• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TINDAKAN PENGAMANAN DALAM

C. Penyelesaian Sengketa Tindakan Pengamanan Perdagangan

Sengketa terjadi ketika negara anggota meyakini bahwa negara anggota lain melanggar perjanjian WTO. Negara anggota tersebut dapat mengajukan "permintaan konsultasi" untuk mengidentifikasi perjanjian mana yang dilanggar

dalam menerapkan tindakan safeguard.88 Berdasarkan Article 14 Agreement on

Safeguard yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa yang timbul berdasarkan perjanjian ini dilakukan dengan

cara konsultasi sesuai dengan ketentuan Article XXII dan Article XIII GATT dan

pelaksaannya dalam The Dispute Settlement Understanding.89

Menurut Robert Hudec, prosedur penyelesaian sengketa dalam GATT

dapat dikelompokkan ke dalam dua macam prosedur. Pertama ; diantara tahun

1948-1978. Dalam kurun waktu ini, prosedur penyelesaian sengketa GATT dapat

dikelompokkan sebagai penyelesaian sengketa secara diplomatik (diplomatic

settlement of disputes). Kedua ; kurun waktu antara 1980-1994. Dalam kurun waktu ini, prosedur penyelesaian sengketa GATT beralih dari semula yang

87

Ibid. 88

https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm (diakses pada tgl 3 Agustus 2015 pukul 10.14).

89

The Dispute Settlement Understanding ataudisebut juga Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Disputes adalah suatu perjanjian khusus yang merupakan lampiran dari perjanjian WTO yang disahkan pada bulan April 1994. Lihat : Huala Adof, Op.Cit., hlm. 87.

diplomatik menjadi penyelesaian sengketa secara judicial atahu hukum (judicial settlement of disputes).90

1. Penyelesaian sengketa melalui konsultasi

Konsultasi adalah tahap pertama penyelesaian sengketa dan biasanya berlangsung dalam bentuk yang informal atau negosisasi formal, seperti melalui saluran-saluran diplomatik. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk

menyelesaikan sengketa di luar dari cara atau proses ajudikasi yang formal.91

Sistem penyelesaian sengketa GATT diatur dalam Article XXII dan

Article XIII, yang menekankan pada kontak bilateral dan konsultasi sebagai tahap pertama dalam proses penyelesaian sengketa. Pada kenyataannya hampir seluruh sengketa dagang diselesaikan secara bilateral. Namun, bila tidak bisa diselesaikan dengan konsultasi bilateral, maka sistem panel GATT dapat dipergunakan sebagi

cara penyelesaian tahap berikutnya.92

Article XXII menentukan prosedur konsultasi yang dapat diambil apabila suatu negara memerlukan konsultasi dengan negara lain mengenai haknya yang

berkaitan dengan perjanjian GATT. Article XXII merupakan ketentuan mengenai

langkah pertama yang dapat diambil apabila suatu negara beranggapan bahwa ada masalah yang dihadapi dalam penerapan perjanjian GATT sebagai akibat langkah

yang diambil oleh suatu negara lain.93

90

Huala Adolf, Penyelesain Sengketa Dagang dalam World Trade Organization (W.T.O) (Bandung : Mandar Maju, 2005), hlm. 13.

91

Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 95. 92

Gofar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan (Jakarta : Djambatan, 2001), hlm. 58.

93

H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga

Article XXIII menentukan prosedur yang dapat diambil apabila terjadi kerugian yang timbul berupa “penghapusan” atau “kerusakan” (nullification and impairment) atas hak dan keuntungan yang telah diperoleh suatu negara melalui Perjanjian GATT, akibat tindakan yang diambil oleh negara lain.

Berdasarkan Article XXIII.1 dijelaskan bahwa apabila konsesi dan

keuntungan dari perjanjian yang diperoleh suatu negara anggota, (baik secara langsung maupun tidak langsung), dihapus atau dirusak akibat tindakan yang diambil oleh suatu negara lain, (walaupun tindakan itu tidak melanggar aturan GATT, maka negara yang merasa dirugikan tersebut berhak meminta penyesuaian yang memuaskan karena akibat tersebut. Negara yang merasa dirugikan dan menghendaki rektifikasi dari keadaan yang merugikan akibat tindakan negara lain, sebagai langkah pertama, dapat mengajukan secara tertulis kepada negara yang mengambil tindakan tentang permasalahan yang dihadapi dan langkah retifikasi yang dikehendaki.

The Dispute Settlement Understanding tetap mengikuti mekanisme

penyelesaian sengketa yang termuat dalam Article XXII dan Article XIII GATT

sesuai prinsipnya. Hal ini tercantum dalam Article XVI.1 WTO Agreement yang

menyatakan bahwa WTO akan mengikuti putusan-putusan, prosedur-prosedur dan

praktik-praktik kebiasaan yang diikuti oleh The Contracting Parties94 GATT 1947

94

The Contracting Parties adalah dua atau lebih orang atau badan usaha sebagai penandatangan suatu perjanjian atau kontrak. Negara-negara penandatangan GATT, yang menerima kewajiban khusus dan hak istimewa dalam GATT. Lihat : Tumpal Rumapea,

dan badan-badan kelengkapan GATT yang dibentuk berdasarkan kerangka GATT

1947.95

Berdasarkan The Dispute Settlement Understanding mengenai

penyelesaian sengketa melalui konsultasi dikenal adanya the principle of

„automaticity‟ (prinsip automatisasi) yang artinya suatu prosedur penyelesaian sengketa akan terus berlanjut secara otomatis atas dasar permintaan dari salah satu

pihak yang bersengketa, sesuai dengan Article 3 paragraph (3) The Dispute

Settlement Understanding, pihak negara termohon dapat menghadapi kemungkinan pembentukan suatu badan panel setelah 10 hari sejak permintaan

konsultasi terhadapnya.96

Konsultasi bersifat rahasia. Menurut A.Porges, sifat kerahasiaan dari proses konsultasi ini acapkali member ruang yang kondusif sehingga penyelesaian dapat tercapai. Permohonan untuk konsultasi harus dibuat secara tertulis. Permohonan tersebut juga harus mengemukakan alasan timbulnya sengketa dan

dasar hukum untuk pengajuan permohonan untuk konsultasi.97

2. Mekanisme penyelesaian sengketa WTO

Salah satu hasil perundingan Uruguay Round di bidang Dispute Settlement

Body adalah diterapkannya Understanding on Rules Procedures Governing the Settlement of Disputes. Dispute Settlement Body atau Badan Penyelesaian Sengketa adalah lembaga yang berfungsi melaksanakan peraturan-peraturan dan prosedur mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa. Sedangkan,

95

Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 88. 96

Ibid., hlm. 97. 97

Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes adalah perjanjian WTO yang mengikat untuk mengatur penyelesaian sengketa yang tidak hanya melengkapi ketentuan penyelesaian GATT yang bertumpu pada Article XXII dan Article XXIII GATT 1947 serta ketentuan-ketentuan yang melengkapinya akan tetapi juga membuat pembaharuan-pembaharuan yang

mendasar.98

Perjanjian ini memperjelas lagi arah mekanisme penyelesaian sengketa yang akan diterapkan pada tahun-tahun mendatang. Mekanisme penyelesaian

sengketa WTO dilakukan dalam lima tahap, yaitu sebagai berikut :99

a. Tahap 1 : Konsultasi

Pihak yang bersengketa harus berupaya untuk menyelesaikan

permasalahannya melalui konsultasi bilateral. Bila pihak yang bersengketa gagal mencapai kesepakatan dan menyetujui untuk membawanya ke

Direktur Jendral WTO yang dalam hal ini bertindak dalam kapasitas “ex

officio”, akan ditawarkan jasa-jasa baik untuk mencari penyelesaiannya. Pihak yang bersengketa diberi waktu untuk mengadakan konsultasi selama enam puluh hari kerja.

b. Tahap 2 : Permintaan suatu panel

Bila setelah enam puluh hari konsultasi tersebut juga gagal dicapai

keputusan, pemohon dapat meminta Dispute Settlement Body membentuk

suatu panel untuk mengadakan pengkajian. Pembentukan suatu panel

98

Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO : Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum (Bandung : PT. Refika Aditama : 2006), hlm.7.

99

adalah otomatis dan keanggotaan panelis harus terbentuk dalam sepuluh hari setelah persetujuan pembentuk panel. Adapun standar kerangka acuan panel yang harus disirkulasikan kepada seluruh anggota WTO, dijelaskan sebagai berikut :

1) Sekretariat WTO akan mengusulkan nama-nama ketiga panelis

kepada pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini berarti Sekretariat WTO harus memiliki suatu daftar orang-orang yang dianggap cakap. Dalam pengisian daftar tersebut, apara anggota WTO juga dapat mengusulkannya.

2) Ketiga panelis tersebut bertindak atas kapasitas pribadi dan tidak

boleh tunduk terhadap tekanan dari suatu pihak atau suatu negara mana pun. Dengan kata lain, pemilihan keanggotaan panelis harus selektif.

3) Panelis-panelis yang ditawarkan tersebut pada umumnya bekas

wakil-wakil negara untuk WTO atau pejabat/pensiunan pejabat- pejabat pemerintah/lembaga-lembaga internasional yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang dipersengketakan tersebut.

4) Sekretariat WTO akan mempersiapkan informasi tentang latar

belakang permasalahan dan fakta-faktanya.

c. Tahap 3 : Pekerjaan panel

Panel, di dalam melaksanakan tugasnya, akan mengadakan hal-hal berikut:

2) Mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pihak-pihak yang bersengketa dan dengan negara-negara ketiga.

3) Mendapatkan/mengumpulkan masing-masing bantahan.

4) Pertemuan-pertemuan tambahan bila diangap perlu.

5) Menyiapkan laporan tentang faktanya dan argument yang disajikan

oleh pihak-pihak yang bersengketa.

6) Menyerahkan laporan sementara kepada pihak yang bersengketa.

7) Mengonsepkan kesimpulan dan rekomendasi-rekomendasi.

8) Menyampaikan laporan akhir kepada pihak-pihak yang

bersengketa dan kepada Dispute Settlement Body.

d. Tahap 4 : Pengesahan keputusan

Dalam enam puluh hari, laporan panel harus disahkan oleh Dispute

Settlement Body. Bila salah satu pihak bersengketa tidak setuju dengan suatu masalah tentang ketentuan atau legalitas interpretasi yang berkembang selama dalam proses, pihak yang berkeberatan tersebut dapat mengajukan keberatannya. Selanjutnya, untuk menangani pengajuan

keberatan tersebut, Dispute Settlement Body akan membentuk Appellate

Body. Appllate Body atau lembaga banding yang didirikan oleh Dispute Settlement Body secara permanen yang fungsinya untuk mengadili

banding dari tingkat panelyang terdiri dari tujuh orang, yang dalam hal ini

mewakili para anggota WTO. Dengan perkataan lain, pengajuan keberatan hanya dapat didengar bila yang dipermasalahkan adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang dicakup oleh panel dan legalitas interpretasi.

Ketiga anggota dari Appllate Body akan duduk bersama untuk mendengarkan permohonan yang diajukan tersebut. Mereka dapat membenarkan, melakukan modifikasi, mengubah temuan-temuan berikut kesimpulan-kesimpulan panel. Pelaksanaan dari permohonan tersebut tidak boleh melewati batas enam puluh hari dan harus diselesaikan dalam sembilan puluh hari.

e. Tahap 5 : Pelaksanaanya

Setelah disahkannya rekomendasi dan pengaturannya, harus dilaksanakan sepenuhnya dengan cepat karena hal ini amatlah penting bagi berlangsungnya efektivitas pemecahan sengketaan. Bila rekomendasi tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan segera oleh negara yang dinyatakan bersalah, negara tersebut :

1) Diberi waktu yang cukup untuk melaksanakannnya.

2) Bila juga tidak dapat melaksanakannya dalam tempo yang

diberikan tersebut, harus dilakukan lagi perundingan untuk menetapkan secara bersama suatu kompensasi.

3) Bila tidak dicapai persetujuan tentang kompensasi yang

memuaskan, si pemohon dapat meminta hak dari Dispute

Settlement Body untuk menangguhkan konsesi-konsesi atau kewajiban-kewajiban negara yang dinyatakan bersalah tersebut dan meminta hak untuk melakukan tindakan balasan (retalisasi). Hak ini biasanya dijamin karena konsensus yang diminta ditolak.

Understanding On Rules and Procedures Governing The Settlement of Disputes dibuat bagi negara-negara anggota WTO untuk mendapatkan kepastian hukum dalam sistem perdagangan multilateral sebagaimana yang tercantum dalam

ketentuan Article 3.2 dari perjanjian WTO tersebut100.

3. Penyelesaian sengketa bagi negara berkembang

Penyelesaian sengketa bagi negara berkembang pada dasarnya sama dengan negara maju, akan tetapi ada beberapa ketentuan khusus yang hanya diberlakukan bagi penyelesaian sengketa negara berkembang, yaitu sebagai berikut :101

a. Apabila dalam tahap konsutasi gagal menyelesaikan perselisihan dalam

waktu enam puluh hari sejak permohonan konsultasi diterima para pihak dapat bersepakat untuk memperpanjang jangka waktunya apabila jangka waktu yang ditetapkan enam puluh hari tersebut telah habis masa berlakunya, sedangkan para pihak yang berkonsultasi belum dapat tercapai

kesepakatan bahwa konsultasi telah berakhir, maka Ketua Dispute

Settlement Body harus memutuskan perpanjangan jangka waktu tersebut.

b. Apabila perselisihan terjadi antara anggota negara maju dengan anggota

negara berkembang, panelis harus mengikutsertakan sekurang-kurangnya satu anggota panel dari anggota negara sedang berkembang jika negara sedang berkembang tersebut menghendakinya.

100

Hatta, Loc.Cit. 101

Syahmin AK, Hukum Internasional Publik, Jilid 3 (Bandung : PT.Binacipta, 1998), hlm. 314-348.

c. Jika satu atau lebih dari satu pihak yang bersengketa tersebut adalah anggota negara sedang berkembang, laporan panel harus secara eksplisit menyatakan bentuk persetujuan tentang perlakuan khusus dan perlakuan yang lebih menguntungkan bagi anggota negara sedang berkembang dalam prosedur penyelesaian perselisihan. Di samping itu, juga para panelis harus memberikan waktu yang cukup bagi anggota negara sedang berkembang tersebut mempersiapkan dan mengajukan alasan dan bukti mereka.

d. Bila sengketaan tersebut adalah antara negara maju dan berkembang,

kemudian negara berkembang tersebut meminta paling sedikit satu dari anggota-anggota panelisnya berasal dari negara berkembang, permintaan tersebut harus dipenuhi.

e. Para anggota harus memberikan perhatian khusus kepada negara

berkembang bila penyebab sengketanya adalah kebijaksanaan yang diambil oleh negara berkembang tersebut.

f. Bila salah satu dari yang bersengketa tersebut adalah negara berkembang

dan terdapat keperluan untuk memberikan tambahan masukan hukum, Sekretariat WTO harus menyediakan bantuan tenaga ahli bidang hukum kepada negara berkembang tersebut.

BAB III

TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DI INDONESIA

D. Pengaturan Tindakan Pengamanan di Indonesia

Dampak liberalisasi perdagangan yang terjadi saat ini, mengakibatkan

membanjirinya barang impor di pasar domestik. Hal ini sudah dalam skala yang membahayakan industri dalam negeri. Oleh karena itu, untuk meningkatkan perlindungan terhadap industri dalam negeri, maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ketentuan Agreement on Safeguard dimasukan dalam Bab IX tentang Pelindungan dan Pengamanan Perdagangan yang terdapat pada pasal Pasal 69 yang berbunyi :

(1) Dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan

produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara langsung bersaing dengan yang diimpor menderita kerugian serius atau ancaman kerugian serius, Pemerintah berkewajiban mengambil Tindakan Pengamanan Perdagangan untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian serius atau ancaman kerugian serius dimaksud.

(2) Tindakan Pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan/atau kuota.

(3) Bea Masuk Tindakan Pengamanan Perdagangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan yang telah diputuskan oleh Menteri.

(4) Penetapan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh

Menteri.

1. Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI)

Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, (yang selanjutnya disingkat KPPI) dibentuk untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang

impor yang pelaksanaannya berpedoman kepada peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia dan Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on WTO).

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, (yang selanjutnya disebut Keppres No. 84 Tahun 2002) dibentuk KPPI. Kemudian dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, ( yang selanjutnya disebut PP No. 34 Tahun 2011) maka Keppres No. 84 Tahun 2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Akan tetapi, pada saat

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku terdapat pengecualian sebagai berikut :102

a. KPPI yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 84 Tahun 2002, dinyatakan

tetap berlaku dan melanjutkan tugasnya sesuai dengan PP No. 34 Tahun 2011.

b. Segala keputusan dan kegiatan KPPI berdasarkan Keppres No. 84 Tahun

2002 dinyatakan sah.

c. Peraturan pelaksanaan dari Keppres No. 84 Tahun 2002, dinyatakan tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan PP No. 34 Tahun 2011.

102

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 102.

Pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh KPPI bersifat Independen.103 KPPI terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Tugas KPPI adalah sebagai berikut :104

a. Melakukan penyelidikan terhadap dugaan kerugian serius atau ancaman

kerugian serius yang diakibatkan oleh lonjakan barang impor terhadap industri dalam negeri.

b. Melakukan evaluasi hasil penyelidikan terhadap dugaan kerugian serius

atau ancaman kerugian serius yang diakibatkan oleh lonjakan barang impor terhadap industri dalam negeri.

c. Mengusulkan pengenaan tindakan pengamanan yang bersifat sementara

atau tetap kepada Menteri Perdagangan.

d. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

e. Menyusun laporan pelaksanaan tugas untuk disampaikan kepada Menteri

Perdagangan.

Ketua KPPI dalam melaksanakan tugasnya, bertanggung jawab kepada Menteri. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan tugas sebagaimana dimaksud

KPPI melaksanakan fungsi :105

a. Melakukan penyelidikan terhadap kerugian serius atau ancaman kerugian

serius yang dialami oleh industri dalam negeri barang sejenis atau barang

103

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 97.

104

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 84/Mpp/Kep/2/2003 tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, Pasal 8.

105

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 95 ayat (2) dan (3).

yang secara langsung bersaing dengan barang yang diselidiki sebagai akibat lonjakan jumlah impor.

b. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi terkait dengan

penyelidikan.

c. Membuat laporan hasil penyelidikan.

d. Merekomendasikan pengenaan tindakan pengamanan kepada Menteri.

e. Melaksanakan tugas lain terkait yang diberikan oleh Menteri.

KPPI dalam melaksanakan tugas dan fungsi mempunyai wewenang :106

a. Menyusun penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis dan administrasi

atas ketentuan yang berkaitan dengan tindakan pengamanan.

b. Melakukan pemeriksaan, investigasi atau penyelidikan terhadap pihak

yang berkepentingan dan pihak-pihak lain yang terkait dengan tindakan pengamanan.

c. Mengusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk memberlakukan

tindakan sementara dan tetap.

d. Melakukan peninjauan kembali pengenaan tindakan pengamanan.

e. Mengusulkan kepada Menteri Perdagangan untuk mencabut atau

melanjutkan pengenaan tindakan pengamanan.

f. Menerbitkan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan penyelidikan

lonjakan impor.

106

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 84/Mpp/Kep/2/2003 tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia, Pasal 4.

Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas KPPI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementrian Perdagangan

Republik Indonesia.107

2. Prosedur permohonan dan proses penyelidikan tindakan pengamanan

perdagangan

Tindakan pengamanan meliputi pengenaan BMTP dan/atau kuota. besarnya bea masuk tindakan pengamanan tersebut paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. sedangkan untuk jumlah kuota yang ditetapkan dimaksud tidak boleh kurang dari jumlah impor rata-rata paling sedikit dalam 3 (tiga) tahun terakhir, kecuali terdapat alasan yang jelas bahwa kuota yang lebih rendah diperlukan untuk memulihkan kerugian serius atau

mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri.108

Barang

impor selain dikenakan bea masuk dapat dikenakan tindakan pengamanan jika :109

a. Terjadi lonjakan jumlah impor secara absolut atau relatif atas barang yang

sama dengan barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.

b. Lonjakan jumlah impor barang menyebabkan terjadinya kerugian serius

atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri.

107

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 96 ayat (1), (2) dan Pasal 98.

108

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 70 ayat (2),(3), dan (4).

109

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 70 ayat 1.

Tindakan pengamanan dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh KPPI. Penyelidikan oleh KPPI atas barang yang diselidiki dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau berdasarkan inisiatif KPPI. Penyelidikan berdasarkan inisiatif KPPI dapat dilakukan apabila KPPI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang

impor.110

Industri dalam negeri atau pihak-pihak lain di dalam negeri dapat mengajukan permohonan tertulis kepada KPPI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan pengamanan. Permohonan sebagaimana dimaksud perlu dilengkapi dengan bukti awal dan didukung dengan dokumen

mengenai adanya :111

a. Lonjakan atas jumlah barang impor yang sama dengan barang sejenis atau

barang yang secara langsung bersaing.

b. Kerugian serius atau ancaman kerugian serius.

c. Dokumen yang dimaksud terdiri atas data yang bersifat rahasia dan data

yang bersifat tidak rahasia.

d. Dokumen yang dinyatakan bersifat rahasia tidak dapat diberikan kepada

pihak lain, kecuali dengan izin khusus dari pemberi dokumen.

110

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 71 ayat (1), (2), dan Pasal 73.

111

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan lmbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Pasal 72 ayat (1), (2), (3) dan (4).

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Ketua KPPI atau Sekretariat KPPI. Industri dalam negeri yang mengajukan permohonan

harus menyebutkan112

:

a. Nama dan alamat perusahaan.

b. Nomor telepon dan faksimil perusahaan.

c. Nama Pengurus perusahaan yang berhak mewakili perusahaan.

Asosiasi yang mewakili produsen dalam negeri yang mengajukan permohonan harus menyebutkan :

a. Nama dan alamat asosiasi.

b. Nomor telepon dan faksimil asosiasi.

c. Nama pengurus asosiasi.

d. Nama dan alamat seluruh produsen yang diwakili.

Permohonan harus dilengkapi dengan ketentuan sebagai berikut :113

a. Uraian lengkap barang impor terselidik dan informasi data impor barang

terselidik selama tiga tahun terakhir.

b. Uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing

dengan barang terselidik.

c. Nama dan alamat eksportir dan negara pengekspor dan atau negara asal

barang terselidik.

d. Industri dalam negeri yang dirugikan.

112

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, Pasal 3 ayat (1) dan (2).

113

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 85/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, Pasal 4.

e. Informasi mengenai kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius yang berupa perubahan tingkat penjualan, produksi, produktifitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta penggunaan tenaga kerja.

Dokumen terkait