• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

B. Penyesuaian Diri

Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Menurut Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian dapat didefenisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu. Menurut pandangan para ahli diatas, ketiga faktor tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik mengingat individu secara konstan juga mempengaruhi kedua faktor lain.

Menurut Schneiders (1964), pengertian penyesuaian diri dapat ditiinjau dari tiga sudut pandang, yaitu :

a. Penyesuaian sebagai adaptasi

Menurut pandangan ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik, bukan penyesuaian dalam arti psikologis,

sehingga ada kompleksitas kepribadian individu dengan lingkungan yang terabaikan.

b. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas

Penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pengertian ini menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional. Menurut sudut pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan diri individu akan terancam tertolak jika perilaku individu tidak sesuai dengan norma yang berlaku.

c. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan

Penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan untuk merencakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi, dengan kata lain penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga dorongan emosi dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.

Berdasarkan tiga sudut pandang tentang penyesuaian diri yang disebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari dunia luar atau lingkungan tempat individu berada (Ali & Asrori, 2004).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses dinamik dalam interaksi individu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang mencakup respon-respon mental dan perilaku untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik dan mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari luar diri individu.

2. Karakteristik Penyesuaian Diri

Tidak selamanya individu berhasil melakukan penyesuaian diri, karena terkadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Ada individu-individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif, namun ada pula individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah (Sunarto & Hartono, 2006).

a. Penyesuaian Diri Secara Positif

Individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional

2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis 3) Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi

4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri 5) Mampu dalam belajar

6) Menghargai pengalaman 7) Bersikap realistik dan objektif.

Individu akan melakukan penyesuaian diri secara positif dalam berbagai bentuk, antara lain (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung, yaitu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya dan melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi individu.

2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan), yaitu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalah individu.

3) Penyesuaian dengan trial and error (coba-coba), yaitu melakukan tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan.

4) Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)

5) Penyesuaian dengan menggali kemampuan diri, yaitu individu menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam diri, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri.

6) Penyesuaian dengan belajar, yaitu menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari belajar untuk membantu penyesuaian diri.

7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri, yaitu memilih tindakan yang tepat dan mengendalikan diri secara tepat dalam melakukan tindakannya.

8) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat, yaitu mengambil keputusan setelah dipertimbangkan segi untung dan ruginya.

b. Penyesuaian Diri yang Salah

Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu (Sunarto & Hartono, 2006):

1) Reaksi Bertahan (Defence reaction), yaitu individu berusaha untuk memperthankan dirinya, seolah-olah tidak mengahadapi kegagalan dan selalu berusaha untuk menunjukkan dirinya tidak mengalami kegagalan dengan melakukan rasionalisasi, represi, proyeksi, dan sebagainya.

2) Reaksi menyerang (Aggressive Reaction), yaitu menyerang untuk menutupi kesalahan dan tidak mau menyadari kegagalan, yang tampak dalam perilaku selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, kera kepala dalam perbuatan, menggertak baik dengan ucapan dan perbuatan, menunjukkan sikap permusuhan secra terbuka, dan sebagainya.

3) Reaksi Melarikan Diri, yaitu melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, yang tampak dalam perilaku berfantasi, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, regresi, dan sebagainya.

3. Proses Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), proses penyesuaian diri setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu:

a. Motivasi

Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang berlebihan dan kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan konflik.

Respon penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respon baik itu sehat, efisien, merusak, atau patologis ditentukan oleh kualitas motivasi, disamping hubungan individu dengan lingkungan.

b. Sikap terhadap realitas

Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang membentuk realitas. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, emua itu dianggap sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.

Berbagai tuntutan realitas, adanya pembatasan, aturan dan norma-norma menuntut individu untuk terus belajar menghadapi dan mengatur suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan unternal yang

dimanifestasikan ke dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dari realitas. Situasi konflik, tekanan dan frustasi akan muncul jika individu tidak tahan terhadap tuntutan-tuntutan tersebut.

c. Pola dasar penyesuaian diri

Terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri dalam penyesuaian diri individu sehari-hari. Individu berusahan mencari kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhi atau terhambatnya kebuthan individu.

4. Aspek-Aspek penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

1. Mampu mengontrol emosionalitas yang berlebihan

Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak.individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya.

2. Mampu mengatasi mekanisme psikologis

Kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri

seperti rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah.

3. Mampu mengatasi perasaan frustrasi pribadi

Adanya perasaan frustrasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustrasi.

4. Kemampuan untuk belajar

Mampu untuk mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

5. Kemampuan memanfaatkan pengalaman

Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. 6. Memiliki sikap yang realistis dan obyektif

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (dalam Sobur, 2003), faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri adalah :

a. Kondisi Fisik

Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

1) Hereditas dan Konstitusi fisik

Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

2) Sistem utama tubuh

System syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.

3) Kesehatan fisik

Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.

b. Kepribadian

Unsur-unsur kepribadian yang penting pengauhnya terhadap penyesuaian diri adalah:

2) Pengaturan diri 3) Realisasi diri 4) Kecerdasan c. Edukasi/Pendidikan

Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah:

1) Belajar 2) Pengalaman 3) Latihan

4) Determinasi diri d. Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi: 1) Lingkungan keluaga 2) Lngkungan masyarakat e. Agama dan budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan indiidu.

C. REMAJA 1. Defenisi Remaja

Menurut Hurlock (1999) istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Sedangkan Chaplin (1997) mengatakan bahwa adolescence merupakan masa remaja, yaitu periode antara pubertas dengan masa dewasa.

Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dalam masyarakat dewasa. Sedangkan, Hall (dalam Dacey & Kenny, 2004) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu tahap perkembangan yang dikarakteristikkan sebagai “storm and stress’, tahap dimana remaja sangat dipengaruhi oleh mood dan remaja tidak dapat dipercaya.

Menurut Calon (dalam Monks, 2001), masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena remaja belum memperoleh status orang dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Lebih lanjut, Hurlock (1999) mengatakan bahwa awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana

remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Masa remaja dimulai dari usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Pada masa ini, individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas reproduktif.

2. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Havighurst (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa remaja, yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

3. Ciri-Ciri Masa Remaja

Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya. Namun kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya. Adapun ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999), antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik disertai perkembangan mental yang cepat dan penting. Semua perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih menjadi dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang berbau kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan namun bukan juga orang dewasa.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku juga menurun. Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain, seperti meningginya emosi, perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dikarenakan dua alasan. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Erikson mengatakan bahwa bagaimana individu mencari identitas mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi cermin bagi citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah kepada stereotipe tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap konsep diri dan sikap remaja. Menerima stereotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita yang diciptakan oleh remaja yang tidak realistik dan memandang diri dan orang lain tidak sebagaimana adanya.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, meminum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.

4. Perkembangan Sosial Remaja

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaiakan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku

sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock 1999).

Dalam hidup bermasyarakat, remaja dituntut bersosialisasi. Sejak anak-anak, seseorang telah memasuki kelompok teman sebaya. Pada masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung terdiri atas satu jenis kelamin yang sama karena secara fisik mempunyai ciri yang berbeda, dan pada masa remaja sudah mulai timbul kesadaran terhadap dirinya (Rumini, 2004).

Dalam proses perkembangan sosial, remaja juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya (Ali, 2004).

Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal, sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, serta cenderung membangun budaya kelompoknya sendiri, akan sangat memberikan warna tersendiri terhadap dinamika penyesuaian diri remaja. Lingkungan sekolah dapat memungkinkan berkembangnya atau terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri (Ali & Asrori, 2004).

5. Perkembangan Konsep Diri Remaja

Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh pengalaman yang dijumpai dalam hubungannya dengan individu lain, terutama dengan orang-orang terdekat, maupun yang didapatkan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya memandang diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan sebenarnya (Centi, 1993).

Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja dalam usaha untuk memperbaiki kepribadiannya. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri.

Menurut Hurlock (1999), terdapat delapan kondisi-kondisi yang mempengaruhi konsep diri remaja, yaitu:

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang terlambat matang, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Setiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri.

Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

c. Kepatutan seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.

d. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau mereka memberi nama julukan yang bernada cemooh. e. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasi diri dengan orang tersebut dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.

f. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya. Kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.

g. Kreativitas

Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dari identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.

h. Cita-cita

Bagi remaja yang mempunyai cita-cita yang tidak relistik, akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya akan lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalan.

Dokumen terkait