• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 296 DAN 506 KUHP TENTANG MUCIKARI (SOUTENEUR) BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 296 DAN 506 KUHP TENTANG MUCIKARI (SOUTENEUR) BAB III"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 296 DAN 506 KUHP TENTANG MUCIKARI (SOUTENEUR)

BAB III

DiajukanUntukMemenuhi Salah

SatuSyaratGunaMemperolehGelarSarjanaHukum Islam PadaFakultasSyariah

Oleh :

SALFI NOVA 1312.005

JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BUKITTINGGI

TAHUN AKADEMIK 2017 M / 1438 H

(2)

DAFTAR ISI

Hal PERSETUJUAN PEMBIMBING

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Penjelasan Judul ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Mucikari ... 12

1. Pengertian Mucikari ... 12

2. Sejarah Singkat Mucikari dalam Islam ... 12

3. Mucikari dalam Pandangan Hukum Pidana Indonesia ... 17

4. Mucikari dalam Pndangan Hukum Islam ... 18

B. Tinjauan Umum Tentang Takzir ... 22

1. Pengertian Takzir ... 22

2. Ciri-ciri Tindak Pidana Takzir ... 22

(3)

3. Klasifikasi Tindak Pidana Takzir ... 23

4. Dasar Hukum disyariatkannya Takzir ... 26

5. Tujuan dan Syara-syarat Sanksi Takzir ... 28

6. Ruang Lingkup dan Pembagian Jarimah Takzir ... 29

7. Hukum Sanksi Takzir ... 30

8. Macam-macam Sanksi Takzir ... 31

C. Penyertaan Pidana ... 40

1. Penyertaan Pidana dalam Islam ... 40

2. Penyertaan Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia ... 44

D. Penjelasan Mengenai Mucikari dalam Pasal 296 KUHP ... 49

E. Mucikari dalam Pasal 506 KUHP ... 52

F. Penyertaan dalam Hukum Positif ... 54

1. Pengertian dan Istilah Penyertaan ... 54

2. Penyertaan dalam KUHP ... 55

BAB III HASIL PENELITIAN A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Praktik Mucikari ... 60

B. Analisis Penulis ... 70

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Kemunculan lokalisasi merupakan salah satu gejala sosial yang termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di samping

gelandangan (tuna wisma, tuna karya), penyalahgunaan narkotika dan alkohol, prostitusi, penyakit jiwa, tuna netra kriminal dan korelasi antara penyakit masyarakat dan kriminalitas. Jelas bahwa pelacuran atau prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat, dikarenakan kemerosotan di bidang pendidikan dan agama bisa

mengakibatkan kemerosotan moral.

Norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat mengharamkan adanya pelacuran dalam segala bentuknya, misalnya saja pelacuran tidak hanya dalam bentuk rumah- rumah bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk pelacuran terselubung yang telah menjadi rahasia umum. Tempat-tempat seperti klub malam, panti pijat, tempat dansa bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan sebagai tempat pelacuran.1

Persoalan di sekitar semua istilah, nama dan tempat transaksi “bisnis pelacuran” yang dari dulu sampai sekarang masih hangat saja diskusikan dalam berbagai kesempatan.

Bahwa pelacur memang merupakan masalah sosial yang rumit, yang tidak dapat disederhanakan sebagai masalah moral semata, meski dimensi moral pada masalah ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Di samping dimensi moral, terdapat dimensi

hukum. Politik, ekonomi, dan kesehatan yang memerlukan perhatian yang seimbang.

Mengenai orang yang mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, dalam artian ia menfasilitasi orang-orang agar dapat melakukan perbuatan lacur diatur dalam pasal 296 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah.”

Yang dapat dikenakan pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan dan laki- laki untuk melacur (bersetubuh/melepaskan nafsu kelaminya dengan jalan lain), di situ biasanya disediakan pula tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada seorang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak ada hubungannya dengannya, dan perempuan itu melakukan lacuran di rumah itu maka tidak dikenakan

1Soedjono, Pathologi Sosial:Gelandangan, Narkotika, Alkoholisme, Pelacuran, Penyakit Jiwa dan Lain-Lain,(Bandung:Alumni, 1974), h. 2

(5)

pasal ini, karena niatnya hanya ingin menyewakan rumah tidak bermaksud untuk mengadakan perbuatan cabul.2

Penyederhanaan dalam masalah ini baik dari segi pemahaman maupun penanganan tidak akan membuat masalah teratasi, sebaliknya akan membuat masalah tersebut berkembang lebih parah.3 Berbicara mengenai pelacur, prostitusi, dan segala hal yang berhubungan dengannya, ada segelintir orang yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan itu, ialah mereka yang sering disebut sebagai germo atau mucikari (souteneur). Mucikari adalah induk semang bagi perempuan yang melacur, ia mendapat bagian dari hasil yang didapatkan oleh perempun pelacur itu. Di dalam KUHP, mucikari diatur dalam pasal 506 yang berbunyi:

“Barang siapa sebagai mucikari (souteneur), mengambil untung dari pelacur perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan” 4

Ini terdapat pada buku III KUHP mengenai pelanggaran. Bisnis melacur tidak pernah merugi, mengingat keuntungan yang dapat dari penyelenggara kegiatan tersebut.

Besar kecilnya keuntungan tergantung pada cara pengelola bisnis mengemas bisnis dagangannya.

Dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. yang dimuliakan, sehingga anak Adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung, seperti akal untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik serta hak kepemilikan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya ia tidak dapat dijadikan sebagai barang dapat dimiliki, diperjual belikan atau dijadikan sebagai tunggangan pekerjaan. Islam dilengkapi dengan banyak pembelajaran, baik di dunia maupun di akhirat.

Di dalamnya terdapat banyak ketentuan-ketentuan sebagai batasan dari tingkah laku seseorang. Syariat Islam merupakan hukum-hukum agama yang takluk di bawah Tanzim dan tasyri’ (peraturan dan perundang-undangan syara’) yang telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Hadist. Begitu juga dengan melacur, bahwa pada hakikatnya Islam melarang tegas perbuatan ini. Berbagai bentuk jarimah (tindak pidana) bahkan dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan Hadist, masalah perzinaan (pelacuran) tak luput dari pembahasannya, karena perbuatan zina merupakan dosa besar.

Hukuman had untuk orang-orang yang melakukannya diterangkan dalam QS. An-nur:

2:

2Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, (Yogyakarta:

Media Wacana, 2005),h.217

3Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan …, h. 219

4 R. Susilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), h. 258

(6)





“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah mereka itu masing-masingnya seratus kali dera. Dan janganlah kamu kasih sayang dalam menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah kamu menyiksa keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Dalam hukum Islam, pada abad ke-7 Masehi, perbuatan tersebut (melacur)sudah dilarang karena teramat jelas kemudharatannya. Sebagaimana ayat di atas delik pelacuran atau perzinaan menerima hukuman seratu kali dera bagi pelaku ghairu muhshan dan bagi pelaku muhsan hukumannya yaitu dirajam. Rajam dari segi bahasanya artinya melempari batu.5 Diterangkan bahwa melacur sama artinya dengan berzina, itu artinya ketentuan hukum bagi orang-orang tersebut sudah terdapat dengan jelas (hukuman had) dalam hukum pidana Islam. Bertolak dari hal ini, mengingat bahwa dalam kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan orang-orang yang melakukan perbuatan, melainkan juga mengikut sertakan orangorang yang mempermudah orang- orang lain melakukan perbuatan, seperti orang yang mengadakan atau menyediakan tempat atau fasilitas untuk orang lain melakukan maksiat itu, termasuk di dalamnya ikut andilnya mucikari dalam kegiatan dosa tersebut.

Turut serta dalam melakukan pidana mungkin terjadi tampak sama-sama

menghendaki hasil dari tindak pidana yang dilakukan, dan mungkin pula terjadi karena sama-sama menghendaki hasil dari tindak pidana yang dilakukan.6Keturut sertaan baru dianggap ada apabila antara akibat dan tindak pidana yang terjadi terdapat pertalian langsung. Kalau bentuk keturut sertaan berupa permufakatan atau kesepakatan (samenspanning), tindak pidana yang terjadi harus merupakan hasil kesepakatan tersebut, tetapi jika itu bukan hasil persepakatan, tidak ada keturut sertaan.

Apabila bentuk keturut sertaan berupa hasutan (uitlokken), tindak pidana yang terjadi harus merupakan hasil hasutan. Akan tetapi jika tindak pidana itu bukan hasil hasutan atau hasutan tersebut tidak memiliki pengaruh pada diri pelaku langsung, tidak ada keturut sertaan. Karena itu harus ada pertalian sebab akibat antara bantuan dan tindak pidana yang terjadi.7

5 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Al-Majid An-Nur, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h.136

6Nuraisyah, Hukum Pidana Islam, (Bukittinggi: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) , 2004), h. 158

7 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT Karisma Ilmu), h. 45

(7)

Dari sudut pandang hukum Islam sendiri, sebenarnya belum ada sanksi yang pasti mengenai permasalahan mucikari. Sebab kasus ini, bukanlah kasus yang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW melainkan kasus kontemporer yang terjadinya jauh setelah zaman Rasulullah dan sahabat. Hanya saja, terdapat sebuah hadis yang menurut penulis relevan dengan kasus mucikari ini yakni hadis dari Daruquthni yang dikutip Syaukani yang Artinya: “Jika ada seseorang yang menahan orang dan ada orang yang membubuhnya, maka bunuh orang yang membunuh dan kurung orang yang menahan.”

Bahwa hukuman untuk orang-orang seperti mucikari tidak terdapat secara pasti dalam pidana islam. Sebagaimana pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP mengenai

mucikari dan orang-orang yang memudahkan orang lain melakukan perbuatan itu, yang menurut penulis sanksinya jika dilihat dari perkembangan prostitusi yang semakin marak, sudah tidak relevansi lagi.

Maka dari itu penulis tertarik menulis sebuah karya ilmiyah dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 296 Dan Pasal 506 KUHP Tentang Mucikari

(Souteneur).

Rumusan Masalah

Untuk memfokuskan pembahasan ini,agar tidak terjadi kesimpang siuran,maka penulis merumuskan masalah pada pembahasan ini adalah Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap pasal 296 dan pasal 506 KUHP Tentang

Mucikari(Souteneur)?

Tujuan dan Manfaat penelitian Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pasal 296 dan 506 KUHP tentang mucikari(souteneur).

Manfaat Penelitian

Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pengerstudi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi pada fakultas Syriah jurusan Hukum Tata Negara

Guna meningkatkan kemampuan ilmiyah dan menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai Pandangan Islam terhadap pasal 296 dan 506 Tentang

Mucikari(Souteneur).

Penjelasan Judul

Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul dan sebagai pendekatan awal pada pemahaman, maka perlu penulis jelaskan hal-hal berikut:

Tinjauan :Berasal dari kata tinjau yang berarti pandangan.8

Hukum Islam :Peraturan yang di rumuskan berdasarkan wahyu Allah SWT dan Rasul tentang laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.9

8WJS.Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1984), h.

54

9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:Grafindo Persada, 2000), h.8

(8)

Mucikari :Induk semang bagi perempuan lacur, germo, jaruman.10 KUHP :Adalah singkatan dari kitab Undang-undang Hukum Pidana materil yang terdiri dari tiga buku.11

Sehingga yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pasal 296 dan pasal 506 KUHP tentang mucikari (souteneur).

Metode Penelitian

Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut

diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara atau starategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data-data yang diperlukan.12Adapun metode yang digunakan dalam penulisan adalah:

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku, kitab dan lain-lain.13 Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan diatas, yang lebih jelasnya berhubungan dengan tinjauan hukum Islam terhadap pasal 296 dan 506 KUHP tentang mucikari(souteneur).

Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitik. Dimana metode deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data yang seteliti munkin tentang gejala atau fakta tersebut. 14Sedangkan analitik adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data penelitian untuk kemudian dilakukan penalahan guna mencari makna.15 Dalam hal itu, penulis menguraikan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok masalah dari kedua sistem hukum

tersebut,kemudian dikaji secara cermat sehingga dapat diambil suatu landasan penyelesaian.

Sumber data

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang di tempuh adalah dengan meneliti dan mengumpulkan

10 Deperteman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka, 2002), h.763

11 Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta:Ikhtiar Baru, 1983) J.4, h. 1908

12Irwan Soehartono,Metode Penelitian Sosial :Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2000), cet. 1V, h. 9

13Wirnano Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiyah:Dasar,Metode,Teknik,(Bandung:t.np, 1994), cet.7,h.25

14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), cet. 3, h. 10

15 Noeng Muhajir,Metodologi Penelitian Kualitatif,(Yogyakarta:Rok Sarasin, 1998), cet.4, h. 43

(9)

pendapat dari para sarjana dan ulama melalui buku-buku, kitab-kitab, serta karya ilmiyah lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang penulis angkatkan.

Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun sekunder akan diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.

Sumber Primer

Karena persoalan yang diangkat oleh penulis berawal dari hal-hal yang berhubungan dengan mucikari serta orang yang memudahkan atau mengadakan tempat untuk perbuatan cabul , maka sumber utama tentang mucikari dan permasalahannya adalah kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur permasalahan tersebut.

Selanjutnya , karena mucikari dan tetek bengeknya berhubungan dengan pelacuran dan lokalisasi, hal ini dikaitkan dengan hukum pidana Islam seperti zina dan

perbudakan. Buku- buku yang menjadi acuan dalam hal ini diantaranya adalah Tasyri’ jina‘i al-Islamy, dan buku –buku yang berhubungan dengan istyrak fil jarimah beserta takzir di antaranya buku fiqh jinayah karangan Nuraisyah, buku Ensiklopedi Hukum Pidana Islam karangan Ahsin Sakho Muhammad.

Sumber sekunder

Sebagai kerangka teori untuk melakukan analisa terhadap konsep yang sudah ada sebagaimana dideskripsikan dalam KUHP pasal 296 dan pasal 506 tentang mucikari,penulis mencari dan memakai ide dari buku-buku yang mempunyai

signifikansi dengan bidang kajian sebagaimana diangkat oleh penulis,baik buku atau kitab tersebut berupa literatur dari disiplin Ilmu Tafsir,Ilmu Ushul Fiqh,Kaidah Fiqhiyah,Ilmu Hukum dan Hukum Pidana.

Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengambil beberapa ketentuan yang ada serta menyelidiki kaidah- kaidah hukum mengenai pidana mucikari(souteneur) baik menurut KUHP maupun hukum pidana Islam.

Analisa data

Adapun metode analisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan cara berfikir induktif,deduktif,dan komperatif.Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari penyertaan yang bersifat khusus kepada pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif adalah pengambilan kesimpulan dari yang bersifat umum ke pernyertaan yang bersifat khusus.16

Kemudian menggunakan analisa komperatif dengan cara membandingkan ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda , dengan tujuan menemukan dan mencermati perbedaan serta persamaan antara pokok permasalahan, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai penyelesaian dari persoalan yang terdapat dalam permasalahan yang penulis angkatkan.

Sistematika Penulisan

Agar penulisan ini terarah dan mudah dipahami, maka penulis akan mengemukakan sistematika penulis sebagai berikut:

16Sutrisno Hadi, Metodologi Riset ,(Yogyakarta:Andi Offset, 1976), h. 50

(10)

BAB I Merupakan pendahuluan yang menjadi gambaran bagi penulis dalam menulis karya ilmiyah ini, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan nasalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan judul, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II Merupakan penjelasan isytiraq fil jarimah dan takzir.

BAB III Merupakan pasal 296 KUHP menurut hukum pidana Islam,pasal 506 KUHP menurut hukum pidana Islam,penyertaan dalam hukum positif, tinjauan islam terhadap mucikari,analisa penulis.

BAB IV Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

(11)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Mucikari

1. Pengertian Mucikari

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mucikari diartikan sebagai pemburu, induk semang bagi perempuan pelacur atau muncikari.17Mucikari, atau germo, adalah orang yang berperan sebagai pengasuh, perantara,atau pemilik pekerja seks komersial (PSK).18 Mucikari juga berarti makelar cabul yang membantu mencarikan langganan dan mendapat bagian dari hasil si pelacur. Mucikari juga diartikan sebagai induk semang yang mempekerjakan beberapa pelacur yang menjadi penghubung antara pelacur dan pengguna jasa pelacuran serta mendapat bagian hasil dari kerjanya menyediakan perempuan-perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK).

Adapun menurut Pasal 506 KUHP, mucikari adalah makelar cabul yang membantu langganan dan mendapat bagian dari hasil si pelacur.

2. Sejarah Singkat Mucikari dalam Islam

Istilah mucikari memang tidak ditemukan dalam Islam karena istilah mucikari merupakan istilah yang baru datang di zaman modern, namun praktik yang mirip dengan profesi mucikari telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini telihat dari

17 Deperteman Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka), h. 428

18Wikipedia, Mucikari dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Muncikari , Diakses Tanggal 26 Oktober 2016 Jam 20:00 WIB

(12)

beberapa riwayat yang menerangkan adanya pengeksploitasian budak oleh para tuannya yang dipaksa untuk melacur salah satunya riwayat dari Jabir, ia berkata Abdullah bin Ubay ibn Salul berkata kepada budak perempuannya yang bernama Masikah, “Pergi dan melacurlah untuk kami.” Dan ketika ayat tentang zina turun, budak tersebut berkata, “Demi Allah, saya tidak akan pernah berzina selamanya.”

Lalu Allah SWT menurunkan ayat:



































































































Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

Dalam tafsir lain dijelaskan diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua hamba sahaya perempuan, yaitu Musaikah dan Umaimah. Lalu ia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka

(13)

mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat ini.19 Diriwayatkan oleh Ibn Mardawaih dari Ali bahwa orang-orang Arab pada zaman jahiliyah memaksa budak-budaknya melacurkan diri untuk mendapatkan uang, maka hal itu dilarang dalam Islam dengan dasar ayat ini.

Dalam tafsir Jalalain dijelaskan: (wa latukrihu fa ta yatikum) “Dan janganlah kamu memaksa pemudi-pemudimu”, maksudnya budak-budak perempuanmu (“alal bigha”) untuk menjadi pelacur”, yakni berbuat zina. (in aradna takhasuhunan)“

sedang mereka sendiri menghendaki kesucian”, maksudnya menjaga diri dari perbuatan zina, keinginan inilah yang menjadi letak pemaksaan itu, (litabtaghu)

“karena kamu ingin mendapatkan” melalui pemaksaan itu (aradhalhayatidunya)

“Keuntungan duniawi.”20

As-Suddi berkata, “Ayat yang mulia ini turun kepada Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik. Dia memiliki budak wanita bernama Mu‟adzah. Bila seorang bertamu kepadanya, dia menyuruhnya agar melayani tamu berzina untuk mendapatkan imbalan darinya dan untuk menghormati tamu itu. Maka, mengadulah budak wanita tersebut kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Perihal itu, kemudian Abu Bakar juga mengadukannya kepada Rasulullah, maka beliaupun menyuruhnya untuk menahan budak itu. lalu, berserulah Abdullah bin Ubay bin Salul dengan lantang, “siapa yang menghalangi kami dari Muhammad? Dia telah bertindak

19Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 602

20Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah ; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), h. 54

(14)

terlalu jauh dalam mengatur budak-budak kita” maka Allah pun menurunkan ayat ini kepada mereka.21

Ibn Arabi mengutip dari riwayat Imam Malik dan az-Zuhri yang menyatakan bahwa seorang tawanan perang badr ditahan pada Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul.

Tawanan ini hendak berhubungan seks dengan Mu‟adzah, salah seorang dari budak wanita yang di pekerjakan „Abdullah sebagai pelacur itu.Tetapi Mu’adzah enggan karena ia telah memeluk Islam, namun „Abdullah memaksa dan memukulnya, dengan harapan wanita itu hamil dari sang tawanan, lalu ia menuntut ganti rugi.

Karena kebiasaan masyarakat jahiliyah adalah membayar kepada tuan pemilik hamba sahaya seratus ekor unta untuk membayar anaknya yang lahir dari sang pelacur milik tuan itu. Menurut riwayat tadi, Mu’adzah datang mengadu kepada Nabi SAW, dan turunlah ayat ini.22

Riwayat lain menyatakan bahwa „Abdullah Ibn Ubay memang menyediakan

“wanita-wanita penghibur” untuk menghormati tamu-tamunya. Salah seorang di antara mereka adalah Mu‟adzah. Saat itu tiba saatnya Mu’adzah mengadu kepada Sayyidina Abu Bakar ra. Dan melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW. Nabi

21 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilali Al-Qur‟an: di Bawah Naungan Al-Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 239

22 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, …, h.

541.

(15)

kemudian memerintahkan Abu Bakar menangkap Abdullah bin Ubay,ayat ini turun berkenan dengan kasus itu.23

Pada masa Jahiliyah dikenal empat macam cara untuk menjalin hubungan seksual. Pertama, cara yang dikenal hingga kini, yaitu melamar seorang wanita kepada walinya, membayar mahar, dan dinikahkan. Kedua, mengirim istri yang telah suci dari haidnya untuk “tidur” bersama seorang pria yang dipilih dan setelah jelas bahwa ia mengandung barulah ia kembali ke suaminya. Tujuan cara ini adalah memperoleh anak dari seorang yang dinilai memiliki benih unggul. Ketiga, berkumpul dalam satu grup yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang lalu mereka berhubungan dengan seorang wanita, dan bila hamil dan melahirkan dia memanggil seluruh anggota grup tanpa seorangpun yang dapat mengelak dan mengingatkan mereka tentang hubungan mereka dengannya. Lalu, wanita itu menunjuk salah seorang yang dipilihnya untuk menjadi ayah anaknya dan diberi nama dengan nama yang dinisbahkan kepada siapa yang terpilih itu. Yang ke empat, adalah “al-bigha”

(perzinahan, pelacuran). Kemudian Islam datang menghapus semua bentuk itu kecuali yang pertama.24

Sebagian orang jahiliyah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba perempuannya dan hasilnya supaya diserahkan kepada tuannya dengan jalan apapun.

Seringkali menjurus kepada perbuatan zina supaya dia dapat membayar apa yang

23 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, …, h.

541.

24 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟An, …, h 542

(16)

telah ditetapkan atas dirinya itu. Bahkan sebagian mereka ada yang sampai memaksa hamba sahayanya untuk melacur semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi yang rendah dengan pekerjaan yang terlarang itu.25

Berdasarkan dari beberapa riwayat di atas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya praktek-praktek semacam mucikari sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW meskipun istilah mucikari memang belum ada. Selain itu, perbedaan praktek mucikari pada zaman sekarang dengan zaman Rasulullah SAW adalah bahwa pada zaman Rasulullah SAW yang bertindak selaku mucikari adalah tuan dari para budak dan yang dieksploitasi adalah budaknya sendiri.

Adapun pada zaman sekarang, praktek mucikari dilakukan oleh seseorang yang memaksakan kepada orang lain yang ia tidak memiliki hak atas orang tersebut sedikitpun. Selain itu, juga dilakukan kepada orang lain yang menjadikan pelacuran sebagai profesinya untuk mencari penghidupan.

Adapun mengenai pandangan hukum Islam mengenai mucikari ini, menurut penulis sama halnya dengan pelarangan terhadap orang-orang yang memiliki budak dan memaksa budak-budak mereka untuk melacur untuk diambil hasil pelacuran tersebut. Maka hukum mucikari menurut penulis sama dengan hal tersebut. Sebab, jika eksploitasi seksual terhadap budak yang pada dasarnya memang adalah hak

25 Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, …, h. 182

(17)

tuannya saja dilarang, apalagi eksploitasi seksual yang dilakukan mucikari terhadap orang lain yang tidak ada satu orang pun memiliki hak atasnya kecuali Allah SWT.

3. Mucikari Dalam Pandangan Hukum Pidana Indonesia

Mengenai mucikari yang menjajakan Pekerja Seks Komersial (PSK) kepada lelaki hidung belang, pengaturannya bisa dilihat di Pasal 506 KUHP. Menurut Pasal 506 KUHP, mucikari adalah makelar cabul yang membantu mencarikan langganan dan mendapat bagian dari hasil si pelacur. Berdasarkan Pasal 506 KUHP, hukuman bagi mucikari yang mengambil untung dari pelacuran perempuan adalah kurungan selama-lamanya 3 bulan.26

Jika si mucikari juga menyediakan tempat prostitusi / rumah bordil, hukumannya menjadi lebih berat. Orang-orang yang mendirikan rumah prostitusi / rumah bordil, bisa dihukum berdasarkan Pasal 296 KUHP. Pasal 296 ini untuk memberantas orang-orang yang mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. Orang yang mengadakan rumah bordil/pelacuran misalnya menyediakan rumah atau kamar-kamar kepada perempuan dan laki-laki untuk melacur.

Berdasarkan Pasal 296 KUHP, hukuman untuk orang yang mngadakan rumah bordil adalah penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya 15 ribu (sebelum disesuaikan).

26Klinik Hukum, Jerat Hukum Mucikari, PSK dan Pengguna Jasanya dalam http://www.klinikhukum.co.id/jerat-hukum-mucikari Diakses Tanggal 26 Oktober Jam 20:30 WIB

(18)

Ketentuan hukuman bagi para mucikari atau germo yang terdapat dalam pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) banyak menuai kritik dari sebagian ahli hukum karena dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman sekarang, sehingga denda Rp 15 ribu dalam Pasal 296 KUHP ini telah disesuaikan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Th 2012, menjadi Rp 15 Juta.27

4. Mucikari dalam Pandangan Hukum Islam

Dalam hukum Islam, tidak dikenal istilah mucikari, hal ini dikarenakan pada zaman Rasulullah SAW dan sahabat, mucikari atau induk semang dalam pelacuran sebagaimana yang ada saat ini belum ada. Namun praktek mucikari dalam bentuk sederhana seperti seseorang memaksa budaknya untuk melacur memang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun dipaksakan kepada budak milik sendiri, namun praktek seperti ini tetap dapat digolongkan sebagai praktek mucikari.

Meskipun praktek mucikari tidak ada ketentuan hukumnya dalam Islam, namun Islam memiliki aturan yang melarang seseorang mengeksploitasi budaknya dalam bidang seksual. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an Surat An-Nur: 33 yang berbunyi:

َلَ َنيِذَّلا ِفِفْعَ تْسَيْلَو ِلْضَف ْنِم َُّللَّا ُمُهَ يِنْغُ ي َّٰتََّح اًحاَكِن َنوُدَِيَ

ِه َكَلَم اَِّمِ َباَتِكْلا َنوُغَ تْبَ ي َنيِذَّلاَو ۗ ْت

اًرْ يَخ ْمِهيِف ْمُتْمِلَع ْنِإ ْمُهوُبِتاَكَف ْمُكُناَْيَْأ ِذَّلا َِّللَّا ِلاَم ْنِم ْمُهوُتآَو ۗ

ْمُكاَتآ ي َلَع ْمُكِتاَيَ تَ ف اوُهِرْكُت َلََو ۗ

ى

اَيْ نُّدلا ِةاَيَْلْا َضَرَع اوُغَ تْبَتِل اًنُّصََتَ َنْدَرَأ ْنِإ ِءاَغِبْلا ُهْهِرْكُي ْنَمَو ۗ

وُفَغ َّنِهِهاَرْكِإ ِدْعَ ب ْنِم ََّللَّا َّنِإَف َّن ٌميِحَر ٌر

27 Klinik Hukum, Jerat Hukum Mucikari, PSK dan Pengguna Jasanya dalam http://www.klinikhukum.co.id/jerat-hukum-mucikari Diakses Tanggal 26 Oktober Jam 20:30 WIB

(19)

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”(QS. An-Nur:33)

Asbabun nuzul ayat ini adalah dari Jabir, ia berkata Abdullah bin Ubay ibn Salul berkata kepada budak perempuannya yang bernama Masikah, “Pergi dan melacurlah untuk kami.”Dan ketika ayat tentang zina turun, budak tersebut berkata,

“Demi Allah, saya tidak akan pernah berzina selamanya.” Lalu Allah SWT menurunkan ayat,“...dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.28

Dalam tafsir lain dijelaskan: Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua hamba sahaya perempuan, yaitu Musaikah dan Umaimah lalu ia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat ini.29

Nabi Muhammad SAW melarang dengan tegas untuk mengambil upah atau bayaran dari pelacur dan melarang untuk menjerumuskan seseorang dalam tindakan pelacuran dan mengambil upah dari usaha pelacuran tersebut.Karena tindakan pelacuran merupakan sebuah pekerjaan yang dilarang dalam Islam.Didalamnya

28 Abu Nizhan, Al-Qur‟an Tematis, …, h. 514.

29 Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, …, h. 602

(20)

mengandung bahaya bagi masyarakat, baik terhadap akidahnya dan sendi-sendi sopan santun.

Sebagian orang jahiliyah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba perempuannya dan hasilnya supaya diserahkan kepada tuannya dengan jalan apapun.

Seringkali menjurus kepada perbuatan zina supaya dia dapat membayar apa yang telah ditetapkan atas dirinya itu. Bahkan sebagian mereka ada yang sampai memaksa hamba sahayanya untuk melacur semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi yang rendah dengan pekerjaan yang terlarang itu.30

Tindakan mucikari itu sendiri tidak terdapat secara jelas dan rinci dalam Islam, namun jika dipahami dan dicermati berdasarkan penjelasan ayat QS. An- Nur,24:33 dan hadis Nabi tentang larangan melacurkan budak-budak wanita yang dilakukan oleh tuannya, serta melarang mengambil upah (keuntungan) dari wanita pelacur. Maka dapat diketahui bahwa sebenarnya praktek mucikari telah ada sejak zaman Rasulullah SAW hanya saja, pada masa Rasulullah yang dipaksa melacur adalah budak milik sendiri sampai akhirnya turun ayat yang dengan tegas melarang tindakan tersebut.

Islam tidaklah mengharamkan suatu pekerjaan kecuali didalamnya terdapat kezaliman, penipuan, penindasan. Maka hal tersebut sangat dilarang oleh Islam.

Karena setiap usaha yang datang melalui jalan yang diharamkan tersebut merupakan

30Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 2008), h. 182

(21)

suatu dosa termasuk pekerjaan perantara (mucikari, germo) yang hal tersebut dapat membuka jalan kepada suatu hubungan yang diharamkan oleh Islam.

Dalam hukum pidana Islam secara jelas tidak menemukan bentuk pidana atau jarimah terhadap perilaku tindakan eksploitasi seksual, karena hal tersebut merupakan sebuah kasus yang baru, belum terjadi pada zaman Nabi, akan tetapi terdapat beberapa ayat Al-Qur‟an dan hadis Nabi yang memang tidak langsung berkaitan dengan eksploitasi, namun ada kemiripan yakni ayat dan hadis yang berbicara masalah tindakan pelacuran yang terjadi pada zaman Nabi dahulu, yaitu tindakan pelacuran yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap budak- budak wanitanya.

Beratnya ancaman pidana dalam Islam diiringi aturan-aturan yang menghindari manusia dari dorongan nafsu seksual yang bebas, dan mendorong umatnya untuk melakukan perkawinan sebagai jalan yang sah untuk melakukan hubungan seksual. Karena salah satu prinsip yang ditetapkan dalam Islam adalah bahwa jika Islam melarang suatu perbuatan, maka ia juga melarang segala macam perantara yang mengarah pada sesuatu yang dilarang itu dan menutup jalan menuju kearah yang dilarang tersebut.

Berdasarkan konsep saddudz dzara’i yaitu bahwa Allah melarang sesuatu berarti juga melarang mengerjakan sesuatu yang menjadi jalan menuju sesuatu yang dilarang itu. Begitu juga Allah menyuruh sesuatu berarti juga menyuruh mengerjakan jalan (sarana) yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang disuruh itu, artinya

(22)

jalan-jalan yang akan melancarkan terjadinya kerusakan wajib dihindarkan.31 Dengan begitu, maka perbuatan mucikari juga merupakan sebuah perbuatan atau profesi yang terlarang dalam Islam, sebab tindakan ini termasuk perbuatan yang menjadi sarana dalam terjadi sebuah keburukan yaitu keburukan dari perilaku zina.

B. Tinjauan Umum tentang Takzir 1. Pengertian Takzir

Secara bahasa, takzir bermakna al-Man’u artinya pencegahan. Menurut istilah takzir bermakna at-tadib (pendidikan) dan at- Tankil (pengekangan) adapun definisi takzir secara syar’i adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang di dalamnya tidak ada had dan kifarat. Menurut abu bakar jabir al jazairi, takzir adalah sanksi disiplin dengan pemukulan, atau penghinaan, atau embargo, atau pengasingan.

Maka tindak pidana takzir adalah tindak pidana yang apabila dilakukan diancam dengan sanksi disiplin berupa pemukulan, atau penghinaan,atau embargo, atau pangasingan. Hanya saja, sebagian ulama memasukkan hukuman mati bagi kasus tertentu dalam tindak pidana takzir. Takzir telah ditetapkan bagi setiap pelanggaran yang syra’i , selain dari kejahatan hudud dan kejahatan jinayah,semua yang belum ditetapka kadar sanksinya oleh syar’i, maka sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya.32

31 Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h.246

32 Asadullah Al Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h. 54

(23)

Ulama sepakat menetapkan bahwa takzir meliputi semua kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hudud dan bukan pula termasuk jenis jinayat hukuman takzir ditetapkan dua kejahatan, yaitu kejahatan meninggalkan kewajiban atau kejahatan melanggar larangan.33

2. Ciri-ciri Tindak Pidana Takzir

Tindak pidana takzir merupakan tindak pidana yang paling luas cakupannya yaitu pelanggaran atau kemaksiatan apa saja selain hudud dan jinayah.

a. Landasa dan ketentuan hukumnya didasarkan pada ijmak.

b. Mencakup semua bentuk kejahatan /kemaksiatan selain hudud dan qisas.

c. Pada umumnya takzir terjadi kasus-kasus yang belum ditetapkan ukuran sanksinya oleh syarak,meskipun jenis sanksinya telah tersedia.

d. Hukuman ditetapkan oleh penguasa atau qadhi (hukum)

e. Didasarkan pada ketentuan umum syariat Islam dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.34

3. Klasifikasi Tindak Pidana Takzir

Secara umum tindak pidana takzir terbagi menjadi tiga bagian,yaitu sebagai berikut:35

33 Asadullah Al Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, …, h. 54

34Asadullah Al Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, …, h. 54

35Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 284-308

(24)

a. Tindak pidana hudud dan tindak pidana qisas yang syubahat,atau tidak jelas,atau tidak memenuhi syarat,tetapi merupakan maksiat. Contohnya percobaan pencurian, percobaan perzinaan, pencurian dalam keluarga dan lain-lain.

b. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh al-qur’an dan hadis tetapi tidak ditentukan sanksinya. Contohnya penghinaan, sanksi palsu, tidak melaksanakan amanah, makan babi, mengurangi timbangan, riba, dan sebagainya.

c. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil amri (penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemaslahatan umum. Contohnya pelanggaran terhadap berbagai peraturan penguasa yang telah ditetapkan berdasarkan ajaran Islam, korupsi, kejahatan ekonomi,dan lain sebagainya.

Berdasarkan pelangarannya,maka tindak pidana tak’zir terbagi menjadi tujuh kelompok,yaitu sebagai berikut:36

a. Pelangagaran terhadap kehormatan, di antaranya:

a) Perbuatan-perbuatan yang melanggaran kesusilaan.

b) Perbuatan-perbuatan yang melanggaran kesopanan.

c) Perbuatan –perbuatan yang berhubungan dengan suami istri d) Penculikan

b. Pelangaran terhadap kemuliaan,di antaranya a) Tuduhan-tuduhan palsu

b) Pencemaran nama baik

36 Asadullah Al Faruq, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, …, h. 55

(25)

c) Penghinaan,hujatan,dan celaan

c. Perbuatan yang merusak akal,di antarannya

a) Perbuatan – perbuatan yang berhubungan dengan sesuatu dapat yang merusak akal, seperti menjual, membeli, membuat, mengedarkan, menyimpan,atau mempromosikan minuman khamar,narkotika,psikotropika,dan sejenisnya:

b) Menjual bahan-bahan tertentu,seperti anggur,gandum, atau apapun dengan maksud untuk dibuat khamar oleh pembelinya.

d. Pelanggaran terhadap harta, di antaranya:

a) Penipuan dalam masalah muamalat b) Kecurangan dalam perdagangan c) Ghasab (meminjam tanpa izin) d) Penghianatan terhadap amanah harta e. Gangguan keamanan, di ataranya

a) Berbagai gangguan keamanan terhadap orang lain,selain dalam perkara hudud dan qisas.

b) Menteror, mengancam, atau menakuti-nakuti orang lain.

c) Penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk dirinya sendiri dan merugikan orang lain

f. Subversi/gangguan terhadap keamanan negara, di antaranya:

a) Makar, yang tidak melalui pemberontakan b) Mata-mata

c) Membocorkan rahasia negara

(26)

g. Perbutan yang berhubungan dengan agama.

a) Menyebarkan ideology dan pemikiran kufur

b) Mencela salah satu dari risalah Isalam,baik melalui lisan maupun tulisan.

c) Pelanggaran – pelanggaran terhadap ketentuan syariat,seperti meninggalkan sholat,terlambat membayar zakat,berbuka puasa siang hari di bulan ramadhan tanpa uzur.

Secara garis besar, ajaran Islam terdiri atas iman,Islam, dan ihsan atau akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga kategori pokok ajaran tersebut didasarkan atas hadis shahih yang menyebutkan bahwa malaikat jibril pernah mendatangi rasulullah dan para sahabat untuk bertanya tentang iman,Islam, dan ihsan yang sebenarnya merupakan cara untuk menyampaikan tiga hal tersebut.

Selanjutnya, ulama memilah ketiganya menjadi tiga disiplin ilmu mendasar dalam memahami ajaran agama Islam. Iman atau akidah dipelajari melalui disiplin ilmu tauhid, Islam atau syariah dipelajari melalui disiplin ilmu fiqhi, dan ihsan atau akhlak dipelajari di siplin ilmu tasawuf. Jika seorang muslim ingin memahami ajaran agama Islam secara kaffah, maka ketiga disiplin ilmu tersebut harus dipelajari secara baik. Mempelajari atau mempraktekkan ajaran Islam secara persial, yaitu hanya bagian- bagian tertentu saja akan membawa dampak buruk. Oleh sebab itu,totalitas dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam diwajibkan oleh allah. Ilmu tauhid berbicara tentang rukun iman dan seluk-seluk kehidupan setelah mati, baik di alam

(27)

barzakh maupun di alam akhirat. Adapun ilmu fiqh berbicara tentang ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdah

4. Dasar hukum disyariatkannya Takzir

Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam beberapa hadis nabi dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut, yaitu sebagai berikut:

ةمهتلا ىف سبح مّلسو هيلع الله ىلص ّيبّنلا ّنأ ,هّدج نع يبا نع ميكح نبا زهب نع

Artinya: “Dari bahzs bin hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya nabi menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.”(HR. Abu Dawud, Al-tirmidzi,al-nasa’I baihaki . dishahikan oleh hakim)37

Hadis kedua

لص الله لوسر عمس هنا يراصنلاا ةدرب يبا نع ي لا : لوقي ملس و هيلع الله ى

دحا دلج

الله دودح نم دح ىف لاا طاوسا ةرشع قوف

.

Artinya: “Dari abi burdah al- anshari bahwa ia mendengar rasulullah bersabda tidak boleh dicambuk lebih dari sepuluh kali, kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh allah.”(HR.Muttafaq alaih)38

Hadis ketiga

دودحلا لاا مهتارسع ت ائيه ىوذ اوليقا لاق يبنلا نا ةشع اع نع

Artinya: “Dari Aisyah ra.bahwa nabi bersabda ringankanlah hukuman bagi orang- orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka,

37Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), h. 497

38Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mesir: Maktabah Mustafa Al-Bab Al- Halabi, 1960), h. 37

(28)

kecuali dalam jarimah-jarimah hudud.”(HR.Ahmad, abu dawud,al- nasa’I , dan al- baihaqi)39

Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksetensi takzir dalam syariat islam. Berikut ini penjelasannya:40

a. Hadist pertama menjelaskan tentang tindakan nabi yang menahan tersangka pelaku tindak pidana untuk memudahkan proses penyelidikan. Apabila tidak ditahan,dikhawatirkan orang tersebut melarikan diri, menghilangkan barang bukt,atau mengulangi perbuatan tindak pidana.

b. Hadist kedua menjelaskan tentang batas hukuman takzir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan untuk membedakannya dengan hudud. Dengan batas hukuman ini, dapat diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir. Menurut Al- kahlani, ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, meminum khamar, pemberontakan, murtad, pencurian,dan perampokan. Adapun jarimah qishas –diyat terdiri atas pembunuhan dan penganiayaan. Masing –masing jarimah itu,dibedakan lagi:pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, dan pembunuhan tersalah:

penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Selain dari jarimah- jarimah yang sudah disebutkan ,termasuk ke dalam jarimah takzir. Meskipun demikian, tetap saja ada perselisihan, di antaranya mengenai liwath(homoseksual atau lesbian)

39 Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, Subul Al-Salam, …, h. 38

40 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h. 141

(29)

c. Hadist ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman takzir yang bisa jadi berbeda-beda penerapannya ,tergantung status pelaku dan hal lainnya.

Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk hudud dan takzir, antara lain tindakan umar bin Al- Khathhab ketika mlihat seseorang yang menelantangkan kambing,untuk disembelih. Setelah ditelantangkan, ia baru mengasah pisau. Umur mencambuk orng itu dan berkata,Asahlah dulu pisau itu.

5. Tujuan dan Syarat- Syarat Sanksi Takzir

Di bawah ini tujuan dari berlakunya sanksi takzir, yaitu sebagai berikut.

a. Preventif (pencegahan). Ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah.

b. Represif (membuat pelaku jera). Dimasukkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari.

c. Kuratif (islah). Tak’zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian hari.

d. Edukatif (pendidikan). Diharapkan dapat mengubah pola hidupnya kea rah yang lebih baik.41

Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah tak’zir,tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan

41 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 142

(30)

sampai yang paling berat. Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang sesuai. Dengan demikian,sanksi takzir tidak mempunyai batas tertentu. Takzir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat.

Tidak ada perbedaan ,baik laki-laki maupun perempuan dewasa maupun anak- anak,atau kafir maupun muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat perlu diberi sanksi takzir agar tidak mengulangi perbuatannya.42

6. Ruang Lingkup dan Pembagian Jarimah Takzir

a. Jarimah hudud atau qishas –diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi takzir. Contohnya percobaan pencurian,pecobaan pembunuhan, dan percobaan zina.

b. Jarimah yang ditentukan al-quran dan hadist, namun tidak ditentukan sansiknya.

Misalnya penghinan, tidak melaksanakan amanah,sanksi palsu,riba,suap dan pembalakan liar.

c. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti penipuan, pencopetan, pornograpi dan pornoaksi, penyeludupan.43

Jarimah takzir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

42 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 143

43Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 144

(31)

a. Jarimah takzir yang menyinggung hak allah, yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya berbuat kerusakan dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita yang bukan istrinya,penimbuhan bahan-bahan pokok dan penyeludupan.

b. Jarimah takzir yang menyinggung hak perorangan (individu) yaitu setiap perbuatan yang mangakibatkan kerugian pada orang tertentu bukan orang banyak.

Contohnya penghinaan,penipuan,dan pemukulan.44

7. Hukum Sanksi Takzir

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum saksi takzir berikut ini adalah penjelasannya:

a. Menurut golongan malikiyah dan hanabilah , takzir hukumnya wajib sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariat kan untuk menegakkan hak allah dan seorang kepala daerah tidak boleh mengabaikannya.

b. Menurut mazhab syfi’i , tak’zir hukumnya tidak wajib. Seseorang kepala negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut hak adami.

44Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), h. 197

(32)

c. Menurut mazhab hanafiyah, takzir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan , kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan dengan hak allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam penegakkannya maka ia melaksanakan kepurusan itu. Akan tetapi,jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkanya. Artinya si pelaku mendapat ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini ibnu Al- Haman berpendapt, apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan hukum takzir berkenaan dengan hak allah adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya,kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan.45

Takzir dilakukan untuk menegur atau memberikan pelajaran. Oloeh karena itu keringanan dalam cambukan hanya terdapat pada jumlahnya, bukan meniadakannya sama sekali. Penetapan sanksi takzir dilakukan melalui pengakuan,bukti,serta pengetahuan hakim dan sanksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum laki- laki dibolehkan ,namun tidak diterima jika sanksi dari kaum perempuan saja.46

8. Macam-Macam Sanksi Takzir

a. Sanksi Takzir yang Berkaitan dengan Badan

45 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 145

46 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …., h. 145

(33)

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sanksi takzir itu beragam. Adapun mengenai sanksi takzir yang berkaitan dengan badan, dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman mati dan cambuk.

a) Hukuman mati

Mazhab Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati apabila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang dan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Contohnya, pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi yang baru masuk islam. Kalangan malikiah dan sebagian hanabilah juga membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi.

sangsi ini da dapat diberlakukan terhadap mata-mata dan orang yang melakukan kerusakan di muka bumi.demikian pula sebagian. kalangan syafi’iyah yang membolehkan hukuman mati,seperti dalam kasus homoseks.selain itu, hukuman mati juga boleh diberlakukan dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari alquran dan sunnah.47

Ulama yang membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir beralasan dengan hal-hal berikut:48

1) Hadis yang diriwayatkan imam ahmad al-hamiri,ia menceritakan ‘saya berkata rasulullah,kami berada di suatu daerah untuk melepaskan suatu tugas yang berat dan kami membuat minuman dan perasan gandum untuk kekuatan kami dalam

47 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 147

48 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 147

(34)

melaksanakan pekerjaan yang berat itu. Rasulullah bertanya, apakah minuman itu memabukkan’ saya menjawab, ya nabi bertutur,kalau demikian, jauhilah.saya bajur,akan tetepi,orang-orang tidak meninggalkannya,perangilah mereka.’’

2) orang yang melakukan kerusakan di muka bumi apabila tidak ada jalan lain lagi,boleh di hukum mati

3) hadis yang menunjukkan adanya hukuman mati selain hudud.

ُتْقاَف ْمُكَتَعاَمَج َق ِّرَفُي ْوَأ ْمُكاَصَع َّقُشَي ْنَأ ُدي ِرُي ٍد ِحا َو ٍلُج َر ىَلَع ٌعيِمَج ْمُك ُرْمَأ َو ْمُكاَتَأ ْنَم ُهوُل

Artinya: “Jika ada seseorang yang mendatangi kalian , ketika kalian berada dalam suatu kepemimpinanyang sah lalu orang tersebut ingin merusak tongkat persatuan atau memecah- belah kalian, maka bunuhlah orang tersebut.”

(Hr.muslim)

Adapun ulama yang melarang penjatuhan sanksi hukuman mati sebagai sanksi takzir, beralasan dengan hadis berikut.

ُبِّيَّثلا : ٍث َلََث ىَدْحِإِب َّلاِإ ٍمِلْسُم ٍئ ِرْما ُمَد ُّل ِحَي َلا(( : الله ُل ْوُس َر َلاَق :َ لاَق ٍد ْوُعْسَم ِنْبا ِنَع ، ْيِنا َّزـ لا

))ِةَعاَمَـجْلِل ُق ِراَفـُمـْلا ِهِنْيِدِل ُك ِراَّتلا َو ، ِسْفَّنلاِب ُسْفَّنلا َو

ٌمِلْسُم َو ُّي ِراَخُبْلا ُها َو َر . .

Artinya:Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin)’.” (HR al-Bukhâri dan Muslim)

Berdasarkan hadis tersebut, hanya tiga jenis jarimah itulah yang dapat dijatuhi hukuman mati.sementara itu,hadis yang diriwayatkan al-dailami dianggap lemah.

Dari uraian di atas, tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan

(35)

hukuman mati. Meskipun demikian, pembolehan ini disertai persyaratan yang ketat.

Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:49

1) jika terhukum adalah residivis dimana hukuman-hukunan sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa baginya

2) harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan umat serta pencegahan kerusakan yang menyebar di muka bumi

Kesimpulannya adalah hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi hanya diberika kepada pelaku jarimah yang berbahaya sekali ; berkaitan dengan jiwa keamanan ,dan ketertiban masyarakat; di samping sanksi hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya. Oleh karena itu ,sangat lah tepat jika menetapkan hukuman mati bagi para koruptor dan produsen atau pengedar narkoba.kedua jarimah itu sangatlah membahayakan umat manusia.

b) Hukuman cambuk

Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah takzir.

Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan dan jarimah qadzf.namun dalam jarimah takzir,hakim diberikan

49 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 149

(36)

kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku,situasi,dan tempat kejahatan.50

Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan hukuman lainnya,yaitu sebagai berikut:51

1) lebih menjerakan dan lebih memiliki daya resresif,karena dirasakan langsung secara fisik.

2) bersifat fleksibel.setiap jarumah memiliki jumlah cambukan yang berbeda-beda.

3) berbiaya rendah .tidak membutuhkan dana besar dan penerapannya sangat praktis.

4) lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini bersifat pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga terhukum.apabila sanksi ini sudah dilaksanakan,terhukum dapat langsung di lepaskan dan dapat beraktivitas seperti biasanya.dengan demikian,hal ini tidak membawa akibat yang tidak perlu kepada keluarganya. Allah berfirman:

َلَع َّلاِإ ٍسْفَن ُّلُك ُبِسْكَت َلا َو ۚ ٍءْيَش ِّلُك ُّب َر َوُه َو اًّب َر يِغْبَأ ِ َّللَّا َرْيَغَأ ْلُق ِزا َو ُر ِزَت َلا َو ۚ اَهْي

ٌة َر

َنوُفِلَتْخَت ِهيِف ْمُتْنُك اَمِب ْمُكُئِّبَنُيَف ْمُكُع ِج ْرَم ْمُكِّب َر ٰىَلِإ َّمُث ۚ ٰى َرْخُأ َر ْزِو

Artinya: “Katakanlah, Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudia kepada Tuhanmulah kamu kembali dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am:164)

Adapun mengenai maksimal hukuman cambuk dalam jarimah ta’zir, ulama berbeda pendapat:52

50 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 149

51 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 149

(37)

1) Mazhab Hanafi. Tidak boleh melampaui batas hukuman had.

2) Abu Hanifah. Tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi peminum khamar adalah dicambuk 40 kali.

3) Abu Yusuf. Tidak boleh lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.

4) Ulama Malikiyah. Sanksi ta’zir boleh melebihi had selama mengandung mashlahat. Mereka berpendapat pada keputusan Umar bin Al-Khatab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal.

5) Ali pernah mencambuk peminum khamar pada siang hari bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali sebagai ta’zir.

b. Sanksi Ta’zir yang Berkaitan dengan Kemerdekaan Seseorang

Mengenai hal ini, ada dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara dan hukuman pengasingan. Berikut penjelasannya:

a) Hukuman penjara

Dalam bahasa Arab, ada dua istilah untuk hukuman penjara, yaitu al-habsu dan al-sijnu yang keduanya bermakna al-man’u, yaitu mencegah, menahan. Menurut Ibnul Qayyim, al-habsu ialah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan

52 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 150

(38)

yang melanggar hukum, baik itu di rumah, mesjid, maupun tempat lain. Demikianlah yang dimaksud dengan al-habsu di masa Nabi dan Abu Bakar. Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada masa pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin Umayyah dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan penjara.53

Berdasarkan pemiiran ini, kebanyakan ulama membolehkan ulil amri untuk membuat penjara. Sebaliknya,ada pula ulama yang tidak membolehkannya karena Nabi dan Abu Bakar tidak membuatnya, meskipun beliau pernah

Berdasarkan pemiiran ini, kebanyakan ulama membolehkan ulil amri untuk membuat penjara. Sebaliknya,ada pula ulama yang tidak membolehkannya karena Nabi dan Abu Bakar tidak membuatnya, meskipun beliau pernah menahan seseorang dirumahnya atau di masjid. Para ulama membolehkan sanksi penjara, juga berdalil tindakan Utsman yang memenjarakan Zhabi’ bin Harist, Ali yang memenjarakan Abdullah bin Zubair di Mekah dan Rasulullah yang menahan seorang tertuduh untuk menunggu proses persidangan. Mengenai tindakan yang terakhir, hal itu beliau lakukan karena khawatir si tertuduh akan melarikan diri,

menghilangkan barang bukti, dan mengulangi kejahatan.54 Hukum penjara dapat menjadi hukuman pokok dan hukuman tambahan sebagai berikut

1) Hukum penjara terbatas

53 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 152

54Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 152

(39)

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman ini ditetapkan antara lain untuk jarimah penghinaan, menjual khamar, memakan riba, berbuka puasa pada siang hari di bulan ramadan tanpa uzur, mengairi ladang dengan air milik orang lain tanpa izin, dan bersaksi palsu.

Adapun mengenai lamanya hukuman penjara, tidak ada kesepakatan.

Sebagian ulama, seperti dikemukakan oleh Imam Az-Zaila’i yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, berpendapat bahwa lamanya penjara adalah dua bulan, atau tiga bulan, atau kurang, atau lebih. Sebagian lain berpendapat bahwa penentuan tersebut diserahkan kepada hakim.55

2) Hukuman penjara tidak terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya dan berlangsung terus sampai si terhukum meninggal dunia atau bertaubat. Hukuman ini dapat disebut juga dengan hukuman penjara seumur hidup, sebagaimana yang telah diterapkan dalam hukum positif Indonesia. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga atau seseorang yang mengikat orang lain lalu melemparkannya ke kandang harimau.

55 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 153

Referensi

Dokumen terkait

Perbuatan main hakim sendiri merupakan salah satu bentuk tindak pidana sehingga pelaku yang melakukan perbuatan main hakim sendiri yang mengakibatkan korban meninggal

21 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, (TM.. Pelaku zina adalah mukallaf, artinya pelaku adalah orang yang telah cakap bertindak hukum, yang ditandai dengan telah

Kasus santet memang meresahkan, namun hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk “social defence” dalam arti melindungi masyarakat terhadap

Hukum Islam memandang bahwa perbuatan zina yang terdapat dalam pasal 284 KUHP adalah laki-laki atau wanita yang telah kawin melakukan zina, unsur ini kurang mendukung

Bahwa hukuman bagi pelaku melarikan perempuan di bawah umur dalam KUHP diancam dengan pasal 332 dalam putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No.293/Pid/B/2015/PN.BNA,

Dengan demikian dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap orang yang telah melakukan tindak pidana dan terhadap perbuatan pidana itu belum sampai dijatuhi hukuman, maka

Penegakkan hukum bagi pelaku kejahatan transnasional yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana di yurisdiksi negara lain, terdapat dua upaya yang dapat

“orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara