• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam

BAB II : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM

A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam

Hukum perbankan sebagai suatu sistem41. Jika dilihat dalam perspektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum per bankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum (norma), asas-asas hukum42, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai

41

Tujuan hukum yang kompleks hanya mungkin diwujudkan secara baik dan nyata jika proses hukum berlangsung dengan baik dan stabil. Proses yang baik dan stabil ini hanya mungkin berlangsung jika setiap komponen hukum berfungsi dengan baik dan benar. Maka ketika pembahasan menyentuh kedua aspek hukum ini, aspek fungsi dan prosesnya, pembicaraan tidak lagi dapat dihindarkan dari keharusan untuk membicarakan totalitas dari keseluruhan komponen sistem hukum itu, dan satu-satunya pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan ini adalah pendekatan sistem atau teori sistem hukum.Lili Rasjidi, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.185.

42

Asas-asas hukum secara reflektif meletakkan perkaitan antara nilai-nilai (tata nilai), pokok-pokok pikiran, perlibatan moril dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. Asas-asas hukum memiliki perkaitan dengan hukum positif dalam artian bahwa aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar belakang asas-asas hukum yang selaras dengan atau terkait pada hukum positif. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Alih Bahasa Tristam P.Moeliono, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.84.

persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.43

Sebagai suatu sistem hukum, hukum perbankan didasarkan kepada asas-asas hukum antara lain, asas demokrasi ekonomi, asas kepercayaan, asas kehati-hatian, asas pemerataan, asas kesejahteraan, asas-asas dalam hukum kontrak, asas-asas dalam hukum perkreditan, dan asas-asas dalam hukum jaminan. Asas-asas tersebut terletak pada masing-masing graduasinya yakni asas idiil, asas konstitusionil, asas politis, dan asas teknis operasional. Asas-asas ini yang berfungsi untuk menganyam sistem hukum perbankan dan sebagai pedoman kerja untuk melaksanakan norma hukum perbankan serta penyelesaian konflik. Tanpa adanya ikatan asas-asas tersebut, hukum perbankan akan mengalami ketidakjelasan dalam mencapai cita-cita dan tujuannya, dan dapat mengakibatkan terjadinya collapse bagi norma-norma hukum perbankan.44

Dalam kerangka berpikir yuridis, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan hak-hak nasabah. Perlindungan ini diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang ditujukan kepada pihak yang melanggar hak tersebut yakni bank dan pihak ketiga. Dalam kacamata hukum positif perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah seharusnya diatur dalam undang-undang. 45

43

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006, hlm.6.

44

Tan Kamello, Mediasi Perbankan, Disajikan dalam Diskusi Terbatas, Kerjasama Bank Indonesia Dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, tanggal 21 Desember 2006, hlm.2.

45

Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada setiap objek hukum. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui dua cara, yakni Perlindungan secara implisit (implicit deposit

protection) dan perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu

perlindungan diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat.46

Perlindungan secara implisit (implisit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui : (1) peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko kepada nasabah. 47

Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga

46

BPHN, Departemen Kehakiman-RI Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank, (Jakarta: BPHN, 1993/1994), hlm.53.

47

Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm.133-134.

apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 48

Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut:49

1) Pembuatan Peraturan Baru

Lewat pembuatan peraturan baru di bidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan melindungi nasabah. Akan tetapi, lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.

2) Pelaksanaan Peraturan yang Ada

Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank yang bersangkutan.

48 Ibid. 49

3) Perlindungan Nasabah Deposan Lewat Lembaga Asuransi Deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata dapat juga membawa hasil yang positif.

4) Memperketat Perizinan Bank

Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut agar bank tersebut kuat dan qualified sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya.

5) Memperketat Pengaturan di Bidang Kegiatan Bank

Ketentuan yang menyangkut kegiatan bank banyak juga yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk melindungi pihak nasabah. Pengaturan-pengaturan tersebut misalnya ketentuan mengenai permodalan, manajemen, aktiva produktif, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan kesehatan bank.

6) Memperketat Pengawasan Bank

Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal ini Menteri Keuangan) harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta. Hanya saja perlu diperhatikan di sini bahwa sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara langsung urusan intern dari bank yang diawasinya itu. Sebab, pengendalian bank tersebut tetap menjadi kewenangan pengurus bank tersebut.

Karena itu, harus jelas batas-batas dari ikut campur tangan Bank Indonesia sehingga tidak mengambil porsi kewenangan dari pengurus bank tersebut.

Undang-Undang Perbankan tidak mengatur secara khusus hak-hak nasabah, baik nasabah debitur maupun hak nasabah kreditur. Seharusnya Undang-Undang Perbankan mengatur secara khusus tentang hak-hak nasabah, dan bukan diatur dalam peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Perlindungan hukum bagi nasabah seharusnya sudah dilakukan pada tahap pra kontrak sampai dengan pelaksanaan kontrak. Pada tahap pra kontrak, pihak bank dalam menjalankan usahanya selalu menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produk-produk bank yang cukup menggiurkan. Tujuannya adalah untuk menarik konsumen bank agar memasuki ruang kontrak sehingga terdapat keterikatan antara nasabah dengan banknya. Ketika hubungan hukum antara nasabah dengan banknya mulai tercipta, maka sejak momentum itu terbuka konflik hukum antar para pihak.50

Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pihak nasabah dibiarkan sendiri terlunta-lunta tanpa suatu perlindungan yang predictable dan reasonable. Karena itu, salah satu masalah yang sering dikeluhkan terus-menerus adalah tidak adanya atau kurangnya perlindungan terhadap nasabah jika berhubungan dengan bank, baik nasabah debitur, nasabah deposan, maupun nasabah nondebitur-nondeposan. Dalam beberapa kasus spektakuler yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus likuidasi Bank Summa (1984), Kasus Pidana Bank Majapahit (1983), dan kasus likuidasi 16 (enam belas) bank bermasalah (akhir tahun 1997) menunjukkan bahwa kedudukan

50

para nasabah masing-masing bank tersebut sangat krusial dan tidak terlindungi oleh hukum. Dalam kasus-kasus biasa lainnya sehari-hari, kedudukan nasabah bank bahkan lebih kritis berhubung tidak banyak mendapat sorotan dari masyarakat dan kurang mendapat tanggapan dari pihak otoritas moneter yang berwenang.51

Perlindungan hukum dalam transaksi perbankan, merupakan hal yang patut dikedepankan agar kepentingan para pihak dapat dilindungi. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Penegakan hukum secara konsepsional merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah. Upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (prilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat). Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum.52

Kemajuan teknologi perbankan di Indonesia belakangan ini, membawa konsekuensi masalah yang dialami konsumen perbankan berkisar pada penerapan teknologi tersebut, misalnya penggunaan mesin ATM (Automated Teller Machine) atau Anjungan Tunai Mandiri. Masalah yang dialami nasabah adalah mengenai penarikan tunai (cash advenced) melalui ATM yang tidak dilakukan nasabah, tetapi

51

Munir Fuady, op.cit., hlm.99. 52

Syafruddin Kalo, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi, disampaikan pada dialog interaktif Mediasi Perbankan kerjasama Bank Indonesia dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU. Medan, 21 Desember 2006, hlm.6.

tercantum dalam perincian tagihan (billing statement) yang disampaikan pihak bank kepada nasabah. Padahal hanya pihak bank dan nasabah saja yang tahu nomor PIN (Personal Identification Number) kartu ATM nasabah yang bersangkutan. Yang mengemuka di sini, kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan keamanan pada pihak bank saja, sedangkan tidak demikian halnya bagi nasabah. Sehingga ide pelayanan terhadap konsumen khususnya nasabah melalui teknologi perbankan hanya menjadi semacam lip service saja.53

Perselisihan yang terjadi antara nasabah dan bank sebenarnya tidak semata-mata masalah kartu kredit. Bank Indonesia mencatat, sengketa bank dan nasabah meliputi masalah dana, kredit, ATM, kartu kredit, ataupun electronic banking

(e-banking). Yang menjadi masalah terbesar adalah masalah kartu kredit dan ATM.

Kasus-kasus ini sering kali terjadi karena banyak hal, antara lain kurang cermatnya nasabah dalam menggunakan dan menjaga keamanan kartu kredit dan ATM-nya. Untuk kartu kredit masalah yang sering dihadapi nasabah mulai dari masalah surat penagihan hingga datangnya debt collector yang dirasakan sudah mengancam keberadaan nasabah.54

Dalam Undang-undang Perbankan tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur masalah perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah. Dalam Pasal 29

53

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2003), hlm.43.

54

Majalah Info bank : Analisis-Strategi Perbankan dan Keuangan No.345, Desember 2007, Vol.XXIX, hlm.14.

ayat (1) Undang-undang Perbankan hanya disebutkan, pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. 55

Hal ini memberi konsekuensi bagi BI untuk lebih efektif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan bank. Sebagai lembaga pembina dan pengawas perbankan di Indonesia, BI mempunyai peran yang besar dalam usaha melindungi dan menjamin agar nasabah tidak melakukan tugas dan kewenangannya untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan perundang-undangan oleh seluruh bank yang beroperasi di Indonesia. Pengawasan yang efektif dan baik merupakan langkah preventif dalam meminimalisasi kasus-kasus kerugian nasabah karena tindakan bank.56

Tak dilindunginya konsumen sebagai nasabah, sudah terasa sejak konsumen pertama kali berhubungan dengan bank. Hubungan keduanya tidak seimbang. Apalagi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali tidak mengenal defenisi/rumusan nasabah. Ketika konsumen menjadi kreditur dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan, tak ada agunan apapun yang diberikan bank kepada konsumen, kecuali modal kepercayaan.57

Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan nasabah dalam Pasal 1 angka 16 , yaitu pihak yang

55

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm.65. 56

Syafruddin Kalo, op.cit., hlm.10. 57

menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka berikutnya, sebagai berikut:

“Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

Posisi konsumen sangatlah lemah dibandingkan dengan posisi bank. Undang-Undang Perbankan mengatur masalah perlindungan nasabah secara sumir. Itu tercermin dalam wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pembinaan dan pengawasan bank. Artinya perlindungan terhadap konsumen sebagai nasabah bank, tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga kelangsungan bank dalam sistem perbankan nasional. Perlindungannya tidak diatur secara tegas/eksplisit.58

Perlindungan nasabah ini perlu berkaitan dengan pembentukan sebuah sistem perbankan yang mantap, dan akhirnya bermuara pada sebuah sistem perbankan yang efisien, kuat, dan mantap guna menciptakan stabilitas sistem keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu perbankan dan nasabah

58

harus memiliki hubungan yang setara untuk mendukung sistem perbankan yang sehat.

B. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia

Sejak Januari 2004 Bank Indonesia telah memiliki sebuah blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, yaitu Arsitektur Perbankan Indonesia. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah sebuah istilah baru di bidang perbankan nasional, tetapi sebelum itu telah dikenal beberapa istilah lain yang mempunyai arti dan tujuan relatif sama, yaitu blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, atau pemetaan perbankan nasional. 59

Tujuan utama Arsitektur Perbankan Indonesia adalah untuk menciptakan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mengenai pentingnya keberadaan Arsitektur Perbankan Indonesia menurut Burhanuddin Abdullah secara kontekstual didasarkan pada tiga alasan, yaitu pertama, bank masih merupakan institusi penting bahkan terpenting dalam menyediakan sumber dana untuk dunia usaha. Fungsi financial intermediary bank, yakni kemampuan untuk mengumpulkan dana masyarakat untuk kemudian membiayai pembangunan ekonomi, menyebabkan perbankan menjadi industri yang penting. Kedua, industri perbankan

59

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Media Group, 2006), hlm.177

memiliki potensi risiko yang dapat memicu instabilisasi perekonomian suatu negara bahkan perekonomian global. Ketiga, Arsitektur Perbankan Indonesia juga menggambarkan upaya Bank Indonesia selaku otoritas perbankan untuk lebih transparan dalam kebijakan perbankannya dan merupakan salah satu bentuk dari adanya peningkatan good governance di pihak Bank Indonesia.60

Arsitektur Perbankan Indonesia pada hakekatnya merupakan sebuah rancang bangun perbankan nasional jangka panjang. Untuk mewujudkan rancang bangun yang dikehendaki tersebut, Bank Indonesia mengidentifikasi adanya enam pilar yang telah dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap, yaitu:61

1. Struktur perbankan yang sehat; 2. Sistem pengaturan yang efektif;

3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif; 4. Industri perbankan yang kuat;

5. Industri pendukung yang mencukupi; 6. Perlindungan nasabah.

Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

60

Ibid., hlm.180-181. 61

Krisna Wijaya, Djoko Retnadi, Konsolidasi Perbankan Nasional : Dari Rekapitulasi Menuju Arsitektur Perbankan Indonesia (API), (Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005), hlm.191.

dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Apabila dilihat dari masa berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) yaitu tahun 2001, maka sepintas terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespons pemberlakukan undang-undang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan oleh Bank Indonesia.

Pada satu sisi, UUPK tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, termasuk di dalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai ketentuan yang menyangkut aspek kehati-hatian. Sementara itu pada sisi lainnya Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek di dalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi pilar keenam dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk,

dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan ke dalam empat program API, yaitu:62

a. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah b. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen c. Penyusunan standar transparansi informasi produk d. Peningkatan edukasi nasabah

Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan dan perbankan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk

62

Muliaman D.Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, 16 Juni 2006.

memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.63

Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Dalam hal ini, bank harus merespon setiap keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank.64

Walaupun secara ideal program-program perlindungan dan pemberdayaan nasabah seharusnya dimulai dengan edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia merasa perlu untuk memprioritaskan program-program lainnya terlebih dahulu, yaitu penanganan pengaduan nasabah, transparansi informasi produk perbankan, dan pembentukan lembaga mediasi perbankan independen.

Penerbitan PBI Nomor 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang ”Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan

63 Ibid. 64

Nasabah yang menjadi bagian Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagai bagian Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006 merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat UUPK yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut pula mempengaruhi perkembangan perbankan nasional ke depan.

Daryono Raharjo Komisaris Bank BTN65 mengatakan bahwa untuk melindungi nasabah maka bank harus mampu membuat produk yang berkualitas, menyampaikan kebenaran dan mengurangi informasi yang tidak benar. Program peningkatan perlindungan nasabah dapat dilakukan melalui:

1. Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah, dangan menetapkan persyaratan minimum mekanisme pengaduan nasabah;

2. Membentuk lembaga mediasi independen, dengan memfasilitasi pendirian lembaga mediasi perbankan;

3. Menyusun transparansi informasi produk, dengan memfasilitasi penyusunan standar minimun transparansi informasi produk bank;

4. Mempromosikan edukasi konsumen, dengan mendorong bank-bank untuk melakukan edukasi kepada konsumen mengenai produk-produk finansial.

65

Pada awal digulirkannya gagasan pembentukan lembaga mediasi perbankan ini sebagian kalangan perbankan memang memandang bahwa langkah itu akan memperberat posisi mereka. Padahal sebenarnya adanya lembaga seperti ini justru akan memperkuat posisi perbankan dihadapan nasabah. Hal ini justru akan

Dokumen terkait