• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyiksaan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman

Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia

Terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Indonesia

15

Ibid, h.25

16

Organisasi Konferensi Islam, Deklarasi Kairo Tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam, Kairo, 5 Agustus 1990, h. 7

telah menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan pada 23 Oktober 1985 atau kurang dari setahun setelah Konvensi tersebut ditetapkan pada 10 Desember 1984.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama yang menandatangani Konvensi Anti Penyiksaan. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia juga termasuk negara yang paling cepat menandatanganinya.17 Cepatnya proses

penandatanganan itu ternyata tidak diiringi dengan kesigapan yang serupa untuk urusan ratifikasi isi Konvensi. Indonesia baru meratifikasi Konvensi ini pada 28 September 1998, atau tiga belas tahun setelah proses penandatanganan.

Dengan diratifikasinya Konvensi Menentang Penyiksaan, selain memberikan landasan yang kuat untuk menghapuskan segala bentuk penyiksaan di Indonesia, sedikitnya ada lima arti penting dari langkah ratifikasi tersebut:

1. Indonesia mempunyai komitmen yang lebih nyata untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri fenomena penyiksaan;

2. Indonesia harus menyempurnakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) agar sesuai dengan isi Konvensi;

3. Indonesia memberikan legitimasi hukum yang lebih memadai untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan yang melibatkan aparat negara, baik secara langsung maupun tidak langsung;

4. Indonesia menyadari bahwa upaya untuk mengatasi penyiksaan harus dilakukan secara multilateral;

17

5. Indonesia mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan PBB untuk --sampai tingkat tertentu — menjamin efektifitas setiap upaya untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan.18

Penyiksaan di dalam Pasal 1 Ayat 1 Konvensi Menentang Penyiksaan didefinisikan sebagai berikut:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 tersebut, diperoleh empat element penting mengenai penyiksaan, yakni:

1) Segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang. Contohnya secara fisik adalah pemukulan terus menerus, acak dan keras; kekerasan terhadap gigi, pencabutan kuku, dan setrum. Adapun secara psikis adalah diancam, dipaksa mengaku, dipermalukan, dan lain sebagainya;

2) Untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi;

3) Dilakukan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik;

18

Agung Yuda Wiranata, Seri Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacara: Konvensi Anti Penyiksaan, (Jakarta: Elsam, 2005), h. 18

4) Tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.19

Mashood A. Baderin menjelaskan bahwa penyiksaan lazimnya dibedakan dari ‘perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat’ dalam hal maksud, tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Jika diamati, istilah ‘penyiksaan’ menyematkan ‘stigma khusus untuk menyegaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam’. Dipaparkan dalam Tyrer v. UK, mahkamah yang sama berpendapat bahwa kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah ‘tidak manusiawi’ sebagai lebih tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai ‘merendahkan martabat’.

Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit, dan derita, sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat skala yang sudah dipradugakan ‘mengenai kehebatan derita yang dimulai dengan perendahan martabat, berujung pada ketidakmanusiawian dan pada puncaknya sampai pada tingkat penyiksaan.

Demikian juga perlakuan kejam dipradugakan berada ‘di antara tata cara tidak manusiawi dan penyiksaan.’ Maka itu, sekalipun suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan, ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenan.

19

Gatot, (ed), Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan; Survey Penyiksaan Ditingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008, (Jakarta: LBH Jakarta, 2008), h. 67-68

Tujuan utama ketentuan itu ialah ‘untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan fisik dan mental individu. 20

Jadi penyiksaan merupakan sebuah tindakan yang tidak manusiawi yang berhubungan dengan rasa sakit, dan derita yang harus ditentang karena tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang beradab. Oleh karenanya, dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, mengharuskan negara untuk menahan dan menyelenggarakan proses pengadilan ketika si pelaku yang diduga melakukannya ada dalam wilayah yang termasuk di dalam yurisdiksinya, dan belum menjadi subyek permintaan ekstradisi.21

20

Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Trjmh, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: KOMNAS HAM, 2007), Cet. I, h. 76

21Ibid

Penyiksaan merupakan tindakan yang mengakibatkan penderitaan atau rasa sakit yang pedih. Beragam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana1 sebenarnya membuktikan ketidakprofesionalan polisi dalam menangani suatu kasus pidana.

Nur Kholis2 mengatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama tahun 2007 sampai 2008 ini ada 180 kasus. Menurut Nur Kholis, kasus kekerasan aparat keamanan sepanjang tahun 2007-2008 di Indonesia, polisi berada di urutan pertama. Urutan kedua, dilakukan aparat TNI sebanyak 18 kasus. Rinciannya, 4 kasus oleh AL, 12 kasus dilakukan aparat AD, dan 2 kasus dilakukan aparat AU.3

Ada dua tahap di mana polisi kerap melakukan penyiksaan terhadap orang yang diduga melanggar tindak pidana, yaitu pada tahap penangkapan4 dan

1

Yang dimaksud dengan korban atau orang yang diduga melanggar tindak pidana dalam konteks penulisan skripsi ini adalah tersangka dan terdakwa. Tersangka adalah seseorang yang disangka sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak. Justru sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tenatang Pokok Kekuasaan Kehakiman, orang demikian wajib dianggap sebagai belum bersalah ({resumption of Innocence/ Asas Praduga Tak Bersalah). Sedangkan terdakwa adalah sesorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Edisi Revisi 2002, (Jakarta: Djambatan, 2002), Cet. 3, h. 13-14

2

Anggota Komisioner di KOMNAS HAM

3

http://www.detiknews.com, Komnas HAM Catat 180 Korban Kekerasan Polisi, Desember 2009

4

Berdasarkan Pasal 1 ayat (20) KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik

pemeriksaan atau proses pembuatan BAP.5 Dalam proses penangkapan dan pemeriksaan, seorang polisi harus menghormati hak asasi manusia sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yaitu menghormati hak asasi manusia termasuk hak-hak para pelanggar tindak pidana untuk tidak disiksa. Penghormatan ini seharusnya dapat ditunjukkan dalam proses penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5. Menghormati hak asasi manusia.

Berdasarkan data-data yang ditemukan penulis melalui studi kepustakaan, berikut akan dijelaskan tentang bentuk-bentuk penyiksaan pada tahap penangkapan dan tahap pemeriksaan.

berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

5

Berdasarkan Pasal 75 KUHAP, pemeriksaan adalah proses pemeriksaan terhadap seorang tersangka yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas kekuatan sumpah jabatan, ditanda tangani pemeriksa dan yang diperiksa.