sering sekali bank kurang memperhatikan hal ini
sehingga banyak nasabah yang merasa dirugikan merasa tidak puas dengan
putusan-putusan yang dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan.
Untuk mengatasi masalah itu, maka pada tahun 2006, Bank Indonesia
kembali mengeluarkan peraturan baru, yaitu PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari
upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara
internal oleh bank. Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih
bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang
ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk
menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan.
BI mensyaratkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006
pada pasal 3 angka ( 2 ) agar lembaga mediasi perbankan yang independen sudah
dapat dibentuk paling lambat 31 Desember 20076
B. Perumusan Masalah
. Sambil menunggu
terbentuknya lembaga mediasi tersebut, BI akan bertindak sebagai lembaga
mediasi perbankan yang akan memfasilitasi proses penyelesaian sengketa nasabah
dengan bank yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral antara nasabah dengan
bank yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat
penelitian hukum yang mengambil judul sebagai berikut : “Peran Bank Indonesia
( BI ) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah “.
Setelah menguraikan latar belakang pemilihan judul skripsi, penulis akan
merinci permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun pokok-pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran Bank Indonesia dalam penyelesaian sengketa antara bank
dengan nasabah menurut PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
6
Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008
tentang Mediasi Perbankan?
2. Bagaimana kekuatan hukum putusan perdamaian melalui mediasi
perbankan?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam penyelesaian sengketa
antara bank dengan nasabah menurut PBI No. 7/7/PBI/2005 dan PBI No.
8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008?
2. Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan perdamaian melalui mediasi
perbankan?
Adapun penulisan ini dilakukan diharapkan bermanfaat untuk :
1. Memperluas pengetahuan penulis dalam bidang keperdataan terutama
tentang penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah serta
perkembangannya seiring dengan berkembangnya perbankan dalam era
globalisasi, termasuk di Indonesia.
2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dalam
suatu karya ilmiah berbentuk skripsi, yang dapat bermanfaat bagi
masyarakat yang membaca skripsi ini mengenai prosedur penyelesaian
sengketa antara bank dengan nasabah.
3. Hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Bank
Sehingga kepentingan bank maupun nasabah sama-sama terlindungi dan
tidak ada hak yang dilanggar demi tercapainya keadilan dan keseimbangan
keduduka n antara bank dengan nasabah.
D. Keaslian Penulisan
Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat sebagai pemenuhan syarat
untuk memperoleh gelar sarjana hukum, maka seyogianya skripsi ditulis
berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan
peniruan (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain. Dengan
demikian penulis berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat
menjamin keaslian skripsi yang berjudul “ Peran Bank Indonesia ( BI ) Dalam
Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah “ ini sebagai karya tulis
ilmiah yang asli ( original ) dan benar-benar merupakan hasil pemikiran dan usaha
dari penulis tanpa meniru atau plagiat.
E. Tinjauan Kepustakaan
Sejalan dengan skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk memberikan
pengertian tentang judul skripsi ini, agar tidak menimbulkan keragu-raguan
sebelum hinnga pada akhir pembahasan dalam penyusunan lebih lanjut pada
bab-bab berikutnya.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak seperti yang terurai dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998.
G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik menyatakan7
Bank sebagai suatu lembaga intermediasi yaitu suatu lembaga yang
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa
konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku
usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dari sisi
pihak yang memiliki kelebihan dana, interaksi dengan bank terjadi pada saat pihak
yang kelebihan dana tersebut menyimpan dananya pada bank dalam bentuk giro,
tabungan, deposito, sementara dari sisi pihak yang memerlukan dana interaksi
terjadi pada saat pihak yang memerlukan dana tersebut meminjam dana dari bank
guna keperluan tertentu. Interaksi antara bank dengan konsumen pengguna jasa :
“Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.”
7
perbankan (selanjutnya disebut dengan nasabah) dapat pula mengambil bentuk
lain pada saat nasabah melakukan transaksi jasa perbankan selain penyimpanan
dan peminjaman dana.
Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah di
atas, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi konflik yang apabila
tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan
bank.
Schuyt mengemukakan :
“konflik merupakan situasi yang didalamnya dua pihak atau lebih mengejar tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat diselesaikan dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain.”8
Konflik adalah setiap situasi dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka
Menurut Achmad Ali :
9
8
Achmad Ali, Sosiologo Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: IBLAM,2004), hlm. 63.
9
Ibid., hlm.64.
.
Pasal 1 angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa sengketa
adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah kepada
penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan
oleh bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang
Gary Goodpaster dalam “Tinjauan terhadap penyelesaian sengketa” dala
buku Arbitrase di Indonesia mengatakan10
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai
pemegang otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk
meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan
dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah
menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada
tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan
nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam :
“Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka.” Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu secara litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan penyelesaian sengketa
hukum melalui jalur pengadilan sedangkan non litigasi adalah penyelesaian
sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan. Apabila ingin menempuh jalur non
litigasi, maka Bank Indonesia memfasilitasinya. Bank Indonesia adalah Bank
Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
10
rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam
API adalah:
a. struktur perbankan yang sehat,
b. sistem pengaturan yang efektif,
c. sistem pengawasan yang independen dan efektif,
d. industri perbankan yang kuat,
e. infrastruktur yang mencukupi, dan
f. perlindungan nasabah.
Sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia memiliki wewenang menetapkan
peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
perinsip kehati-hatian11
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan . Dengan adanya kewenangan ini, maka Bank Indonesia
menetapkan 2(dua) peraturan untuk mengatasi sengketa perbankan ini, yaitu
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah, dan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008.
Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan
oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena
kesalahan atau kelalaian Bank seperti yang tertulis dalam pasal 1 angka 4 PBI
Nomor 7/7/PBI/2005.
11
transaksi keuangan ( walk-in customer ) yang tertulis dalam pasal 1 angka 2 PBI
Nomor 8/5/PBI/2006.
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator
untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan
yang disengketakan yang sesuai dengan pasal 1 angka 5 PBI Nomor
8/5/PBI/2006.
Goodpaster menyatakan12
F. Metode Penelitian
:
“Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.”
Pada pasal 1 angka 8 PBI Nomor 8/5/PBI/2006, setelah dilakukan mediasi,
maka hasil kesepakatan tersebut dituang dalam suatu akta yang disebut dengan
Akta Kesepakatan. Akta Kesepakatan adalah dokumen tertulis yang memuat
Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan Bank.
Metode Penelitian
a. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum13
12
Garry Goodpaster, Panduan Negoisasi dan Mediasi, seri dasar ekonomi 9, (Jakarta:ELIPS, 1999), hlm.241.
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.63.
Pada penelitian deskriptif , analisis data tidak keluar dari lingkup sample.
Bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan
untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau
hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain14
Adapun yang menjadi data sekunder penelitian yang digunakan terdiri
dari
.
b. Jenis dan Sumber Data
Sumber atau jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
dua jenis data yaitu :
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang
terkait di lapangan penelitian, dengan mengadakan wawancara kepada
pihak-pihak di Bank Indonesia yang berkompeten di bidang penyelesaian sengketa
antara bank dengan nasabah.
2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang
bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi
serta pemikiran konsepsual dari peneliti pendahulu, baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
15
1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan
hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan
perundang-undangan seperti (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah :
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 37.
15
dengan PBI No. 10/10/PBI/2008, PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.
10/1/PBI/2008, dan lain sebagainya.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian seperti
buku-buku tentang hukum dan juga tentang perbankan, dan lain
sebagainya.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan
teknik penelitian kepustakaan, yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang
berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, seperti : Buku-buku hukum, majalah
huku m, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.
Selain dengan studi pustaka, penulis juga mengumpulkan data-data dengan
cara melakukan riset di Bank Indonesia (BI) Medan.
d. Analisis Data
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif, dan selanjutnya
diuraikan dengan mengudakan metode secara deskriptif dan induktif dan terakhir
dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan
analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam
penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membagi pembahasan tema ke
dalam lima (5) bab pokok yang terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Pada awal bab ini penulis menjelaskan tentang pendahuluan,
menguraikan tentang hal-hal yang bersifat umum, yaitu latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Hukum Antara Bank
Dengan Nasabah
Dalam bab ini, di jelaskan mengenai pengertian bank dan
nasabah, bagaimana hubungan bank dengan nasabah serta syarat
syahnya hubungan hukum antara bank dan nasabah. Dalam bab
ini dibahas juga mengenai perlindungan nasabah selaku
konsumen yang telah menggunakan produk-produk dari suatu
BAB III Tinjauan Umum Tentang Sengketa Dan Cara-Cara Penyelesaian
Sengketa
Adapun yang dibahas dalam bab ini adalah pengertian sengketa
dan sengketa perbankan, kemudian cara-cara penyelesaian
sengketa yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penyelesaian sengketa melaui jalur litigasi, penyelesaian
sengketa melalui jalur non litigasi
BAB IV Peranan Bank Indonesia ( BI ) Dalam Penyelesaian Sengketa
Antara Bank Dengan Nasabah Dan Kekuatan Hukum Putusan
Dari Mediasi Perbankan.
Bab ini menguraikan tentang sejarah Bank Indonesia ( BI ) dan
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan BI untuk mengatasi
sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah serta peran BI
Dalam penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah
menurut PBI No.7/7/PBI/2005 mengenai penyelesaian
pengaduan nasabah dan peran BI dalam penyelesaian sengketa
antara bank dengan nasabah menurut PBI No.8/5/PBI/2006 jo
PBI No. 10/1/PBI/2008 mengenai Mediasi Perbankan. Selain itu,
pada bab ini dibahas juga mengenai kekuatan hukum putusan
BAB V Kesimpulan Dan Saran
Pada bab ini dimuat mengenai kesimpulan dan saran dari
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM
ANTARA BANK DENGAN NASABAH
A. Pengertian Bank dan Nasabah
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan suatu Negara.
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang
perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara,
bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.
Setelah mengumpulkan dana, maka bank menyalurkan dana tersebut
melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank. Bank
melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem
pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah usaha dibidang
keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dimasyarakat, terutama
pemberian kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Rumusan mengenai pengertian bank yang lain, dapat juga kita temui
dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa bank
adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam
menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga16
“bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang
.
G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, berpendapat bahwa:
16
yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.”17
1. Perseroan terbatas;
Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
menyatakan bahwa bentuk badan hukum suatu bank umum dapat berupa :
2. Koperasi;
3. Perusahaan daerah.
Dari ketiga bentuk badan hukum dari suatu bank tersebut dapat
disimpulkan bahwa bank umum wajib berbentuk sebagai badan hukum. Oleh
karena itu, tunduk dan berlaku doktrin-doktrin hukum badan hukum.
Doktrin hukum mengemukakan adanya 4 (empat) unsur suatu badan
hukum dianggap sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut18
1. Harus ada kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggotanya; :
2. Mempunyai tujuan tertentu;
3. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum;
4. Adanya organisasi yang teratur.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan (financial
intermediary) yaitu usaha menghimpun dan menyalurkan dana tersebut, bank
harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Pihak-pihak yang bekerjasama
dengan bank tersebut disebut sebagai nasabah. Bank harus bisa menjaga
kepercayaan masyarakat karena bank merupakan suatu lembaga yang sangat
17 Ibid. 18
Thy Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia,
bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, terutama nasabahnya dalam
menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.
Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
diintroduksilah rumusan masalah nasabah dalam pasal 1 angka 16, yaitu pihak
yang menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka
berikutnya, sebagai berikut :
Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998).
Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal
1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).
Dilihat dari jenis subjek hukum dari pihak nasabah, maka terdapat dua
jenis subjek hukum, yakni dapat berupa orang dan badan hukum. Dalam istilah
perbankan, terdapat istilah yang dipersamakan, yakni “perorangan”. Termasuk
nasabah perorangan adalah usaha dagang, toko dan sebagainya. Sedangkan aspek
hukum dari pihak bank hanya berupa badan usaha. Hal ini dikarenakan tidak ada
Adapun pihak-pihak yang termasuk sebagai nasabah adalah19
1. Orang
:
Nasabah bank terdiri dari orang yang telah dewasa dan orang yang belum
dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit dan
atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa-jasa bank lainnya
dimungkinkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan dan atau
nasabah lepas (working customer) untuk transfer dan sebagainya.
Terhadap perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum
dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya.
Konsekuensi hukum tersebut adalah tidak dipenuhinya salah satu unsur sahnya
perjanjian seperti yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak
yang dapat mewakili anak yang belum dewasa itu, yaitu orang tua atau walinya
melalui acara gugatan pembatalan. Dengan kata lain, selam orang tua atau wali
dari orang yang belum dewasa tersebut tidak melakukan gugatan, maka perjanjian
tersebut tetap berlaku dan mengikat terhadap para pihak.
Nasabah kredit dan rekening giro bisaaanya diwajibkan bagi nasabah yang
telah dewasa. Hal ini disababkan karena resiko bank yang sangat besar jika dalam
pemberian kredit dan atau pembukaan rekening giro diperbolehkan bagi nasabah
yang belum dewasa.
19
2. Badan Hukum20
Untuk nasabah berupa badan, perlu diperhatikan aspek legalitas dari badan
tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank.
Hal ini berkaitan dengan aspek hukum perseorangan.
Berkaitan dengan kewenangan bertindak bagi nasabah yang bersangkutan,
khususnya bagi “badan”, termasuk apakah untuk perbuatan hukum tersebut perlu
mendapat persetujuan dari komisaris dan/atau Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) agar diperhatikan anggaran dasar dari badan yang bersangkutan.
Subjek hukum yang berbentuk badan, tidak otomatis dapat berhubungan
dengan bank. Untuk dapat berhubungan dengan bank, harus juga dilihat peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana ketentuan internal yang berlaku
pada bank yang bersangkutan.
Dari segi kacamata hukum, hubungan antara bank dengan nasabah terdiri
dari 2 (dua) bentuk, yaitu21
1. Hubungan Kontraktual :
Hubungan yang paling utama atau lazim antara bank dengan nasabah
adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir terhadap semua nasabah,
baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non
deposan.
Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas
suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan
pihak debitur (peminjam dana).
20
Ibid.
21
Hukum kontak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah
debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku
ketiga). Sebab, menurut pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi
kedua belah pihak. Selain itu, sebagian sarjana berpendapat bahwa perjanjian
kredit bank diatur juga oleh ketentuan khusus mengenai “pinjam pakai habis”
(Verbruiklening) vide Pasal 1754 sampai pasal 1769 KUHPerdata.
Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau
nasabah non debitur-non deposan, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur
untuk kontrak jenis ini, karena itu kontrak-kontak ini tunduk kepada
ketentuan-ketentuan umum dari KUHPerdata mengenai kontrak. Disamping itu, berbeda
dengan kontrak untuk nasabah debitur, kontrak kredit yang sering sekali diatur
cukup komprehensif, maka untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan
atau nasabah non debitur - non deposan, lazimnya hanya diatur dalam bentuk
kontrak yang sangat simpel/sederhana. Itupun sama seperti kontrak kredit,
diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku) yaitu kontrak
yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak22
Ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada
hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu sebagai
berikut :
.
Dalam kontrak baku bisaaanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah,
dimana pihak bank seringkali lebih diuntungkan.
22
a. Sebagai hubungan bank dan nasabah penyimpan;
b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar
hubungan debitur-kreditur;
c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.
Karena pada prinsipnya hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan
bank adalah hubungan kontraktual tersebut (hubungan kreditur-debitur), maka
tidak mengherankan jika dalam praktek, sering sekali pihak nasabah, terutama
nasabah penyimpan dana tidak mendapatkan perlindungan yang sewajarnya oleh
sektor hukum.
2. Hubungan Non Kontraktual
Selain dari hubungan kontraktual, ada enam jenis hubungan hukum antara
bank dengan nasabahnya, yaitu23
a. hubungan fidusia (fiduciary relation), :
b. hubungan konfidensial,
c. hubungan Bailor-Bailee,
d. hubungan Principal-Agent,
e. hubunkgan Mortgagor-Mortgagee, dan
f. hubungan Trustee-Beneficiary.
Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak tegas mengakui
hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan- hubungan tersebut baru dapat
dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau
23
setidak-tidaknya ada kebisaaaan dalam praktek perbankan untuk mengakui
eksistensi kedua hubungan tersebut.
Selain hubungan tersebut, terdapat juga beberapa hubungan lainnya seperti
hubungan moral. Hubungan moral antara bank dengan nasabahnya tercipta disaat
nasabah telah memberikan kepercayaannya kepada suatu bank. Atas kepercayaan
itu, maka bank harus menjaga kepercayaan nasabah dan masyarakat dalam
melakukan segala bentuk dan produk jasa dari bank bersangkutan.
Kepercayaan nasabah terhadap bank dapat dilihat dari formulir-formulir
yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir-formulir tersebut berisi
tentang permohonan atau perintah atau kuasa kepada bank. Nasabah yang mengisi
formulir tersebut pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari kepercayaan
masyarakat kepada bank. Hubungan antara bank dengan nasabah yang terdapat
pada formulir-formulir yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank disebut
sebagai hubungan formil24
a. Ketentuan yang terdapat dalam aplikasi; .
Hubungan hukum antara nasabah dengan bank dalam pembukaan rekening
terdapat empat ketentuan yang berlaku:
b. Ketentuan yang terdapat pada syarat-syarat umum pembukaan rekening;
c. Ketentuan yang terdapat pada produk yang digunakan oleh nasabah;
d. Peraturan yang berlaku (sebagaimana dijelaskan dan dirumuskan diatas).
Pada kenyataannya, formulir-formulir dan aplikasi-aplikasi yang diisi oleh
nasabah bisaaanya berbentuk perjanjian baku yang telah disediakan oleh bank,
24
sehingga hal ini sering sekali mengakibatkan perbedaan kedudukan antara bank
dengan nasabah.
Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk.
Pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut
perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah
debitor disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan hukum tersebut
sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk
hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan
harus dapat dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi
dana nasabah penyimpan diatur dalam Lembaga Penjaminan Simpanan,
sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank sebagai pemberi kredit adalah
lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
Hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah tersebut tidak
dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum melainkan hubungan moral.
Sebagai hubungan moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata
hukum. Moral menjadi sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum
perbankan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2
(dua) hubungan hukum dan 1 (satu) hubungan moral25.
Bila digambarkan, maka bentuk hubungan hukum antara bank dengan
nasabah deposan dan nasabah kreditur adalah sebagai berikut :
25
BANK
Nasabah Deposan Nasabah Kreditur
B. Sahnya Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah
Pada dasarnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah
hubungan yang bersifat kontraktual yang berdasarkan pada hukum perjanjian.
Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak
menandatangani perjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan
bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah terhadap formulir perjanjian yang
dibuat oleh bank, berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan
demikian berlaku facta sun servanda yaitu perjanjian tersebut mengikat kedua
belah pihak sebagai undang-undang. Azas ini terdapat dalam pasal 1338
KUHPerdata26
26
Ibid., hlm.18.
.
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW).
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
Hubungan Hukum Hubungan Hukum
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Asas kebebasan berkontrak tersebut tidak berarti para pihak bebas untuk
melakukan perjanjian apa saja menurut kepentigan dan kehendak para pihak.
Kebebasan tersebut tetap memiliki batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut
terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
mengenai sepakat mereka yang mengikat dirinya diatur dalam
KUHPerdata pada pasal 1321 sampai 1328. Maksud dari kata sepakat
adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai
hal-hal yang pokok dalam kontrak. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa
yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum
anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu
berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara
perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hal ini jelas, bahwa hukum
perjanjian tidak boleh dibuat dengan adanya paksaan kepada salah satu
atau kedua belah pihak.
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
mengenai kecakapan untuk melakukan perikatan diatur lebih lanjut dalam
pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan,jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tak cakap. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah
setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah
dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21
tahun bagi laki-laki,dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah
mereka yang sudah berusia 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun
bagi wanita. Meski dalam undang-undang perkawinan ditetapkan usia
dibawah itu. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena
berlaku secara umum. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, yang tidak cakap
hukum :
b.Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan.
c.Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun
berdasarkan putusan Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang
perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka
berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak
cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. suatu hal tertentu;
mengenai sesuatu hal tertentu, diatur dalam KUHPerdata pasal 1332, pasal
1333, dan pasal 1334. Dari pasal-pasal diatas dapat disimpulkan perjanjian
harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek
perjanjian, dan berdasarkan pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan
ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang
oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab yang halal.
mengenai suatu sebab yang halal diatur dalam KUHPerdata pasal 1334,
pasal 1335, pasal 1336, dan pasal 1337. Pasal 1335 KUHPerdata
atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum. Misalnya perjanjian jual beli narkoba atau
jual beli senjata gelap.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga
dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan,
penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan
keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Setiap perjanjian atau kontrak harus memperhatikan syarat-syarat sahnya
perjanjian seperti yang telah diuraikan diatas, tidak terkecuali terhadap perjanjian
yang dilakukan oleh nasabah dan bank. Baik perjanjian-perjanjian yang berbentuk
formulir-formulir atau aplikasi-aplikasi yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh
bank.
Jika kita berangkat dari rumusan kebebasan berkontrak dan sahnya
perjanjian dalam meneropong permasalahan hukum berkaitan dengan hubungan
hukum antara nasabah dengan bank, maka jelas bahwa hubungan hukum antara
bank dengan nasabah tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang serta
sekaligus telah memenuhi rasa keadilan27
Bank harus memperhatikan apakah nasabah yang akan melakukan
perjanjian terhadap bank tersebut telah memenuhi syarat kecakapan. Selain itu,
perjanjian harus dibuat dengan adanya kesepakatan para pihak, para pihak yang
akan menentukan hal-hal apasaja yang akan diperjanjikan. Namun pada .
27
kenyataanya, sering sekali perjanjian yang dibuat cenderung mengabaikan hal ini.
Seperti halnya nasabah pada suatu bank, kadang kala merupakan orang yang
belum dewasa untuk melakukan suatu perjanjian sehingga perlu izin dari wali.
Selain itu, kecenderung perjanjian yang dibuat berbentuk perjanjian baku
yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank. Hal ini menyebabkan kedudukan
yang berbeda antara bank dengan nasabah. Kedudukan bank menjadi lebih tinggi
dibandingkan kedudukan nasabah. Kondisi yang seperti ini dapat memposisikan
nasabah sebagai pihak yang lemah yang cenderung dirugikan.
C. Perlindungan Nasabah Selaku Konsumen
Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada
kepercayaan dari masyarakat. Oeh karena itu,tanpa adanya kepercayaan dari
masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan usahanya dengan
baik. Sebagai pengguna jasa dan produk dari bank, maka nasabah dari suatu bank
dapat dikatakan sebagai konsumen.
Seiring dengan pesatnya perkembangan perbankan yang didukung oleh
cepatnya laju ilmu pengetahuan dan teknologi, bank telah menghasilkan berbagai
produk dan jasa-jasa yang dapat dikonsumsi oleh nasabah. Jasa-jasa atau produk
yang dihasilkan oleh bank saat ini sangat bervariasi seperti ATM, SMS banking,
phone banking, sampai internet bangking, dan lain sebagainya.
Di satu pihak, perkembangan ini sangat menguntungkan karena dapat
mempermudah nasabah untuk melakukan transaksi-transaksi keuangan. Nasabah
perkembangan ini, maka semakin terbuka peluang terjadinya masalah atau
sengketa diantara para pihak.
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang terjadi bersifat
kontraktual, yang berupa kontrak baku yang dibuat oleh bank28
Mengacu kepada pasal ini, maka nasabah dapat kita sebut sebagai
konsumen dan bank disebut sebagai produsen. Nasabah memanfaatkan berbagai . Karena hubungan
ini, maka kedudukan nasabah menjadi lebih rendah dari pada bank. Untuk
mengatasi masalah ini, maka diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur
mengenai perlindungan terhadap konsumen yang dapat menjamin dipenuhinya
hak-hak konsumen sebagai pemakai suatu hasil produksi. Untuk itu, pemerintah
mensahkan suatu undang-undang yang melindungi konsumen, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. UU
Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara
pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah).
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).
Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
(Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen).
28
produk dan fitur-fitur yang disediakan oleh pihak perbankan yang dalam hal ini
adalah bank.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo membagi konsumen kedalam dua jenis,
yaitu29
a. Konsumen akhir, yakni pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk. :
b. Konsumen antara, yakni konsumen yang memakai suatu produk atau
sebagian dari proses produksi suatu peoduk lainnya.
Sebagai konsumen, maka nasabah memiliki hak dan kewajiban. Hak dari
konsumen terurai dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
29
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Adapun kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Sementara itu, bank yang dalam hal ini bertindak sebagai produsen harus
memberikan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen. Adapun yang
menjadi hak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Dalam penjelasan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5
(lima) asas, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Selain dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dilakukan
beberapa cara untuk melindungi nasabah. Berkaitan dengan perlindungan hukum
bagi nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem
perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana,
dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu30
a. Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan, :
Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif,
yang dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh
melalui:
b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang
efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia,
c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya,
d. Memelihara tingkat kesehatan bank,
e. Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
30