• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN

NASABAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RICHAD SAHAT SILITONGA NIM. 040200215

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan kasih-Nya yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

Penulisan skripsi ini berjudul: “MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN NASABAH”, bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun disadari masih banyak kekurangan baik dari isi maupun penulisannya.

Melalui kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setingi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi di Fakultas Hukum USU.

(3)

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini berguna dan berkenan bagi para pembaca sekalian

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………...iii

ABSTRAKSI………....v

Bab I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….1

B. Perumusan Masalah………..6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….6

D. Keaslian Penulisan………7

E. Tinjauan Kepustakaan………..8

F. Metode Penulisan………10

G. Sistematika Penulisan………..10

Bab II: TINJAUAN UMUM TERHADAP PERBANKAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perbankan………12

B. Kelembagaan Perbankan……….17

C. Kegiatan Usaha Bank………..22

D. Perlindungan Nasabah Bank………24

Bab III: TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF ANTARA BANK DAN NASABAH A. Arti Penting Penyelesaian Sengketa alternatif………28

B. Penyelesaian Sengketa Alternatif………...34

(5)

Bab IV: MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BAGI BANK DAN NASABAH

A. Aspek Hukum Mediasi Perbankan……….62 B. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa

Antara Bank Dan Nasabah……….71 C. Peranan Bank Indonesia Dan Lembaga Independen

Dalam Pelaksanaan Mediasi Perbankan………73 D. Penyelenggaraan Mediasi Perbankan Di Indonesia………..78 Bab V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...85

B. Saran……….87

(6)

MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN NASABAH

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH **) Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

***) Richad Sahat Silitonga ABSTRAKSI

Perbankan merupakan pokok dari sistem keuangan yang memegang peranan penting bagi kehidupan perekonomian di Indonesia dalam menggerakkan pembangunan. Dalam menjalankan kegiatan usahanyaperbankan dapat terjadi kesalahan yang mengakibatkan ketidakpuasan nasabah dalam menggunakan produk perbankan. Ketidakpuasan yang berujung pada perselisihan atau sengketa yang terjadi di sektor ini sangat membutuhkan penyelesaian yang cepat, tepat, dan efektif. Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi menjadi suatu alternatif yang dapat ditempuh oleh bank dan nasabah. Pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, namun dirasakan kurang memuaskan oleh nasabah. Permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini adalah Bagaimana proses terjadinya sengketa antara bank dan nasabah dalam hubungan hukum keduanya menurut sistem hukum perbankan Indonesia, bagaimana bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan oleh bank dan nasabah dan bagaimana pelaksanaan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah melalui PBI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah normatif, dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) yakni mengumpulkan data dan membaca referensi melalui peraturan, internet, dan sumber-sumber lain yang kemudian diseleksi data-data yang layak untuk mendukung penulisan.

Dari penulisan skripsi ini maka dapat disimpulkan bahwa apabila perselisihan atau sengketa yang terjadi antara bank dan nasabah tidak segera diselesaikan, maka akan mempengaruhi tingkat reputasi bank di kemudian hari. Penyelesaian sengketa perbankan melalui lembaga mediasi perbankan memakai pendekatan yang sistematik melalui mediator, penyelesaian yang sederhana, murah, dan cepat, karena mediasi merupakan suatu metode penyelesaian masalah yang tidak untuk memenangkan salah satu pihak yang bersengketa, melainkan mencari solusi yang terbaik agar kedua belah pihak yang bersengketa merasa puas tanpa merasa kalah (win-win solution). Untuk itu perlu diatur payung hukum mediasi perbankan secara tegas, pembentukan lembaga mediasi independen dan sosialiasi mediasi perbankan pada masyarakat.

Kata kunci : Mediasi Perbankan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bank dan Nasabah

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri perbankan. Di dalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk praktek perbankan haruslah berdasar kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam ideologi negara Indonesia yakni Pancasila dan Tujuan Negara Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengakuan yuridis formal mengenai eksistensi perbankan dimulai sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan dan selanjutnya dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Sebagai badan usaha, kehadiran bank di masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam proses pembangunan nasional. Arti dan peran perbankan terlihat dari pengertian bank itu sendiri yakni badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta dan negara. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa lainnya, bank berperan serta dalam mekanisme pembayaran bagi semua

1

(8)

sektor perekonomian.2 Prasarana perbankan Indonesia setelah reformasi mengalami perkembangan yang sangat cepat. Penambahan cabang-cabang bank dan pelayanan bank telah menjangkau sektor pedesaan dan masyarakat didorong untuk membuka rekening sekecil apapun.3

1. Asas Demokrasi Ekonomi.

Dalam rangka menarik minat nasabah untuk menyimpan dana pada bank, beberapa bank mengadakan undian, menawarkan hadiah-hadiah, mempromosikan iklan-iklan yang lihai, menawarkan bunga dan biaya-biaya yang lebih menarik. Kegiatan penghimpunan dana bagi bank pada masyarakat itu meliputi transaksi-transaksi dalam pemberian kredit, pemanfaatan sarana-sarana fasilitas bank seperti penyediaan kartu kredit, ATM, surat-surat berharga dan lain-lain. Dari pemaparan di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan bank adalah sebagai lembaga yang berhubungan erat dengan masyarakat dan mempunyai hubungan timbal balik dengan masyarakat itu sendiri sesuai dengan kerangka asas-asas hukum perbankan yakni :

2. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle). 3. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle). 4. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle).4

Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dan nasabah, bank berusaha untuk menarik minat konsumen bank agar memasuki dimensi perjanjian yakni perjanjian simpanan dan perjanjian kredit bank, sehingga terdapat keterikatan antara bank dan nasabahnya yang berujung kepada timbulnya hubungan hukum. Berdasarkan sifat dari subjek hukum itu sendiri sebagai human

2

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 7

3

Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi : Pragmatisme Dalam

Aksi, (Jakarta: PT Gramedia, 1998), hal. 346 4

(9)

nature yang memiliki kepentingan keperdataan yang berbeda, maka dapat timbul

kemungkinan terganggunya siklus harmonisasi kepentingan keperdataannya dalam hubungan perikatan antara bank dan nasabah. Masing-masing pihak ini sama-sama memiliki kepentingan, namun dalam dimensi yang berbeda. Di bidang Perbankan hal ini merupakan awal sebuah sengketa antara bank dan nasabah. Dalam sistem hukum Indonesia, jika ada subjek hukum yang merasa terganggu keperdataannya, maka ia dapat mempertahankan hak-haknya melalui ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata juga dinyatakan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.5

Ketika hubungan hukum antara bank dan nasabah mulai tercipta, maka sejak itu terbuka kemungkinan sengketa antar para pihak. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui proses litigasi dan non-litigasi. Praktek perbankan selama ini dalam menyelesaikan sengketa belum banyak mempergunakan proses non- litigasi. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah yang tidak mencantumkan klasul seperti arbitrase, mediasi, dan sebagainya seperti yang dikemukakan dalam Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, baik perjanjian simpanan maupun perjanjian kredit, kedudukan nasabah bank merupakan konsumen yang harus memperoleh perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi nasabah bank seharusnya sudah dilakukan pada tahap pra-perjanjian sampai dengan pelaksanaan perjanjian.

5

(10)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan atau arbitrase bersifat formal, memaksa, melihat masalah ke belakang dengan memperhatikan ciri pertentangan dan apa yang mendasarkan hak-hak. Dalam hal ini para pihak yang menyelesaikan suatu sengketa harus melalui prosedur pemutusan perkara yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ketat dan hak serta kewajiban hukum para pihak. Sebaliknya, penyelesaian sengketa alternatif sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif dan berdasar kepentingan. 6

Timbulnya sengketa tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu :7 1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang

ditawarkan bank.

2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang.

3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana.

4. Tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank.

Dalam upaya mengurangi berbagai keluhan nasabah tersebut, maka Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia mengeluarkan peraturan yang menjadi dasar hukum bagi nasabah untuk menyatakan ketidakpuasannya dan mengajukan aduan kepada pihak perbankan. Berdasarkan Peraturan Bank

6

Bismar Nasution (1), http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/penyelesaian-sengketa-alternatif-melalui-mediasi.pdf, hal. 5, diakses pada tanggal 9 September 2007

7

Muliaman D. Hadad, Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam

Arsitektur Perbankan Indonesia, hal 1-2,

(11)

Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Melalui kebijakan ini, maka diberi kesempatan bagi nasabah untuk menyampaikan segala ketidakpuasannya terhadap berbagai jenis transaksi perbankan yang dilakukan. Kemudian karena dirasa kurang dapat memuaskan nasabah, Bank Indonesia mengambil inisiatif untuk mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.

Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yaitu mencakup:8

1. Struktur perbankan yang sehat 2. Sistem regulasi yang efektif

3. Sistem supervisi yang independen dan efektif 4. Industri perbankan yang kuat

5. Infrastruktur yang memadai 6. Perlindungan nasabah yang kuat

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tersebut, sengketa antara nasabah dengan bank yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian pengaduan Nasabah dapat diupayakan penyelesaiannya melalui Mediasi perbankan. Selanjutnya dalam

8

(12)

Pasal 6 disebutkan Mediasi perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan untuk setiap Sengketa yang memiliki nilai tuntutan paling banyak Rp500.000.000,00 dan tidak termasuk kerugian immaterial. Pelaksanaan mediasi perbankan untuk sementara dilakukan oleh Bank Indonesia, menunggu pembentukan lembaga mediasi perbankan. Jadi inilah salah satu latar belakang bagi nasabah untuk mempergunakan mediasi perbankan sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang penting untuk diajukan, yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana proses terjadinya sengketa antara bank dan nasabah dalam hubungan hukum keduanya menurut sistem huku m perbankan Indonesia? 2. Bagaimana bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat

dipergunakan oleh bank dan nasabah ?

3. Bagaimana pelaksanaan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah melalui PBI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

(13)

Sumatera Utara. Namun berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses terjadinya sengketa antara bank dan nasabah dalam hubungan hukum keduanya menurut sistem hukum perbankan Indonesia 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat

dipergunakan oleh bank dan nasabah.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah melalui PBI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

2. Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya mengenai perkembangan hukum perbankan dan alternatif penyelesaian sengketa.

b. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran terhadap praktisi-praktisi hukum mengenai pelaksanaan mediasi perbankan sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipergunakan oleh masyarakat dalam mengatasi sengketa antara bank dan nasabah

D. Keaslian Penulisan

(14)

menemukan kebenaran ilmiah. Skripsi ini belum pernah dibahas oleh pihak manapun dan benar skripsi dibuat sebagaimana seharusnya dan tidak mengambil contoh atau merekayasa dan meniru dari skripsi yang telah ada. Penulisan ini berdasarkan literatur yang berkaitan dengan mediasi perbankan

E. Tinjauan Kepustakaan

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan mediasi perbankan adalah proses penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah, melibatkan mediator yang tidak memihak dalam membantu pelaksanaan mediasi, untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang diajukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.9

9

Lihat Pasal 1 PBI No.8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan

(15)

Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan pihak ketiga yang netral.10

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diuraikan bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

11

Secara terminologi bank berasal dari bahasa Italia yaitu banca, artinya suatu bangku tempat duduk, karena pada zaman pertengahan, pihak bankir Italia memberikan pinjaman-pinjaman dengan duduk di bangku pada suatu pasar.12

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dan pada Pasal 1 angka (2),bank didefenisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

10

Runtung Sitepu, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum

Adat Pada Fakultas Hukum Dibacakan Di Hadapan Rapat terbuka USU, (Medan: Penerbit USU,

2004), hal. 3

11

Lihat Pasal 1 angka (10) UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

12

(16)

F. Metode Penulisan

Suatu karya tulis ilmiah haruslah disusun berdasarkan data-data yang benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya. Data adalah kumpulan keterangan-keterangan baik lisan maupun tulisan untuk membantu dan menunjang penelitian.

Jenis data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, dimana data diperoleh dari daftar kepustakaan yakni yurisprudensi, buku-buku ilmiah, bahan seminar, undang-undang, majalah, internet, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan skripsi ini sebagai bahan acuan dalam pembahasan skripsi ini.

Untuk itu digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari yurisprudensi, buku-buku ilmiah, yang telah disebutkan sebelumnya itu.

Setelah itu baru digunakan metode deskriptif analisis, yaitu penggunaan yang diawali dengan pemaparan data sebagaimana adanya yang kemudian dilanjutkan dengan analisa data berdasarkan kerangka acuan yang telah ditetapkan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terbagi dalam bab-bab yang tersusun secara sistematis yang dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

(17)

keaslian penulisannya, tinjauan pustaka, metode dan sistematika penulisan

BAB II: TINJAUAN UMUM TERHADAP PERBANKAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian dan dasar hukum perbankan, kelembagaan perbankan, kegiatan usaha bank, dan perlindungan nasabah bank

BAB III: TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN NASABAH

Pada bab ini akan diuraikan mengenai arti penting penyelesaian sengketa alternatif, penyelesaian sengketa alternatif, dan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia.

BAB IV: MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN

NASABAH

Pada bab ini akan diuraikan mengenai aspek hukum mediasi perbankan, persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah, peranan Bank Indonesia dan lembaga independen dalam pelaksanaan mediasi perbankan, dan penyelenggaraan mediasi perbankan di Indonesia.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERBANKAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perbankan

Pertama sekali perlu diketahui apakah yang dimaksud dengan bank dan hukum perbankan. Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Hukum perbankan (banking law) adalah sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan lain.13

Pembangunan di bidang ekonomi sangat banyak dilakukan, namun sering tidak diiringi dengan pembangunan di bidang hukum. Liberalisasi perdagangan semakin mengembangkan globalisasi ekonomi. Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum suatu negara tidak dapat dihindarkan. Globalisasi ekonomi telah menimbulkan akibat yang besar di bidang hukum suatu negara. Negara yang terlibat terpaksa harus membuat standardisasi hukum dalam kegiatan ekonominya. Maka sudah selayaknya dilakukan pembenahan untuk menghadapi pembangunan ekonomi yakni globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi.14

13

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT Citra Adityabakti, 1996), hal. 1

14

Kompas Cyber Media, http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/05/tdk-peduli-hukum-ekonomi_kompas_2007.pdf, hal. 1, diakses pada tanggal 7 Juni 2007

(19)

Banyaknya bermunculan bank-bank baru, diikuti pula munculnya masalah-masalah baru yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 belum dapat mengikuti perkembangan perekonomian di Indonesia yang berkembang secara nasional maupun internasional. Dipandang perlu untuk mengadakan pembaharuan perangkat hukum yang mengatur tentang perbankan dan akhirnya tanggal 29 Maret 1992, oleh Presiden disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sejak saat itu terjadi perubahan yang mendasar dalam hukum perbankan.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang perbankan, dilakukan perubahan yang merupakan salah satu program pelaksanaan reformasi perbankan, yakni penyempurnaan perangkat hukum di bidang perbankan dan pendirian lembaga dana penyangga simpanan, yang pada gilirannya akan memulihkan kepercayaan masyarakat domestik maupun internasional terhadap sistem perbankan Indonesia. Salah satu tujuan utama kebijakan deregulasi perbankan adalah peningkatan pengerahan dana masyarakat untuk menunjang pembangunan.15 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 itu tersebut dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang disahkan oleh Presiden pada tanggal 10 Nopember 1998. Rachmadi Usman menyatakan secara sederhana hukum perbankan adalah hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank.16

15

Masyhud Ali, Restrukturisasi Perbankan Dan Dunia Usaha, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002), hal. 73

16

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 2

(20)

sesuatu, yang menyangkut tentang bank, kelembagaan, kegiatan usaha bank, dan proses pelaksanaan kegiatannya.

Menurut Rachmadi Usman, unsur-unsur yang terkandung dalam hukum perbankan antara lain:

1. Serangkaian ketentuan hukum positif, dengan dikeluarkannya berbagai Peraturan Perundang-Undangan baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, Keputusan Direksi dan Surat Edaran Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaan lainnya sebagai suatu sistem yang diikat oleh asas hukum tertentu.

2. Hukum positif tersebut bersumberkan ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis. Ketentuan yang tertulis adalah ketentuan yang dibentuk badan pembentuk hukum dan perundang-undangan, sedangkan ketentuan yang tidak tertulis adalah ketentuan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan operasional perbankan.

3. Ketentuan hukum perbankan mengatur ketatalaksanaan kelembagaan bank, mencakup perizinan, bentuk hukum, kepengurusan, dan kepemilikan bank. Dimuat pula ketentuan pembinaan dan pengawasan oleh Bank Indonesia 4. Ketentuan hukum perbankan mengatur aspek-aspek kegiatan usahanya.

Secara umum fungsi utama bank berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai penghimpun dana masyarakat dan disalurkan kembali dalam bentuk kredit.17 Ketentuan ini mencerminkan fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lacks of funds).18

17

Ibid, hal 3

18

(21)

Dari rumusan tersebut akan terungkap bahwa pengaturan di bidang perbankan, akan menyangkut di antaranya :

1. Dasar-dasar perbankan, yaitu menyangkut asas-asas kegiatan perbankan seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan serta hubungan hak dan kewajiban

2. Kedudukan hukum pelaku di bidang perbankan seperti dewan komisaris, direksi, karyawan, pihak yang terafiliasi, dan bentuk kepemilikan bank.

3. Kaidah-kaidah perbankan yang secara khusus memperlihatkan kepentingan umum seperti mencegah persaingan yang tidak wajar, antitrust, perlindungan konsumen, dan lain-lain.

4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi, yang mendukung kebijaksanaan ekonomi dan moneter pemerintah, seperti bank sentral.

5. Kaidah-kaidah yang mengarah kepada kehidupan perekonomian yang berupa dasar hukum untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya.

6. Peraturan hukum itu satu sama lain ada hubungannya, tidak berdiri sendiri, terikat dalam satu susunan kesatuan.19

1. Sumber Hukum Perbankan

Sumber hukum perbankan adalah tempat ditemukannya ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan, ketentuan hukum dan perundang-undangan perbankan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu

19

(22)

ketentuan perbankan yang masih berlaku saat ini. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum formil dan materil. Sumber hukum dalam arti materil yakni peristiwa-peristiwa tentang timbulnya hukum yang berlaku atau peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk masyarakat, sedangkan pengertian dari sumber hukum materil dari ilmu pengetahuan hukum secara umum yaitu undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, doktrin.20

Ketentuan hukum dan perundang-undangan perbankan yakni sumber hukum formil mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 33, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, terutama tentang GBHN, Undang-Undang Pokok Perbankan sampai kepada peraturan pelaksana dari undang-undang perbankan tersebut. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum perbankan, diantaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dunia perbankan. Sifat hukum perbankan di Indonesia merupakan hukum memaksa, artinya bank dalam menjalankan usahanya harus tunduk dan patuh terhadap rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Jika dilanggar Bank Indonesia berwenang menindak bank yang bersangkutan dan memberikan sanksi administratif sampai kepada pencabutan izin usaha bank.21

2. Asas-Asas Hukum Perbankan

Dalam pelaksanaan kemitraan antara bank dan nasabah untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, maka kegiatan perbankan dilandasi dengan beberapa asas hukum, yaitu:

a. Asas demokrasi ekonomi

20

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 46

21

(23)

Bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Asas kepercayaan (fiduciary principle)

Bahwa bank dalam menjalankan usaha dilandaasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabah

c. Asas kerahasiaan

Bahwa bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

d. Asas kehati-hatian

Bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.22

a. Bank sentral adalah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

B. Kelembagaan Perbankan 1. Jenis-Jenis Bank

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan, membedakan jenis bank berdasarkan fungsinya, yaitu:

22

(24)

b. Bank Umum adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka panjang.

c. Bank Tabungan adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya membungakan dananya dalam bentuk surat berharga.

d. Bank Pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan dananya, terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan memberikan kredit jangka menengah dan jangka panjang di bidang pembangunan.

e. Bank lainnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang menurut kebutuhan dan perkembangan ekonomi.23

Melalui Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, kelembagaan perbankan ditata dalam struktur yang lebih sederhana, menjadi dua jenis bank, yakni:

a. Bank Umum, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/ atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

b. Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.24

23

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 64

24

(25)

2. Bentuk Hukum Bank

Bentuk hukum suatu bank tergantung kepada jenis bank tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Bentuk hukum dari bank umum dapat berupa : a. Perseroan Terbatas (PT)

b. Koperasi

c. Perusahaan Daerah

Sedangkan Bank Perkreditan rakyat (BPR) bentuk hukumnya dapat berupa:

a. Perusahaan Daerah b. Koperasi

c. Perseroan Terbatas

d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Dengan demikian tidak diizinkan atau tidak dimungkinkan menjalankan usaha sebagai bank seperti badan usaha perseorangan, firma, atau perusahaan komanditer dan termasuk perusahaan persero.

3. Kepengurusan Bank

Kepengurusan pada suatu bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah anggota dewan komisaris, dewan direksi sebagai pihak yang terafiliasi dalam bank. Maksud dari pihak yang terafiliasi dalam bank tersebut adalah :

(26)

pejabat atau karyawan bank, khususnya bagi bank yang berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku b. Pihak yang memberikan jasanya kepada bank seperti akuntan publik, penilai,

konsultan hukum, dan konsultan lainnya.

c. Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut mempengaruhi pengelolaan bank, seperti pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga pengurus lainnya.25

Sebagai pengurus pada suatu bank maka haruslah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan jika terdapat perubahan haruslah dilaporkan kepada Bank Indonesia. Penerapan good coorporate governance dalam kepengurusan bank mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing bank dan memberikan perlindungan kepada masyarakat/ nasabah, dalam rangka pengelolaan dana publik.26

1. Dana yang bersumber dari bank itu sendiri

4. Sumber-Sumber Dana Bank

Sumber-sumber dana bank adalah usaha bank dalam memperoleh dana dalam rangka membiayai kegiatan operasional. Dana untuk membiayai operasi suatu bank dapat diperoleh dari berbagai sumber. Kemampuan bank memperoleh sumber-sumber dana yang diinginkan sangat mempengaruhi kelanjutan usaha bank.

Adapun jenis sumber dana bank tersebut yaitu :

25

Ibid, hal. 29

26

Indra Surya & Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance :

(27)

Merupakan dana yang bersumber dari bank itu sendiri berupa modal. Modal sendiri maksudnya adalah modal setoran dari pemegang sahamnya. Secara garis besar dapat disimpulkan pencarian dana yang berasal dari bank itu sendiri terdiri dari setoran modal dari pemegang saham, cadangan-cadangan bank, dan laba bank yang belum dibagi.

2. Dana yang berasal dari masyarakat luas

Secara umum kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dibagi atas simpanan giro (demand deposit), simpanan tabungan (saving deposit), simpanan deposito (time deposit).

3. Dana yang bersumber dari lembaga lainnya.

Perolehan dana dari sumber ini antara lain dapat diperoleh dari kredit likuiditas dari Bank Indonesia, pinjaman antar bank, pinjaman dari bank-bank luar negeri, surat berharga pasar uang.27

Semua langkah kebijakan untuk memperkuat pengaturan dan pengawasan perbankan, baik yang menyangkut lembaga-lembaga yang bertanggung jawab maupun industri perbankan sendiri, disusun dan diterapkan dengan maksud untuk memperkokoh perbankan dalam operasinya menghadapi dinamisme yang semakin tinggi. Karena itu semua upaya dalam pembinaan dan pengawasan dilakukan untuk menumbuhkan kondisi, mendorong dan membantu industri perbankan di 5. Pembinaan dan Pengawasan Bank

27

(28)

dalam kemampuan untuk mengelola beragam resiko yang melekat dengan sifat dan operasinya.28

a. Memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank yang diawasi memiliki kewajiban-kewajiban tertentu, yaitu :

b. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

c. Melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

d. Menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. e. Menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian

sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

C. Kegiatan Usaha Bank

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bank sebagai lembaga keuangan, kegiatan bank sehari-hari secara sederhana adalah menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat umum. Adapun kegiatan-kegiatan perbankan yang ada di Indonesia saat ini adalah :

28

(29)

1. Menghimpun dana (funding), dalam bentuk: a. Simpanan giro

b. Simpanan tabungan c. Simpanan deposito

2. Menyalurkan kredit (lending), dalam bentuk a. Kredit investasi

b. Kredit modal kerja c. Kredit perdagangan

3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya (services) a. Kiriman uang (transfer)

b. Kliring (clearing) c. Inkaso (collection) d. Safe deposit box

e. Bank card (kartu kredit)

f. Bank notes

g. Bank garansi h. Bank draft i. Letter of credit j. Cek wisata

k. Menerima setoran air,listrik, telepon l. Melayani pembayaran-pembayaran m. Melakukan kegiatan di pasar modal.29

29

(30)

D. Perlindungan Nasabah Bank 1. Hubungan Bank dan Nasabah

Menurut para ahli hukum, hubungan antara bank dan nasabah merupakan suatu hubungan yang sangat kompleks. Alan L. Tyree dalam bukunya Banking Law in Australia, mengatakan bahwa hubungan antara bank dan nasabah dapat

terlihat dalam beberapa macam segi atau kategori karena tidak mustahil hubungan ini dibakukan dalam satu macam segi saja.30

a. Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana

Hubungan hukum antara bank dan nasabah dapat dibagi 2 (dua) yakni:

Artinya bank menempatkan dirinya sebagai peminjam dana milik masyarakat. Hubungan ini dapat terlihat dari hubungan hukum yang muncul dari produk-produk perbankan seperti deposito, tabungan , giro, dan sebagainya. Bentuk hubungan hukum tertuang dalam peraturan bank yang bersangkutan dan syarat-syarat umum yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah penyimpan dana. b. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur

Artinya bank sebagai lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Bentuknya dapat berupa kredit seperti kredit modal kerja, kredit investasi, atau kredit usaha kecil

Dari segi hukum ada 2 (dua) bentuk hubungan antara bank dan nasabah yaitu:

1. Hubungan kontraktual

Merupakan hubungan yang lazim dan berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur maupun nasabah kreditur dan nasabah deposan.

30

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank Dan Nasabah Terhadap Produk

(31)

Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah bersumber dari ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku III). Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Kebebasan berkontrak didasarkan kepada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang.31

a. Sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah)

Adapun kontrak antara bank dan nasabah diberlakukan dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku), dimana pihak bank seringkali lebih diuntungkan.

Ada 3 (tiga) tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara bank dan nasabah yaitu:

b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekadar hubungan debitur-kreditur

c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.32

2. Hubungan non-kontraktual

Hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui hubungan non-kontraktual, sehingga hubungan-hubungan ini terlaksana jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut maupun ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk mengakuinya. Misalnya terhadap nasabah dari bank tersebut wajib diberitahukan oleh bank setiap perubahan policy yang signifikan mempengaruhi jasa bank yang selama ini diberikan oleh bank.

31

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cet. II, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 1

32

(32)

2. Perlindungan Nasabah dalam Arsitektur Perbankan Indonesia

Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, maka dengan telah berlaku efektifnya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank.

Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu:

1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah. 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen. 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk. 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.

(33)

Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut telah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.

(34)

BAB III

TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DAN NASABAH

A. Arti Penting Penyelesaian Sengketa Alternatif

Perselisihan atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap manusia sehat akal dan pikiran. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, hidup di tengah orang yang berbeda kepentingan, pasti tidak akan dapat sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu dapat disebabkan oleh hal-hal kecil, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Suatu perselisihan itu muncul, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan.33

Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain jika berbagai kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling bertentangan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/ persengketaan dan untuk menghindari hal tersebut, dicari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Yang dimaksud dengan kepentingan tersebut adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata yang diatur dalam hukum perdata materil. Misalnya terhadap sengketa antara bank dan

33

(35)

nasabah, para pihak yang terikat kepada suatu perjanjian, apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya seperti yang tertuang dalam perjanjian tersebut, maka pihak tersebut dinyatakan telah melanggar hukum perdata materil berupa wanprestasi.

Pelaksanaan dari hukum perdata (materil) dapat berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang berinteraksi, tanpa harus melalui instansi resmi. Namun sering terjadi hukum perdata (materil) itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan mengakibatkan gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan dan ditegakkan. Untuk melaksanakan hukum perdata (materil) terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum perdata (materil) dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan hukum lain, yaitu yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil.34

Di samping melalui litigasi, juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang lazim disebut litigasi. Jalur non-litigasi dimungkinkan selain karena peraturan perundang-undangan, juga karena pada dasarnya dalam cara litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara (dalam hal ini penggugat). Ada atau tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat. Cara penyelesaian sengketa melalui

34

(36)

peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau

dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).35

Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan.Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya melihat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.

Bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah kadangkala memiliki friksi yang dapat menimbulkan sengketa dikemudian hari, maka sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui jalur litigasi dan non- litigasi. Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang dihadapi. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu orang lain, atau pihak ketiga yang bersifat netral, dan sebagainya. ekonomi yang terus berkepanjangan ini, masyarakat (begitupun masyarakat internasional) masih melihat adanya ketidakpastian dalam proses berperkara melalui pengadilan. Masih cukup banyak kasus nyata di mana putusan pengadilan masih belum dapat memberi kepastian, rasa keadilan dan sejenisnya.

36

Huala adolf, penyelesaian sengketa dl bidang ekonomi dan keuangan,

(37)

Saat ini penyelesaian sengketa atau konflik telah mulai beralih ke penyelesaian dengan cara non-litigasi yang dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif atau Alternatif Disputes Resolution (ADR). Istilah ADR pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E. Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of

Justice di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, para anggota pengadilan, dan

para public interest lawyer, secara bersama-sama mencari cara baru dalam menyelesaikan konflik. Pada tahun 1976 itu pula American Bar Association (ABA) mengakui secara resmi ADR dan membentuk satu komisi khusus untuk penyelesaian sengketa (Special Committee on Dispute Resolution). Selanjutnya, fakultas hukum (law school) di Amerika Serikat telah menambahkan secara bertahap ADR di dalam kurikulumnya dan sekarang ini law School tersebut telah memberikan kursus ADR dalam bidang mediasi dan negosiasi. Beberapa kajian hukum diarahkan untuk studi ADR. Perkembangan ADR itu telah terjadi pula dalam graduate dan business schools.37

37

Bismar Nasution (2), http://bismarnasty.files.wordpress.com/2007/06/menuju-penyelesaian-sengketa-alternatif.pdf, hal. 2, diakses pada tanggal 9 September 2007

(38)

Berdasarkan latar belakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan (dissatisfaction) masyarakat pada administrasi pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa melalui ADR masih dianggap relatif murah dan cepat, oleh karena itu saat ini penggunaan cara penyelesaian di luar pengadilan lebih disenangi dibandingkan penyelesaian melalui pengadilan. Ada beberapa kebaikan mekanisme ADR bila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, yaitu :

a. Sifat kesukarelaan dalam proses b. Prosedur yang cepat

c. Keputusan non-yudisial

d. Kontrol oleh manejer yang paling tahu tentang kebutuhan organisasi e. Prosedur rahasia

f. Fleksibilitas yang besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah.

g. Hemat waktu dan biaya

(39)

j. Tingkatan yang lebih tinggi untuk melaksanakan kontrol dan lebih mudah untuk memperkirakan hasil.

k. Kesepakatan-kesepakatan yang lebih baik dari pada sekedar kompromi atau hasil yang diperoleh dari cara penyelesaian kalah atau menang.

l. Keputusan bertahan sepanjang waktu.38

Faktor-faktor lain yang menjadi alasan perlunya alternatif penyelesaian sengketa yaitu :

1. Adanya tuntutan dunia bisnis.

2. Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada lembaga peradilan 3. Peradilan pada umumnya tidak responsif.

4. Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah. 5. Adanya kemampuan hakim bersifat generalis.

6. Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan. 7. Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa.39

Perkembangan kegiatan perbankan pada saat ini menunjukkan interaksi yang tinggi setiap hari, sulit dihindari terjadinya sengketa (disputes, difference) di antara para pihak yang terlibat. Setiap sengketa apapun yang terjadi selalu menuntut penyelesaian dan pemecahan. Makin banyak dan luas terjadi sengketa, maka semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan. Hal ini dapat diamati di negara Indonesia, setiap tahun ratusan perkara yang menunggak (tidak terselesaikan) oleh Mahkamah Agung, baik perkara perdata maupun perkara pidana, seolah lembaga tinggi tersebut tidak dapat menyelesaikan tugasnya, sehingga diharapkan alternatif penyelesaian sengketa ini akan dapat lebih

38

Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: PT. Prenhalindo, 2002), hal. 495

39

(40)

berperan. Sedangkan di negara maju maupun negara industri baru lebih menempatkan ADR sebagai the first resort dan pengadilan sebagai the last resort.

Oleh karena itu penyelesaian masalah melalui jalur non-litigasi menjadi amat penting sebab dewasa ini didalam menyelesaikan masalah terutama masalah yang menyangkut kegiatan di bidang perekonomian, jalur litigasi atau peradilan dipandang menjadi solusi terakhir dalam usaha menyelesaikan masalah. Sebab selain masalah di bidang perekonomian yang muncul membutuhkan solusi yang cepat dan tepat, para pihak apabila diselesaikan melalui pengadilan belum tentu benar-benar memahami permasalahan tersebut dengan baik. Apalagi waktu yang diperlukan akan sangat lama dan keputusan yang dihasilkan belum tentu memuaskan. Tidak diketahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Kenyataan-kenyataan seperti diatas menjadi suatu alasan yang kuat mengapa Alternative Disputes Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif menjadi sangat penting dan perlu dikembangkan oleh negara-negara berkembang.40

Penyelesaian sengketa alternatif merupakan suatu terobosan baru dalam penyelesaian sengketa yang terjadi ditengah-tengah masyarakat pada saat ini. Penyelesaian sengketa alternatif dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara B. Penyelesaian Sengketa Alternatif

40

(41)

umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.

Alternatif penyelesaian sengketa atau lebih dikenal dengan istilah Alternatif Disputes resolution yang disingkat ADR. Berbagai pengertian pada

istilah ini, seperti Altschul mengatakan bahwa ADR adalah A trial of a case before a private tribunal agreed to the parties so as to save legal cost, avoid publicity,

and avoid lengthy trial delays. Kemudian Jacqueline M. Nolan-Haley dalam

bukunya berjudul Alternative Disputes Resolution In A Nutshell, menjelaskan bahwa ADR is an umbrella term which refers generally to alternatives to court adjudication of disputes such an negotiation, mediation, arbitration, mini trial,

and summary jury trial. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10, menyatakan pengertian alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Istilah “alternatif” dalam ADR memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme ADR pada akhirnya – khususnya dalam sengketa bisnis – akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ADR adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.41

41

Selanjutnya, ADR lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. ADR dan penyelesaian

sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu,

(42)

para hakim tidak perlu khawatir dengan digunakannya mekanisme ADR, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya.

Ada beberapa pendapat mengenai ADR atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Pertama, ADR adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar

pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, ADR adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui ADR tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. ADR di sini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, ADR adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan ADR termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan sebagainya.42

42

Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cet.II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2002), hal. 84

(43)

Teknik negosiasi, mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak langsung masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme ADR, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia.

Pada saat ini yang paling umum bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan adalah:

a. Konsultasi

Meskipun konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu pasal pun yang menjelaskannya.

Dengan mengutip Black’s Law Dictionary, Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat , sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.43

43

(44)

b. Negosiasi

Negosiasi merupakan kosakata yang sudah sering didengar. Negosiasi merupakan proses yang sering masyarakat lakukan dalam hidup dan sering pula tidak sadar tengah melakukan negosiasi. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai apa pengertian dari negosiasi berdasarkan kamus hukum dan beberapa pendapat ahli.

Pengertian negosiasi menurut ensiklopedi online wikipedia, adalah Negotiation is the process whereby interested parties resolve disputes, agree upon

courses of action, bargain for individual or collective advantage, and/or attempt

to craft outcomes which serve their mutual interests. It is usually regarded as a

form of alternative dispute resolution. 44

Menurut Jaqueline M. Nolan-Haley pengertian negosiasi adalah: Negotiation may be generally defined as a consensual bargaining process in

which parties attempt to reach agreement on a disputed or potentially disputed

matterí.

Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan

Negosiasi menurut kamus hukum Black’s Law dapat dijabarkan A consensual bargaining process in which the parties attempt to reach agreement

on a disputed or potentially disputed matter. Negotiation usu. involves complete

autonomy for the parties involved, without the intervention of third parties.

44

(45)

variasinya, serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang.45

Berdasarkan pengertian sebelumnya, negosiasi dipahami sebagai sebuah proses dimana para pihak ingin menyelesaikan permasalahan, melakukan suatu persetujuan untuk melakukan suatu perbuatan, melakukan penawaran untuk mendapatkan suatu keuntungan tertentu, dan atau berusaha menyelesaikan permasalahan untuk keuntungan bersama (win-win solution). Negosiasi biasa dikenal sebagai salah satu bentuk alternative dispute resolution.

Dengan demikian, secara sederhana disimpulkan negosiasi adalah suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan. Sarana negosiasi dalam alternatif penyelesaian sengketa telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini.46

1. Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih.

Alan Fowler menjelaskan negosiasi terdiri dari beberapa elemen yang merupakan prinsip-prinsip umum,yaitu :

2. Pihak-pihak itu harus membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama.

45

Gary Goodpaster, Op.Cit, hal. 1

46

(46)

3. Pihak-pihak yang bersangkutan, setidak-tidaknya pada awalnya menganggap negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan perbedaan dibandingkan metode-metode lain.

4. Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi.

5. Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang diterima, dan suatu konsep tentang seperti apakah hasil akhir tersebut.

6. Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkatan kuasa atas kemampuan pihak lain untuk bertindak.

7. Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu interaksi diantara orang-orang, terutama antar komunikasi lisan yang langsung, walaupun kadang dengan elemen tertulis yang penting47

Negosiasi sangat diperlukan karena sifatnya yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia dimana setiap manusia memiliki sifat dasar untuk mempertahankan kepentingannya. Di sisi lain manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap dipertahankan, sehingga, terjadilah benturan kepentingan. Padahal, kedua pihak tersebut memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Apabila terjadi benturan kepentingan terhadap suatu hal, maka timbul suatu sengketa. Dalam penyelesaian sengketa dikenal berbagai macam cara, salah satunya negosiasi. Secara umum, tujuan dilakukannya negosiasi adalah mendapatkan atau memenuhi kepentingan yang telah direncanakan sebelumnya dimana hal yang diinginkan tersebut disediakan atau dimiliki oleh orang lain sehingga memerlukan negosiasi untuk

47

(47)

mendapatkan yang diinginkan. Dalam melakuakan negosiasi, kekuatan tawar menawar, pola tawar menawar, strategi dalam tawar menawar, sangat mempengaruhi jalannya negosiasi.48

2. Jika tidak dilakukan negosiasi akan muncul situasi lebih buruk, semisal konflik terbuka, saling merugi dan sebagainya.

Negosiasi terjadi saat dua atau lebih kelompok bersedia melakukan negosiasi jika para pihak berhitung:

1. Masih mempunyai peluang untuk mendapat lebih banyak manfaat.

49

1. Kemampuan menentukan serangkaian tujuan, namun tetap fleksibel dengan sebagian diantaranya. Selain harus mampu mempertahankan serangkaian tujuan, dalam negosiasi, seorang negosiator harus mampu bersikap fleksibel dalam membaca keseimbangan atau perubahan posisi tawar yang terjadi selama negosiasi.

Artinya pada saat seseorang/ kelompok setuju membuka diri terhadap negosiasi, maka disadari bahwa para pihak berpikir masih memiliki peluang untuk mendapat lebih banyak manfaat, atau para pihak tengah menghindari kerugian lebih besar. Dengan demikian, sebelum negosiasi para pihak harus dapat memperhitungkan kelompok lain mengejar manfaat apa dan menghindari kerugian apa.

Meskipun secara lahiriah manusia telah dibekali dengan kemampuan untuk bernegosiasi, namun untuk dapat bernegosiasi dengan baik, kemampuan dasar tersebut perlu dikembangkan. Adapun, beberapa kemampuan dasar untuk dapat bernegosiasi yang baik adalah sebagai berikut:

48

Garry Goodpaster, Op.Cit, hal. 11-21

49

(48)

2. Kemampuan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dari pilihan yang banyak. Dalam hal ini, seorang negosiator harus jeli membaca kemungkinan dan memprediksi konsekuensi yang dapat timbul dari masing-masing pilihan. Sebaiknya seorang negosiator sudah harus mampu memprediksi kemungkinan terbaik dan kemungkinan terburuk yang mungkin timbul.

3. Kemampuan untuk mempersiapkan dengan baik. Tidak ada negosiasi yang baik tanpa persiapan yang baik. Negosiator ulung selalu mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari hal besar hingga hal kecil jauh sebelum pelaksanaan negosiasi. Namun, tak jarang, seorang negosiator harus mampu melakukan negosiasi pada saat yang tidak terduga.

4. Kompetensi interaktif, yaitu mampu mendengarkan dan menanyakan pihak-pihak lain. Menjawab lebih mudah dari memberikan pertanyaan yang baik, karena setiap jawaban lahir karena ada pertanyaan. Tanpa adanya pertanyaan yang baik, jawaban yang baik tidak dapat diharapkan.

5. Kemampuan menentukan prioritas. Dalam negosiasi, segala hal yang dinegosiasikan adalah penting, hanya saja seorang negosiator harus mampu memberikan prioritas kepada permasalahan yang ada, hingga tersusun dalam tingkatan prioritas.50

50

Gunawan Widjaya, Op.Cit, hal. 88

(49)

(leadership) serta manajemen yang baik agar mampu menentukan alur negosiasi dan melangsungkan negosiasi hingga tujuan tercapai.

Dalam pelaksanaan negosiasi sesungguhnya tidak ada standardisasi proses atau tahapan baku yang menjadi tolak ukur baik tidaknya negosiasi. Tahapan-tahapan negosiasi dapat berkembang dengan sendirinya tergantung pada permasalahan yang dihadapi. Meskipun demikian, secara umum proses bernegosiasi memiliki pola sama, yaitu sebagai berikut.

1. Persiapan.

Pada tahap ini, negosiator mulai mengadakan meeting internal untuk keperluan pengumpulan informasi relevan yang lengkap, pembentukan tim apabila diperlukan. Dalam rangka pembentukan tim, perlu diadakan pembagian peran, peran yang ada biasanya adalah:

a. Pemimpin tim negosiator dengan tugas memimpin tim, memilih dan menentukan anggota tim, menentukan kebijakan khusus, dan mengendalikan anggota tim lainnya.

b. Anggota kooperatif yang menunjukan simpati kepada pihak lain dan juga bertindak hati-hati agar pihak lain merasa kepentingannya tetap terlindungi. Peran ini seolah-olah mendukung penawaran pihak lain.

c. Anggota oposisi yang bertugas untuk membantah argumentasi yang dilakukan pihak lain, anggota ini juga berusaha untuk membuka kelemahan dan merendahkan posisi tawar pihak lain.

d. Sweeper yang bertugas sebagai problem solver pemecah kebuntuan dalam

negosiasi, dan bertugas menunjukkan inkonsistensi pihak lain.51

51

(50)

2. Proposal.

Pada tahap ini, negosiator dapat memilih, apakah langsung melakukan penawaran pertama atau menunggu pihak lain yang mengajukan penawaran. Dalam tahap ini, negosiator sudah harus siap mempelajari

kemungkinan-kemungkinan yang ada.

3. Debat.

Tahap ini merupakan tahap terpenting dalam suatu proses negosiasi. Dengan dilakukannya debat, dapat diketahui seberapa jauh kepentingan dapat dipertahankan atau diteruskan dan seberapa jauh kepentingan pihak lain akan

diterima. Tahap ini diisi dengan argumentasi dari masing-masing pihak. 4. Tawar-menawar.

Setelah diadakan proposal dan debat, negosiator mengadakan tawar- menawar atas kepentingan pihaknya maupun pihak lain. Dalam tahap ini argumentasi sudah tidak terlalu diperlukan, yang diperlukan adalah fakta, data, dan kemampuan untuk mencapai tujuan negosiasi. 5. Penutup.

Suatu negosiasi dapat berakhir dengan berbagai kemungkinan. Antara lain, negosiasi berhasil, negosiasi gagal, negosiasi ditunda, negosiasi deadlock, para pihak walk-out, dan lainnya. Apabila negosiasi berhasil, direkomendasikan untuk membuat semacam memorandum of understanding (MoU) untuk keperluan para pihak menekan pihak lainnya untuk menjalankan kesepakatan hasil negosiasi (contract enforcement).52

52

(51)

b. Mediasi atau Pendamaian

Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independen atau bertindak sebagai mediator, akan tetapi tidak diberi wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat. Menggunakan berbagai prosedur, teknik dan ketrampilan membantu para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan. Mediator juga merupakan seorang fasilitator yang dalam beberapa bentuk mediasi memberikan evaluasi yang tidak mengikat mengenai nilai perselisihan jika diperlukan, tetapi tidak diberi wewenang membuat keputusan yang mengikat.

Pendamaian merupakan istilah yang kadang dipakai secara bergantian dengan mediasi, dan dipakai untuk membedakan salah satu proses (seringkali mediasi) yang melibatkan peran mediator yang aktif, sedangkan pendamaian melibatkan sistem mediasi yang membantu, walaupun di dalam praktek tidak tampak secara nyata perbedaannya.53

Mediasi, yaitu seperangkat proses yang membantu para pihak yang bersengketa untuk sepakat dengan masalah-masalah tertentu. Gary Goodpaster mengatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah di mana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama pihak yang bersengketa untuk membantu guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Tidak seperti halnya dengan para hakim dan arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak; malahan para pihak memberi kuasa pada mediator untuk membantu menyelesaikan

53

H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu

(52)

permasalahan. Dalam tahun-tahun belakangan ini pengadilan, masyarakat dan industri semakin mengarah pada mediasi sebagai suatu metode yang lebih disukai dalam penyelesaian jenis sengketa tertentu.

Proses mediasi dipandang sebagai proses yang lebih sederhana dari segi prosedur dan relatif lebih murah. Proses mediasi ini akan memungkinkan pihak-pihak untuk menentukan apa yang memuaskan dengan mengarahkan masalah-masalah sempit dalam konflik untuk fokus kepada situasi dan kondisi mendasar yang turut memberikan kontribusi terhadap konflik. Mediator dapat membantu pihak-pihak dalam mengungkapkan agenda tersembunyi dan ungkapan emosional yang tidak terungkap melalui ketentuan pembuktian dan prosedur. Dalam proses mediasi, pihak ketiga yang bersifat netral akan membantu mencapai perjanjian yang adil. Inti aktifitas dalam proses ini adalah pertukaran informasi (bargaining) dan aktifitas ini dapat dilaksanakan dalam berbagai pertemuan bersama, dalam acara-acara pribadi yang dikenal sebagai kaukus atau keduanya.54

Dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Proses mediasi Pada tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang mengatur tentang mediasi. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di luar dan di dalam pengadilan. Mediasi di luar pengadilan di Indonesia terdapat dalam beberapa undang-undang yang sudah dimuat, seperti UU tentang Lingkungan, UU tentang Kehutanan, UU tentang Ketenagakerjaan dan UU tentang Perlindungan Konsumen.

54

Referensi

Dokumen terkait

Mediator yang memfasilitasi penyelesaian sengketa harus memenuhi persyaratan antara lain mempunyai kemampuan di bidang finansial perbankan dan hukum, tidak mempunyai hubungan

Proses mediasi dimulai ketika Nasabah atau Perwakilan nasabah dan Bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate). Proses mediasi paling lama 30 hari setelah

Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa pada mediasi perbankan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Dalam peraturan tersebut, sengketa diartikan sebagai permasalahan yang diajukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah

permohonan dan pelaksanaan mediasi perbankan masih terpusat di DIMP yang terdapat di Jakarta, ada hal yang terkait pelaksanaan mediasi perbankan yang belum diatur dalam PBI

Diharapkan dengan adanya Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini akan tercipta iklim perbankan syariah yang semakin kondusif. Mediasi perbankan syariah adalah cara yang

kepada ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008, yang

Namun demikian, dalam praktek seringkali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata yang disepakati dengan musyawarah mufakat (melalui mediasi), akan