PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA
ANTARA NASABAH DENGAN BANK
MELALUI MEDIASI PERBANKAN
TESIS
Oleh
SYARIFAH LISA ANDRIATI
067005026/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Sektor perbankan memiliki posisi yang strategis sebagai lembaga intermediasi. Dalam menjalankan kegiatannya bank membutuhkan kepercayaan serta dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya sudah seharusnya bank memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat khususnya hak nasabah. Bank sebagai suatu lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dapat menimbulkan suatu hubungan hukum yang berpotensi mengakibatkan terjadinya sengketa antara nasabah dan bank. Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, yang dirubah dengan PBI Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan merupakan alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah pertanyaan yakni, bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan? apa manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan? Dan bagaimana independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan serta bagaimana kekuatan hukum dari suatu akta kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi?
Untuk meneliti hal-hal tersebut di atas digunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan guna memperoleh bahan hukum primer dan sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, mediasi perbankan merupakan regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan. Perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah secara hukum positif harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam hierarki perundang-undangan. Oleh karena itu peraturan mengenai mediasi perbankan ini memerlukan penyempurnaan yang lebih komprehensif. Kedua, Manfaat mediasi perbankan dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan bank adalah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank karena dengan berlarut-larutnya sengketa antara nasabah dengan bank dapat menurunkan citra bank. Sedangkan bagi nasabah mediasi perbankan merupakan salah satu aturan hukum untuk melindungi hak-hak nasabah terutama nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil karena penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara sederhana, murah, dan cepat.
Ketiga, sebagai suatu Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) harus independen
dibentuk oleh asosiasi perbankan tidak hanya terdiri dari kalangan perbankan saja, tetapi ikut juga memasukkan unsur-unsur lain seperti akademisi dan praktisi. Dan sebaiknya LMP independen ini tidak hanya melayani nasabah yang dirugikan oleh bank , tetapi juga melayani bank yang kemungkinan dirugikan oleh nasabahnya sehingga dapat menciptakan harmonisasi bilateral antara keduanya.
ABSTRACT
Baking sector has a strategic position as an institute of intermediation. In carrying out its activity, a bank needs the trust and support from community. Therefore, a bank should have given a protection to the rights of community especially the rights of consumers. As an institution raising and distributing community’s funds, a bank can create a legal relationship which is potential in causing a dispute between the customers and the bank. One of the legal protections produced by Bank Indonesia is Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, changed by PBI Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Banking mediation is an alternative dispute resolution to solve any dispute existing between the customers and the bank. This study was initiated by a number of questions such as how legal protection of bangking mediation to the rights of bank customers, what is the advantages of banking mediation as alternative dispute resolution in solving the banking dispute, how is the independency of banking mediation institution, and how is the legal power an act of agreement produced by mediation process has.
Based on the objectives that mention above, this research use the method of normative legal research with qualitative approach. The instrument for collecting data is library research which use primary and secondary data.
The result of study shows that, first, banking mediation is a regulation issued by Bank Indonesia in the implementation of its function of control. Legal protection toward the rights of customers in a legal positive way must be implemented based on the regulation on this banking mediation needs a more comprehensive finishing touch; second, the advantage of banking mediation as alternative dispute resolution in solving the dispute between the customers and the bank is to improving the trust of the community to degrade the bank image. To the customers, banking mediation is one of the legal regulations to protect the rights of customer especially small customers and small and micro business for the dispute solution can be done simply, cheap and accurately; third, the Banking Mediation Institution must be independent that makes it free from the influence an intervention of Bank Indonesia that, in performing its duty, this institution must be really neutral. The legal power of the act agreement produced by the banking mediation process binds the parties made it such as the customers and the bank. This act must be registered in 30 (thirty) days in the court of the first instance. Through this study, it is suggested that the Banking Mediation Institution to be established by banking association which not only consist of banking community but also the other elements such as academics and practitioners. The independent Banking Mediation Institution not only serve the customers inflicted financial loss by the bank but also the bank which might be inflicted financial loss by its customers that the institution can create a bilateral harmony between the two of them.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas limpahan
rahmat dan karunia-NYA sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
dengan judul : “Penyelesaian Sengketa Perdata Antara Nasabah Dengan Bank
Melalui Mediasi Perbankan”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan
untuk mencapai Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankan Penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Dr.Chairuddin
P.Lubis,DTM&K, SpA(K).
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu
Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Prof.Dr.Bismar Nasution, SH, MH,
sekaligus selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bimbingan yang
diberikan.
4. Prof.Dr.Tan Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Prof.Dr.Runtung, SH, MHum, selaku Komisi Pembimbing atas bimbingan
6. Penguji Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Dr.Sunarmi, SH,
MHum, atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam penyusunan tesis
ini.
7. Seluruh staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
USU, yang telah membimbing dan mengajar selama penulis mengikuti
perkuliahan pada Sekolah Pascasarjana USU.
8. Seluruh pegawai administrasi Sekolah Pascasarjana USU atas bantuannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan lancar.
9. Pada kesempatan ini penulis juga mendedikasikan penulisan tesis ini kepada
kedua orang tua penulis Ayahanda Said Adnan dan Ibunda Darmiaty yang
telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan tidak pernah lelah, penuh
kasih sayang dan selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan semoga Allah
SWT. membalas segala kebaikan mereka. Dan penulis juga berterimakasih
kepada kakak-kakak dan adik-adik penulis: Syarifah Dian Andriaty, SE,
Syarifah Nora Andriaty, Syarifah Lia Andriaty, dan Syarifah Keumala
Andriaty atas segala dukungannya.
10.Kepada Diki Syaiful Barkah atas segala dukungan dan kasih saying serta doa
yang selalu diberikan kepada penulis sehingga memotivasi penulis untuk
menjadi seseorang yang lebih baik.
11.Penulis juga berterimakasih kepada seluruh teman-teman di Sekolah
Akhirnya, penulis berharap semoga karya yang masih jauh dari sempurna ini
dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita
semua.
Medan, Agustus 2008
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : SYARIFAH LISA ANDRIATI
Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 11 September 1984
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl.Sunggal No.141 B Medan
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Percobaan Negeri
Medan, tahun 1990- 1996.
- Sekolah Menengah Pertama Kemala Bhayangkari Medan, tahun 1996-1999.
- Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Medan, tahun 1999-2002.
- Fakultas Hukum USU Medan, tahun 2002-2005.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR ISTILAH... xi
DAFTAR SINGKATAN... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9
G. Metode Penelitian ... 19
BAB II : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK ... 21
B. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam
Arsitektur Perbankan ... 31
C. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Peraturan Bank Indonesia Tentang Mediasi Perbankan ... 39
BAB III : MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ... 47
A. Latar Belakang Munculnya Mediasi Perbankan ... 47
B. Pengertian Dan Batasan Mediasi ... 56
C. Karakteristik yang Terdapat Dalam Mediasi Perbankan ... 62
D. Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Nasabah Dengan Bank ... 70
BAB IV : PELAKSANAAN MEDIASI MENURUT PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG MEDIASI PERBANKAN 75 A. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan.. 75
B. Pelaksanaan Mediasi Perbankan Dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan ... 82
C. Independensi Mediator Dalam Melaksanakan Fungsi Perbankan ... 89
D. Kekuatan Hukum Akta Kesepakatan Mediasi Perbankan.... 99
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 106
A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA... 110
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Pengaduan Nasabah Perbankan... 82
DAFTAR ISTILAH
Agent of reality : agen realitas
Agreement to mediate : perjanjian mediasi
Alternative Dispute Resolution : alternatif penyelesaian sengketa
Backward looking : memandang ke belakang
Bancassurance : produk bank
Bearer of bad news : penyandang berita jelek
Billing statement : perincian tagihan
Business interest : kepentingan bisnis
Catalyst : katalisator
Cash advanced : penarikan tunai
Closed logical system : sistem yang tertutup
Conflict of interest : konflik kepentingan
Court annexed/ connected : dalam pengadilan
Debt collector : penagih utang
Decision maker : pengambil keputusan
Delegated legislation : peraturan yang didelegasikan
Educator : pendidik
Explicit deposit protection : perlindungan secara eksplisit
Fairness : kejujuran
Fee : biaya
Fiduciary financial Institution : lembaga kepercayaan masyarakat
Financial intermediary bank : bank intermediasi keuangan
Forward looking : memandang ke depan
Good governance : pemerintahan yang baik
Implicit deposit protection : perlindungan secara implisit
Law enforcement : penegakan hukum
Legal advice : pendapat hukum
Legal counsel : konsultasi hukum
Legal positivism : positivisme yuridis
Library research : penelitian kepustakaan
Living law : hukum yang hidup dalam masyarakat
Negative publicity : publikasi negatif
Non-coercive : tanpa paksaan
Out court : luar pengadilan
Out-of court settlement : di luar jalur pengadilan
Overlapping : tumpang tindih
Overloaded : terlampau padat
Power to control : kewenangan mengontrol
Power to impose sanction : kewenangan memberi sanksi
Power to regulate : kewenangan mengatur
Predictable : dapat diramalkan
Presumption of negligence : praduga lalai/bersalah
Qualified : memenuhi syarat
Scapegoat : kambing hitam
Scientific : ilmuwan
Service excellence : pelayanan yang baik
Solving the problem : penyelesaian masalah
Subordinate sources : sumber yang lebih rendah
Sumir : dangkal
Reasonable : layak
Rechtstoepassing : hukum yang diberlakukan
Resource person : narasumber
The interest : kepentingan
Translator : penerjemah
Unresponsive : kurang tanggap
Very expensive : biaya mahal
Walk-in customer : pihak yang memanfaatkan jasa bank
Waste of Time : buang waktu
Wet giving : kewenangan pembentukan
Win-Lose : menang-kalah
DAFTAR SINGKATAN
ADR : Alternative Dispute Resolution
API : Arsitektur Perbankan Indonesia
APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa
ASBANDA : Asosiasi Bank Daerah
ASBISINDO : Asosiasi Bank Syariah Indonesia
ATM : Anjungan Tunai Mandiri
BI : Bank Indonesia
IBI : Ikatan Bankir Indonesia
LMP : Lembaga Mediasi Perbankan
LMPI : Lembaga Mediasi Perbankan Indonesia
MAPS : Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
PBI : Peraturan Bank Indonesia
PERBANAS : Perhimpunan Bank-bank Swasta Indonesia
PIN : Personal Identification Number
PPS : Pilihan Penyelesaian Sengketa
SEBI : Surat Edaran Bank Indonesia
UUPK : Undang-Undang Perlindungan Konsumen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai
strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut
dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan
pihak-pihak yang kekurangan dana. Oleh karenanya perbankan akan bergerak dalam
kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan
pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor
perekonomian.
Hukum perbankan adalah merupakan kumpulan peraturan hukum yang
mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari
segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang
lain. Hukum perbankan itu merupakan sistem karena membentuk suatu kesatuan yang
bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain,
dan bagian-bagian tersebut bekerja sama untuk mencapai tujuan pokok dari
kesatuannya.1
Perbankan2 menjadi salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tonggak kelahiran Undang-undang perbankan mulai disahkan sejak dilahirkannya
1
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), hlm.1-3.
2
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan3 dan selanjutnya diadakan perubahan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 19984 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan .
Dalam melaksanakan fungsi lembaga perbankan sebagai perantara
pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak-pihak-pihak yang kekurangan dana maka
menimbulkan adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Hubungan
hukum yang terjalin ini dapat menimbulkan suatu friksi yang apabila tidak
diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.
Semakin agresifnya perbankan menawarkan sejumlah produknya, seperti
kartu kredit, anjungan tunai mandiri, serta berbagai bentuk kredit dan tabungan
kepada masyarakat luas menyebabkan peluang terjadinya perselisihan semakin
terbuka luas. Pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan terhadap pelayanan
perbankan juga meningkat.
3
Merupakan suatu fakta historis bahwa proses pembentukan Undang-Undang Perbankan dilakukan pada masa-masa tidak normal, sehingga hal tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap materi undang-undang yang bersangkutan. Karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dibentuk dengan bernuansa liberalisasi perbankan di bawah Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1998), sehingga terdapat ketentuan-ketentuan yang di dalamnya cenderung liberal dan cenderung membela dan menganakemaskan bank. Hal-hal tersebut tercermin dalam ketentuan perbankan sebagai berikut : (1) Perlindungan nasabah kurang; (2) pengaturan kejahatan bank ragu-ragu; (3) Pengaturan rahasia bank overacting; (4) Pengaturan kewajiban bank kurang tegas; (5) Bank terlalu bebas; (6) Pengawasan bank kurang ketat.Lihat Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Adytia Bakti,2003), hlm.4.
4
Lemahnya perlindungan terhadap nasabah terlihat dari semakin banyaknya
kasus yang muncul dalam kaitan dengan perkembangan perbankan. Hal ini juga
semakin jelas terlihat dari banyaknya keluhan nasabah melalui media massa yang
intinya nasabah tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh bank yang tidak sesuai
dengan iklan yang ditawarkan.5
Sengketa dapat terjadi karena tidak ditemukannya titik temu antara para pihak
yang bersengketa. Sengketa ini dapat terjadi diawali karena adanya perasaan tidak
puas dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan kemudian perasaan tidak puas ini
menjadi conflict of interest yang tidak terselesaikan sehingga menimbulkan suatu
konflik.6
Penyelesaian konflik hukum tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
melalui proses litigasi dan non litigasi7. Dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum dapat ditempuh melalui jalur pengadilan. Konflik hukum antara bank dengan nasabah
ini diselesaikan melalui forum pengadilan untuk memenangkan hak-hak
masing-masing dengan prinsip win-lose. Dalam dunia bisnis menghendaki penyelesaian
sengketa yang efisien dan efektif dimana prosesnya tidak berbeli-belit.
Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik
yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoriti hukum. Peran dan fungsi
5
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.3.
6
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm.34.
7
peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan
buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap
(unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlalu formalistik dan
terlampau teknis.8
Pengalaman pahit yang menimpa masyarakat yang memperlihatkan sistem
peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien . Penyelesaian perkara memakan waktu
puluhan tahun dan proses bertele-tele, yang dililit upaya hukum yang tidak berujung.9 Banyaknya kelemahan yang terdapat pada pengadilan atau penyelesaian sengketa
melalui jalur litigasi maka banyak kalangan yang berusaha untuk mencari alternatif
lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan.10
Di Indonesia alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute
resolution11) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”alternatif penyelesaian sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
8
Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa: Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm.6.
9
M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997 ), hlm.248.
10
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000), hlm.33.
11
para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi,mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Untuk menjaga hubungan hukum yang terjalin antara bank dan nasabah maka
tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan
dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat, terutama kepentingan dari nasabah bank yang bersangkutan. Dengan
perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah
gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka
perlindungan hukum bagi nasabah terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat
diperlukan.12
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah
tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi13 antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Pengaduan
nasabah ini apabila tidak dapat terselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi
menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan
nasabah dan atau bank.
12
Pada Tahun 1998 terjadi krisis moneter sebagai akibat dilikuidasinya 16 bank pada tanggal 1 November 1997 sehingga perbankan menjadi rush . Hal ini terjadi karena kurang percaya masyarakat terhadap lembaga perbankan dimana kepentingan nasabah kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library,2005),hlm.326.
13
Dalam dunia perbankan diperlukan suatu penyelesaian sengketa yang
sederhana, cepat dan murah. Perbankan sebagai salah satu industri jasa keuangan
yang merupakan jantung atau motor penggerak roda perekonomian negara dan yang
bertumpu kepada kepercayaan masyarakat (fiduciary financial institution).
Bank Indonesia memformalisasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran
yang ingin dicapai, yaitu: (1) Struktur perbankan yang sehat dan mampu mendorong
pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing internasional; (2) Sistem
pengaturan yang efektif dan mampu mengantisipasi perkembangan pasar keuangan
domestik dan internasional; (3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4)
Penguatan kondisi internal industri perbankan; (5) Penciptaan dan penguatan
infrastruktur pendukung industri perbankan; dan (6) Perlindungan dan pemberdayaan
nasabah.14
Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dalam rangka melindungi
kepentingan nasabah Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai Peraturan. Salah
satu perlindungan terhadap hak-hak nasabah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan. Sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh pihak bank dalam
menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabah.
14
Kehadiran mediasi perbankan pada pokoknya dapat menjembatani antara kepentingan
bank dan nasabah sehingga dapat menyelesaikan problem hukum yang terjadi dengan
baik.
Keberadaan lembaga mediasi perbankan ini merupakan suatu bentuk
perlindungan terhadap konsumen. Ini merupakan langkah kebijakan yang akan
diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia.
Payung hukum terhadap mediasi perbankan ini masih dipertanyakan oleh berbagai
ahli hukum. Dan juga masih dipertanyakan independensi dari Bank Indonesia sebagai
pelaksana fungsi mediasi perbankan hingga terbentuknya lembaga mediasi perbankan
yang independen.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi
perbankan?
2. Apa manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa
dalam penyelesaian sengketa perbankan?
3. Bagaimana independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) serta
bagaimana kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam
mediasi perbankan.
2. Untuk mengetahui manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian
sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan.
3. Untuk mengetahui independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP)
serta kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari
proses mediasi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua manfaat
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil penelitian
dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama hukum
perbankan dalam hal penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan
nasabah melalui mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa
antara nasabah dengan bank.
Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi dan
perbankan dalam meyelesaikan sengketa di bidang perbankan antara nasabah
dengan bank.
E. Keaslian Penulisan
Penelitian dengan judul ” Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah
dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan” yang diketahui berdasarkan penelusuran
atas hasil-hasil penelitian, khususnya di Lingkungan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan
penelitian penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan nasabah melalui mediasi
perbankan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini
adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan
terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Kerangka teori merupakan pendukung membangun atau berupa penjelasan
dan permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan
dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang
dibicarakan.15 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat
menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan
eksternal bagi penulis.16
Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai
hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.17 Fungsi teori mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada
penelitian yang akan dilakukan.
Dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini maka teori yang
digunakan adalah teori positivisme yuridis (legal positivism). Legal positivism adalah
aliran yang berpandangan bahwa studi tentang wujud hukum seharusnya merupakan
studi tentang hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan
hukum yang seyogianya ada dalam kaidah-kaidah moral. 18
15
Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hlm.8.
16
M.Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju,1994), hlm.80. 17
W.Friedmann, Legal Theory, (New York: Columbia University Press, 1967), hlm.3-4. 18
Aliran positivis mengatakan ”Kaidah hukum itu hanya bersumber dari
kekuasaan negara yang tertinggi, dan sumber itu hanyalah hukum positif yang
terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik,ekonomi,sosial dan budaya”.19
John Austin sebagai salah seorang penganut positivisme menilai bahwa
sumber hukum yang lain adalah sumber hukum yang lebih rendah (subordinate
sources). Hukum identik dengan kekuasaan negara, dan hukum hanyalah hukum
tertulis atau hukum positif saja, dapat menimbulkan kesimpangsiuran dalam
memandang keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang
ternyata sangat diakui. 20
Khuzaifah Dimyati sebagaimana yang dikutip oleh H.R.Otje Salman S. dan
Anton F.Susanto dalam bukunya Teori Hukum menjelaskan bahwa dalam positivisme
yuridis hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara
ilmiah. Tujuan positivisme adalah pembentukan struktur-struktur rasional
sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab hukum dipandang sebagai hasil pengolahan
ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum makin profesional. Dalam positivisme
yuridis ditambah bahwa hukum adalah sistem yang tertutup (closed logical system)
artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan norma sosial, politik dan moral.21
19
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: IBLAM, 2006), hlm.138. 20
Ibid,hlm.140. 21
Positivisme yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum.
positivisme menentukan kenyataan dasar sebagai berikut: Pertama, Tata hukum
negara tidak dianggap berlaku karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam
kehidupan sosial, bukan juga karena hukum itu bersumber dalam jiwa bangsa
(menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu
alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena itu
mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Kedua, Dalam
mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang. Dengan kata lain:
hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini
bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. Ketiga, Isi
material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan
hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isu
hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari
dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum.22
Di samping teori positivisme yuridis juga dipergunakan teori konflik yang
dikemukakan oleh Schuyt, bahwa konflik merupakan situasi yang di dalamnya dua
pihak atau lebih mengejar tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat
diselesaikan dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar
menentang tujuan-tujuan pihak lain.23
22
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, ( Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm.128-129.
23
Dalam situasi ini dibedakan antara bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
secara yuridis dan non yuridis penyelesaian konflik dapat timbul ke permukaan dalam
berbagai bentuk seperti melalui musyawarah atau perundingan. Kedua belah pihak
yang berada dalam konflik dapat menyelesaikan secara internal. Jadi kedua belah
pihak memiliki kebebasan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan baik.
Menurut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepadanya.24
Achmad Ali mendefinisikan:
Konflik adalah setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.25
Persengketaan hukum merupakan salah satu wujud dari konflik pada
umumnya. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam
masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harry C.Bredemeier:
The function of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, ’the law’(the clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation after there has been a conflict. Someone claims that his interests have been violated by someone else. The court’s task is to render a decision that will prevent the conflict – and all potential conflicts like it – from disrupting productive cooperation…26
24
Hermansyah, op.cit, hlm.131. 25
Achmad Ali, op.cit., hlm.64. 26
Menurut Bredemeier, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan
konflik-konflik. Secara tidak langsung hukum baru berfungsi setelah ada konflik-konflik. Yaitu jika
seseorang mengklaim bahwa kepentingan-kepentingannya telah diganggu oleh orang
lain. Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum barulah dimulai apabila
terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan
pihak ketiga.
Gary Goodpaster dalam ”Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa” dalam
buku Arbitrase di Indonesia mengatakan:
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. 27
Hal ini berarti dalam penyelesaian suatu konflik terdapat berbagai cara yang
dapat ditempuh oleh seseorang ataupun masyarakat. Setiap penyelesaian sengketa
mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu dalam suatu proses
penyelesaian sengketa harus diperhatikan juga kebiasaan masyarakat setempat
sehingga diperoleh suatu penyelesaian sengketa yang tepat .
Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu istilah asing yang
perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah dalam bahasa
Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti
27
Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS)28, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa
(MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan mekanisme
penyelesaian sengketa secara kooperatif.
ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to
adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut
menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi
acuan (alternative to litigation), seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, termasuk arbitrase, merupakan bagian dari ADR. Apabila ADR (di luar
litigasi dan arbitrase) merupakan bagian dari pengertian ADR sebagai alternative to
adjudication dapat meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat
konsensus atau kooperatif seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Dilihat
dari perkembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud adalah
ADR sebagai alternative to adjudication. Hal ini disebabkan keluaran (outcome)
adjudication baik pengadilan maupun arbitrase cenderung menghasilkan ”win-lose”,
bukan ”win-win”, sehingga solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang
bersengketa (mutual acceptable solution) sangat kecil tercapai.29
Istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme penyelesaian
sengketa secara konsensus hanya dapat dilakukan di luar pengadilan (out court),
sedangkan saat ini dibutuhkan juga dalam pengadilan (court annexed atau court
28
Lihat Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH memperkenalkan dan memberikan sarana penyelesaian lingkungan hidup di luar pengadilan (ADR), didayagunakan/ diefektifkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif.
29
connected). Beragam pengertian ADR dilandasi oleh pertimbangan psikologis untuk
mendapatkan dukungan terhadap penyelesaian melalui ADR dari pihak pengadilan.
ADR seolah-olah merupakan jawaban kegagalan pengadilan memberikan akses
keadilan bagi masyarakat sehingga pemasyarakatan istilah ini megundang rasa tidak
aman kecemburuan bagi insan pengadilan.30
Altschul yang dikutip oleh H.Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya ”Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” mengatakan bahwa ADR ialah ”a trial of a
case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs, avoid
publicity, and avoid lengthy trial delays”. Altschul mengatakan bahwa alternatif
penyelesaian sengketa ialah suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang
disepakati oleh para pihak dengan tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan
publisitas dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele, sedangkan Phillp
D.Bostwick (going private with the juficial system: 1995) mengatakan bahwa
Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah:” Sebuah perangkat pengalaman dan
teknik hukum yang bertujuan :31
a) Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para
pihak.
b) Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa
terjadi.
c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.
30 Ibid. 31
Jacqueline M.Nolan-Haley menjelaskan bahwa ADR “is umbrella term which
refers generally to alternatives to court adjudication of dispute such an negotiation,
mediation, arbitration, mini trial and summary jury trial”.32 Di sini Jacqueline
M.Nolan – Haley menekankan bahwa penyelesaian sengketa alternatif itu sebagai
istilah protektif yang merujuk secara umum kepada alternatif-alternatif ajudikasi
pengadilan atas konflik, tanpa menyinggung konsiliasi sebagai bentuk penyelesaian
sengketa alternatif.
Blacks Law Dictionary menjelaskan ADR adalah:
Terms refers to procedures setting dispute by means other than litigation; e.g. by arbitration, mediation, mini-trial. Such procedures which are usually less costly and more expeditious, are increasingly being used in commercial and labor dispute, divorcee action, in resolving motor vehicle and medical malpractice tort claims, and in other dispute that would likely otherwise involve court litigation.33
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternatif Penyelesaian Sengketa diartikan sebagai
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsiliasi, mediasi,
konsolidasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ADR atau APS adalah suatu proses
penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu atau
32
Jacqueline M.Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In Arbitration Nushell, (ST.Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hlm.1-2.
33
dilibatkan dalam menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi atau melibatkan pihak
ketiga yang netral.
2.Kerangka Konsepsi
Untuk menghindarkan kesalahpahaman atas berbagai istilah yang
dipergunakan, maka di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut:
1) Sengketa adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan
nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses
penyelesaian pengaduan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia tentang penyelesaian tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.34 2) Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.35
3) Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan
transaksi keuangan (walk-in customer).36
4) Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk
membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
34
Pasal 1 angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006. 35
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 36
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan
yang disengketakan.37
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.38
Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan
yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian
yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.39 Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.
2. Sumber Data
Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan
informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan
37
Pasal 1 angka 5 PBI Nomor 8/5/PBI/2006. 38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hlm.63 39
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang
digunakan terdiri dari :40
1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang
terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,
jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.
3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik
dalam tesis ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat
para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah
dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini
diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
40
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK
A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Hukum Perbankan
Hukum perbankan sebagai suatu sistem41. Jika dilihat dalam perspektif sistem
sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan peraturan hukum
yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya berkaitan satu sama
lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum per
bankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum
(norma), asas-asas hukum42, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di
dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat
keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih
(overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai
41
Tujuan hukum yang kompleks hanya mungkin diwujudkan secara baik dan nyata jika proses hukum berlangsung dengan baik dan stabil. Proses yang baik dan stabil ini hanya mungkin berlangsung jika setiap komponen hukum berfungsi dengan baik dan benar. Maka ketika pembahasan menyentuh kedua aspek hukum ini, aspek fungsi dan prosesnya, pembicaraan tidak lagi dapat dihindarkan dari keharusan untuk membicarakan totalitas dari keseluruhan komponen sistem hukum itu, dan satu-satunya pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan ini adalah pendekatan sistem atau teori sistem hukum.Lili Rasjidi, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.185.
42
persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam
sistem hukum perbankan itu sendiri.43
Sebagai suatu sistem hukum, hukum perbankan didasarkan kepada asas-asas
hukum antara lain, asas demokrasi ekonomi, asas kepercayaan, asas kehati-hatian,
asas pemerataan, asas kesejahteraan, asas-asas dalam hukum kontrak, asas-asas dalam
hukum perkreditan, dan asas-asas dalam hukum jaminan. Asas-asas tersebut terletak
pada masing-masing graduasinya yakni asas idiil, asas konstitusionil, asas politis, dan
asas teknis operasional. Asas-asas ini yang berfungsi untuk menganyam sistem
hukum perbankan dan sebagai pedoman kerja untuk melaksanakan norma hukum
perbankan serta penyelesaian konflik. Tanpa adanya ikatan asas-asas tersebut, hukum
perbankan akan mengalami ketidakjelasan dalam mencapai cita-cita dan tujuannya,
dan dapat mengakibatkan terjadinya collapse bagi norma-norma hukum perbankan.44 Dalam kerangka berpikir yuridis, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai
perlindungan hak-hak nasabah. Perlindungan ini diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang ditujukan kepada pihak yang melanggar hak tersebut
yakni bank dan pihak ketiga. Dalam kacamata hukum positif perlindungan hukum
terhadap hak-hak nasabah seharusnya diatur dalam undang-undang. 45
43
Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006, hlm.6.
44
Tan Kamello, Mediasi Perbankan, Disajikan dalam Diskusi Terbatas, Kerjasama Bank Indonesia Dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, tanggal 21 Desember 2006, hlm.2.
45
Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada setiap objek hukum. Menurut sistem
perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat
dilakukan melalui dua cara, yakni Perlindungan secara implisit (implicit deposit
protection) dan perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu
perlindungan diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat.46
Perlindungan secara implisit (implisit deposit protection), yaitu perlindungan
yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat
menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh
melalui : (1) peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan
yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh
Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah
lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada
umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko kepada nasabah. 47 Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan
melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga
46
BPHN, Departemen Kehakiman-RI Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank, (Jakarta: BPHN, 1993/1994), hlm.53.
47
apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh
melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. 48
Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank
adalah sebagai berikut:49 1) Pembuatan Peraturan Baru
Lewat pembuatan peraturan baru di bidang perbankan atau merevisi peraturan
yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan
kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan yang secara langsung maupun tidak
langsung yang bertujuan melindungi nasabah. Akan tetapi, lebih banyak lagi
diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.
2) Pelaksanaan Peraturan yang Ada
Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada nasabah adalah
dengan melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat
oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi
nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan
tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris,
atau pemegang saham dari bank yang bersangkutan.
48 Ibid. 49
3) Perlindungan Nasabah Deposan Lewat Lembaga Asuransi Deposito
Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi
deposito yang adil dan predictable ternyata dapat juga membawa hasil yang
positif.
4) Memperketat Perizinan Bank
Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu
cara agar bank tersebut agar bank tersebut kuat dan qualified sehingga dapat
memberikan keamanan bagi nasabahnya.
5) Memperketat Pengaturan di Bidang Kegiatan Bank
Ketentuan yang menyangkut kegiatan bank banyak juga yang secara langsung
atau tidak langsung bertujuan untuk melindungi pihak nasabah.
Pengaturan-pengaturan tersebut misalnya ketentuan mengenai permodalan, manajemen,
aktiva produktif, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan kesehatan bank.
6) Memperketat Pengawasan Bank
Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak
otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal ini Menteri Keuangan) harus
melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada,
baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta. Hanya saja
perlu diperhatikan di sini bahwa sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat
mencampuri secara langsung urusan intern dari bank yang diawasinya itu. Sebab,
Karena itu, harus jelas batas-batas dari ikut campur tangan Bank Indonesia
sehingga tidak mengambil porsi kewenangan dari pengurus bank tersebut.
Undang-Undang Perbankan tidak mengatur secara khusus hak-hak nasabah,
baik nasabah debitur maupun hak nasabah kreditur. Seharusnya Undang-Undang
Perbankan mengatur secara khusus tentang hak-hak nasabah, dan bukan diatur dalam
peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Perlindungan hukum bagi nasabah
seharusnya sudah dilakukan pada tahap pra kontrak sampai dengan pelaksanaan
kontrak. Pada tahap pra kontrak, pihak bank dalam menjalankan usahanya selalu
menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produk-produk bank yang cukup
menggiurkan. Tujuannya adalah untuk menarik konsumen bank agar memasuki ruang
kontrak sehingga terdapat keterikatan antara nasabah dengan banknya. Ketika
hubungan hukum antara nasabah dengan banknya mulai tercipta, maka sejak
momentum itu terbuka konflik hukum antar para pihak.50
Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pihak nasabah dibiarkan sendiri
terlunta-lunta tanpa suatu perlindungan yang predictable dan reasonable. Karena itu,
salah satu masalah yang sering dikeluhkan terus-menerus adalah tidak adanya atau
kurangnya perlindungan terhadap nasabah jika berhubungan dengan bank, baik
nasabah debitur, nasabah deposan, maupun nasabah nondebitur-nondeposan. Dalam
beberapa kasus spektakuler yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus likuidasi
Bank Summa (1984), Kasus Pidana Bank Majapahit (1983), dan kasus likuidasi 16
(enam belas) bank bermasalah (akhir tahun 1997) menunjukkan bahwa kedudukan
50
para nasabah masing-masing bank tersebut sangat krusial dan tidak terlindungi oleh
hukum. Dalam kasus-kasus biasa lainnya sehari-hari, kedudukan nasabah bank
bahkan lebih kritis berhubung tidak banyak mendapat sorotan dari masyarakat dan
kurang mendapat tanggapan dari pihak otoritas moneter yang berwenang.51
Perlindungan hukum dalam transaksi perbankan, merupakan hal yang patut
dikedepankan agar kepentingan para pihak dapat dilindungi. Wujud perlindungan
hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Penegakan hukum secara
konsepsional merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah. Upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita
hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat
berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (prilaku birokrasi
pemerintahan dan warga masyarakat). Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur
yang harus diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian
hukum.52
Kemajuan teknologi perbankan di Indonesia belakangan ini, membawa
konsekuensi masalah yang dialami konsumen perbankan berkisar pada penerapan
teknologi tersebut, misalnya penggunaan mesin ATM (Automated Teller Machine)
atau Anjungan Tunai Mandiri. Masalah yang dialami nasabah adalah mengenai
penarikan tunai (cash advenced) melalui ATM yang tidak dilakukan nasabah, tetapi
51
Munir Fuady, op.cit., hlm.99. 52
tercantum dalam perincian tagihan (billing statement) yang disampaikan pihak bank
kepada nasabah. Padahal hanya pihak bank dan nasabah saja yang tahu nomor PIN
(Personal Identification Number) kartu ATM nasabah yang bersangkutan. Yang
mengemuka di sini, kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan
keamanan pada pihak bank saja, sedangkan tidak demikian halnya bagi nasabah.
Sehingga ide pelayanan terhadap konsumen khususnya nasabah melalui teknologi
perbankan hanya menjadi semacam lip service saja.53
Perselisihan yang terjadi antara nasabah dan bank sebenarnya tidak
semata-mata masalah kartu kredit. Bank Indonesia mencatat, sengketa bank dan nasabah
meliputi masalah dana, kredit, ATM, kartu kredit, ataupun electronic banking
(e-banking). Yang menjadi masalah terbesar adalah masalah kartu kredit dan ATM.
Kasus-kasus ini sering kali terjadi karena banyak hal, antara lain kurang cermatnya
nasabah dalam menggunakan dan menjaga keamanan kartu kredit dan ATM-nya.
Untuk kartu kredit masalah yang sering dihadapi nasabah mulai dari masalah surat
penagihan hingga datangnya debt collector yang dirasakan sudah mengancam
keberadaan nasabah.54
Dalam Undang-undang Perbankan tidak ada ketentuan yang secara khusus
mengatur masalah perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah. Dalam Pasal 29
53
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2003), hlm.43.
54
ayat (1) Undang-undang Perbankan hanya disebutkan, pembinaan dan pengawasan
bank dilakukan oleh Bank Indonesia. 55
Hal ini memberi konsekuensi bagi BI untuk lebih efektif dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan bank. Sebagai lembaga pembina dan pengawas
perbankan di Indonesia, BI mempunyai peran yang besar dalam usaha melindungi
dan menjamin agar nasabah tidak melakukan tugas dan kewenangannya untuk
mengawasi pelaksanaan ketentuan perundang-undangan oleh seluruh bank yang
beroperasi di Indonesia. Pengawasan yang efektif dan baik merupakan langkah
preventif dalam meminimalisasi kasus-kasus kerugian nasabah karena tindakan
bank.56
Tak dilindunginya konsumen sebagai nasabah, sudah terasa sejak konsumen
pertama kali berhubungan dengan bank. Hubungan keduanya tidak seimbang.
Apalagi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali tidak
mengenal defenisi/rumusan nasabah. Ketika konsumen menjadi kreditur dalam
bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang
dipersamakan, tak ada agunan apapun yang diberikan bank kepada konsumen, kecuali
modal kepercayaan.57
Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
diintroduksilah rumusan nasabah dalam Pasal 1 angka 16 , yaitu pihak yang
55
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm.65. 56
Syafruddin Kalo, op.cit., hlm.10. 57
menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka berikutnya,
sebagai berikut:
“Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di
bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah
yang bersangkutan”. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998).
“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. (Pasal 1
angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).
Posisi konsumen sangatlah lemah dibandingkan dengan posisi bank.
Undang-Undang Perbankan mengatur masalah perlindungan nasabah secara sumir. Itu
tercermin dalam wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan bank. Artinya perlindungan terhadap konsumen sebagai nasabah bank,
tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga kelangsungan bank dalam sistem
perbankan nasional. Perlindungannya tidak diatur secara tegas/eksplisit.58
Perlindungan nasabah ini perlu berkaitan dengan pembentukan sebuah sistem
perbankan yang mantap, dan akhirnya bermuara pada sebuah sistem perbankan yang
efisien, kuat, dan mantap guna menciptakan stabilitas sistem keuangan yang
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu perbankan dan nasabah
58
harus memiliki hubungan yang setara untuk mendukung sistem perbankan yang
sehat.
B. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia
Sejak Januari 2004 Bank Indonesia telah memiliki sebuah blueprint mengenai
tatanan industri perbankan ke depan, yaitu Arsitektur Perbankan Indonesia. Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) adalah sebuah istilah baru di bidang perbankan nasional,
tetapi sebelum itu telah dikenal beberapa istilah lain yang mempunyai arti dan tujuan
relatif sama, yaitu blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan,
atau pemetaan perbankan nasional. 59
Tujuan utama Arsitektur Perbankan Indonesia adalah untuk menciptakan
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem
keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mengenai
pentingnya keberadaan Arsitektur Perbankan Indonesia menurut Burhanuddin
Abdullah secara kontekstual didasarkan pada tiga alasan, yaitu pertama, bank masih
merupakan institusi penting bahkan terpenting dalam menyediakan sumber dana
untuk dunia usaha. Fungsi financial intermediary bank, yakni kemampuan untuk
mengumpulkan dana masyarakat untuk kemudian membiayai pembangunan ekonomi,
menyebabkan perbankan menjadi industri yang penting. Kedua, industri perbankan
59
memiliki potensi risiko yang dapat memicu instabilisasi perekonomian suatu negara
bahkan perekonomian global. Ketiga, Arsitektur Perbankan Indonesia juga
menggambarkan upaya Bank Indonesia selaku otoritas perbankan untuk lebih
transparan dalam kebijakan perbankannya dan merupakan salah satu bentuk dari
adanya peningkatan good governance di pihak Bank Indonesia.60
Arsitektur Perbankan Indonesia pada hakekatnya merupakan sebuah rancang
bangun perbankan nasional jangka panjang. Untuk mewujudkan rancang bangun
yang dikehendaki tersebut, Bank Indonesia mengidentifikasi adanya enam pilar yang
telah dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap, yaitu:61 1. Struktur perbankan yang sehat;
2. Sistem pengaturan yang efektif;
3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4. Industri perbankan yang kuat;
5. Industri pendukung yang mencukupi;
6. Perlindungan nasabah.
Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
60
Ibid., hlm.180-181. 61
dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun
2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan
dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Apabila
dilihat dari masa berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) yaitu tahun 2001, maka
sepintas terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespons pemberlakukan
undang-undang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti perlindungan dan
pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan oleh Bank Indonesia.
Pada satu sisi, UUPK tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang
berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan,
termasuk di dalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai
ketentuan yang menyangkut aspek kehati-hatian. Sementara itu pada sisi lainnya
Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan
nasional yang salah satu aspek di dalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan
memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi pilar
keenam dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan
dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan ke dalam empat program
API, yaitu:62
a. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah
b. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen
c. Penyusunan standar transparansi informasi produk
d. Peningkatan edukasi nasabah
Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara
bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah.
Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan
memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk
keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat
mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf
hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan dan perbankan.
Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai
karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting
dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah)
bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan
biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk
62
memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai
dengan kebutuhan calon nasabah.63
Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah
ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk menangani dan menyelesaikan
berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Dalam hal ini, bank harus merespon setiap
keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan
transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk
menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar
waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan
setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa
sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa
pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank.64
Walaupun secara ideal program-program perlindungan dan pemberdayaan
nasabah seharusnya dimulai dengan edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia
merasa perlu untuk memprioritaskan program-program lainnya terlebih dahulu, yaitu
penanganan pengaduan nasabah, transparansi informasi produk perbankan, dan
pembentukan lembaga mediasi perbankan independen.
Penerbitan PBI Nomor 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
”Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan
PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
63 Ibid. 64