• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah (Studi Kasus Di PT. Bank Danamon Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah (Studi Kasus Di PT. Bank Danamon Cabang Medan)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Guna Memperleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH Suci Ananda NIM : 080200051

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Guna Memperleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH

Suci Ananda NIM : 080200051

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui Oleh : KETUA DEPARTEMEN

DR. HASIM PURBA, SH, MH.Hum NIP. 19660301985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

DR. Hasim Purba, SH, MH.Hum Yefrizawati, SH, M.Hum

NIP. 19660301985081001 NIP. 197005192002122001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

i

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan... 4

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAIALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa ... 10

B. Bentuk- bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa... 16

C. Tujuan Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa ... 28

BAB III MEDIASI DALAM PERBANKAN DI INDONESIA A. Mediasi sebagai Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 30

B. Keberadaan Perbankan di Indonesia... 32

C. Perkembangan Mediasi Perbankan di Indonesia ... 44

(4)

ii

PT. BANK DANAMON CABANG MEDAN

A. Pengaturan Mediasi dalam Hukum Perbankan... 60 B. Pelaksanaan Mediasi Pada PT. Bank Danamon, Tbk Cabang

Medan ... 63 C. Kendala Pelaksanaan Mediasi Pada PT. Bank Danamon Tbk

Cabang Medan ... 71 D. Upaya-upaya Mengatasi Kendala Pelaksanaan Mediasi ... 72 BAB V PENUTUP

(5)

iii

Suci Ananda *)1

DR. Hasim Purba, SH, MH.Hum **)2 Yefrizawati, SH, M.Hum ***)3

ABSTRAKSI

Salah satu masalah yang dihadapi oleh badan peradilan di Indonesia adalah lambatnya proses penyelesaian perkara oleh Mahkamah Agung. Mencermati penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, butuh waktu dan biaya yang cukup mahal, untuk mengantisipasi keluhan tersebut penyelesaian sengketa bisnis dapat dilakukan oleh pihak ketiga ataupun suatu lembaga swasta sebagai suatu alternatif yakni melalui lembaga arbitrase. Lembaga ini sering pula disebut lembaga perwasitan.

Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yakni UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mendefinisikan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Mekanisme yang ditawarkan mediasi nasabah dan bersifat murah, cepat dan seimbang bagi kedua pihak yang mengalami sengketa. BI mengaku masih terdapat kendala untuk menyelesaikan sengketa yang berada di daerah terpencil, namun BI berusaha mengatasinya dengan cara melakukan penyelesaian melalui telekonferensi. Untuk melindungi tabungan nasabah seoptimal, nasabah harus mencari keterangan dari bank mengenai penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan, nasabah dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan secara tertulis. Selanjutnya akan dilakukan pertemuan antara nasabah dengan bank bersangkutan serta mediator perbankan bertujuan untuk mencapai penyelesaian masalah dan mediator dipastikan bersifat netral serta tidak memberikan rekomendasi dan keputusan.

Untuk meyelesaiakan permasalahan antara nasabah dan bank perlu diadakan mediasi. Sebaiknya peraturan BI mengenai mediasi ini dilakukan perubahan sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun sekali atau sesuai dengan perkembangan sengketa dalam Perbankan.

Kata Kunci : Penyelesaian Melalui Mediasi

1

Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan FH USU

2Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan FH USU

3

(6)

1 A. Latar Belakang

Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin berkurang. Salah satu masalah yang dihadapi oleh badan peradilan di Indonesia adalah lambatnya proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Dengan penyelesaian sebanyak 8.500 perkara setiap tahunnya sedangkan penerimaan perkara yang jumlah dan besarnya selalu bertambah, dapat diperkirakan bahwa penumpukan putusan akan dapat Mahkamah Agung tidak akan dapat diselesaikan4.

Banyaknya perkara Kasasi Maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung disebabkan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung, antara lain sedapat mungkin menyelesaikan perkara di Pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan5.

Perkembangan teknologi serta kemajuan sistem perbankan tentu saja sangat menguntungkan pada era globalisasi saat ini. Tetapi tentu saja segala kemudahan tersedianya berbagai produk perbankan tidak semudah yang dibayangkan terkadang muncul berbagai masalah yang menimbulkan perselisihan antara pihak pengguna

4

Mahkamah Agung RI, 200 stee, Mediasi dan Perdamaian, disampaikan oleh H.Soeharto (Ketua Sterring ComittePenyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi, Jakarta.

5

(7)

produk perbankan dengan pihak perbankan itu sendiri.Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini akhirnya menimbulkan sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengketa mulai dikenal sejak adanya manusia, dimana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Sengketa yang timbul dalam proses pemakaian produk perbankan ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara adalah Pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah Arbitrase. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

(8)

Indonesia telah mengenal dan mengakui cara mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sejak keluarnya peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 disempurnakan dengan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata Pasal 130

Herziene Inlandsh Reglement (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, dan Pasal 154 Rechtsreglemen voor de Buitengewesten (R.Bg) yang berlaku untuk wilayah di luar Jawa dan Madura, yang pada intinya mengisyaratkan upaya perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Maka upaya penyelesaian sengketa dengan mediasi layak pilihan utama. Selain dapat merundingkan keinginan para pihak dengan jalan perdamaian, upaya mediasi tentunya akan menguntungkan pengadilan karena mengurangi tumpukan perkara.

(9)

B. Permasalahan

Dalam skripsi ini penulis memfokuskan pada proses mediasi sebagai bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa antara bank dan nasabah di Bank Danamon. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa macam permasalahan yang diangkat, antara lain :

1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi pada Bank Danamon ?

2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan mediasi pada Bank Danamon serta bagaimana solusinya ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini yang dilakukan dalam skripsi mengenai mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif antara bank dan nasabah di Bank Danamon, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan mediasi pada Bank Danamon

2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan mediasi pada Bank Danamon serta solusi yang dapat diambil.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan penulisan ini diharapkan dapat diambil manfaatnya baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak lain. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

(10)

b. Hasil penelitian dalam skripsi ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi yang jelas kepada pembaca skripsi yang pada umunya juga adalah nasabah Bank tentang mediasi perbankan, sehingga dapat memberikan penjelasan yang konkrit mengenai tata cara pelaksanaan mediasi perbankan apabila terjadi perselisihan dengan pihak Bank.

E. Metode Penelitian

Penulisan karya ilmiah data merupakan dasar utama dalam karya ilmiah, karenanya metode penelitian sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu dalam dengan penyusunan skripsi ini penulis menyusun data dengan menghimpun data-data yang ada referensinya dengan masalah yang diajukan. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini antara lain:

1. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian di wilayah Medan Jln. Zainul Arifin 2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan penelitian deskriptif, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan mediasi perbankan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa antara Bank dan Nasabah.

3. Metode Pendekatan

(11)

penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Selain itu penulis juga menggunakan metode pendekatan yuridis empiris mengenai mekanisme penyelesaian sengketa termasuk eksistensi pemilihan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian kasus sengketa perbankan.

4. Data yang digunakan

Adapun sumber data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum primer (yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat) terdiri dari:

- Norma dasar pancasila;

- Peraturan dasar, batang tubuh UUD 1945, Tap MPR; - Peraturan perundang-undangan;

- Bahan-bahan hukum yang tidak dikodifikasikan; - Jurisprudensi;

- Traktat

2) Bahan hukum sekunder (bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan, dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari bahan hukum primer), yang terdiri dari:

(12)

3) Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misal bibliografi.

b. Data Primer

Yaitu data-data yang berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti yang dimaksudkan untuk memperjelas data sekunder.

5. Metode Pengumpulan Data

a. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif karena meneliti norma-hukum yang berlaku tentang mediasi perbankan dan sengketanya.

b. Pengumpulan data yang dipergunakan dengan cara studi pustaka dan studi penelitian lapangan serta studi melalui internet.

6. Analisa data

Analisa data Keseluruhan Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara kualitatif dan diberikan penggambaran mengenai mekanisme penyelesaian kasus antara bank dengan nasabah melalui mediasi.

F. Keaslian Penulisan

(13)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penelitian skripsi.

Bab II : Tinjauan Umum Mengenai Penyelesaian Sengketa Alternatif

Bab ini menguraikan tentang sengketa dan penyelesaian sengketa, bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa, dan tujuan alternatif penyelesaian sengketa.

Bab III : Mediasi Dalam Perbankan Di Indonesia

Bab ini menguraikan tentang mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, mediasi perbankan di Indonesia, dan sengketa perbankan yang dapat diselesaikan melalui mediasi.

Bab IV : Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah Di Bank Danamon

(14)

Bab V : Penutup

Pada Bab akhir ini, penulis mengambil kesimpulan terhadap pembahasan dimulai dari Bab I sampai dengan Bab IV, dan juga memberikan saran-saran yang mungkin dapat berguna bagi perkembangan pembahasan mengenai mediasi perbankan.

(15)

10

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa

Munculnya sengketa jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian. Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan sengketa yang muncul adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli non hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengekspresikan berbagai model penyelesaian sengketa (dispute resolution). Berbagai model penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan kemaslahatan.

(16)

lebih mendahulukan kompromi dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka, dengan harapan melalui kompromi tidak ada pihak yang merasa dikalahkan/dirugikan.

Upaya manusia untuk menemukan cara-cara penyelesaian yang lebih mendahulukan kompromi, dimulai pada saat melihat bentuk-bentuk penyelesaian yang dipergunakan pada saat itu (terutama lembaga peradilan) menunjukkan berbagai kelemahan/kekurangan, seperti: biaya tinggi, lamanya proses pemeriksaan, dan sebagainya. Akibat semakin meningkatnya efek negatif dari lembaga pengadilan, maka pada permulaan tahun 1970-an mulailah muncul suatu pergerakan dikalangan pengamat hukum dan akademisi Amerika Serikat untuk mulai memperhatikan bentuk-bentuk penyelesaian hukum lain.

Negara maju seperti Amerika memulai usaha-usaha untuk menemukan bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa telah terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound

Conference) di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu pengertian dasar (basic understanding)

tentang penyelesaian sengketa saat itu.6

Macam-macam penyelesaian sengketa di Indonesia lembaga peradilan adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk

(17)

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan pada badan-badan peradilan merupakan salah satu ciri khas negara hukum.Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada setiap peradilan, hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.

(18)

Secara umum berdasarkan sifat proses dan putusannya, penyelesaian sengketa dapat dikategorikan dalam7:

1. Proses adjudikasi, dimana sifat dari penyelesaian sengketa menempatkan para pihak yang bersengketa pada dua sisi yang berhadapan (antagonistis) dan hasil putusan yang dikeluarkan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutus bersifat kalah dan menang (win-lose). Proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah peradilan (litigasi) dan arbitrase.

2. Proses konsensus, dimana sifat dari penyelesaian sengketa menempatkan para pihak pada posisi yang saling bekerja sama(cooperative)dan menggunakan asas kesepakatan dalam pengambilan keputusan baik melibatkan pihak ketiga maupun tidak, dan hasil keputusan sama-sama bersifat menang (winwin). Proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah negosiasi, mediasi konsiliasi, ombudsman dan pencari fakta bersifat netral

3. Proses adjudikasi semu, proses penyelesaian sengketa ini biasanya adalah penggabungan antara dua proses penyelesaian sengketa di atas, sehingga sifat dan hasil putusan tergantung dari pola proses yang dikolaborasikan. Adapun proses penyelesaian sengketa yang masuk dalam kategori ini adalah mediasi arbitrase, persidangan mini (mini trial), pemeriksaan juri secara sumir (summary jury trial), evaluasi netral secara dini (early neutral evaluation).

7

www.badilag.net (Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif), tanggal 12

(19)

Beberapa tahun berikutnya, Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis.Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikutberpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilansenantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasustertentu (seperti: malpraktek) diselesaikan melalui arbitrase, bahkan dibeberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebihdahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui caramediasi sebelum menempuh jalur pengadilan.

Istilah ADR(Alternative Dispute Resolution)relatif baru dikenal di Indonesia, akan tetapi sebenarnya penyelesaian-penyelesaian sengketa secara konsensus sudah lama dilakukan oleh masyarakat, yang intinya menekankan pada upaya musyawarah mufakat, kekeluargaan, perdamaian dan sebagainya. ADR mempunyai daya tarik khusus di Indonesia karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.

(20)

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Untuk itu, jika penyelesaian sengketa bisnis dipilih lewat lembaga peradilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangan, yakni pihak penggugat wajib membuktikan kebenaran dalilnya.Di samping itu, penggugat harus tahu persis di mana tempat tinggal tergugat, sebagai gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat, Asas ini dikenal dengan istilah Actor Secuitor Forum Rei8.

Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya konvensional/ tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi) manakah yang berwenang memeriksa/ mengadili suatu sengketa, sering menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan.

Pertama kali istilah ADR muncul dewasa ini juga dikenal beberapa istilah untuk ADR, antara lain : Pilihan Penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan, dan Mekanisme penyelesaian sengketa kooperatif.

8

(21)

Sebagai dasar utama dalam hal penyelesaian sengketa, secara ringkas bisa dikatakan bahwa penyelesaian sengketa bisa dilakukan dengan 2 (dua) jalur yakni jalur litigasi dan non-litigasi. Kedua jalur tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

B. Bentuk- bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa

Untuk menyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Cara-cara yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Arbitrase.

Istilah arbitrase berasal dari kata “arbitrase” (bahasa latin), yangberarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Apabila memperhatikan pengertian di atas nampak jelas bahwa lembaga arbitrase memang dimaksudkan menjadi suatu lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa tetapi tidak mempergunakan suatu metode penyelesaian yang klasik, dalam hal ini lembaga peradilan.

(22)

Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.

H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.9

H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.10

Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus pengadilan. Poin penting yang membedakan pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.

9 H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial (Nasional dan Internasional) di luar

Pengadilan, Makalah, September 1996. hal. 3.

10 H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan

(23)

Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.11

Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yakni UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mendefinisikan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Black’s Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase sebagai :

a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding”.

Sebagai catatan bahwa dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 (untuk selanjutnya disingkat UU No. 30/1999) disebutkan bahwa :

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Dengan demikian, sengketa seperti kasus-kasus keluarga atau perceraian yang hak atas harta kekayaan tidak sepenuhnya dikuasai oleh masing-masing pihak, tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.

11

(24)

Untuk cara yang pertama dan kedua dilakukan dengan mendiskusikan perbedaan-perbedaan yang timbul di antara para pihak yang bersengketa melalui “musyawarah untuk mufakat” dengan tujuan mencapai win-win solution. Jadi, apakah sengketa tersebut dapat diselesaikan atau tidak sangat tergantung pada keinginan dan itikad baik para pihak yang bersengketa. Artinya, bagaimana mereka mampu menghilangkan perbedaan pendapat di antara mereka.

Apabila penyelesaian secara damai telah disepakati olch para pihak, mereka terikat pada hasil penyelesaian tersebut. Cara ketiga adalah dengan mengajukan sengketa ke pengadilan. Cara itu kurang populer di kalangan pengusaha, bahkan kalau tidak terpaksa, para pengusaha pada umumnya menghindari penyelesaian sengketa di pengadilan. Hal ini kemungkinan disebabkan lamanya waktu yang tersita dalam proses pengadilan sehubungan dengan tahapan-tahapan (banding dan kasasi) yang harus dilalui, atau disebabkan sifat pengadilan yang terbuka untuk umum sementara para pengusaha tidak suka masalah-masalah bisnisnya dipublikasikan, ataupun karena penanganan penyelesaian sengketa tidak dilakukan oleh tenaga-tenaga ahli dalam bidang tertentu yang dipilih sendiri (meskipun pengadilan dapat juga menunjuk hakim ad hoc atau menggunakan saksi ahli). Cara penyelesaian keempat, yaitu arbitrase, merupakan pilihan yang paling menarik, khususnya bagi kalangan pengusaha. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu “pengadilan pengusaha” yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka12.

12

www.badilag.net (Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif), tanggal 12

(25)

Berbagai pengertian arbitrase yang diberikan di atas terdapat beberapa unsur kesamaan, yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan;

2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan industri dan keuangan; dan

3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding).

Pemilihan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para pihak dilandasi oleh banyaknya keuntungan yang diperoleh, antara lain:13 1) Keuntungan dari satu peradilan arbitrase sebagaimana tersebut di atas ialah

menang waktu, karena dapat dikontrol oleh para pihak sehingga kelambatan dalam proses peradilan pada umumnya dapat dihindari;

2) Disamping keuntungan tersebut, kerahasiaan proses penyelesaian sengketa suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia usaha dapat dikatakan lebih terjamin; 3) Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang tidak terletak dalam

bidang yuridis pun dapat digunakan sehingga tidak perlu terlambat karena ketentuan undang-undang mengenai pembuktian yang bersangkutan;

4) Suatu putusan arbitrase pada umumnya terjamin, tidak memihak, mantap, dan jitu karena diputuskan oleh (orang) ahli yang pada umumnya menjaga nama dan martabatnya oleh karena berprofesi dalam bidang tersebut;

13

(26)

5) Keuntungan yang lain ialah peradilan arbitrase potensial menciptakan profesi yang lain, yaitu sebagai arbiter yang merupakan faktor pendorong untuk para ahli lebih menekuni bidangnya untuk mencapai tingkat paling atas secara nasional.

Selain keuntungan itu ada juga kelemahan dari proses alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, sehingga para pihak yang bersengketa memilih mediasi sebagai media untuk menyelesaiakan sengketa mereka. Kelemahan arbitrase antara lain :14

1. Pemutusan perkara baik melalui pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok ke belakang, berciri pertentangan dan berdasar hak-hak. Artinya, bila para pihak melitigasi suatu sengketa prosedur pemutusan perkara diatur ketentuan-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan hak serta kewajiban legal masing-masing pihak akan menentukan hasilnya.

2. Kelemahan-kelemahan dalam penyelesaian sengketa secara litigasi di negara-negara Barat dan Timur antara lain memakan waktu yang lama, memakan biaya yang tinggi, dan merenggangkan hubungan pihak-pihak yang bersengketa.

2. Negosiasi

Kata negosiasi pada umumnya dipakai untuk suatu pembicaraan atau perundingan dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan antara, para peserta tentang hal yang dirundingkan. Hal yang sama dikemukakan oleh C. Chatterjee pada saat menyatakan:

14

(27)

To negotiate means to ‘holdcommunication or conference for the purpose of arranging some matter bymutual agreement, to discuss a matter with a view to some

settlement or compromise”.15

Dari dua pengertian di atas dapat diketahui bahwa negosiasi merupakan suatu proses pembicaraan atau perundingan mengenai suatu hal tertentu untuk mencapai suatu kompromi atau kesepakatan di antara para pihak yang melakukan negosiasi.

Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Jadi, negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari. Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 alasan, yaitu:

(1) untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa); dan

(2) untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak. Menurut Howard Raiffia, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono16, ada beberapa tahapan negosiasi, yaitu:

1. Tahap persiapan, dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang dipersiapkan adalah apa yang dibutuhkan/diinginkan. Dengan kata lain, kenali dulu kepentingan sendiri sebelum mengenali kepentingan orang lain. Tahap ini

15

Chatterjee C, (2000), Negotiations Techniques in International Commercial, Ashgate Publishing, England, 2000, hlm. 1-2

16

(28)

sering diistilahkan know yourself. Dalam tahap persiapan juga perlu ditelusuri berbagai alternatif lainnya apabila alternatif terbaik atau maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (best alternative to a negotiated agreement);

2. Tahap Tawaran Awal (Opening Gambit), dalam tahap ini biasanya perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pertanyaan siapakah yang harus terlebih dahulu menyampaikan tawaran. Apabila pihak pertama menyampaikan tawaran awal dan pihak kedua tidak siap (ill prepared),

terdapat kemungkinan tawaran pembuka tersebut mempengaruhi persepsi tentang

reservation price dari perunding lawan.

3. Tahap Pemberian Konsesi (The Negotiated Dance), konsesi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh perunding lawan. Dalam tahap ini seorang perunding harus dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresifitas serta harus bersikap manipulatif.

4. Tahap Akhir (End Play), Tahap akhir permainan adalah pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.

Lebih lanjut Howard Raiffia menyatakan, agar suatu negosiasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil, ada beberapa kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:

1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran penuh

(willingness);

2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);

(29)

4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power);

5. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.

3. Mediasi

Mediasi adalah proses pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka17.

Mediasi dapat juga diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Tetapi sebenarnya mediasi sulit didefinisikan karena pengertian tersebut sering digunakan oleh para pemakainya dengan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Misalnya, di beberapa negara, karena pemerintahnya menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi penyelesaian sengketa komersial, banyak lembaga lain menyebut dirinya sebagai lembaga mediasi. Jadi, disini mediasi sengaja

17

Goodpaster, Gary, (1995), Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, artikel dalam

(30)

dirancukan dengan istilah lainnya, misalnya konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi, atau bahkan arbitrase.

Menurut Kovach, sebagaimana dikutip oleh Suyud Margono mediasi yaitu: “facilitated negotiation. It process by which a neutral third party, the mediator,

assist disputing parties in reaching a mutually satisfaction solution”.18

Dari rumusan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan; 2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam

perundingan;

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung;

Diharapkan dengan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat dicapai tujuan utama dari mediasi tersebut yakni :

a. Membantu mencarikan jalan keluar/alternatif penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.

b. Dengan demikian proses negosiasi sebagai proses yang forward lookingdan bukan

backward looking, yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau

18

(31)

dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah. “The goal is not truth finding or law imposing, but problem solving” (Lovenheim, 1996 : 1.4).

Sebagai tambahan dari tujuan utama mediasi yang perlu juga dijadikan acuan mempertimbangkan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah :

a. Melalui proses mediasi diharapkan dapat dicapai terjalinnya komunikasi yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa.

b. Menjadikan para pihak yang bersengketa dapat mendengar, memahami alasan/penjelasan/argumentasi yang menjadi dasar/pertimbangan pihak yang lain. c. Dengan adanya pertemuan tatap muka, diharapkan dapat mengurangi rasa

marah/bermusuhan antara pihak yang satu dengan yang lain.

d. Memahami kekurangan/kelebihan/kekuatan masing-masing, dan hal ini diharapkan dapat mendekatkan cara pandang dari pihak-pihak yang bersengketa, menuju suatu kompromi yang dapat diterima para pihak.

Ada beberapa sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi, antara lain: 1. Mediasi dapat diterapkan dan dipergunakan sebagai cara penyelesaian sengketa

diluar jalur pengadilan (“Out of court Settlement”) untuk sengketa perdata yang timbul diantara para pihak, dan bukan perkara pidana. Dengan demikian, setiap sengketa perdata dibidang perbankan (termasuk yang diatur dalam PBI No.8/5/PBI/2006) dapat diajukan dan untuk diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan.

(32)

tetap merupakan cakupan dari lembaga mediasi yakni sengketa-sengketa dibidang perdata. Namun demikian, dalam praktek seringkali para pihak sepakat bahwa penyelesaian sengketa perdata yang disepakati dengan musyawarah mufakat (melalui mediasi), akan dituangkan dalam suatu perjanjian perdamaian, dan dipahami juga bahwa walau para pihak tidak dapat dibenarkan membuat perjanjian perdamaian bagi perkara pidana mereka dapat menggunakan perjanjian perdamaian atas sengketa perdata mereka sebagai dasar untuk dengan itikad baik sepakat tidak melanjutkan perkara pidana yang timbul diantara mereka dan/atau mencabut laporan perkara pidana tertentu, sebagaimana dimungkinkan.

4. Konsiliasi

Seperti halnya mediasi, konsiliasi (conciliation) juga merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan suatu penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam proses negosiasi dibandingkan seorang mediator. Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain.19

19

Munirm Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya

(33)

C. Tujuan Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme Alternaltif Penyelesaian Sengketa atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.

Mas Achmad Santosa (1999) mengemukakan sekurang-kurangnya ada5 faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia, yaitu20:

1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman modal ke Indonesia. Kepastian hukum termasuk ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang efisien dan reliable merupakan faktor penting bagi pelaku ekonomi mau menanamkan modalnya di Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis keraguan calon investor tentang keberadaan forum penyelesaian sengketa yang reliable

(mampu menjamin rasa keadilan);

20

(34)

2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan;

3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan (termasuk pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik). Hak masyarakat berperan serta dalam penetapan kebijakan publik tersebut menimbulkan konsekuensi diperlukannya wadah atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk mewadahi perbedaan pendapat (conflicting opinion) yang muncul dari keperansertaan masyarakat tersebut;

4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga peradilan. Kehadiran lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alternatif dan kasasi pengadilan (tribunal) apabila sifatnya pilihan (optional), maka akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelesaian sengketa tertentu. Kehadiran pembanding (peer) dalam bentuk lembaga penyelesaian sengketa alternatif ini diharapkan mendorong lembaga-lembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat;

5. Sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan.

(35)

30

A. Mediasi sebagai Penyelesaian Sengketa Alternatif

Dalam alternatif penyelesaian sengketa proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa secara non litigasi. Defenisi mediasi yakni proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan21.

Lovenheim memberikan penjelasan mediasi sebagai sebuah proses dimana ada dua atau lebih orang berada pada sebuah sengketa yang bersamaan, saling berusaha mencari jalan keluar sebagai sebuah solusi untuk permasalahan mereka yang oleh 3 (tiga) orang yang netral disebut mediator.

Tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2005, angka 5 defenisi “Mediasi” adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.

21

(36)

Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu sengketa yang diselesaikan melalaui jalur mediasi akan dapat diselesaikan, kecuali hal tersebut disepakati/disetujui bersama oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman mengenai mediasi ini, mediasi dapat dikaitkan dengan 2 (dua) unsur mediasi, antara lain22:

1. Dalam suatu proses mediasi akan dijumpai adanya dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa. Dengan demikian jika dalam suatu proses mediasi hanya dijumpai adanya suatu pihak yang bersengketa, maka hal itu menjadikan tidak terpenuhinya unsur-unsur pihak-pihak yang bersengketa.

2. Adanya “Mediator” yang membantu mencoba menyelesaikan sengketa diantara para pihak. Sebaiknya mediator memiliki kriteria sebagai berikut agar proses mediasi dapat berjalan dengan semestinya, kriteria tersebut antara lain :

a. Mediator harus mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan dengan bidang masalah yang disengketakan. Mengenai syarat-syarat pengangkatan mediator dapat dipergunakan syarat-syarat pengangkatan Arbiter sebagaimana termaktub dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

b. Mediator harus mempunyai kemampuan dan keahlian sehubungan dengan bidang/masalah yang disengketakan.

c. Mediator juga tidak boleh mempunyai benturan kepentingan/hubungan afiliasi dengan pihak-pihak dalam sengketa masalah yang disengketakan.

22

(37)

Keberadaan mediator dalam proses mediasi tentu saja memiliki perbedaan dengan hakim sebagai arbiter di pengadilan. Seorang mediator tidak dalam posisi (tidak mempunyai kewenangan) untuk memutus sengketa para pihak. Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa agar dapat mencapai suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan tentang hal-hal yang disengketakan.

Tujuan utama diberlakukannya alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah membantu mencarikan jalan keluar/alternatif penyelesaian atas sengketa yang timbul diantara para pihak yang disepakati dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian proses negosiasi adalah proses yang

forward looking dan bukan backward looking. Yang hendak dicapai bukanlah mencari kebenaran dan/atau dasar hukum yang diterapkan namun lebih kepada penyelesaian masalah.

B. Keberadaan Perbankan di Indonesia

Usaha perbankan dimulai dari zaman Babylonia, dilanjutkan ke zaman Yunani Kuno dan Romawi. Pada saat itu, kegiatan utama bank hanya sebagai tempat tukar menukar uang. Selanjutnya, kegiatan bank berkembang menjadi tempat penitipan dan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh bank dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkannya23.

Sementara itu, mengenai sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang

23

(38)

memegang peranan penting di Hindia Belanda antara lain: De Javasche NV, De Post Paar Bank, De Algemenevolks Crediet Bank, Nederland Handles Maatscappij

(NHM), Nationale Handles Bank (NHB), dan De Escompto Bank NV24. Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik pribumi, Cina, Jepang, dan Eropa lainnya. Bank-Bank tersebut antara lain: Bank-Bank Nasional Indonesia, Bank-Bank Abuah Saudagar, NV Bank-Bank Boemi, The Matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank25.

Di zaman kemerdekaan perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan, antara lain26:

a. Bank Negara Indonesia yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 kemudian menjadi BNI 1946.

b. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari DE ALGEMENE VOLKCREDIETBank atau Syomin Ginko.

c. Bank Surakarta MAI (Maskapai Adil Makmur) tahun 1945 di Solo. d. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.

e. Bank Dagang Nasional Indonesiatahun 1946 di Medan.

f. Indonesia Banking Corporation tahun 1946 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.

g. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.

h. Bank Dagang Indonesia NV di Banjarmasin tahun 1949.

24

ibid

25

ibid

26

(39)

Sistem perbankan pada hakekatnya merupakan bagian dari sistem keuangan yang mempunyai cakupan luas yaitu lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi, instrumen keuangan seperti saham, obligasi, surat berharga pasar uang,

treasury note, dan pasar sebagai tempat perdagangan instrumen keuangan seperti bursa saham dan pasar uang antar bank. Lembaga keuangan memberikan jasa intermediasi berupa jembatan antara surplus unit dengan defisit unit dalam ekonomi, dan semua bank termasuk golongan ini.

Secondary financial intermediation, adalah lembaga keuangan yang memanfaatkan dana pinjaman dari lembaga keuangan lain, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah lembaga keuangan bukan bank. Jelaslah, bahwa lembaga keuangan terdiri atas bank, lembaga keuangan bukan bank, di antaranya lembaga pembiayaan pembangunan, lembaga perantara penerbitan dan perdagangan surat-surat berharga dan lembaga keuangan jenis lain, seperti asuransi, dana pensiun, modal ventura, dan leasing27.

Menurut G.M Veryn Stuart,

“Bank diartikan sebagai suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukaran baru berupa uang-uang giral.”28

27

ibid

28

(40)

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perbankan mendefenisikan bank sebagai berikut:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat berbentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Pengertian bank dapat disimpulkan sebagai suatu lembaga keuangan berbentuk badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang kemudian simpanan tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit.

Dalam melaksanakan kemitraannya antara bank dan nasabah perlu dilandasi beberapa asas hukum supaya tercipta suatu kemitraan yang baik. Beberapa asas hukum tersebut antara lain :

a. Asas Demokrasi Ekonomi

Asas ini secara tegas ada dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian.”

b. Asas Kepercayaan

Dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, menurut Sutan Remy Syahdani:

(41)

hubungan antara kreditur dan debitur bukan hanya secara kontekstual semata melainkan hubungan berdasarkan kepercayaan.”29

c. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)

Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman bank wajib merahasiakan.

d. Asas kehati-hatian (Prudental Principle)

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercaya.

Sesuai Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perbankan, perbankan mempunyai fungsi pokok sebagai financial intermediasi atau lembaga perantara keuangan serta mempunyai fungsi tambahan memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Iswantoro, bank mempunyai fungsi sebagai berikut:

a) Mengumpulkan dana yang sementara menganggur untuk dipinjamkan kepada pihak lain atau membeli surat-surat berharga (Financial Investment);

b) Mempermudah di dalam lalu lintas pembayaran uang;

c) Menjamin keuangan masyarakat yang sementara tidak digunakan;

d) Menciptakan kredit (Credit Money Deposit) yaitu dengan cara menciptakan

Demand Deposit (deposit yang dapat diuangkan sewaktu-waktu dari kelebihan cadangan)excess reserves.30

29

(42)

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan diatur tentang tujuan Perbankan Indonesia adalah menunjang pelaksanaan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan/pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Menurut Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 5, dikenal 2 (dua) jenis bank yaitu:

a. Bank Umum

Bank umum menurut Pasal 1 ayat (3) dan (4) Undang-Undang perbankan diartikan sebagai Bank yang dapat melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

b. Bank Perkreditan Rakyat

Adalah bank yang dapat melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Menurut fungsinya, bank dibagi 3 (tiga) jenis yaitu:

1. Bank Sentral yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

2. Bank Umum yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

3. Bank Perkreditan Rakyat yaitu bank yang dapat menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

30

(43)

4. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Yang dimaksud dengan mengkhususkan kegiatan tertentu antara lain: melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/usaha kecil, pengembangan ekspor non migas dan pengembangan pembangunan perumahan.31

Dasar hukum bagi kegiatan bank umum adalah : - Undang-Undang Perbankan

- Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum tanggal 13 Mei 1999

- Pasal 1 angka 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 Undang-Undang Perbankan Dalam Pasal 6 Undang-Undang Perbankan, disebutkan usaha bank umum meliputi:

a) Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro berjangka, sertifikat deposito dan tabungan.

b) Memberikan kredit.

c) Memberikan surat pengakuan hutang.

d) Membeli, menjual atau menjamin resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

e) Memindahkan uang bank untuk kepentingan sendiri maupun nasabah.

31

(44)

f) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.

g) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.

h) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

i) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan lain berdasarkan suatu kontrak.

j) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam surat berharga yang tercatat di bursa efek.

k) Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut dicairkan secepatnya.

l) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.

m) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.

n) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana tersebut di atas, bank umum dapat pula :

(45)

b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementarauntuk mengatasi akibat kegagalan kredit dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yagn ditetapkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai

peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

Dasar hukum bagi kegiatan Bank Perkreditan Rakyat adalah: - Undang-Undang Perbankan

- Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah tanggal 12 Mei 1999

- Pasal 1 angka 4, Pasal 13, Pasal 14 Undang-Undang Perbankan Kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Memberikan kredit.

c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yagn ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

(46)

Kegiatan berbagai bank sebelum diberlakukan Undang-undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953 sangat beragam. Bank-bank pemerintah umumnya masih berbenah diri, misalnya BNI pada periode ini masih aktif membantu para pengusaha pendatang baru melalui sistem importir benteng melalui fasilitas devisa, kredit bank dan subsidi pemerintah. Bank Rakyat Indonesia gencar mendorong pertumbuhan bank desa, dari 1769 buah di tahun 1951 menjadi 4640 buah tahun 1954.

Pada periode yang sama, Bank Industri Negara berhasil meningkatkan pemberian pinjaman dari Rp. 130 juta, menjadi Rp. 426 juta, terutama untuk industri gula. Setelah aktif kembali Bank Tabungan Pos memberi pinjaman pada pemerintah daerah untuk pembiayaan pembangunan pasar, penyaluran tenaga listrik, dan pembangunan stasiun bis. Bank-bank asing masih terlihat dominan memberi kredit pada debitur asing hingga sebesar 78 % dan hanya porsi kecil yang didapat debitur nasional.

(47)

Perkembangan kegiatan Perbankan setelah Undang-undang No. 11 tahun 1953, semakin dinamis misalnya32:

- Bank BNI berhasil mencatat kenaikan kredit rata-rata 62% pertahun, dari Rp. 160 juta, ditahun 1955 mencapai Rp. 380 juta tahun 1959, bahkan ikut mendirikan badan usaha seperti Maskapai Asuransi Indonesia, perusahaan pelayaran Jakarta Loyd.

- BRI juga mampu meningkatkan kredit 18% sepanjang tahun 1958 dan 24% tahun 1959 melalui 118 kantor cabangnya.

- Bank Industri Negara mampu meningkatkan gironya 31% per tahun, yaitu dari Rp. 340 juta tahun 1956 menjadi Rp. 552 juta pada tahun 1958, sementara itu kreditnya naik 62% pertahun, dari Rp. 515 juta tahun 1955 menjadi Rp. 1.844 juta di tahun 1959. Dalam rangka menambah modal bank, telah diterbitkan obligasi, yang selain dijual melalui Bursa Efek Jakarta juga berhasil diperdagangkan melalui Bursa Efek Belanda.

- Bank Koperasi, Tani dan Nelayan memfokuskan kegiatannya membantu petani, buruh tani dan nelayan agar terlepas dari jeratan lintah darat dan mampu mengembangkan usahanya.

- Bank Tabungan Pos dana tabungan yang dipelihara meningkat dari Rp. 214 juta pada tahun 1955 menjadi Rp. 489 juta di tahun 1959, kemudian ditanamkan dalam bentuk obligasi pemerintah, bilyet perbendaharaan negara.

32

(48)

- Bank swasta nasional mampu meningkatkan pemberian kredit kepada nasabahnya, dari Rp 529,2 juta tahun 1955 naik menjadi Rp. 1.481,3 juta tahun 1959 atau naik sebanyak 280%.

Bank-bank asing yang mendominasi pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan asing, perannya makin menurun karena terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda disamping itu perusahaan Belanda dinasionalisasi. Sistem pengawasan perbankan Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, di jaman Hindia Belanda, sistem pengawasan belum terbentuk. De Javasche Bank, sebagai bank sirkulasi waktu itu, tugasnya hanya sampai tingkat analisis dari laporan berkala bank-bank yang diserahkan secara sukarela. Setelah dinasionalisasi tahun 1951, kondisi ini masih sama, karena yang berubah hanya kepemilikannya saja, dan tidak tugasnya.

Mengingat aktivitas bank sebagai penghimpun dana masyarakat, maka patut mendapat pengawasan ketat. Pengawasan dilakukan berdasarkan UU No. 11/1953 mulai dari pemberian sampai dengan pencabutan ijin. Wewenang dalam pengawasan terhadap bank meliputi berbagai tahap yaitu :

2. Perizinan, diteliti dan diperiksa apakah bank tersebut sudah memiliki ijin operasi, sebelum melakukan segala aktifitasnya.

3. Pengaturan, diterapkan aturan-aturan yang ketat agar pengoperasian bank terbebas dari penyimpangan kebijakan yang merugikan nasabah.

(49)

bila terbukti terjadi pelanggaran berat. Pengawasan yang efektif dalam bentuk ketetentuan pelaksanaan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1955, yang didasarkan pada Undang-undang No.11/1953.oleh oleh sebab itu, UU No.11/1953 dan PP No.1/1955 sering disebut tonggak sejarah perkembangan pengawasan perbankan di Indonesia.Dikemudian hari kedua peraturan ini kelak disempurnakan melalui UU No.14/1967 dan UU No.7/1992.

Dua hal yang menonjol dalam sejarah dan perkembangan perbankan Indonesia hingga 1959 adalah dimulainya sistem pengawasan bank tahun 1955 dan menurunnya peran bank asing dalam pembiayaan sektor swasta. Sehingga bank-bank nasional semakin giat berkiprah dalam pembangunan ekonomi nasional.

C. Perkembangan Mediasi Perbankan di Indonesia

Lembaga mediasi perbankan telah disosialisasikan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, sehingga dengan demikian Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah dan cepat dalam hal penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang belum dapat memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.

(50)

a. Bahwa penyelesaian pengaduan nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan berpotensi menimbulkan sengketa di bisang perbankan antara nasabah dengan bank

b. Bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan resiko reputasi bagi bank

c. Bahwa penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank dapat dilakukan secara sederana, murah dan cepat melalui cara mediasi.

Sebelum dikeluarkannya PBI tentang mediasi perbankan, berdasarkan kajian BI ada lima alternatif model lembaga mediasi yang bisa dibentuk, yaitu:33

1. Lembaga mediasi dibentuk BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi.

2. Lembaga mediasi dibentuk BI dengan kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi.

3. Lembaga mediasi dibentuk diluar BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi.

4. Badan Arbitrase Perbankan Indonesia (BAPI) di luar BI yang mengakomodasi fungsi mediasi dan arbitrase.

5. BAPI di luar BI yang hanya melaksanakan fungsi arbitrase.

Lembaga mediasi yang dibentuk di luar BI diharapkan terdapat di setiap ibu kota provinsi atau minimal wilayah kerja kantor BI kelas satu dan dua. Untuk

(51)

pembentukan badan arbitrase, BI masih terkendala belum diaturnya hal itu dalam UU Perbankan.34

Jika menelaah PBI No.8/5/PBI/2006 dan No.10/1/PBI/2008 terlihat bahwa model ketiga yang dipilih oleh BI yakni lembaga mediasi terbentuk di luar BI tanpa kewenangan melakukan verifikasi dan investigasi. Hal ini dapat disimpulkan dari beberapa pasal PBI tersebut sebagai berikut:

1. Pasal 1 angka 5, Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.

2. Pasal 3 ayat 1, menyebutkan bahwa mediasi perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. 3. Pasal 3 ayat 4, menyebutkan bahwa sepanjang lembaga mediasi perbankan

independen belum dibentuk, fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh BI 4. Fungsi mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh BI terbatas pada upaya

membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan, hal ini tercantum dalam Pasal 4. Pada penjelasan Pasal 4 bahwa yang dimaksud dengan “membantu nasabah dan bank” adalah BI memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.

34

(52)

Persyaratan pengajuan mediasi perbankan untuk penyelesaian sengketa perbankan dapat disampaikan kepada BI oleh nasabah atau perwakilan nasabah dengan persyaratan sebagai berikut:35

1. Pernah diajukan upaya penyelesaian sengketa oleh nasabah kepada bank (Pasal 8 angka 2).

2. Tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga mediasi lainnya (Pasal 8 angka 3).

3. Merupakan sengketa keperdataan (Pasal 8 angka 3), dan nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan jumlah maksimal Rp. 500 juta (Pasal 6 ayat 1). Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan/atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntuan finasial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial (Pasal 6 ayat 2). Yang dimaksud dengan kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

4. Belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang difasiliatasi oleh BI (Pasal 8 ayat 5).

5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 hari kerja yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah (Pasal 8 ayat 6).

35

(53)

6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga mediasi perbankan secara tertulis dan dilengkapi dokumen pendukung lainnya (Pasal 8 ayat 1). Permohonan yang dilengkapi dokumen pendukung disampaikan kepada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Indonesia (Pasal 15). Tata cara proses pelaksanaan mediasi perbankan, sebagai berikut:

1. Sebelum melakukan proses mediasi, nasabah dan bank harus menandatangani perjanjian mediasi yang memuat (Pasal 9) :

ii. Kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa; dan

iii. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi

Bank Indonesia selaku mediator akan memfasilitasi pertemuan antara bank dengan nasabah guna mencari penyelesaian. Dalam pertemuan tersebut mediator akan:

i. Bersikap netral

ii. Memotivasi para pihak untuk menyelesaikan sengketa

iii. Tidak memberikan rekomendasi atau keputusan. Hasil penyelesaian terhadap sengketa merupakan kesepakatan antara nasabah dengan bank. 1. Apabila dicapai kesepakatan, maka nasabah dan bank akan

(54)

berdasarkan kesepakatan nasabah/perwakilan nasabah dan bank (Pasal 11 ayat 2).

2. Apabila tidak dicapai kesepakatan, nasabah dapat melakukan upaya penyelesaian lanjutan melalui arbitrase atau pengadilan.

Bank dapat dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998, berupa teguran tertulis dan dapat diperhitungkan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan bank, apabila:

a. bank tidak memenuhi panggilan Bank Indonesia dalam hal nasabah/perwakilan nasabah mengajukan persyaratan sengketa kepada Bank Indonesia.

b. bank tidak mengikuti dan mentaati perjanjian mediasi yang telah ditandatangani oleh nasabah/perwakilan nasabah dan bank.

c. bank tidak melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam akta kesepakatan.

d. bank tidak mempudlikasikan kepada nasabah adanya sarana alternatif penyelesaian sengketa di bidang perbankan dengan cara mediasi.

(55)

mengeluarkan PBI No.10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan.

Perubahan yang diatur dalam No.10/1/PBI/2008 meliputi :

1. Menghapus Pasal 3 ayat (2) PBI No.8/5/PBI/2006 mengenai pembentukan lembaga mediasi perbankan independen selambat-lambatnya 31 Desember 2008. Jadi dengan dikeluarkannya PBI No.10/1/PBI/2008, maka tidak ada lagi penentuan batas waktu pembentukan lembaga mediasi perbankan;

2. Mengubah Pasal 15 PBI No.8/5/PBI/2006 mengenai alamat Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia dari semula di Menara Radius Prawiro Lantai 19 Jalan MH Thamrin No.2 Jakarta 10110 menjadi Jalan MH Thamrin No.2 Jakarta 10350.

Dalam proses pembentukan mediasi perbankan ini ada beberapa proses yang menyebabkan Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) ini mengalami kelemahan, hal ini juga mengakibatkan lambatnya proses pembentukan LMP ini. Ada 3 (tiga) hal yang menjadi kelemahan dari peraturan mediasi perbankan, antara lain:

1. Pembentukan LMP diserahkan kepada asosiasi

2. Terlaksananya mediasi perbankan tergantung oleh bank 3. Efektivitas akta kesepakatan mediasi

(56)

diserahkan oleh asosiasi perbankan, maka akan mengalami kesulitan. Ini terbukti hingga 31 Desember 2007 LMP belum juga terbentuk disebabkan oleh :36

1. Target pemenuhan modal minimum bank umum menjadi 80 Milyar pada akhir tahun 2007 tampaknya berdampak pada sebagian kegiatan perbankan nasional. Akibatnya, beberapa proyk berbasis perbankan menjadi terbengkalai, salah satunya adalah pembentukan lembaga mediasi perbankan37.

Sedianya lembaga bentukan beberapa organisasi perbankan nasional it

Referensi

Dokumen terkait

Apabila posisi-posisi tersebut melebihi daerah batas penelusuran yang telah ditentukan, yaitu batas kiri, batas atas, batas kanan dan batas bawah maka nilai integer warna diisi

[r]

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan penguasaan kemampuan matematika siswa pada materi fungsi, dan mendeskripsikan kemampuan penalaran dan

DIES TRINI ANUGERAHING WIDI SMP NEGERI 32 SURABAYA 4B 26 4B 26 SKTP

(1985) Learning strategies used by beginning and intermediate ESL students . Language Learning,

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Tepung Kaki Ayam Broiler sebagai Substitusi Tepung Ikan di dalam Ransum Terhadap Ketebalan Kerabang, Kadar Protein dalam

PT.  Swari  Andini  merupakan  perusahaan  yang  bergerak  dalam   general  trading