• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Oleh karenanya perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Hukum perbankan adalah merupakan kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. Hukum perbankan itu merupakan sistem karena membentuk suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain, dan bagian-bagian tersebut bekerja sama untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuannya.1

Perbankan2 menjadi salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tonggak kelahiran Undang-undang perbankan mulai disahkan sejak dilahirkannya

1

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), hlm.1-3.

2

Kata “bank” berasal dari bahasa Italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk-duduk di halaman pasar . Lihat A.Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, (Jakarta: Pradnya Paramita,1993), hlm.80.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan3 dan selanjutnya diadakan perubahan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 19984 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan .

Dalam melaksanakan fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak-pihak-pihak yang kekurangan dana maka menimbulkan adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Hubungan hukum yang terjalin ini dapat menimbulkan suatu friksi yang apabila tidak diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.

Semakin agresifnya perbankan menawarkan sejumlah produknya, seperti kartu kredit, anjungan tunai mandiri, serta berbagai bentuk kredit dan tabungan kepada masyarakat luas menyebabkan peluang terjadinya perselisihan semakin terbuka luas. Pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan terhadap pelayanan perbankan juga meningkat.

3

Merupakan suatu fakta historis bahwa proses pembentukan Undang-Undang Perbankan dilakukan pada masa-masa tidak normal, sehingga hal tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap materi undang-undang yang bersangkutan. Karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dibentuk dengan bernuansa liberalisasi perbankan di bawah Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1998), sehingga terdapat ketentuan-ketentuan yang di dalamnya cenderung liberal dan cenderung membela dan menganakemaskan bank. Hal-hal tersebut tercermin dalam ketentuan perbankan sebagai berikut : (1) Perlindungan nasabah kurang; (2) pengaturan kejahatan bank ragu-ragu; (3) Pengaturan rahasia bank overacting; (4) Pengaturan kewajiban bank kurang tegas; (5) Bank terlalu bebas; (6) Pengawasan bank kurang ketat.Lihat Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Adytia Bakti,2003), hlm.4.

4

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dibuat pada saat keadaan perbankan dalam keadaan benar-benar kacau balau, baik akibat jor-joran pemberian kredit, kesembrawutan policy pemerintah di bidang perbankan, maupun krisis moneter yang menerjang perekonomian Indonesia termasuk bisnis perbankan .Ibid, hlm.2.

Lemahnya perlindungan terhadap nasabah terlihat dari semakin banyaknya kasus yang muncul dalam kaitan dengan perkembangan perbankan. Hal ini juga semakin jelas terlihat dari banyaknya keluhan nasabah melalui media massa yang intinya nasabah tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh bank yang tidak sesuai dengan iklan yang ditawarkan.5

Sengketa dapat terjadi karena tidak ditemukannya titik temu antara para pihak yang bersengketa. Sengketa ini dapat terjadi diawali karena adanya perasaan tidak puas dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan kemudian perasaan tidak puas ini menjadi conflict of interest yang tidak terselesaikan sehingga menimbulkan suatu konflik.6

Penyelesaian konflik hukum tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui proses litigasi dan non litigasi7. Dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum dapat ditempuh melalui jalur pengadilan. Konflik hukum antara bank dengan nasabah ini diselesaikan melalui forum pengadilan untuk memenangkan hak-hak masing-masing dengan prinsip win-lose. Dalam dunia bisnis menghendaki penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif dimana prosesnya tidak berbeli-belit.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoriti hukum. Peran dan fungsi

5

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.3.

6

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm.34.

7

Litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan.

peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlalu formalistik dan terlampau teknis.8

Pengalaman pahit yang menimpa masyarakat yang memperlihatkan sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien . Penyelesaian perkara memakan waktu puluhan tahun dan proses bertele-tele, yang dililit upaya hukum yang tidak berujung.9 Banyaknya kelemahan yang terdapat pada pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maka banyak kalangan yang berusaha untuk mencari alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan.10

Di Indonesia alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute

resolution11) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati

8

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa: Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm.6.

9

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997 ), hlm.248.

10

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000), hlm.33.

11

Jacquelin M.Nolan-Haley dalam bukunya Alternative Dispute Resolution In A Nutshell yang dikutip oleh Bismar Nasution dalam makalah “Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi” yang disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003 menyebutkan bahwa Istilah Alternative Dispute Resolution pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika “Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E.Pound Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice” (“Pound Conference) di Saint Paul, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan konflik.

para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.

Untuk menjaga hubungan hukum yang terjalin antara bank dan nasabah maka tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan dari nasabah bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.12

Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi13 antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Pengaduan nasabah ini apabila tidak dapat terselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan nasabah dan atau bank.

12

Pada Tahun 1998 terjadi krisis moneter sebagai akibat dilikuidasinya 16 bank pada tanggal 1 November 1997 sehingga perbankan menjadi rush . Hal ini terjadi karena kurang percaya masyarakat terhadap lembaga perbankan dimana kepentingan nasabah kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library,2005),hlm.326.

13

Tata hukum bukan hanya untuk memuaskan kepentingan satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya, tetapi menghasilkan suatu kompromi di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya friksi-friksi, yang memiliki harapan hidup relatif lama, Lihat Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Alih bahasa oleh Somardi (Jakarta : Bee Media Indonesia, 2007), hlm.15.

Dalam dunia perbankan diperlukan suatu penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan murah. Perbankan sebagai salah satu industri jasa keuangan yang merupakan jantung atau motor penggerak roda perekonomian negara dan yang bertumpu kepada kepercayaan masyarakat (fiduciary financial institution).

Bank Indonesia memformalisasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu: (1) Struktur perbankan yang sehat dan mampu mendorong pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing internasional; (2) Sistem pengaturan yang efektif dan mampu mengantisipasi perkembangan pasar keuangan domestik dan internasional; (3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4) Penguatan kondisi internal industri perbankan; (5) Penciptaan dan penguatan infrastruktur pendukung industri perbankan; dan (6) Perlindungan dan pemberdayaan nasabah.14

Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dalam rangka melindungi kepentingan nasabah Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai Peraturan. Salah satu perlindungan terhadap hak-hak nasabah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh pihak bank dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabah.

14

Kehadiran mediasi perbankan pada pokoknya dapat menjembatani antara kepentingan bank dan nasabah sehingga dapat menyelesaikan problem hukum yang terjadi dengan baik.

Keberadaan lembaga mediasi perbankan ini merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap konsumen. Ini merupakan langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Payung hukum terhadap mediasi perbankan ini masih dipertanyakan oleh berbagai ahli hukum. Dan juga masih dipertanyakan independensi dari Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan hingga terbentuknya lembaga mediasi perbankan yang independen.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan?

2. Apa manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan?

3. Bagaimana independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) serta bagaimana kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan.

2. Untuk mengetahui manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan.

3. Untuk mengetahui independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) serta kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil penelitian dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama hukum perbankan dalam hal penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan nasabah melalui mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank.

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi dan perbankan dalam meyelesaikan sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian dengan judul ” Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan” yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian, khususnya di Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan penelitian penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan nasabah melalui mediasi perbankan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Kerangka teori merupakan pendukung membangun atau berupa penjelasan dan permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.15 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.16

Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.17 Fungsi teori mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.

Dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini maka teori yang digunakan adalah teori positivisme yuridis (legal positivism). Legal positivism adalah aliran yang berpandangan bahwa studi tentang wujud hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seyogianya ada dalam kaidah-kaidah moral. 18

15

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hlm.8.

16

M.Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju,1994), hlm.80. 17

W.Friedmann, Legal Theory, (New York: Columbia University Press, 1967), hlm.3-4. 18

Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: IBLAM, 2004), hlm.35.

Aliran positivis mengatakan ”Kaidah hukum itu hanya bersumber dari kekuasaan negara yang tertinggi, dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik,ekonomi,sosial dan budaya”.19

John Austin sebagai salah seorang penganut positivisme menilai bahwa sumber hukum yang lain adalah sumber hukum yang lebih rendah (subordinate

sources). Hukum identik dengan kekuasaan negara, dan hukum hanyalah hukum

tertulis atau hukum positif saja, dapat menimbulkan kesimpangsiuran dalam memandang keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang ternyata sangat diakui. 20

Khuzaifah Dimyati sebagaimana yang dikutip oleh H.R.Otje Salman S. dan Anton F.Susanto dalam bukunya Teori Hukum menjelaskan bahwa dalam positivisme yuridis hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab hukum dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum makin profesional. Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah sistem yang tertutup (closed logical system) artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan norma sosial, politik dan moral.21

19

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: IBLAM, 2006), hlm.138. 20

Ibid,hlm.140. 21

H.R.Otje Salman, Anton F.Susanto, Teori Hukum :Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung: Refika Aditama,2004), hlm.80.

Positivisme yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum. positivisme menentukan kenyataan dasar sebagai berikut: Pertama, Tata hukum negara tidak dianggap berlaku karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial, bukan juga karena hukum itu bersumber dalam jiwa bangsa (menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Kedua, Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang. Dengan kata lain: hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. Ketiga, Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isu hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum.22

Di samping teori positivisme yuridis juga dipergunakan teori konflik yang dikemukakan oleh Schuyt, bahwa konflik merupakan situasi yang di dalamnya dua pihak atau lebih mengejar tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat diselesaikan dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain.23

22

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, ( Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm.128-129.

23

Dalam situasi ini dibedakan antara bentuk-bentuk penyelesaian sengketa secara yuridis dan non yuridis penyelesaian konflik dapat timbul ke permukaan dalam berbagai bentuk seperti melalui musyawarah atau perundingan. Kedua belah pihak yang berada dalam konflik dapat menyelesaikan secara internal. Jadi kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan baik.

Menurut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepadanya.24

Achmad Ali mendefinisikan:

Konflik adalah setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.25

Persengketaan hukum merupakan salah satu wujud dari konflik pada umumnya. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harry C.Bredemeier:

The function of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, ’the law’(the clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation after there has been a conflict. Someone claims that his interests have been violated by someone else. The court’s task is to render a decision that will prevent the conflict – and all potential conflicts like it – from disrupting productive cooperation…26

24

Hermansyah, op.cit, hlm.131. 25

Achmad Ali, op.cit., hlm.64. 26

Menurut Bredemeier, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik-konflik. Secara tidak langsung hukum baru berfungsi setelah ada konflik-konflik. Yaitu jika seseorang mengklaim bahwa kepentingan-kepentingannya telah diganggu oleh orang lain. Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum barulah dimulai apabila terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.

Gary Goodpaster dalam ”Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa” dalam buku Arbitrase di Indonesia mengatakan:

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. 27

Hal ini berarti dalam penyelesaian suatu konflik terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh oleh seseorang ataupun masyarakat. Setiap penyelesaian sengketa mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu dalam suatu proses penyelesaian sengketa harus diperhatikan juga kebiasaan masyarakat setempat sehingga diperoleh suatu penyelesaian sengketa yang tepat .

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu istilah asing yang

perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti

27

Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.3.

Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS)28, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif.

ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to

adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut

menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan (alternative to litigation), seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase, merupakan bagian dari ADR. Apabila ADR (di luar litigasi dan arbitrase) merupakan bagian dari pengertian ADR sebagai alternative to

adjudication dapat meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat

konsensus atau kooperatif seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Dilihat dari perkembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud adalah ADR sebagai alternative to adjudication. Hal ini disebabkan keluaran (outcome)

adjudication baik pengadilan maupun arbitrase cenderung menghasilkan ”win-lose”,

bukan ”win-win”, sehingga solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa (mutual acceptable solution) sangat kecil tercapai.29

Istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensus hanya dapat dilakukan di luar pengadilan (out court), sedangkan saat ini dibutuhkan juga dalam pengadilan (court annexed atau court

28

Lihat Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH memperkenalkan dan memberikan sarana penyelesaian lingkungan hidup di luar pengadilan (ADR), didayagunakan/ diefektifkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif.

29

connected). Beragam pengertian ADR dilandasi oleh pertimbangan psikologis untuk

mendapatkan dukungan terhadap penyelesaian melalui ADR dari pihak pengadilan. ADR seolah-olah merupakan jawaban kegagalan pengadilan memberikan akses keadilan bagi masyarakat sehingga pemasyarakatan istilah ini megundang rasa tidak aman kecemburuan bagi insan pengadilan.30

Altschul yang dikutip oleh H.Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya ”Arbitrase

Dokumen terkait