• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

C. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kerjasama Antara PT

Sebuah sengketa dapat timbul jika salah satu pihak merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain dan pihak yang dirasa melanggar haknya tidak mau melakukan ganti rugi atau mengakuinya. Secara garis besar terdapat 2 cara penyelesaian sengketa, yaitu :

1. Penyelesaian sengketa non litigasi (di luar Peradilan)

Penyelesaian sengketa di luar peradilan merupakan penyelesaian sengketa yang ditawarkan untuk pertama kalinya. Jalur non litigasi ialah jalur penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri (Pasal 6 angka 1 UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun penyelesaian sengketa non litigasi dapat berupa:

71

a. Mediasi : suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak74

b. Konsiliasi : penyelesaian sengketa para pihak, melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Perbedaannya pada mediasi, mediator berwenang menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaiana sengketa yang bersengkutan, sedangkan pihak konsiliator tidak ada kewenangan untuk itu.75

c. Negosiasi : sebagai suatu proses tawar meenawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah terjadi diantara para pihak.76

d. Arbitrase : merupakan suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Orang yang ditunjuk dan dipilih oleh para pihak atau oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dinamakan arbiter. Arbiter ini dapat memberikan keputusan yang mengikat para pihak. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999)77

2. Penyelesaian sengketa litigasi (melalui jalur Peradilan)

Apabila salah satu pihak merasa di rugian oleh pihak lain, sedangkan telah dilakukan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (di luar pengadilan) namun tidak menemukan titik damai antara kedua belah pihak, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah pengajuan gugatan ke peradilan. Langkah ini merupakan langkah terakhir yang diambil ketika sebelumnya telah mengadakan negosiasi, mediasi, konsiliasi maupun arbitrase. Dalam hal ini, keputusan hakim adalah keputusan yang sangat mengikat dan

74Munir Fuady (III), Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hlm. 47.

75Sunarto Adiwibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hlm. 149.

76

Munir Fuady (IV), Arbitrase, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 42.

77

menentukan kedudukan yang benar dan salah antara pihak yang menggugat dan tergugat.

Mengenai penyelesaian sengketa atau perselisihan dalam perjanjian kerjasama Pengelolaan dan Pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah Nomor : B.VIII-121/TPI-US.12 jo. Nomor : 046/MDP-Pelindo I/PKS/XI/2012, Pasal 17 berbunyi :

a. Seluruh perselisihan yang timbul karena perjanjian ini seperti keabsahan, interpretasi atau pelaksanaan atau pelanggaran atas setiap ketentuan, akan ditafsirkan dan diinterpretasikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia;

b. Segala perselisihan yang timbul karena perjanjian ini akan diselesaikan para pihak secara musyawarah untuk mufakat dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal di mana gagalnya penyelesaian melalui musyawarah maka masing-masing pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan secara pasti melalui Pengadilan Negeri Batam; Dengan kata lain, bahwa jika terjadi sengketa atau perselisihan yang sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama maka antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dengan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana memilih penyelesaian dengan cara, yaitu :

1. Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan

Segala perselisihan atau permasalahan akan dibahas secara bersama dengan musyawarah atau dengan diskusi terlebih dahulu melalui arbitrase agar menemukan jalan keluar untuk kemudian mencapai mufakat.

73

Berdasarkan waktu yang telah diperjanjikan selama 30 (tiga puluh) hari, apabila para pihak tidak ditemukan persesuaian pendapat atau mufakat atau dengan kata lain, upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berjalan dengan lancar, misalnya ketika salah satu pihak tidak ada yang mau mengakui kesalahan atau kelalaiannya sehingga tidak mau membayar ganti rugi barulah digunakan jalan penyelesaian melalui proses hukum. Di mana para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahannya dan diteruskan ke pengadilan negeri, dan kedudukan hukum yang telah disepakati oleh para pihak adalah di Pengadilan Negeri Batam.

Berdasarkan hasil wawancara penulis, selama berlangsungnya perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di Perairan Nipah sejauh ini tidak pernah terjadi sengketa di antara para pihak, sebaliknya dalam pelaksanaan kerjasama ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik bagi PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) maupun PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana dikarenakan kondisi market atau pasar yang memadai, di samping itu dengan tersedianya pelayanan prima baik dari segi operasi maupun keuangan oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana juga turut mendukung kelancaran pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut.78

78

Wawancara dengan Bapak Fadillah Haryono S.H, M.H selaku Legal Staff PMO PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero).

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah pada awalnya merupakan suatu kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh PT. Maxsteer Dyrynusa yang kemudian beralih menjadi pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchoarge setelah menjalin kerjasama dengan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) yang kemudian disebut sebagai Nipah Transit Anchorage Area (NTAA). Pelaksanaan perjanjian kerjasama ini dimulai dari tahap pendaftaran yang diikuti dengan pembayaran awal, pengoperasian kegiatan pelabuhan, dan tahap akhir dari pelaksanaan perjanjian ini adalah pembayaran akhir kepada pihak bank oleh agen kapal.

2. Pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) dan PT. Maxsteer Dyrynusa Perdana bekerja sebagai satu kesatuan sehingga bentuk tanggung jawab antara kedua belah pihak yang melakukan kerjasama merupakan tanggung jawab tanggung renteng, yaitu segala permasalahan yang timbul ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Namun para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama operasi ini dapat bebas dari tanggung jawab apabila terjadi suatu keadaan memaksa atau kahar atau force majeur.

3. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian Ship Transit Anchorage di perairan Nipah sedapat mungkin diselesaikan secara musyawarah mufakat dengan itikad

75

baik. Namun, apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan tersebut maka permasalahannya akan diselesaikan ke Pengadilan Negeri Medan.

B. SARAN

1. Sebaiknya para pihak mencantumkan bentuk tanggung jawab dari masing-masing pihak ke dalam sebuah pasal yang lebih terperinci, untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari.

2. Sebaiknya para pihak mencantumkan waktu berlaku dan berakhirnya perjanjian secara jelas dan terperinci, untuk menghindari perbedaan penafsiran di antara para pihak tentang waktu berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut.

3. Sebaiknya para pihak menyepakati dan memperbaharui sistem pembagian hasil atas jasa kepelabuhanan untuk menghindari terjadinya permasalahan dikemudian hari.

A. Pengertian Perjanjian dan Unsur-Unsur Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.

Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.14 Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”15

13

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I), Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.91.

14Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka Jakarta, 2005, hlm. 458.

15

17

Para Sarjana Hukum di Indonesia memakai istilah yang berbeda-beda untuk perjanjian. Menurut Munir Fuady, istilah perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggris.16 Achmad Ichsan memakai istilah verbintenis untuk perjanjian, sedangkan Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia memakai istilah overeenkomst untuk perjanjian.17

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelik Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang Hukum Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dengan uang.”18

Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung kelemahan karena:

16Munir Fuady (I), Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2.

17Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 197.

18

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm.65.

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik. b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpa consensus. Pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa. 19

Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut Kamus Hukum, perjanjian adalah persetujuan, pemufakatan antara dua orang pihak untuk melaksanakan sesuatu. Kalau diadakan tertulis juga dinamakan kontrak. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut

19

Damang, Perjanjian, Perikatan dan Kontrak, http://www.negarahukum.com/hukum/perj

19

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.20

Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan definisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut:

a. Menurut R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.21

b. Menurut Syahmin AK

Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.22

c. Yahya Harahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.

d. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

e. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.23

Dari beberapa pengertian di atas, tergambar adanya beberapa syarat perjanjian, antara lain:

a. Adanya pihak-pihak yang sekurang-kurangnya dua orang.

20Salim H.S (I), Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.161.

21R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Cetakan ke-31, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 5.

22Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 140.

23

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 225.

Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah subyek perjanjian yang dapat berupa badan hukum dan manusia yang cakap untuk melakukan perubahan hukum menurut undang-undang. Dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut juga dapat terdiri dari satu atau lebih badan hukum.24

b. Adanya persetujuan atau kata sepakat.

Persetujuan atau kata sepakat yang dimaksudkan adalah konsensus antara para pihak terhadap syarat-syarat dan obyek yang diperjanjikan. c. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

Tujuan yang ingin dicapai dimaksudkan disini sebagai kepentingan para pihak yang akan diwujudkan melalui perjanjian. Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyertakan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa dia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

d. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan.

Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prsetasi tersebut.25

e. Adanya bentuk tertentu.

Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu.26

f. Adanya syarat-syarat tertentu

24Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (I),Op.Cit., hlm. 92.

25

Ibid.,hlm. 2. 26

21

Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah substansi perjanjian sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah disepakati.

2. Unsur-Unsur Perjanjian.

Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.27 Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu:

a. Unsur essensialia dalam perjanjian

Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.28

Unsur essensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda pula antara satu dengan yang lain. Misalnya harga jual beli merupakan essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya tanpa dijanjikan adanya harga maka jual beli bukanlah perjanjian jual beli melainkan mungkin perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual beli tanpa menyebutkan

27Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai

1456 BW), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.63. 28

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 84.

harganya tetapi oleh para pihak saling diserahkan suatu benda perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar menukar.29

b. Unsur naturalia dalam perjanjian

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.30

c. Unsur aksidentalia dalam perjanjian

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak. Misalnya, dalam jual-beli yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang essensialia dalam kontrak tersebut.31 Salim H.S. menyatakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dikategorikan sebagai berikut:

a. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,

29Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 67. 30

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Op.Cit., hlm. 88.

31

23

tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

b. Subjek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

c. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.

d. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, di

Dokumen terkait