• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum

6. Penyelesaian Tindak Pidana Anak

a. Dalam hukum pidana Islam, meskipun jelas ditegaskan bahwa seseorang tidak bertangtanggung jawab kecuali terhadap jarimah (kejahatan) yang telah diperbuatnya sendiri dan juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah orang lain. Akan tetapi untuk masalah anak ini Islam memiliki pengecualian tersendiri, dalam Al-Qu a aupu Hadis sendiri telah diterangkan bahwa seorang anak tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sebelum dia dewasa (baligh).57

Sementara dalam hukum Islam itu sendiri tidak memberi batasan umur terhadap anak selain kata balîg, sebagai batas usia anak dianggap dewasa, di samping banyaknya perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal ini menjadi sebuah persoalan karena akan menyulitkan bagi Hakim dalam menentukan hukuman kasus kejahatan (pencurian) yang dilakukan oleh anak, sebab hukum pidana Islam mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika dia telah baligh dan mukallaf (orang yang dibebani hukum).58

56

Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 2001), h 82.

57

Opcit, h.45. 58

50

Seorang anak yang melakukan pencurian tidak termasuk dalam jarimah hudud yang diancam hukuman had, hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan menjadi hak Allah SWT (hak masyarakat). Seorang anak yang melakukan tindak pidana pencurian termasuk dala ja i ah ta zi ya g dia a huku a ta zi . Pe ge tia tazir menurut bahasa ialah ta’di atau memberi pelajaran, dan menurut istilah sebagai mana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut :

تل اَو

ْع ِز

ْ ي

ُر َت

أ

ٌبْيِد

ُذ ىَلَع

ُ ن ْو

ِب

َل

ْم

ُدْو ُدُحْلا اَهْ يِف ْع َرْشُت

A ti ya : Ta zi itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh sya a .59

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta zi itu adalah huku a ya g elu ditetapka oleh sya a , melainkan diserah kan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.60

b. Islam tidak menghalalkan seseorang merampas hak milik orang lain dengan dalih apapun. Islam telah mengharamkan pencurian, mencopet, korupsi, riba, menipu, mengurangi timbangan, menyuap, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk dalam jarimah hudud yang diancam dengan hukuman had. Islam memberikan hukuman berat terhadap perbuatan mencuri, yaitu hukuman potong tangan

59

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam ( Fiqih Jinayah), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 19

60 Ibid.

51

atas pencuriannya. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surat Al-Maaidah (5) Ayat 38 :

ِم َاَكَن اَبَسَك اَمِب ًءاَزَج اَمُهَ يِدْيَأ اوُعَطْقاَف ُةَقِراسلاَو ُقِراسلاَو

ِها َن

ُهاَو

ٌميِكَح ٌزيِزَع

A ti ya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksa a. 61

Seorang pelaku pencurian bisa dijatuhi hukuman potong tangan apabila ia memenuhi syarat-syarat al-ahliyyah (kelayakan dan kepatutan) untuk dijatuhi hukuman potong tangan yaitu, berakal, baligh, melakukan pencurian itu atas kemauan dan kesadaran sendiri (tidak dipaksa) dan mengetahui bahwa hukum mencuri adalah haram.62

Dalam hukum pidana Islam, seorang anak tidak akan dikenakan hukuman karena pencurian yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum terhadap seorang anak usia berapapun sampai dia mencapai usia dewasa (baligh), berdasarkan Hadits Riwayat Abu Daud dari

Ali: telah dia gkat pe a dari tiga golo ga , ora g ya g tidur

61

Al-Qur’an Al-Hikmah, Qur‟an Surat Al-Maidah (5) Ayat 38, (Bandung : Diponegoro)

62

Wahbab Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikri, 2011), h, 378.

52

sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia bermimpi senggama (baligh), orang yang gila sampai dia berakal .63

Hakim hanya berhak menerapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya atau e gga ti huku a ya de ga huku a Ta zi yaitu hukuman yang memberikan efek jera dari berbuat kesalahan yang sama di masa yang akan datang.64 Abdul Qadir Audah dala uku ya Tasy i Al-Ji a i Al-Islami menjelaskan mengenai sanksi pidana anak adalah :

ذخأ اذإ زيعملا ريغ ريغصلا وأ وتعملا وأ نو جملا عطقي َو

غل َام ةيفخ

دصقب ري

رغصلاو تعلاو نو جلا ةلاح نْ ، كلمت

أ ىلع ،لعافلا نع ةيئا جلا ةبوصعلا عفري امم

ن

عا تما

ىف عطقلا

رمْا و امك ريزعتلا ةبوقع نم عمي َ دق ةقرسلا

ىبصلا عم

،عطقي اف رشع ةسمخ علبي ملو عبس ىلع س ديزي ىذلا

بوقعب بقاعي كسلو

ةيبيدأن

A ti ya : dan orang gila, orang yang kurang akalnya dan anak kecil yang belum mumayiz itu tidak dipotong tangannya (diqishash) ketika mengambil hartanya orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan tujuan untuk dimilikinya. Karena sesungguhnya sifat gila, kurang akal dan sifat kecil itu adalah suatu perkara yang menyebabkan terhalangnya sebuah hukuman yang bersifat kejahatan dari si pelaku tersebut. Dan sesungguhnya tercegahnya potong tangan (qishash) itu terkadang tidak mencegah ko skue si huku a ta zi , sepe ti halnya

63

Sunan Abu Daud BAB 16 Juz 13 Nomor Hadits 4405 h.59 64

Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Syari‟at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 16.

53

terjadinya kasus pada anak yang masih kecil yang umurnya sudah mencapai umur lima belas tahun akan tetapi belum mencapai umur lima belas tahun, maka anak kecil tersebut tidak di potong tangannya (diqishash) akan tetapi anak kecil tersebut tetap dihukum, akan tetapi huku a ya e sifat ha ya se atas e didik .65

Dala huku a ta zi ya g e sifat e didik tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Je is huku a ta zi a ta a lain hukuman penjara, skors atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran pelakunya.66

c. Dalam asas hukum pidana islam menjelaskan bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana), apabila sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Dengan kata lain, tidak seorang pun dapat didakwa atas suatu kejahatan atau dijatuhi hukuman kecuali ada ketentuannya dalam Undang-Undang. Ketentuan ini dalam hukum positif disebut dengan istilah Asas Legalitas.67

Asas Legalitas pada hakekatnya untuk lebih menjamin kepastian hukum dan keadilan hukum dalam masyarakat. Sebagai konsekuensi dari Asas Legalitas tersebut

65

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Islami Jilid I, (Beirut: Daar al-Kitab, t.th), h. 609-610

66

Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 129.

67

54

pertanggung-jawaban pidana dalam hukum pidana Islam ditegakkan di atas tiga komponen, yaitu :

a) Adanya perbuatan yang dilarang. b) Dikerjakan dengan kemauan sendiri.

c) Pelakunya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Ketiga unsur pertanggungjawaban pidana di atas bersifat kumulatif yang berarti bahwa jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka pertanggungjawaban pidana gugur demi hukum. Karena itulah beban pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat, telah dewasa dan berkemauan sendiri bukan karena dorongan di luar kesadarannya.68

Dalam menentukan adanya unsur melawan hukum, maka faktor niat pelaku jarimah sangat menentukan berat ringannya hukuman bagi pelaku jarimah. Karena itulah jarimah yang dilakukan tetap dikenakan hukuman, untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Di samping itu ada empat alasan yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, yaitu terpaksa, mabuk, gila dan belum dewasa (baligh). Keempat unsur tersebut tidak menyebabkan perbuatan jarimah yang telah dilakukan berubah menjadi boleh. Esensi jarimahnya tetap Sebagai perbuatan yang melawan hukum, namun hukumannya dihapus dan diganti de ga huku a ta zi .69

68

Ibid. 69

Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 31.

55

Dalam menentukan hukuman ta zi tersebut diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya. Penguasa hanya menetapkan hukuman secara global, artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing- asi g ja i ah ta zi , melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.70

B. Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Menurut Hukum Positif

1. Pengertian Anak

Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertiannya, pengertian tersebut terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu :

1) Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Salah satu konsiderans pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah bahwa setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejaheraan anak

70

56

dengan memeberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.71

2) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada pasal 45 berbunyi:

Dala e u tut o a g ya g elu ukup u u (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pela gga a te se ut... .

Jadi pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak yang belum dewasa apabila berumur sebelum 16 tahun.72

3) Menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori :

71

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), h. 107.

72

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

(Wetboek van Strafrecht), Diterjemahkan oleh Moeljatno, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), Pasal 45.

57

a. Dalam Pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

b. Dalam Pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang berlum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.73

Beberapa pendekatan tentang pengertian anak :

a) Pengertian anak secara sosiologi

Menurut pengetahuan umum, anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak-anak adalah seorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Dalam masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan dewasa namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam pergaulan hidup masyarakat. Dalam pandangan hukum adat, begitu tubuh si anak tumbuh besar dan kuat, mereka dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang

73

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak 2012, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), Pasal 1 ayat 3 dan 4.

58

dilakukan orang tuannya. Pada umummnya mereka dianggap telah mampu memmberi hasil untuk memenuhi kepentingan diri dan keluarganya.74

b) Pengertian Anak Secara Psikologis

Dalam fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi untuk menentukan batasan terhadap seorang anak berdasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa. Seseorang dikualifikasikan sebagai seorang anak, apabila ia berada pada masa bayi hingga remaja usia 17 tahun sedangkan lewat masa tersebut seseorang sudah termasuk kategori dewasa, dengan ditandai adanya kestabilan, dan penuh pendirian.75

c) Pengertian Anak Secara Yuridis

Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua. Sedangkan dalam hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana.76

74

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013), h. 1.

75 Ibid. 76

59

2. Dasar Hukum Pidana Anak

Ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam beberapa dasar hukum pidana anak, adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ialah mengatur ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana. Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik.77Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.78

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian

77

Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2013), h. 27.

78

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradialan Anak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), h.66.

60

kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.79

3. Hak Anak Atas Perlindungan Hukum

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib da bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang 1945. Dalam Undang-Undang 1945 pada pasal 34 telah ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara . Hal i i e u juka ada ya pe hatia se ius da i pemerintah terhadap hak-hak anak dan perlindungannya.80

Perlindungan Anak secara lebih komprehensif diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam

79

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), penjelasan atas UU N0.23 Th.2002.

80

61

berbangsa dan bernegara.81 Berdasarkan pemikiran tersebut maka semua bentuk perhatian, pemeliharaan, dan seluruh aspek yang dapat dikategorikan dan dijangkau oleh kata perlindungan anak maka dapat dijadikan sebagai landasan yuridis. Sebelumnya perhatian terhadap hak dan kewajiban anak hanya terfokus kepada para orang tua sebagai orang yang terdekat dan yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak.

Wujud dari suatu keadilan adalah di mana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia tertentu. Dengan demikian hak anak atas perlindungan hukum yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan82 :

1) Setiap anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.

2) Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan orang dewasa.

3) Setiap anak mempunyai hak untuk dibela oleh seorang ahli hukum.

81

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Ibid.

82

62

4) Suasana tanya jawab dilaksanakan secara kekeluargaan, sehingga anak merasa aman dan tidak takut. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang dimengerti anak.

5) Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.

6) Setiap anak mempunyai hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian atau penderitaannya (Pasal 1 ayat 22 KUHAP)

7) Setiap anak mempunyai hak untuk sidang tertutup, hanya dikunjungi oleh orangtua, wali, orangtua asuh, petugas sosial, saksi dan orang-orang yang berkepentingan, mengingat kehormatan/kepentingan anak dan keluarga, maka wartawan pun tidak diperkenankan ikut serta kecuali mendapat ijin dari hakim dengan catatan identitas anak tidak boleh diumumkan.

8) Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi menggunakan pakaian bebas resmi.

9) Peradilan sebisa mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan yang matang sebelum dimulai.

10)Berita acara dibuat rangkap 4 yang masing-masing untuk Hakim Jaksa, petugas Bispa dan untuk arsip.

11)Jika Hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga Pemasyarakatan atau Panti Asuhan, maka perlu diperhatikan hak-haknya.83

[

Proses peradilan pidana merupaka suatu proses yuridis, dimana hukum ditegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan

83

63

mempunyai suatu motivasi tertentu. Peradilan pidana anak perlu memfokuskan titik perhatiannya pada 2 hal :

a. Masa depan pelanggar hukum yang berusia muda atau belum dewasa.

b. Akibat-akiabt sosiologis dan psikologis akibat diterapkannya suatu jenis hukuman.84

Dengan demikian, diharapkan bahwa hak tersebut selalu melatarbelakangi tindakan-tindakan yang diberikan Hakim dalam memutuskan perkara anak dan hak anak serta perlindungannya dalam Hukum Nasional dengan harapan bisa terwujud seoptimal dan seefisien mungkin.

4. Tindak Pidana Anak

Dalam lapangan hukum pidana tidak dikenal istilah ti dak pida a a ak , ya g dike al dala kepustakaa huku pida a adalah ti dak pida a . Istilah te se ut menunjuk kepada perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang, mungkin seseorang yang telah dewasa atau seorang anak yang masih dibawah umur. Istilah tindak pidana anak merupakan gabungan dari dau kata ti dak pida a da a ak , ya g asi g-masing mempunyai pengertian tersendiri.85

84

Ibid. 85

64

Dilihat dari segi perbuatan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak pidana yang dilakukan anak dengan tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. Yang membedakan diantara keduanya terletak pada pelakunya. Kejahatan itu sendiri dilihat dari konsep yuridis, berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam keadilan masyarakat bahwa perlu ada perbedaan pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-anak atau remaja dibandingkan yang dilakukan orang dewasa. Anak yang melakukan pelanggaran bukan merupakan orang-orang jahat, melainkan anak-anak nakal (Juvenile Delinquency).86

Anak nakal (Juvenile Delinquency) adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan anak-anak usia muda. Anak nakal memiliki kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa dikatakan kejahatan melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tak seimbang, pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan.87

Berikut beberapa contoh tindak pidana anak yang menjurus kepada masalah tingkah laku anak nakal (Juvenile

86

Ibid. 87

65

Delinquency) menurut Adler (dalam Kartini Kaertono, 1992:21-23)88 adalah :

1) Kriminalitas anak, remaja dan odelesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, meyerang, merampok, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhan, mencekik, meracuni, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya.

2) Perilaku kebut-kebutan dan ugal-ugalan dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwanya dan orang lain.

3) Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga membawa korban jiwa.

4) Minum-minuman keras, melakukan seks bebas, narkoba dan pergaulan bebas lainnya yang merugikan dirinya, keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Hal-hal tersebut diatas, apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat terutama dari pihak keluarga, aparat, pemerintah dan masyarakat sekitarnya. Maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindak pidana anak (kriminalitas).

5. Faktor Terjadinya Tindak Pidana Anak

Kejahatan sebagai fenomena sosial dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat seperti politik,

88

Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2013), h.12.

66

ekonomi, sosial budaya dan hal-hal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara. Adapun prespektif kriminologi bersifat dinamis dan mengalami pergeseran dari perubahan sosial dan pembangunan yang berkesinambungan. Memperhatikan perspektif kriminologi tentang kejahatan dan permasalahannya. Faktor-faktor yang mempengaruh perilaku anak melakukan tindak pidana yang disebabkan oleh beberapa penyebab, baik yang bersumber pada faktor Intern dan faktor Ekstern adalah sebagai berikut :89

1) Faktor Intern

Faktor Intern, yaitu faktor kejahatan/kenakalan yang berasal dari kemampuan fisik, dan moral anak itu sendiri, seperti :

a. Faktor pembawaan sejak lahir/keturunan, yang bersifat biologis, misalnya : cacat fisik, cacat mental, dan sebainya.

b. Pembawaan (sifat/watak) yang negatif, yang sulit diarahkan/dibimbing dengan baik, misalnya : terlalu bandel.

c. Jiwa anak yang masih terlalu labil, misalnya: kekanak-kanakan, manja dan sebagainya.

d. Tingkat intelegensi yang kurang menguntungkan, misalnya berpikir lamban atau kurang cerdas.

e. Kurangnya tingkat pendidikan anak baik dari visi agama maupun ilmu pengetahuan.

f. Pemenuhan kebutuhan pokok yang tak seimbang dengan keinginan anak.

89

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung : Alumni, 2014), h. 76

67

g. Tidak memiliki hobi dan bakat yang jelas dan kuat sehingga mudah dipengaruhi (terkontaminasi) oleh hal-hal yang negatif.

h. Tingkatan usia yang masih rendah, misalnya dibawah usia 7 tahun yang belum dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Mempertimbangkan aspek psikologi diatas adalah perbuatan yang penting bagi hakim dalam menilai pertanggungjawaban anak.

2) Faktor Ekstern

Hal ini disebabkan jiwa anak yang masih labil, acapkali lebih mudah dipengaruhi oleh faktor ekstern. Faktor ini berasal dari lingkungan orang tua, keluarga atau masyarakat yang kurang menguntungkan, seperti :

a. Kasih sayang orangtua yang kurang harmonis, kesenjangan kasih sayang orang tua dan anak, pemerataan kasih sayang

Dokumen terkait