• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyertaan Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia

B. Penyertaan Pidana

2. Penyertaan Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia

Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana. Dalam praktek sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana.65 Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain, yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.

Ada dua ajaran mengenai penyertaan pidana yaitu ajaran subjektif dan objektif. Menurut ajaran subjektif yang bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin sang pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila ia berkehendak, mempunyai tujuan, dan kepentingan yang

64 Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, …, 160

65 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), h. 117

paling besar dalam tindakan pidana tersebut, dialah yang membebaskan tanggung jawab pidana yang lebih besar.66

Sebaliknya, menurut ajaran objektif, yang menitik beratkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksudkan yang menentukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebaninya terhadap terjadinya tindak pidana.67

a. Syarat Penyertaan

Dapatnya tindakan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam melakukan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:68

1) Dari sudut subjektif, terdapat dua syarat yaitu:

a) Adanya hubungan batin atau kesengajaan dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan. Artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.

b) Adanya hubungan batin (seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh peserta lainnya.

2) Dari susut objektif ialah, bahwa perbuatan orang tersebut ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan seseorang itu

66Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan penyert aan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2009), h. 72

67 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan penyertaan, …, h. 72

68 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, …, h. 73

secara objektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil terhadap terwujudnya tindak pidana.

Dalam doktrin hukum pidana, terdapat dua sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yakni sebagai berikut:

1) Yang mengatakan bahwa semua yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya.

2) Yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama terlibat dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat-ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.69

b. Bentuk-Bentuk Penyertaan

Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut sebagai mededader (disebut para peserta atau pembuat) dan pasal 56 mengenai golongan yang disebut medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 dirumuskan sebagai berikut:70

(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:

69 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan penyertaan, …, h. 76

70 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan penyertaan, …, h. 78

1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 dirumuskan sebagai berikut:71

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana dan keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari kedua pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa penyertaan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:72

1) Pertama, kelompok orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal 55 ayat (1), yang di dalam hal ini disebut sebagai para pembuat (mededader), adalah mereka:

71 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, …, h. 79

72 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, …, h. 79

a) Yang melakukan (plegen), orangnya disebut sebagai pembuat pelaksana (pleger).

b) Yang menyuruh melakukan (doen pegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger).

c) Yang turut serta melakukan (mede plegen), orangnya disebut dengan pembuat peserta (doen pleger).

d) Yang sengaja menganjurkan (uittloken), orangnya disebut dengan pembuat penganjur (uittloker)

2) Kedua yakni orang yang disebut sebagai pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yng dibedakan menjadi:

a) Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.

b) Pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

Dengan diketahuinya dua bentuk penyertaan, maka kini dapatlah diketahui bahwa menurut sistem hukum pidana kita, dapat diketahui perihal siapa-siapa yang dapat membuat tindak pidana dan atau terlibat dalam terwujudnya tindak pidana yaitu:73

a) Orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan tindak pidana, dan yang disebut sebagai pembuat tunggal (dader).

b) Orang yang disebut sebagai para pembuat (mededader) yang dalam mewujudkan tindak pidana terlibat banyak orang, dan terdiri sebanyak 4 bentuk sebagaimana

73 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan penyertaan, …, h. 80

yang tercantum dalam pasal 55. Orang-orang ini melakukan perbuatan yang dipertanggungjawabkan sama seperti pembuat tunggal, yang berbeda dengan pembuat pembantu.

c) Orang yang disebut sebagai pembuat pembantu (medeplichtige) sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 56.

c. Kejahatan yang Menyebabkan dan Memudahkan Perbuatan Cabul

Kejahatan yang disebutkan di atas, tercantum dalam pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Barang siapa yang menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya pencaharian atau sebagai kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu taun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Apabila rumusan di atas dirinci, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut:74

1) Unsur-unsur objektif:

a) Perbuatannya:

(1) Menyebabkan dilakukannya perbuatan cabul.

(2) Mempermudah dilakukannya perbuatan cabul.

b) Objeknya: orang lain dengan orang lain.

c) Yang dijadikannya sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan.

74Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.

19

2) Unsur subjektif yakni adanya kesengajaan.

Dokumen terkait